"Tadi waktu keluar dari hotel, Mas berpapasan dengan Amran," kata Dev malam itu setelah mereka berada di pembaringan. "Oh, ya. Apa dia menyapa?""Tidak.""Bagaimana cara dia memandang, Mas? Apa seperti musuh?""Mungkin.""Dia pasti dendam sama, Mas."Dev memandang istrinya. "Mas tidak peduli soal itu. Dia masuk penjara karena ulahnya sendiri."Kamalia menyusupkan wajah ke dada suaminya. "Tapi aku yang khawatir. Bagaimana kalau dia macam-macam dan melacak keberadaan kita. Bukankah kata Mas Adi usahanya kacau setelah dia masuk penjara.""Sudah, jangan berpikir yang tidak-tidak. Mas akan baik-baik saja." Dev mengusap-usap punggung istrinya."Mas, capek enggak? Sini aku pijitin." Kamalia hendak bangun, tapi lengan suami menahannya."Tidak usah. Kamu juga pasti capek, setelah seharian jagain Gaffi."Kamalia memeluk perut suaminya. Kemudian tersenyum, mengingat ketengilan anaknya dua hari ini."Seharian ini dia ikut Pak Karyo ke perkebunan. Katanya mau nyariin Mas di sana. Akhirnya dibikin
Dev baru saja masuk ke ruangan kantornya di perkebunan ketika ponselnya berdering. Kamalia menelepon."Ada apa, Sayang?" "Mas, sudah sampai di kebun?""Baru masuk kantor. Ada apa?""Dokter Ani ngabari kalau beliau ada di klinik sampai setengah hari saja. Jadi kita ditunggu kalau mau ke sana. Mas, bisa nganter, enggak? Kalau misalnya repot, biar kubilang besok saja kita pergi ke klinik.""Tunggu setengah jam lagi Mas akan pulang.""Iya."Devin melangkah langsung ke belakang, menemui Tony untuk memberitahunya beberapa hal, karena ia harus segera pulang."Dev, apa kamu tidak butuh security sendiri untuk gudang yang di kota? Apa kita hanya mengandalkan satpam yang jaga di pintu gerbang saja. Aku khawatir mengenai ceritamu kemarin. Takutnya mantan napi itu akan merecoki di sana.""Barang kita tidak banyak lagi, 'kan, di sana? Atau kita kirim barang saat kapal udah mau sandar saja, jadi tidak perlu menginap lama di gudang.""Gitu?""Ya.""Baiklah kalau begitu.""Aku ada perlu ngantar Lia k
Eva pulang hampir satu jam kemudian, ketika anak-anak telah terlelap di depan TV."Sorry, Mbak kelamaan. Habis antri beli siomay tadi. Ayo, makanlah! Ini Mbak beli di tukang siomay kesukaanmu.""Sudah buka jam segini?""Sudah. Sekarang Mamang itu bukanya dari pagi."Kamalia membuka bungkusan. Keduanya makan dengan lahap di sebelah anak-anak yang terlelap."Mbak, habis ini aku pinjam motornya sebentar?""Mau kemana?""Keluar sebentar."Eva mengangguk.Matahari tepat berada di atas ubun-ubun kepala saat Kamalia mengendarai motor menuju rumah pamannya. Untungnya ada semilir angin siang itu, jadi panasnya tidak begitu menyengat.Lelaki tua yang duduk di balai-balai samping rumah tampak senang saat melihat kedatangan Kamalia. Beliau tergopoh-gopoh menghampiri. Setelah bertahun-tahun baru sekarang ia bisa kembali bertemu keponakannya."Paman," sapa Kamalia sambil mencium tangan lelaki itu."Paman kangen sama kamu, Nduk. Lama kita tidak bertemu." Netra Pak Dandi berkaca-kaca.Diajaknya sang
