Senja hampir tenggelam ketika Dev sampai di rumah. Kamalia menyambutnya dengan perasaan lega. Dengan cekatan ia membuatkan segelas teh hangat dan meletakkan di meja rias kamar. Adzan Maghrib berkumandang ketika Dev masih mandi.Akhirnya mereka salat Maghrib berjamaah usai Dev selesai mandi dan Gaffi bersama neneknya."Gaffi rewel tidak seharian ini?" tanya Dev sambil duduk di dekat istrinya yang sedang melipat mukena. "Enggak, karena AC-nya aku nyalain dari tengah hari tadi. Di sini cuaca panas banget."Dev berdiri dan minum teh buatan istrinya."Kerjaan Mas udah beres tadi?""Alhamdulillah, sudah. Di bantu Adi sama Galih.""Alhamdulillah. Aku ambil Gaffi dulu di kamar Mama."Saat Dev melepaskan sarung dan baju kokonya, ponsel Kamalia bergetar di atas nakas. Dev meraihnya dan membuka dari layar notifikasi."Lia, Alhamdulillah, Willy sudah sadar jam tiga sore tadi. Maaf baru bisa ngabari." Pesan dari Yana.Dada Dev kembali berdesir. Sadar? Memangnya cowok itu kenapa? Kalau terjadi se
"Ayo, kita pulang, Mas!" ajak Kamalia pada Dev.Pria itu memandangnya sambil menyipit, hingga alis tebalnya nyaris bertaut.Tanpa banyak bertanya, Dev berdiri. Kemudian melangkah menyusuri lorong rumah sakit. Kamalia memeluk lengan suaminya yang sedang menggendong putra mereka."Nangis, ya, tadi?" tanya Dev setelah mobil meninggalkan halaman rumah sakit.Kamalia tersenyum. "Maaf. Sebab terharu saja. Maaf, Mas."Dev memandang sejenak istrinya, lalu menggenggam tangan kanan Kamalia yang dingin. Wanita itu bernapas lega saat suaminya tersenyum.Kalau ikutkan perasaan, Dev kecewa. Namun ia tidak ingin membuat keadaan makin buruk. Ia harus paham apa yang terjadi tadi, ia juga harus percaya kalau semua hanya sebatas rasa simpati.Mobil melaju ke arah luar kota. Di mana jalan itu pernah dilewati ketika mereka holiday saat Gaffi masih dalam kandungan."Kita mau ke mana, Mas?" tanya Kamalia heran."Kita cari tempat makan dengan suasana yang berbeda."Keduanya kembali diam. Mereka melewati jala
Pagi itu Willy sudah bisa duduk dengan santai meski badannya masih terasa sakit semua. Dua bantal diletakkan di belakang punggungnya.Yana yang baru datang meletakkan bubur ayam di atas meja. "Ini pesananmu kemarin. Mau di makan sekarang?" tanya gadis yang rapi dengan baju kerjanya."Nanti saja. Kamu enggak telat kerja nanti?""Enggak, kantorku kan dekat saja dari sini. Oh, ya, Mamamu mana?""Mama masih beli sarapan di kantin. Papa baru saja berangkat kerja."Yana memperhatikan sekeliling. Di pojok ruangan masih ada parcel buah yang belum dibuka."Kemarin Kamalia ke sini, ya?"Willy mengangguk."Sama suaminya?""Ya."Hening sejenak. Yana memeriksa ponselnya. Pesan yang dikirim ke Uci belum dibalas."Lia sudah menemukan kebahagiaannya. Kamu saja yang harus segera move on," kata Yana hati-hati.Willy diam."Aku membaca postingan di Facebook-mu. Seharusnya kamu enggak lagi memposting foto-foto lama itu. Lia sudah menjadi istri orang. Kayaknya suaminya juga sangat baik, meski terlihat di
Suasana sedikit mendung ketika Dev dan Kamalia meninggalkan rumah Mama mereka. "Mau ganti musim agaknya, Mas.""Iya, sekarang cuaca tidak menentu. Kita langsung pulang saja, tidak jadi jenguk Imel." "Kenapa, Mas?""Tidak apa-apa. Doakan saja dia lekas sembuh."Dev mempertimbangkan banyak hal makanya mengambil keputusan itu. Perjalanan yang ditempuh akan dobel. Dari kota mamanya ke kota Imel terus kembali lagi pulang. Pasti sangat melelahkan dan kasihan Gaffi.Belum lagi kalau terjadi drama di sana. Hanya akan menambah masalah baru. Sudahlah, lebih baik sementara ini tidak perlu bertemu Imel dulu."Mas, kalau Bu Wanti pulang umroh nanti kita ke sana, ya?""Ya, Sayang."Gaffi merengek haus yang membuat mereka berhenti berbincang. Kamalia memberinya ASI dan Dev menerima panggilan dari Tony dengan memasang headset di telinganya."Halo, Ton.""Kamu di mana, Dev?""Ini lagi perjalanan pulang. Ada apa?""Mengenai Oki.""Cerita saja, ini sambil aku dengarkan."Sepanjang perjalanan Dev hanya
