"Kamu sakit, Dev?" tanya Bu Rahma setelah melihat nampan di nakas yang berisi roti bakar dan Paracetamol. Disentuhnya kening sang putra yang tidur terlentang.
"Panas banget badanmu. Biar di antar Pak Karyo pergi ke dokter."
"Tidak usah, Ma. Habis minum obat juga baikan."
"Ya, udah. Buruan sarapan terus minum obat. Adekmu datang tadi malam."
"Udah ketemu tadi."
Bu Rahma melangkah dan membuka jendela kaca, hawa segar menyerbu masuk. Kabut masih tebal di luar. Diperhatikannya setiap jengkal kamar Devin. Selama ini memang jarang masuk kamar putranya. Setiap datang selalu fokus pada putrinya di paviliun.
"Mama hari ini pulang. Biar adikmu yang di sini. Dia libur sampai Senin nanti."
Wanita anggun itu duduk di sebelah Devin yang sedang makan roti bakar.
"Kamu ingat Ninis, nggak? Putrinya Bu Wini. Seminggu yang lalu baru wisuda S2."
"Hmm ...," jawab Devin malas. Pasti pembicaraan akan mengarah pada perjodohan yang pernah ditawarkan mamanya.
"Kapan-kapan kalian ketemuan. Nanti Mama yang ngatur."
Devin tidak menjawab, dihabiskan roti dan minum obat, kemudian meneguk air putih hangat di gelas hingga habis.
"Mama sebenarnya bosan ngingetin kamu soal nikah. Umurmu sudah tiga puluh lebih, Dev. Rekan Mama sudah pada punya cucu. Ayolah, tentukan pilihan atau ikut pilihan Mama. Ninis tentunya."
"Aku tidak ingin membicarakan tentang ini, Ma. Nantilah aku nyari sendiri."
"Nanti kapan? Nunggu ubanan dulu, ya?"
Bu Rahma terlihat kesal.
"Mama sebenarnya nggak suka jodoh-jodohin anak. Mama ngasih kebebasan kalian untuk mencari pasangan sendiri. Tapi sekarang Mama nggak bisa nunggu lagi. Kamu setujui saja pilihan Mama."
Devin memandang mamanya yang bangkit dari duduk. Wanita itu membenahi blouse putih yang dipakainya dengan rok plisket panjang warna cokelat tua. Jilbab putih dengan garis-garis cokelat sudah rapi menutup rambut.
"Mama mau pulang, mau langsung ke kampus. Ada kelas jam sepuluh nanti."
Bu Rahma melangkah keluar kamar, meninggalkan Devin yang merasakan tambah pusing kepala mendengar tuntutan sang mama. Dia diam sejenak sebelum memanggil Kamalia.
"Keluarlah, Lia!"
Dari dalam kamar mandi muncul Kamalia dengan wajah tegang. Gadis itu mengintip keluar dari pintu yang tembus ke ruang kerja.
"Mamaku sudah turun. Tapi kamu jangan keluar dulu. Tunggu beliau pergi dengan mobilnya. Dari jendela itu kamu bisa lihat ke bawah."
Kamalia melangkah dan berlindung di balik dinding. Melihat ke halaman bawah. Tampak seorang wanita masuk ke Fortuner putih yang kemudian meluncur pergi. Keluar halaman dan melaju di jalan beraspal yang berselimut kabut tipis.
"Aku akan turun, ibu sudah pergi." Kamalia mengambil nampan di nakas.
"Tidak usah ngobrol banyak hal dengan Ben. Terutama soal hutang pamanmu itu. Bilang saja kamu kerja di sini sebagai asisten pribadiku."
"Apakah dia tidak akan memberitahu keberadaanku pada Ibu?"
Devin menggeleng.
"Baiklah, aku akan turun dulu."
Kamalia melangkah keluar.
Di ruang makan ia melihat Ben sedang melahap nasi goreng.
"Kamu sembunyi di mana hingga Mama nggak ngelihat?" tanya Ben saat Kamalia lewat di belakangnya.
"Di kamar mandi."
"Hm, selamat juga kalian. Padahal aku sudah bersiap untuk menyaksikan pengantin dadakan," canda Ben tanpa menoleh.
Kamalia melangkah lagi menuju dapur belakang. Mbok Darmi dan Sumi tampak berwajah tegang memandang Kamalia.