"Sini." Dev menepuk lengannya agar Kamalia rebah di sana.Keduanya sekarang menatap langit-langit kamar dalam cahaya lampu malam kebiruan."Ada sesuatu yang ingin kamu bagi cerita sama Mas, malam ini?" tanya Dev dengan suara pelan.Kamalia menatap wajah suaminya sejenak. Kemudian kembali memandang plafon kamar."Terima kasih, karena sudi menerimaku masuk dalam kehidupan, Mas. Meskipun Mas pernah dikhianati oleh Mbak Eva."Dev menoleh sejenak. "Sudah Mas bilang, kalau uang bukan segalanya, Lia.""Bukan uang saja, 'kan? Mas, juga menutupi aib kakakku bahkan dihadapan adiknya sendiri. Aku sudah tahu apa yang terjadi suatu siang itu."Dev menarik napas dalam-dalam. Menyibak luka lama yang sesungguhnya tidak bermakna lagi baginya."Darimana, Lia, tahu semua itu?""Maaf, aku enggak akan ngasih tahu Mas, darimana aku tahu semuanya."Keduanya berpandangan."Mas sungguh luar biasa. Tetap menutupi aib perempuan yang telah menyakiti Mas. Padahal Mas juga telah kehilangan banyak uang."Dev tersen
Malam itu, Kamalia membawakan segelas teh panas untuk Dev di ruang kerjanya."Belum selesai, Mas?""Sebentar lagi. Gaffi sudah tidur?"Kamalia mengangguk, lantas duduk di kursi depan suaminya. Memperhatikan dengan pikiran tidak menentu. Entah kenapa, sejak tahu kenyataan yang sebenarnya pikirannya kacau. Dirinya juga merasa bersalah. Mungkin demi membiayai kebutuhan sekolahnya, Eva terpaksa memanfaatkan kebaikan Dev.Tangan Kamalia terulur untuk memegang pergelangan tangan kiri suaminya yang terluka."Tangan Mas kenapa ini?""Kena parang tadi. Tidak sengaja waktu mau narik karung, ada parang di sela-sela tumpukan karung.""Kuambilkan obat sebentar."Kamalia keluar ruangan. Mengambil obat dan plester di kotak P3K yang menempel di dinding dekat tangga.Sambil duduk di sebelah suaminya, ia membersihkan luka yang masih baru. Kemudian menempelkan plester untuk menutupi lukanya."Kenapa sejak Mas pulang kerja tadi, Lia tampak gelisah?"Dev mematikan layar laptop, kemudian fokus memandang is
Angin pagi berhembus sepoi. Dev dan Kamalia melangkah di tepi pantai sambil memperhatikan Gaffi yang berlarian di depan mereka.Suasana belum begitu ramai. Ada satu rombongan anak-anak sekolah yang baru sampai. Mereka menyerbu pantai untuk berfoto ketika sang mentari belum beranjak naik.Dev dan Kamalia duduk di pasir pantai, di dekat Gaffi yang bermain pasir."Besok sore kita langsung ke kota saja. Senin pagi Mas ada meeting.""Hu um.""Mbak Mita tidak jadi datang, karena Dokter Nasir lagi ada tugas jaga di rumah sakit."Dev berdiri, mendekati Gaffi, keduanya mulai membangun istana pasir. Sesekali Kamalia mengambil foto mereka. Sambil menunggu suami dan anaknya bermain, ia iseng membuka kembali akun media sosialnya. Password-nya masih diingat betul. Hari ulang tahunnya.Banyak inbox masuk. Pesan yang dikirimkan bertahun yang lalu. Beberapa pesan dari teman kuliahnya, juga yang paling banyak dari Willy.Rupanya pria itu tetap mencoba menghubunginya sejak mereka berpisah. Banyak penjel
Habis Maghrib Dev mendapatkan telepon dari papanya Imelda. Akhirnya malam itu Dev mengajak istri dan anaknya memenuhi undangan makan malam di rumah Pak Hamdan.Suasana sudah berbeda. Bu Tantri sangat ramah dan telah berhijab. Rupanya mereka baru pulang umroh beberapa bulan yang lalu.Pak Hamdad juga cerita kalau telah bertemu kedua putranya. Pertemuan pertama kali setelah hampir tiga puluh tujuh tahun berpisah. Itu juga pertemuan pertama Bu Tantri sebagai mama tiri mereka. Sayang saja, Imelda saja yang belum bertemu langsung dengan kedua kakaknya.Bu Tantri juga mengungkapkan rasa prihatin, karena putri satu-satunya berulang kali menolak perjodohan yang diatur keluarga. Wanita itu memutuskan untuk tidak menikah dalam waktu dekat, mungkin ... suatu hari nanti. Jika bertemu dengan pria yang bisa membuat hatinya tertambat.🌷🌷🌷Waktu terus berjalan, Dev menyelesaikan meeting tepat waktu. Banyak keputusan yang tidak terduga. Kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya, banyak mengalami