Hujan deras mengguyur bumi malam itu. Menambah suasana makin terasa dingin. Kamalia menambahkan sweater pada pakaian Gaffi. Kemudian menyelimuti tubuh anaknya dengan selimut yang agak tebal.Perasaannya juga gelisah karena Dev belum pulang dari kota. Padahal tadi sudah menelepon kalau sedang perjalanan pulang. Mungkin masih menepi sejenak karena hujan yang amat deras.Kamalia melihat ke arah jam dinding. Hampir pukul sembilan malam. Ia melangkah ke arah jendela kamar dan menyingkap gorden. Derasnya hujan di luar membatasi pandangan.Baru saja ia duduk di tepi ranjang, bunyi klakson di bawah membuatnya berbinar. Segera dibukanya pintu kamar. Kemudian menunggu di ujung tangga.Benar saja, Dev muncul dari bawah sambil tersenyum."Syukurlah, Mas tidak apa-apa. Aku khawatir tadi," ucap Kamalia menyambut suaminya. Dev tersenyum. "Mas nekat pulang tadi. Kalau nunggu hujan reda entah sampai kapan Mas terjebak di tengah jalan. Gaffi sudah tidur?""Hu um."Keduanya melangkah masuk kamar."Aku
Part 87 Hot DaddyImelda tersenyum ke arah Dev. Begitu pun Pak Hamdad. Mereka bersalaman."Maaf, jika kedatangan kami mengganggu." Nada suara Imel sudah berbeda, tidak seperti dia yang sebelumnya. Namun masih tidak dapat menyembunyikan perasaan yang masih ada."Mari, silakan masuk Om, Imel." Dev mengajak mereka duduk di dalam."Bagaimana kabar istrimu? Katanya dibawa ke klinik?""Iya, Om. Lagi di rawat. Kamalia keguguran.""Keguguran?"Dev mengangguk."Om turut prihatin. Sabar, belum rezeki, Dev.""Iya, Om."Pembicaraan terhenti ketika Mbok Darmi masuk menyuguhkan minuman."Silakan diminum dulu, Om, Mel."Mereka mencicipi teh suguhan dari Mbok Darmi. Pada kesempatan itu, Pak Hamdad juga menjelaskan dan mengembalikan modal milik Dev. Mereka berbincang dengan santai.Setelah itu Pak Hamdad izin keluar sebentar, untuk melihat-lihat perkebunan. Agar anaknya bisa berbincang dengan Dev."Aku ingin minta maaf sama kamu dan Lia. Aku sudah mengacau kehidupan kalian." Imelda langsung bicara me
Sebelum pulang, mereka keliling kota sebentar. Kota kabupaten itu sekarang ramai, tidak seperti beberapa tahun yang lalu. Banyak bangunan pertokoan, pusat kebugaran, dan beberapa mall berdiri dalam tiga tahun terakhir ini.Semua berubah seiring perkembangan zaman. Gaffi yang sudah kenyang dan kelelahan bermain sudah terlelap di pangkuan mamanya."Kita pulang, Mas. Gaffi udah tidur ini.""Ya. Mampir ke rumah Ragil, tak?""Enggak usah. Daripada nanti Gaffi terbangun dan enggak mau pulang kalau sudah ketemu Ica.""Baiklah."Dev tidak jadi berbelok, mobil melaju lurus menuju vila."Biar Mas yang gendong Gaffi," kata Dev setelah mobil masuk garasi. Pria itu turun dan berputar untuk mengambil anaknya dari pangkuan istrinya."Sayang, panggil Sumi untuk menemani Gaffi tidur di kamarnya."Kamalia hafal gelagat suaminya, kalau meminta Gaffi ditidurkan di kamarnya sendiri.Kebetulan Sumi masih duduk nonton TV saat mereka masuk vila. Dev langsung membawa anaknya naik ke atas."Sum, temani Gaffi
Dev duduk di depan Yaksa, di ruangan pria itu. Mereka baru saja meeting membahas proyek perumahan yang sudah berjalan beberapa bulan."Bu Maya itu janda anak satu. Cerai sudah sekitar lima tahun. Umurnya empat puluhan. Masih kayak umur tiga puluhan, 'kan," kata Yaksa sambil meletakkan sekaleng soft drink di depan Dev. Pria itu bergeming. Dari dulu dia memang tidak suka dengan model-model perempuan seperti itu. Andaikan suka, entah sudah berapa kali dia gonta-ganti pacar."Aku tidak menduga aja, kalau partner kita perempuan. Kamu bilang laki-laki, 'kan?""Ya, harusnya Abang dia yang datang. Rupanya diwakilkan adiknya.""Kalau dia profesional aku ikut ngurus proyek ini. Jika tidak, kamu saja yang handle."Yaksa mengangguk-angguk. Sudah bertahun-tahun berteman, ia paham bagaimana Dev. Dia bukan pria yang mudah tergoda.🌷🌷🌷"Gaffi sudah dari tadi tidurnya?" tanya Dev setelah selesai salat Isya dan menyusul istrinya ke pembaringan."Jam delapan tadi. Nungguin Mas sambil bermain dan sam