"Ibu nggak melihatmu?" tanya Sumi.
"Enggak."
"Alhamdulillah," ucap Sumi dan Mbok Darmi bersamaan.
"Kami ikut tegang, Lia. Sebelum nyuci baju, sarapan dulu bareng kami," ajak Mbok Darmi.
Sumi mengambil tiga piring nasi goreng di atas meja dapur. Membawa ke meja teras belakang. Ketika mereka asyik berbincang sambil makan, Ben datang dan ikut duduk di sana, sambil menikmati white coffee di cangkir.
"Namamu siapa?" tanya Ben pada Kamalia.
"Kamalia."
"Mamalia?"
Kamalia melirik tajam pada cowok tampan yang sedang menyesap kopinya. Ben tersenyum.
"Wih, tatapanmu itu. Tembus ke dada rasanya."
Mbok Darmi dan Sumi tertawa.
"Jangan diambil hati, Lia. Mas Ben emang suka bercanda orangnya," kata Mbok Darmi.
"Rumah ini serasa hidup kalau Mas Ben pulang," tambah Sumi.
"Pastilah, kan kalian di sini hidup sama robot."
Ben tertawa, tapi Mbok Darmi dan Sumi diam. Takut saja jika tiba-tiba Devin muncul.
Kamalia sudah bisa beradaptasi dengan cara Ben berinteraksi. Bahkan mereka saling menceritakan tentang kuliah dan kampus.
"Jadi, kamu baru wisuda tahun kemarin?"
"Ya. Molor setahun. Karena skripsiku telat."
" Berarti kita seumuran, dong. Aku dua puluh tiga."
"Sama," jawab Kamalia.
"Aku langsung lanjut S2. Nggak nyangka kampus kita deketan."
Kamalia mengangguk.
"Sarjana kok milih jadi pembantu. Nggak salah pilih, nih? Atau memang sebenarnya antara kamu dan Mas Dev ada hubungan?"
"Enggak."
"Ngapain kerja jadi pembantu?"
"Aku kerja sebagai asisten Tuan."
"Oh, asisten yang merangkap ngurus segala hal tentang Mas Dev."
"Aku dapat gaji tambahan dari kerjaan ini. Lagian aku enggak pulang, rumahku jauh," jawab bohong Kamalia.
"Jauh? Di mana itu?"
"Ya, jauh."
"Iyalah, jauhnya mana? Kan memang tempat ini jauh dari mana-mana."
"Untuk apa ngurus soal itu?" tanya Dev yang tiba-tiba berdiri sambil bersedekap dan menyandar di pintu. Wajah Devin terlihat lebih segar. Bajunya sudah ganti dan memakai jaket jeans warna biru.
"Wih, dah sembuh kakakku tercinta. Jangan lupa transferannya."
Devin tidak menjawab, tapi berbalik dan melangkah pergi. Tidak lama kemudian terdengar mobil meninggalkan garasi.
š·š·š·
Kamalia masih membenahi berkas dan merapikan ruang kerja Devin hingga menjelang sore. Sumi yang baru saja menyapu lantai atas menemaninya.
"Tuan kok belum pulang. Padahal dia lagi sakit."
"Kalau belum benar-benar ambruk Tuan tidak akan istirahat. Sibuk kerja sampai lupa menikah."
Kamalia tersenyum simpul. Ia ingat kakaknya yang menolak cinta pria itu.
"Sum, aku heran dengan ruangan ini. Ngapain kamar Tuan tertutup begini. Tidak seperti kamar pada umumnya?" Pertanyaan yang sejak kemarin dipendam akhirnya dikeluarkan.
"Sebenarnya kamar ini dulu di buat untuk Mbak Mita. Kan dia sempat lumpuh. Kamar yang kamu tempati untuk sembunyi kemarin adalah kamar istirahat untuk suster yang bergantian merawatnya. Ruang kerja ini untuk latihan berjalan Mbak Mita. Setelah bisa jalan lagi, eh malah mergoki suaminya selingkuh. Akhirnya depresi berat dan dipindahkan ke paviliun karena dua kali mau terjun dari balkon kamar."
"Oh, gitu."
"Hu um. Ya, sudah aku mau turun dulu. Bantuin Mbok Darmi masak buat makan malam," pamit Sumi.
"Tunggu, aku ikut. Bosan juga aku ngurus kertas-kertas ini seharian. Lagian aku harus siapin makan malam buat Tuan."