"Wah, Bu Lia dan suami datang ke sini ini pasti membawa kabar gembira. Sudah postive kan, Bu Lia?" Dokter Ani menyambut dengan ramah pasien yang sudah duduk di kursi depannya.Kamalia tersenyum sambil memandang dokter langganannya."Sudah saya duga. Mari saya periksa."Seorang suster membantu Kamalia berbaring dan lebih dulu memeriksa tensi. Dokter Ani mendekat untuk pemeriksaan USG.Dokter spesialis kandungan itu mengoleskan gel di perut Kamalia. Selanjutnya, transduser ditempelkan dan diputar di permukaan perut bagian bawah untuk mendapatkan visualisasi janin yang baik."Janinnya sudah dua bulan ini, Bu Lia. Berarti sejak lepas kontrasepsi hari itu langsung jadi, ya."Baik Kamalia atau pun Dev memperhatikan layar USG. Kegembiraan menyeruak di hati pasangan itu, saat melihat janin yang bergerak di rahim Kamalia."Apa enggak merasakan mual atau morning sickness?""Enggak, Dok. Cuman cepat lelah saja.""Baguslah itu."Kamalia bangun dan membenahi bajunya, lantas kembali duduk di sebela
Nostalgia (Ending)Susana Bougenvilla sangat meriah dengan kehadiran kerabat dekat Bu Rahma. Dev mengadakan acara aqiqah untuk anak ketiganya.Teman-teman Dev dari kota juga datang bersama istri dan anak-anaknya. Kerabat dari Kamalia juga datang.Suara anak-anak riang berlarian di halaman vila. Cuaca tidak mendung juga tidak panas. Hawa tetap sejuk dan membuat nyaman.Mbak Mita yang menyukai anak-anak lebih telaten menjaga para keponakannya. Terlebih anaknya Ben yang usianya paling kecil, sering ketinggalan kedua sepupunya yang berlarian di taman yang penuh bunga bugenvil yang beraneka warna."Mas, udah punya dua anak cowok, ceweknya masih satu. Mau nambah lagi, nggak?" tanya Era. "Cukup tiga saja. Kasihan Kamalia," jawab Dev sambil tersenyum."Tapi sebenarnya masih mau lagi, kan?" goda Yaksa."Anak kan rezeki. Kalau di kasih lagi ya mau.""Awas aja kalau masih mau tapi bikinnya sama yang lain. Kan katanya kasihan sama Kamalia. Terus nanti bikin pula sama yang lain," seloroh Adi. Memb
Menikahi Pria tak SempurnaSunshine Malam itu Dev dan Kamalia duduk di balkon kamar. Gaffi tidur ikut Mbak Mita dan suaminya, sementara Tisha sudah tidur pulas di ranjang mereka. Gadis kecil itu kelelahan setelah seharian bermain di pantai bersama kakak dan sepupunya."Kenapa tidak bilang sejak kemarin kalau kamu sedang hamil?" tanya Dev sambil merangkul pundak istrinya."Aku juga nggak tahu kalau hamil, Mas. Kemarin aku baru ingat kalau telat datang bulan. Waktu aku cek sudah tampak jelas garis duanya.""Mas bahagia, hanya saja cemas juga tiap kali menjelang persalinan anak-anak kita."Kamalia tersenyum sambil melingkarkan lengan di pinggang suaminya. Di sandarkan kepala di dada bidang Dev. "Yang penting Mas nemani waktu aku lahiran, itu saja sudah jadi mood booster buatku."Dev mengecup kening istrinya. Keduanya menatap langit malam yang bertabur bintang. Di kejauhan terdengar debur ombak pantai yang menghantam batu-batu karang. 🌷🌷🌷Kamalia terbangun tepat jam empat pagi. Yang
