Sebelum pulang, mereka keliling kota sebentar. Kota kabupaten itu sekarang ramai, tidak seperti beberapa tahun yang lalu. Banyak bangunan pertokoan, pusat kebugaran, dan beberapa mall berdiri dalam tiga tahun terakhir ini.Semua berubah seiring perkembangan zaman. Gaffi yang sudah kenyang dan kelelahan bermain sudah terlelap di pangkuan mamanya."Kita pulang, Mas. Gaffi udah tidur ini.""Ya. Mampir ke rumah Ragil, tak?""Enggak usah. Daripada nanti Gaffi terbangun dan enggak mau pulang kalau sudah ketemu Ica.""Baiklah."Dev tidak jadi berbelok, mobil melaju lurus menuju vila."Biar Mas yang gendong Gaffi," kata Dev setelah mobil masuk garasi. Pria itu turun dan berputar untuk mengambil anaknya dari pangkuan istrinya."Sayang, panggil Sumi untuk menemani Gaffi tidur di kamarnya."Kamalia hafal gelagat suaminya, kalau meminta Gaffi ditidurkan di kamarnya sendiri.Kebetulan Sumi masih duduk nonton TV saat mereka masuk vila. Dev langsung membawa anaknya naik ke atas."Sum, temani Gaffi
Dev duduk di depan Yaksa, di ruangan pria itu. Mereka baru saja meeting membahas proyek perumahan yang sudah berjalan beberapa bulan."Bu Maya itu janda anak satu. Cerai sudah sekitar lima tahun. Umurnya empat puluhan. Masih kayak umur tiga puluhan, 'kan," kata Yaksa sambil meletakkan sekaleng soft drink di depan Dev. Pria itu bergeming. Dari dulu dia memang tidak suka dengan model-model perempuan seperti itu. Andaikan suka, entah sudah berapa kali dia gonta-ganti pacar."Aku tidak menduga aja, kalau partner kita perempuan. Kamu bilang laki-laki, 'kan?""Ya, harusnya Abang dia yang datang. Rupanya diwakilkan adiknya.""Kalau dia profesional aku ikut ngurus proyek ini. Jika tidak, kamu saja yang handle."Yaksa mengangguk-angguk. Sudah bertahun-tahun berteman, ia paham bagaimana Dev. Dia bukan pria yang mudah tergoda.🌷🌷🌷"Gaffi sudah dari tadi tidurnya?" tanya Dev setelah selesai salat Isya dan menyusul istrinya ke pembaringan."Jam delapan tadi. Nungguin Mas sambil bermain dan sam
Setelah menidurkan Gaffi, Kamalia segera mengambilkan makan siang untuk Dev. Sejak tadi malam suaminya itu demam. Mungkin karena kehujanan saat pulang dari perkebunan. Namun tidak kali ini saja dia kehujanan. Sering malah. Mungkin pas daya tahan tubuhnya yang menurun membuatnya jatuh sakit."Mas, ayo makan dulu. Terus minum obat," kata Kamalia sambil duduk di tepi pembaringan.Dev duduk dan bersandar pada kepala ranjang."Mas Nasir sama Mbak Mita sudah pulang?""Sudah, baru saja.""Gaffi mana?""Barusan aku tidurkan di kamar bawah. Ditemani Sumi."Kamalia menyuapi Dev. Nasi dengan sup dan perkedel kentang."Mas, cobalah sekali-kali makan ikan. Tadi Mbok Darmi goreng ikan gurami. Kalau mau aku ambilkan.""Tidak usah.""Dicoba dikit aja. Biar lekas sembuh."Dev menggeleng. "Makan Lia saja habis ini," kata Dev sambil tersenyum menggoda."Tahu gitu, aku enggak repot-repot nelepon Mas Nasir untuk datang. Btw, aku juga lagi haid.""Kapan mulai?""Tadi pagi."Raut kecewa tampak di wajah pria
"Pak Devin tidak memiliki akun media sosial, Bu May," kata Gia siang itu usai mereka meeting dan telah kembali ke hotel."Benarkah? Di zaman begini, orang seperti dia tidak memiliki akun medsos.""Benar. Pak Devin ternyata pemilik perkebunan teh, yang terbilang sukses di sana. Memiliki seorang anak laki-laki dan istrinya masih muda."Wanita yang duduk di tepi pembaringan itu memandang asistennya. "Infomu bisa dipercaya?""Saya mendapatkan informasi dari salah seorang karyawan Pak Yaksa yang sudah lama kenal Pak Devin."Satu titik lantai granit hotel menjadi pusat perhatian Maya. Wanita yang tampak lebih muda dari usianya itu tampak merenung, teringat kembali masa mudanya yang harus terenggut oleh pernikahan paksa. Demi bisnis keluarga. Menikahi laki-laki yang pantas dipanggil ayah olehnya.Sebagai perempuan modern, ia mengimpikan pasangan yang sepadan, tampan, sukses, seperti impiannya diwaktu remaja dulu.Waktu pertama kali bertemu Dev, ia menemukan sosok itu. Meski usianya lebih mud