"Ayo!"
Kamalia mengikuti Sumi turun. Di dapur Mbok Darmi sudah menyiapkan bahan-bahan untuk memasak. Ada dua menu yang di buat. Rawon kesukaan Mita dan Tjap cay sayur buat Devin.
š·š·š·
Devin yang merasa tubuhnya lebih sehat tidak segera pulang ketika hari menjelang sore. Ia mengawasi beberapa pekerja yang sibuk mengemas daun teh kering yang siap dikirim untuk ekspor.
Pekerja yang menetap di kebun ada dua puluh orang. Terdiri dari laki-laki dan perempuan usia setengah baya, mereka adalah pasangan suami istri. Tiga orang perempuan bertugas memasak untuk makan para pekerja.
Ada beberapa pekerja lepas yang pulang ke rumah. Mereka masih muda-muda, jadi ada kesibukan mengurus anak. Ada tiga orang sopir yang kadang menginap, kadang juga pulang. Tiga orang ibu muda yang bertugas mengurusi administrasi.
Ponsel Devin di atas meja berdering. Diraihnya benda yang tertera nama Mama dilayarnya.
"Hallo, Ma."
"Kebiasaan nggak mau ngucap salam, 'kan?" Suara jengkel mamanya diseberang.
"Iya, maaf. Assalamualaikum."
"W*'alaikumsalam. Kamu lagi di mana?"
"Aku masih di kebun, Ma. Ada apa?"
"Apa kamu sudah baikan? Kok jam segini belum pulang?"
"Sudah."
"Mama barusan telfon Suster Erna. Kakakmu sudah tenang katanya sejak pagi. Mama nggak pulang ke vila, karena besok pagi ada acara di kampus."
"Ya, Ma."
"Ingat ucapan Mama pagi tadi. Sewaktu-waktu kamu datang ke rumah untuk bertemu keluarga Ninis."
Devin tidak menjawab.
"Dev, dengar enggak Mama bilang apa?"
"Iya."
"Ya, sudah Mama mau mandi. Jangan lupa ingatkan adikmu untuk pulang. Kalau sudah di kebun malas pulang. Hari Senin mulai masuk kuliah dia."
"Iya, nanti aku bilang ke Ben."
"Ya, sudah. Assalamualaikum."
"W*'alaikumsalam."
Devin meletakkan kembali ponsel di meja depannya. Kemudian memandang pria tambun seumuran yang sedang mengawasi packing barang.
"Malam ini kamu jadi pulang, Ton."
"Iya, sudah seminggu aku di sini. Kangen sama anak-anak." Pria itu mendekat dan duduk di kursi depan Devin.
"Bilang saja kangen sama ibunya anak-anak."
Tony tersenyum. "Nah, paham juga, 'kan? Kamu belum tahu rasanya pria beristri nganggur seminggu."
Devin tersenyum miring tanpa memandang pria di depannya.
Mereka berteman semenjak duduk di bangku SMP. Begitu juga dengan Hesti, istri Tony. Mereka adalah sahabat sejati. Dulu wanita itu juga bekerja di perkebunan Devin. Namun setelah melahirkan putri kembar, akhirnya resign.
"Tadi Hesty nelepon, ngasih tahu kalau kemarin Eva nikah sama guru SMA itu."
"Hm, aku sudah tahu."
"Kamalia yang bilang?"
Devin mengangguk.
"Sudahlah, aku tidak ingin membahas perempuan itu lagi. Mungkin baginya lebih bahagia bersama Ragil daripada hidup denganku."
Hening.
"Kabar Mbak Mita bagaimana?" tanya Tony mengalihkan topik pembicaraan.
"Ya, begitulah. Aku hampir putus asa bagaimana mencarikan dokter untuknya. Tubuhnya makin kurus sekarang."
"Mertuaku bilang, apa nggak sebaiknya cari jalan pengobatan alternatif. Siapa tahu Mbak Mita diguna-guna istri mantannya itu. Bisa jadi dia dendam karena bahunya cacat dan hingga sekarang belum hamil lagi setelah keguguran."
"Aku tidak berpikir sampai ke situ. Aku tidak bisa memikirkan hal yang tidak tampak mata."
"Apa salahnya dicoba."