"Mas," panggil Amara lirih sambil menggoyangkan tubuh Ben tengah malam itu.Ben menggeliat sejenak sebelum membuka mata dan duduk. "Ya, ada apa.""Perutku tiba-tiba mulas. Di celana dalamku ada sedikit darah."Netra Ben langsung terbuka sempurna, kantuknya seketika hilang. Ia melihat kening Amara yang berpeluh."Tunggu, ya. Aku panggil Mama."Ben melompat dari atas tempat tidur. Ia bergegas untuk membangunkan mamanya.Sejenak kemudian Bu Rahma masuk ke kamar putranya. Sedangkan Ben bersiap mengganti baju dan mengambil tas berisi perlengkapan untuk dibawa ke rumah sakit."Sejak kapan Mara mulai mulas?" tanya Bu Rahma sambil mengusap perut menantunya."Baru saja, Ma.""Ya sudah, jangan panik. Kita ke rumah sakit sekarang. Mama ganti baju dulu. Ben, kamu hubungi Dokter Keni, kalau beliau ada di klinik kita ke klinik saja.""Ya, Ma."Kendaraan sepi di jam satu malam itu. Perjalanan ke rumah sakit jadi cepat dan lancar.Sesampainya di depan ICU, mereka sudah ditunggu dua orang perawat lak
"Ben, makin hari tambah bulat aja," seloroh Kamalia saat melihat adik iparnya masuk ke dapur di rumah mamanya pagi itu.Ben yang baru datang dari rumah mertuanya tersenyum sambil mengusap perutnya yang berisi. "Jadi keenakan makan ngikutin selera makan Amara. Nantilah, sebulan lagi auto diet ketat. Oh, ya, kapan sampai?""Tadi malam jam sepuluh. Habisnya Mas Dev ngajak berangkat udah jam tujuh malam. Kata Mama, kamu dan Amara nginap di rumah mertua.""Iya, Bapak lagi sakit, makanya kami tidur di sana. Tapi sekarang sudah agak baikan. Cuman demam biasa.""Oh, Alhamdulilah.""Kenapa datang dadakan?""Kami dapat undangan pernikahan Imelda. Undangannya pun dadakan, karena mereka juga enggak ngadain pesta. Cuma ijab qobul aja.""Hmm, baguslah. Akhirnya nikah juga. Gaffi dan Thisa mana?""Habis sarapan kembali main di kamar sama papanya. Kalau Mama lagi belanja."Ben mengambil air minum di dispenser, kemudian duduk dan menghabiskan segelas air putih."Mau sarapan, enggak? Tadi Mbok Tini bik
Kehamilan Amara disambut bahagia dua keluarga besar mereka. Nasehat demi nasehat diberikan kepada calon ibu muda itu.Amara sendiri masih tetap kuliah. Tapi dia sudah membatasi diri dengan kegiatan-kegiatan kampus di luar jam kuliah.Kebahagiaan Ben-Amara membuat iri sebagian mahasiswa. Apalagi untuk beberapa mahasiswi yang pernah mengidolakan Ben. "Katanya dulu kamu minum pil, Ra. Kenapa bisa hamil?" tanya Rensi saat mereka duduk di kantin."Iya. Cuman aku minumnya enggak teratur. Soalnya selalu pusing setelah minum pil itu.""Apa enggak kepikiran mau ganti pakai yang lain?""Rencananya mau ganti. Kutunda-tunda akhirnya keburu hamil.""Ya itu rezeki, Ra. Pak Dosen kelihatan bahagia banget gitu."Amara tersenyum sambil mengusap perutnya yang tengah hamil tujuh bulan. Ben memang sebahagia itu, kalau di rumah tak henti-hentinya dia menciumi calon buah hatinya yang masih ada di perut."Setelah kandunganku delapan bulan, aku akan ngambil cuti kuliah, Ren. Sementara aku ngambil cuti satu
Setelah Kamalia beranjak ke belakang membawa mangkuk bekas makan Thisa, Ben berdiri lantas mendekati istrinya. "Ayo, kita ke kota untuk periksa," ajak Ben."Enggak usah, kayaknya aku hanya masuk angin," jawab Amara pelan."Sejak kita menikah, kamu belum haid, 'kan?" Ben jadi mengingat itu. Sebab selama sebulan ini mereka berhubungan tanpa halangan."Selama ini haidku memang enggak teratur." Pria itu mengangguk pelan kemudian kembali berdiri dan melangkah keluar vila. Amara termenung sambil memperhatikan Thisa bermain. Ia jadi teringat pil KB yang diminumnya. Padahal ia meminumnya hampir habis, tapi kenapa ia tidak datang bulan juga?"Ra, sini!" panggil Kamalia setelah turun dari mengambil sesuatu di kamarnya. Amara mendekat, Thisa ditinggal bersama Sawitri."Coba kamu test, kebetulan aku masih punya persediaan test pack."Kamalia memberikan test pack yang masih berbungkus utuh beserta cawan yang biasa dia gunakan untuk menampung urine.Amara memperhatikan cara penggunaannya."Ini
