Bimo babak belur. Tulang pipinya bengkak dan membiru akibat bogem mentah dari pria kekar dengan badan penuh tato sampai ke area lehernya itu. Sudut bibirnya Bimo lebam dengan sisa-sisa darah yang mengering di sana.
Ya, pagi-pagi sekali Bimo dijemput paksa oleh Ismail dan beberapa anak buah Brian dengan alasan yang tidak diketahui oleh Bimo.
"Tuan... Ampun, tuan. Saya teh gak bohong. Saya cuma cium Thena, itu pun terpaksa karena saya panik Thena banyak tanya soal apa yang saya lakukan di rumah tuan. Jadi, demi buat dia bungkam, saya cium dia. Sumpah, saya gak nyentuh dia lebih daripada itu."
Dengan bertelanjang dada dan kedua tangan yang diikat ke belakang, ia bersimpuh dan menatap penuh permohonan pada pria yang berada di hadapannya.
Brian Atmaja.
Dengan air wajahnya yang tanpa ekspresi dan tatapan mata yang dingin itu, dia duduk di kursi rodanya. Rahangnya terlihat bengkok ke samping seperti orang yang terkena stroke. Ia mengangkat tangannya dan membuat gerakan yang tidak bisa dimengerti oleh Bimo.
Bahasa isyarat.
"Andri, tuan memberi perintah padamu. Katanya, cambuk orang itu dan gak boleh berhenti sebelum dia pingsan." Suara sang mandor menerjemahkan bahasa isyarat itu. Ia menatap pada pria jangkung, besar,dan berbadan kekar dengan wajah yang sangat menyeramkan itu.
"Tuan, ampun! Jangan dicambuk, tuan, jangan... Saya bisa mati!" teriak Bimo kalang kabut.
Senyuman miring itu terbit di wajah Ismail.
"Bimo, Bimo. Harusnya kamu pikirkan dulu konsekuensinya. Sudah aku bilang untuk jangan pernah menyentuh barang milik tuan Brian. Kamu udah nyentuh perempuan yang sudah akan dibeli oleh tuanku, jadi kamu harus membayar mahal."
Setelah senyuman meremehkan itu, sang mandor pun berdiri di belakang kursi roda Brian dan bergerak mendorong pelan kursi roda itu untuk menjauh dari ruang bawah tanah di mana Bimo akan disiksa sampai setengah mati.
"Cambuk dia, Andri!" teriaknya dengan wajah yang datar dan tanpa ekspresi.
"Baik, tuan."
Pria tinggi besar itu berjalan maju, menggulung cambuk itu di tangannya lalu untuk beberapa saat kemudian ia mengurainya.
Tangan besarnya yang kuat itu terayun dan-
"Argh! A-Ampun, tuan... Argh!" Teriak Bimo kesakitan. Ia tampak sangat tersiksa saat cambukan kasar itu mendera punggungnya yang telanjang.
Namun, Brian tak peduli. Toh ia tidak mendengar suara apapun, walau ekspresi kesakitan Bimo itu terlihat oleh matanya.
Suara nyaring dari cambuk yang memecut punggung telanjang milik Bimo itu terus terdengar, dan Bimo akan terus dicambuk sampai Brian sendiri yang meminta Andri– pria sangar itu untuk menghentikannya.
***
Brian Atmaja adalah pria berusia 30 tahun dan merupakan anak tertua dari Adnan Atmaja sang konglomerat terkaya di Indonesia. Ia puny segalanya. Rumah mewah, 3 mobil mewah dan beberapa Vila. Namun, sayangnya ia lumpuh, tuli dan bisu.
Dibalik semua itu, Brian terkenal kejam. Dia tak segan menghabisi siapapun yang berurusan dengannya, terutama perihal hutang yang tak pernah dibayar.
Ia membuat gerakan tangan atau bahasa isyarat yang kira-kira jika diterjemahkan berbunyi -
(Ismail, antarkan aku ke kamar. Setelah itu kau pastikan pria bernama Bimo itu sudah mendapatkan hukumannya sampai selesai.)
"Baik, tuan." Dengan menggunakan bahasa isyarat, sang mandor yang ternyata bernama Ismail itu menyahut.
Ia mendorong pelan kursi roda itu melewati tiap lorong dari rumah mewah yang temaram karena pencahayaan yang minim, walaupun sebenarnya hari masih terang benderang di luar sana. Tak ada setitik pun sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, Brian sendiri yang tidak memperbolehkannya.
Semua tirai selalu menjuntai menutup tiap jendela sepanjang harinya. Bukan tanpa sebab, Brian hanya tak ingin fisiknya yang tak sempurna itu ditonton banyak orang atau bahkan para buruh pemetik teh yang lalu lalang melewati rumahnya.
Dalam keheningan keduanya, Ismail bergegas membawa Brian masuk ke dalam kamar pribadi pria itu dan menggendongnya untuk direbahkan di atas tempat tidur lembut berukuran king size itu.
"Apa ingin saya selimuti juga?" tanyanya menggunakan ucapan verbal juga menggunakan bahasa isyarat.