"Mama masih mencarikan psikiater yang bisa rutin datang ke rumah. Walaupun aku juga sadar kalau sebenarnya Mbak Mita bukan depresi lagi, tapi gila." Devin menahan kesedihan ketika mengucapkan kalimat itu.
"Kalau tidak ingat Mama dan keluarga, aku bikin panjang urusan dengan laki-laki pengkhianat itu. Aku hanya kasihan Mama kalau terbebani dengan tindakanku."
"Iya, jangan. Kasihan Ibu."
š·š·š·
Devin dan Ben saling duduk berhadapan menikmati makan malam. Sumi dan Kamalia duduk di teras belakang, sambil melihat bulan purnama yang terang benderang di angkasa. Keduanya merapatkan jaket karena hawa dingin mulai menyebar.
"Enak enggak nugget sayurnya, Mas?" tanya Ben pada sang kakak.
"Enak."
"Tahu enggak siapa yang bikin?"
"Mbok Darmi."
"Bukan. Kamalia yang bikin."
"O."
Ben mencondongkan tubuhnya ke depan Devin. "Udah pantas dijadikan calon bini."
Devin menatap tajam adiknya. Ben mundur sambil tersenyum.
Setelah makan malam, kedua kakak beradik menyambangi Mita di paviliun. Ada suster Erna yang jaga di sana. Devin dan Ben lega setelah mendengar penjelasan suster Erna, karena seharian ini keadaan kakaknya jauh lebih tenang.
š·š·š·
Devin mematung memperhatikan ruang kerjanya yang bersih dan rapi. Semuanya tersusun sesuai keinginannya.
Bau harum aroma terapi menguar di seluruh penjuru ruangan.
Ia duduk di kursi putar. Menyadarkan punggung dan mengangkat kaki ke atas meja. Rasa pusing kembali datang saat ingat kata-kata mamanya tadi pagi. Bahkan sama sekali ia tidak tertarik dengan gadis itu, Ninis. Bukan tidak menyukai fisiknya, tapi sifatnya.
Ponsel dari saku celana di keluarkan dan mengetik pesan.
[Naiklah, Kamalia.]
Terkirim dan langsung dibaca gadis itu.
Next ....
Terima kasih untuk like dan komentarnya Man-teman š
"Kamu tulis apa yang kurang untuk menyimpan dokumen. Sepertinya butuh satu filing cabinet lagi." Devin berkata sambil menyodorkan kertas dan pulpen ke hadapan Kamalia."Besok ada pekerja kebun yang akan turun ke kota untuk belanja."Kamalia menarik kursi di dekatnya, kemudian duduk. Memperhatikan sekeliling lantas mencatat apa yang dibutuhkan."Aku akan memberikan uang bulanan buatmu, yang bisa kamu pakai untuk membeli kebutuhan pribadi.""Bukankah aku kerja di sini untuk membayar hutang?""Ada perhitungan untuk itu. Tenang saja Tony akan merinci secara detail. Kamu tidak akan rugi. Jika aku tidak memberimu uang, bagaimana kamu akan membeli kebutuhanmu?"Kamalia tercenung memandang pria di depannya. Pria ini baik juga, sikapnya tidak seperti pertama kali bertemu. Meski sorot dingin dari tatapan matanya masih sama."Catat sem
Devin sudah masuk ke mobil Hilux. Kamalia membuka pintu belakang dan duduk tepat di belakang pria itu.Mobil meluncur, menuruni jalan berkelok yang kanan kirinya tanaman teh. Di kejauhan para pemetik teh memperhatikan kendaraan sang majikan.Dari spion tengah Devin memperhatikan Kamalia yang menatap samping jalan. Wajah itu ... ah, sudahlah!Kendaraan telah keluar dari perkebunan. Kemudian melewati jalan menanjak di tengah hutan pinus. Tampak ada beberapa orang sedang menoreh. Konon getah pinus itu untuk campuran bahan sabun mandi.Jalanan kembali menurun dan memasuki kampung penduduk. Kamalia ingat pulang. Pulang di bangunan kecil samping rumah sang paman, yang disediakan untuk tempat tinggalnya dan Eva. Pasti ruangan itu kosong sekarang.Devin menepikan mobilnya di depan sebuah warung berdinding bambu khas pedesaan. Namun terlihat klasik dan nyaman.