Sabtu pagi Ben dan Amara berangkat ke rumah kedua kakaknya. Pria itu akan mengajak istrinya ke rumah Mita dan sorenya akan ke vila dan menginap di sana.Bu Rahma yang sebenarnya sangat kangen dengan kedua cucunya menolak ikut saat Ben mengajak. Beliau tidak ingin mengganggu kebersamaan pengantin baru. Beliau bisa pergi lain hari."Kita akan sampai berapa jam perjalanan, Mas?" tanya Amara."Kurang lebih dua jam.""Lumayan jauh, ya?""Nanti kalau sudah terbiasa ke sana, dua jam enggak akan lama."Mereka menikmati perjalanan sambil berbincang. Mengenai apa saja. Tentang kampus, saat keduanya dihadapkan sebagai dosen dan mahasiswi. Banyak yang akhirnya tergali tentang diri masing-masing. Jam sembilan mereka sampai di rumah Mita. Kebetulan dokter Nasir juga ada di rumah. Kedua suami istri itu sedang berkebun di pekarangan belakang ketika Ben dan Amara datang.Segera saja Mita belanja dan masak. Rencana awalnya siang nanti mereka akan kulineran ke luar. Berhubung adik dan iparnya datang, w
"Hai, Ben," sapa Nindy sambil tersenyum ramah.Ben makin erat menggenggam tangan istrinya. Ia melangkah mendekat setelah gemuruh di dadanya mereda."Hai, juga.""Ayo, salim sama Om dan Tante." Nindy menyuruh putrinya untuk menyalami Ben dan Amara.Pria itu menunduk ketika tangan kecil terulur. Amara juga melakukan hal yang sama. Senyumnya merekah saat menyentuh pipi tembam anak Nindy. "Siapa namamu, cantik?""Chika, Tante." Ben memandang Nindy. "Umur berapa?""3,5 tahun.""Sebentar lagi masuk PAUD.""Ya.""Kenalin ini Amara, istriku."Nindy terkejut juga, meski tadi sudah mengira kalau wanita berhijab itu kekasih atau istri Ben.Amara menyalami wanita tinggi semampai di depannya. Ia sebenarnya heran karena sejak tadi wanita itu memperhatikannya."Aku Nindy."Amara mengangguk."Kapan menikah? Kenapa enggak ngundang?""Kami menikah Sabtu kemarin. Belum ada pesta, mungkin nanti setelah Amara wisuda.""Wisuda?""Iya, Mbak. Saya masih kuliah semester tiga." Amara yang menjawab.Nindy menj
Amara melipat mukena setelah salat asar berjamaah dengan suaminya dan meletakkan di rak sudut kamar. Kemudian ia duduk di depan meja rias untuk menyisir rambut.Ben mengambil ponsel untuk melihat beberapa pesan masuk.Kamar Ben cukup besar daripada kamar Amara. Ditambah cat warna putih tulang yang menambah kesan luas pada ruangan.Ranjang king size diletakkan mepet ke dinding. Tidak diletakkan tepat di tengah seperti di kamar lainnya. Sepreinya baru dan wangi, warna biru terang dengan bordir bunga di tepinya. "Kapan ujian oral test, Mas?" tanya Amara sambil memandang Ben yang duduk di tepi ranjang."Malam ini kita mulai duluan," jawab Ben santai sambil menatap istrinya.Amara bisa menangkap maksud dari jawaban suaminya dan itu melenceng jauh dari maksud pertanyaan yang sebenarnya.Oral test mewajibkan mahasiswa mengerjakan ujian dengan melakukan tanya jawab langsung dengan dosen.Test itu akan dilakukan secara one by one. Dan ini menjadi ujian yang menegangkan bagi sebagian mahasiswa