"Tadi waktu keluar dari hotel, Mas berpapasan dengan Amran," kata Dev malam itu setelah mereka berada di pembaringan. "Oh, ya. Apa dia menyapa?""Tidak.""Bagaimana cara dia memandang, Mas? Apa seperti musuh?""Mungkin.""Dia pasti dendam sama, Mas."Dev memandang istrinya. "Mas tidak peduli soal itu. Dia masuk penjara karena ulahnya sendiri."Kamalia menyusupkan wajah ke dada suaminya. "Tapi aku yang khawatir. Bagaimana kalau dia macam-macam dan melacak keberadaan kita. Bukankah kata Mas Adi usahanya kacau setelah dia masuk penjara.""Sudah, jangan berpikir yang tidak-tidak. Mas akan baik-baik saja." Dev mengusap-usap punggung istrinya."Mas, capek enggak? Sini aku pijitin." Kamalia hendak bangun, tapi lengan suami menahannya."Tidak usah. Kamu juga pasti capek, setelah seharian jagain Gaffi."Kamalia memeluk perut suaminya. Kemudian tersenyum, mengingat ketengilan anaknya dua hari ini."Seharian ini dia ikut Pak Karyo ke perkebunan. Katanya mau nyariin Mas di sana. Akhirnya dibikin
Dev baru saja masuk ke ruangan kantornya di perkebunan ketika ponselnya berdering. Kamalia menelepon."Ada apa, Sayang?" "Mas, sudah sampai di kebun?""Baru masuk kantor. Ada apa?""Dokter Ani ngabari kalau beliau ada di klinik sampai setengah hari saja. Jadi kita ditunggu kalau mau ke sana. Mas, bisa nganter, enggak? Kalau misalnya repot, biar kubilang besok saja kita pergi ke klinik.""Tunggu setengah jam lagi Mas akan pulang.""Iya."Devin melangkah langsung ke belakang, menemui Tony untuk memberitahunya beberapa hal, karena ia harus segera pulang."Dev, apa kamu tidak butuh security sendiri untuk gudang yang di kota? Apa kita hanya mengandalkan satpam yang jaga di pintu gerbang saja. Aku khawatir mengenai ceritamu kemarin. Takutnya mantan napi itu akan merecoki di sana.""Barang kita tidak banyak lagi, 'kan, di sana? Atau kita kirim barang saat kapal udah mau sandar saja, jadi tidak perlu menginap lama di gudang.""Gitu?""Ya.""Baiklah kalau begitu.""Aku ada perlu ngantar Lia k
Eva pulang hampir satu jam kemudian, ketika anak-anak telah terlelap di depan TV."Sorry, Mbak kelamaan. Habis antri beli siomay tadi. Ayo, makanlah! Ini Mbak beli di tukang siomay kesukaanmu.""Sudah buka jam segini?""Sudah. Sekarang Mamang itu bukanya dari pagi."Kamalia membuka bungkusan. Keduanya makan dengan lahap di sebelah anak-anak yang terlelap."Mbak, habis ini aku pinjam motornya sebentar?""Mau kemana?""Keluar sebentar."Eva mengangguk.Matahari tepat berada di atas ubun-ubun kepala saat Kamalia mengendarai motor menuju rumah pamannya. Untungnya ada semilir angin siang itu, jadi panasnya tidak begitu menyengat.Lelaki tua yang duduk di balai-balai samping rumah tampak senang saat melihat kedatangan Kamalia. Beliau tergopoh-gopoh menghampiri. Setelah bertahun-tahun baru sekarang ia bisa kembali bertemu keponakannya."Paman," sapa Kamalia sambil mencium tangan lelaki itu."Paman kangen sama kamu, Nduk. Lama kita tidak bertemu." Netra Pak Dandi berkaca-kaca.Diajaknya sang
"Sini." Dev menepuk lengannya agar Kamalia rebah di sana.Keduanya sekarang menatap langit-langit kamar dalam cahaya lampu malam kebiruan."Ada sesuatu yang ingin kamu bagi cerita sama Mas, malam ini?" tanya Dev dengan suara pelan.Kamalia menatap wajah suaminya sejenak. Kemudian kembali memandang plafon kamar."Terima kasih, karena sudi menerimaku masuk dalam kehidupan, Mas. Meskipun Mas pernah dikhianati oleh Mbak Eva."Dev menoleh sejenak. "Sudah Mas bilang, kalau uang bukan segalanya, Lia.""Bukan uang saja, 'kan? Mas, juga menutupi aib kakakku bahkan dihadapan adiknya sendiri. Aku sudah tahu apa yang terjadi suatu siang itu."Dev menarik napas dalam-dalam. Menyibak luka lama yang sesungguhnya tidak bermakna lagi baginya."Darimana, Lia, tahu semua itu?""Maaf, aku enggak akan ngasih tahu Mas, darimana aku tahu semuanya."Keduanya berpandangan."Mas sungguh luar biasa. Tetap menutupi aib perempuan yang telah menyakiti Mas. Padahal Mas juga telah kehilangan banyak uang."Dev tersen