Bu Rahma gembira karena putranya sudah datang. Ia berhenti sejenak di depan pintu. Heran karena selain sepatu Devin, ada sneakers perempuan warna putih."Assalamu'alaikum." Bu Rahma mengucapkan salam dengan suara lembut."Wa'alaikumsalam," jawab Devin dan Kamalia hampir bersamaan.Senyum ramah terukir untuk Kamalia yang mengangguk hormat. Devin menyalami dan mencium tangan sang mama. Diikuti Kamalia."Saya Kamalia, Tante."Bu Rahma mengangguk. Wajah itu seperti tidak asing. Seperti baru kemarin bertemu."Ayo, diminum tehnya." Bu Rahma mempersilakan sambil duduk di sofa depan mereka."Terima kasih, Tante."Kesan pertama bertemu Bu Rahma sangat baik. Tidak seperti bayangannya tadi. Meski rasa gelisah masih merajai hati."Sudah lama sampai?""Lumayan, Ma."&n
[Tuan, masih hidup, 'kan?]Hanya dibaca.[Tuan Dev yang terhormat, jangan dibaca saja. Tolong di jawab.]Kamalia menghela napas sebal. Di layar titik-titik itu bergerak. Pertanda di sana sedang mengetik balasan.[Jangan panggil Tuan. Panggil Mas dihadapan Mama. Oke, aku minta maaf untuk yang tadi. Kesepakatan tetap dilanjutkan.]Kamalia meletakkan ponsel di sebelah bantal. Ia merasa sudah masuk perangkap. Mau mundur ia juga ragu, sampai kapan bisa bertahan untuk membayar hutang itu. Apa benar ia mau menua sia-sia.Jika ia menyetujui keinginan Devin, paling tidak ia akan bertahan dua tahun saja. Setelah itu akan bebas. Meski berstatus janda.Akan tetapi, benarkah Devin bukan lelaki sempurna? Kenapa ia ragu. Pria segagah itu, sehat, dan keren, apa mungkin ....Oh, tidak-tidak. Yang penting dia sudah berjan
"Alhamdulillah, kamu datang, Lia. Mbak nungguin kabar darimu. Mbak khawatir? Kamu nggak apa-apa, 'kan?" Eva memberondong adiknya dengan kata-kata.Wanita itu mengajak sang adik duduk di balai-balai dapur. Dengan ujung jilbabnya ia menyusut air mata."Lihatlah, aku baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat nelepon. Acara nikahannya lancar, 'kan Mbak?""Alhamdulillah, lancar. Ibu bolak-balik nanya tentang kamu.""Oh ya, ibu dan Mas Ragil mana? Kok enggak nampak."Rumah memang sepi."Mas Ragil nganter ibu belanja bahan-bahan roti ke pasar. Habisnya ada yang pesen dadakan tadi. Kalau bapak masih di sawah."Kamalia mengangguk sambil memperhatikan sekeliling. Kakaknya terlihat lebih segar setelah menikah. Pastilah, karena ada yang menjaga dan memperhatikan. Tidak perlu was-was lagi."Siapa kerabat kita yan
Habis salat Maghrib Kamalia membantu Sumi dan Mbok Darmi menyiapkan makan malam. Beberapa nampan kayu telah siap di antar ke paviliun depan."Kamu tunggu saja di sini, sebentar lagi calon suamimu akan turun. Temani, ya. Aku sama Mbok Darmi mau ngantar makan malam ke depan," bisik Sumi setengah menggodanya.Kamalia tidak menjawab, ia hanya memandang Sumi dengan rasa tak nyaman. Sebagai orang yang lebih tua, Mbok Darmi menangkap ada rahasia di antara Kamalia dan Tuannya. Entah itu apa."Si mbok ngantar ke depan dulu, Lia," pamit Mbok Darmi sambil membawa nampan kayu diikuti Sumi. Kamalia menjawab dengan anggukan kepala.Devin turun dan mendekati Kamalia di ruang makan."Kamu ikut aku keluar. Mama sudah menelepon sebuah butik untuk mengurus baju pengantinmu. Awal bulan depan kita menikah, acara lamaran dan akad nikah akan dilaksanakan dalam waktu yang sama. Pagi lamara
"Kamu serius mau menikahi adiknya Eva?" tanya Tony siang itu saat keduanya selesai makan siang dan istirahat di gudang."Ya.""Untuk balas dendam?"Devin menatap sahabat yang duduk disebelahnya. Pria itu tersenyum samar. Diambilnya sebatang rokok dan korek api. Menyalakan, kemudian menghisap sambil memandang keluar jendela.Tony tidak bertanya lagi, ia pun mengambil sebatang rokok. Sebenarnya sejak Devin memberitahu akan menikahi Kamalia beberapa hari yang lalu, dia sempat khawatir. Kalau Kamalia hanya akan menjadi korban kekecewaan sahabatnya."Dia gadis baik-baik, Dev.""Hm, aku tahu."Tony tahu kalau Devin adalah pria yang susah jatuh cinta. Sejak ditolak Eva, belum pernah ia mendengar kalau sahabatnya dekat dengan perempuan lain. Cinta pertama yang melukainya sangat parah. Bahkan setelah wisuda S1, Devin mencoba me
Jam delapan malam mereka sampai di rumah minimalis bercat kuning gading, di pinggiran kota. Seorang wanita membuka pintu dan tersenyum."Masuk Dev, ayo Kamalia masuk."Wanita itu sudah tahu nama Kamalia. Dari cara menyambut tamu dia adalah wanita yang ramah."Terima kasih, Mbak.""Silakan duduk, biar aku buatin minum.""Tidak perlu repot-repot, kami sudah minum tadi. Aku mau langsung pulang."Devin dan Kamalia duduk di sofa ruang tamu."Beneran enggak mau minum?""Enggak, aku langsung pulang ini. Udah malam. Shinta dan Shanti sudah tidur, ya?""Sudah dari tadi.""Ya udah, kalau gitu aku pamit."Setelah berbasa-basi sebentar Devin langsung pamitan. Kamalia dan Hesty mengantar hingga di teras.Hesty mengajak Kam
Nostalgia (Ending)Susana Bougenvilla sangat meriah dengan kehadiran kerabat dekat Bu Rahma. Dev mengadakan acara aqiqah untuk anak ketiganya.Teman-teman Dev dari kota juga datang bersama istri dan anak-anaknya. Kerabat dari Kamalia juga datang.Suara anak-anak riang berlarian di halaman vila. Cuaca tidak mendung juga tidak panas. Hawa tetap sejuk dan membuat nyaman.Mbak Mita yang menyukai anak-anak lebih telaten menjaga para keponakannya. Terlebih anaknya Ben yang usianya paling kecil, sering ketinggalan kedua sepupunya yang berlarian di taman yang penuh bunga bugenvil yang beraneka warna."Mas, udah punya dua anak cowok, ceweknya masih satu. Mau nambah lagi, nggak?" tanya Era. "Cukup tiga saja. Kasihan Kamalia," jawab Dev sambil tersenyum."Tapi sebenarnya masih mau lagi, kan?" goda Yaksa."Anak kan rezeki. Kalau di kasih lagi ya mau.""Awas aja kalau masih mau tapi bikinnya sama yang lain. Kan katanya kasihan sama Kamalia. Terus nanti bikin pula sama yang lain," seloroh Adi. Memb
Menikahi Pria tak SempurnaSunshine Malam itu Dev dan Kamalia duduk di balkon kamar. Gaffi tidur ikut Mbak Mita dan suaminya, sementara Tisha sudah tidur pulas di ranjang mereka. Gadis kecil itu kelelahan setelah seharian bermain di pantai bersama kakak dan sepupunya."Kenapa tidak bilang sejak kemarin kalau kamu sedang hamil?" tanya Dev sambil merangkul pundak istrinya."Aku juga nggak tahu kalau hamil, Mas. Kemarin aku baru ingat kalau telat datang bulan. Waktu aku cek sudah tampak jelas garis duanya.""Mas bahagia, hanya saja cemas juga tiap kali menjelang persalinan anak-anak kita."Kamalia tersenyum sambil melingkarkan lengan di pinggang suaminya. Di sandarkan kepala di dada bidang Dev. "Yang penting Mas nemani waktu aku lahiran, itu saja sudah jadi mood booster buatku."Dev mengecup kening istrinya. Keduanya menatap langit malam yang bertabur bintang. Di kejauhan terdengar debur ombak pantai yang menghantam batu-batu karang. š·š·š·Kamalia terbangun tepat jam empat pagi. Yang
"Mas," panggil Amara lirih sambil menggoyangkan tubuh Ben tengah malam itu.Ben menggeliat sejenak sebelum membuka mata dan duduk. "Ya, ada apa.""Perutku tiba-tiba mulas. Di celana dalamku ada sedikit darah."Netra Ben langsung terbuka sempurna, kantuknya seketika hilang. Ia melihat kening Amara yang berpeluh."Tunggu, ya. Aku panggil Mama."Ben melompat dari atas tempat tidur. Ia bergegas untuk membangunkan mamanya.Sejenak kemudian Bu Rahma masuk ke kamar putranya. Sedangkan Ben bersiap mengganti baju dan mengambil tas berisi perlengkapan untuk dibawa ke rumah sakit."Sejak kapan Mara mulai mulas?" tanya Bu Rahma sambil mengusap perut menantunya."Baru saja, Ma.""Ya sudah, jangan panik. Kita ke rumah sakit sekarang. Mama ganti baju dulu. Ben, kamu hubungi Dokter Keni, kalau beliau ada di klinik kita ke klinik saja.""Ya, Ma."Kendaraan sepi di jam satu malam itu. Perjalanan ke rumah sakit jadi cepat dan lancar.Sesampainya di depan ICU, mereka sudah ditunggu dua orang perawat lak
"Ben, makin hari tambah bulat aja," seloroh Kamalia saat melihat adik iparnya masuk ke dapur di rumah mamanya pagi itu.Ben yang baru datang dari rumah mertuanya tersenyum sambil mengusap perutnya yang berisi. "Jadi keenakan makan ngikutin selera makan Amara. Nantilah, sebulan lagi auto diet ketat. Oh, ya, kapan sampai?""Tadi malam jam sepuluh. Habisnya Mas Dev ngajak berangkat udah jam tujuh malam. Kata Mama, kamu dan Amara nginap di rumah mertua.""Iya, Bapak lagi sakit, makanya kami tidur di sana. Tapi sekarang sudah agak baikan. Cuman demam biasa.""Oh, Alhamdulilah.""Kenapa datang dadakan?""Kami dapat undangan pernikahan Imelda. Undangannya pun dadakan, karena mereka juga enggak ngadain pesta. Cuma ijab qobul aja.""Hmm, baguslah. Akhirnya nikah juga. Gaffi dan Thisa mana?""Habis sarapan kembali main di kamar sama papanya. Kalau Mama lagi belanja."Ben mengambil air minum di dispenser, kemudian duduk dan menghabiskan segelas air putih."Mau sarapan, enggak? Tadi Mbok Tini bik
Kehamilan Amara disambut bahagia dua keluarga besar mereka. Nasehat demi nasehat diberikan kepada calon ibu muda itu.Amara sendiri masih tetap kuliah. Tapi dia sudah membatasi diri dengan kegiatan-kegiatan kampus di luar jam kuliah.Kebahagiaan Ben-Amara membuat iri sebagian mahasiswa. Apalagi untuk beberapa mahasiswi yang pernah mengidolakan Ben. "Katanya dulu kamu minum pil, Ra. Kenapa bisa hamil?" tanya Rensi saat mereka duduk di kantin."Iya. Cuman aku minumnya enggak teratur. Soalnya selalu pusing setelah minum pil itu.""Apa enggak kepikiran mau ganti pakai yang lain?""Rencananya mau ganti. Kutunda-tunda akhirnya keburu hamil.""Ya itu rezeki, Ra. Pak Dosen kelihatan bahagia banget gitu."Amara tersenyum sambil mengusap perutnya yang tengah hamil tujuh bulan. Ben memang sebahagia itu, kalau di rumah tak henti-hentinya dia menciumi calon buah hatinya yang masih ada di perut."Setelah kandunganku delapan bulan, aku akan ngambil cuti kuliah, Ren. Sementara aku ngambil cuti satu
Setelah Kamalia beranjak ke belakang membawa mangkuk bekas makan Thisa, Ben berdiri lantas mendekati istrinya. "Ayo, kita ke kota untuk periksa," ajak Ben."Enggak usah, kayaknya aku hanya masuk angin," jawab Amara pelan."Sejak kita menikah, kamu belum haid, 'kan?" Ben jadi mengingat itu. Sebab selama sebulan ini mereka berhubungan tanpa halangan."Selama ini haidku memang enggak teratur." Pria itu mengangguk pelan kemudian kembali berdiri dan melangkah keluar vila. Amara termenung sambil memperhatikan Thisa bermain. Ia jadi teringat pil KB yang diminumnya. Padahal ia meminumnya hampir habis, tapi kenapa ia tidak datang bulan juga?"Ra, sini!" panggil Kamalia setelah turun dari mengambil sesuatu di kamarnya. Amara mendekat, Thisa ditinggal bersama Sawitri."Coba kamu test, kebetulan aku masih punya persediaan test pack."Kamalia memberikan test pack yang masih berbungkus utuh beserta cawan yang biasa dia gunakan untuk menampung urine.Amara memperhatikan cara penggunaannya."Ini
Sabtu pagi Ben dan Amara berangkat ke rumah kedua kakaknya. Pria itu akan mengajak istrinya ke rumah Mita dan sorenya akan ke vila dan menginap di sana.Bu Rahma yang sebenarnya sangat kangen dengan kedua cucunya menolak ikut saat Ben mengajak. Beliau tidak ingin mengganggu kebersamaan pengantin baru. Beliau bisa pergi lain hari."Kita akan sampai berapa jam perjalanan, Mas?" tanya Amara."Kurang lebih dua jam.""Lumayan jauh, ya?""Nanti kalau sudah terbiasa ke sana, dua jam enggak akan lama."Mereka menikmati perjalanan sambil berbincang. Mengenai apa saja. Tentang kampus, saat keduanya dihadapkan sebagai dosen dan mahasiswi. Banyak yang akhirnya tergali tentang diri masing-masing. Jam sembilan mereka sampai di rumah Mita. Kebetulan dokter Nasir juga ada di rumah. Kedua suami istri itu sedang berkebun di pekarangan belakang ketika Ben dan Amara datang.Segera saja Mita belanja dan masak. Rencana awalnya siang nanti mereka akan kulineran ke luar. Berhubung adik dan iparnya datang, w
"Hai, Ben," sapa Nindy sambil tersenyum ramah.Ben makin erat menggenggam tangan istrinya. Ia melangkah mendekat setelah gemuruh di dadanya mereda."Hai, juga.""Ayo, salim sama Om dan Tante." Nindy menyuruh putrinya untuk menyalami Ben dan Amara.Pria itu menunduk ketika tangan kecil terulur. Amara juga melakukan hal yang sama. Senyumnya merekah saat menyentuh pipi tembam anak Nindy. "Siapa namamu, cantik?""Chika, Tante." Ben memandang Nindy. "Umur berapa?""3,5 tahun.""Sebentar lagi masuk PAUD.""Ya.""Kenalin ini Amara, istriku."Nindy terkejut juga, meski tadi sudah mengira kalau wanita berhijab itu kekasih atau istri Ben.Amara menyalami wanita tinggi semampai di depannya. Ia sebenarnya heran karena sejak tadi wanita itu memperhatikannya."Aku Nindy."Amara mengangguk."Kapan menikah? Kenapa enggak ngundang?""Kami menikah Sabtu kemarin. Belum ada pesta, mungkin nanti setelah Amara wisuda.""Wisuda?""Iya, Mbak. Saya masih kuliah semester tiga." Amara yang menjawab.Nindy menj
Amara melipat mukena setelah salat asar berjamaah dengan suaminya dan meletakkan di rak sudut kamar. Kemudian ia duduk di depan meja rias untuk menyisir rambut.Ben mengambil ponsel untuk melihat beberapa pesan masuk.Kamar Ben cukup besar daripada kamar Amara. Ditambah cat warna putih tulang yang menambah kesan luas pada ruangan.Ranjang king size diletakkan mepet ke dinding. Tidak diletakkan tepat di tengah seperti di kamar lainnya. Sepreinya baru dan wangi, warna biru terang dengan bordir bunga di tepinya. "Kapan ujian oral test, Mas?" tanya Amara sambil memandang Ben yang duduk di tepi ranjang."Malam ini kita mulai duluan," jawab Ben santai sambil menatap istrinya.Amara bisa menangkap maksud dari jawaban suaminya dan itu melenceng jauh dari maksud pertanyaan yang sebenarnya.Oral test mewajibkan mahasiswa mengerjakan ujian dengan melakukan tanya jawab langsung dengan dosen.Test itu akan dilakukan secara one by one. Dan ini menjadi ujian yang menegangkan bagi sebagian mahasiswa