Brian terlihat menggeleng cepat lalu membuat gerakan tangan menghalau, meminta Ismail untuk keluar dari dalam kamarnya.
"Baiklah. Selamat beristirahat, tuan– saya undur diri." Ismail berjalan mundur menjauhi Brian dengan tubuhnya yang sedikit membungkuk hormat, lalu kemudian ia pun berbalik dan melenggang pergi keluar dari kamar Brian meninggalkan pintu yang terayun dan tertutup rapat.
Setelah kepergian Ismail, Brian hanya menghela napas berat lalu menarik selimutnya sampai sebatas dada. Ia menatap nanar langit-langit kamarnya, saat sekelebat memori kelam itu kembali diputar di kepalanya seperti kaset kusut.
Tepatnya 10 tahun yang lalu, saat ia baru berusia 20 tahun, ia harus menyaksikan bagaimana Jihan– Ibu kandungnya hancur dan harus berakhir di rumah sakit jiwa karena depresi berat ketika Adnan Atmaja– Ayahnya Brian membawa seorang wanita yang lebih muda dari Jihan dengan seorang perempuan seusia Brian yang terlihat sangat cantik.
Mereka adalah Fani dan Sandra– Istri yang diam-diam dinikahi oleh Adnan, dan juga anak hasil dari pernikahan itu.
Adnan berselingkuh selama ini, itulah fakta yang paling menyakiti Jihan dan membuatnya sampai depresi berat.
"Mama apa kabar? Apa surganya Tuhan itu indah, sampe Mama gak pernah berkunjung sekalipun cuma dalam mimpi aku?" gumam Brian berdialog sendiri dengan begitu lancar.
Ya, Brian bisa bicara. Ia tak bisu, tak lumpuh ataupun tuli. Selama ini ia hanya bersandiwara menjadi pria cacat demi mengelabui semua orang termasuk Ayahnya dan terutama Ibu tirinya yang tamak ingin menguasai semua harta warisannya.
"Mama, nanti aku bakal balas dendam buat Mama. Aku gak bakal membiarkan Sandra menikmati hasil dari jerih payah Mama," gumam Brian lagi.
Ah, Brian merindukan mamanya, sampai-sampai air mata menetes dari ujung matanya ketika ia mengingat tentang Jihan. Menyakitkan rasanya, ketika ia ingat bagaimana Jihan meregang nyawa tanpa seorang pun yang mendapinginya.
Dengan nelangsa, Brian mengusap kasar wajahnya.
Di pedesaan ini, Brian bahkan hidup sebatang kara, ia dibuang oleh Adnan dan ibu tirinya karena cacat pasca kecelakaan maut yang dialaminya saat berusia 21 tahun. Mereka hanya menyediakan rumah dan uang seadanya untuk membiayai kehidupannya saat itu. Selama seumur hidupnya Brian tinggal di pedesaan ini, tak pernah sekalipun Adnan mengunjunginya.
Namun, walau fisiknya memiliki keterbatasan, Brian tak tinggal diam. Ia mencairkan semua uang tabungan peninggalan Mamanya untuk membeli satu hektar lahan pertanian, yang sampai sekarang sudah jadi berpuluh-puluh hektar, bahkan sudah hampir setara dengan setengah lahan tanah seluruh pedesaan itu.
Brian jadi pria sukses yang kaya raya. Ia punya pabrik pengolahan tehnya sendiri dengan kualitas premium yang selalu diekspor ke luar negeri, semakin menambah deretan angka kekayaannya.
Maka dari itu, saat sudah sembuh dari segala keterbatasan fisiknya itu, Brian tetap saja bersandiwara dengan menjadi saudagar cacat, demi membuat situasi tetap terkendali. Sebab, jika ibu tirinya tahu Brian sudah sehat dan bisa beraktivitas normal, dia pasti akan mencelakai Brian untuk yang kesekian kalinya.
***
Malam hari terasa begitu sunyi, walaupun beberapa kali suara jangkrik dan cicak itu memecah sedikit keheningan.
"Maaf, mas. Kalo boleh aku tanya, hutang kamu emangnya berapa?" tanya Thena takut-takut.
Di sela-sela kegiatannya mengoles salep di permukaan luka di punggung Bimo, Thena berusaha mencari tahu dengan hati-hati.
Untuk sejenak, Bimo terdiam. Ia membuat Thena jadi menyesali pertanyaannya. Thena jadi berpikir bahwa Bimo merasa tersinggung dan akan marah padanya.
"Maaf, mas. Aku kelewatan ya?" ulang Thena.
Bimo menggeleng pelan.
"Enggak kok. Kalo kamu emang pengen tahu, hutang aku itu jumlahnya 3 milyar. Itu udah total sama bunganya," ucap Bimo memaparkan.
Suaranya terdengar tenang, membuat Thena sedikit merasa lega sekaligus terperangah.
Apa ini masih mimpi? tanya Thena di dalam hatinya.
"Oh... begitu," sahut Thena sekenanya.
Ia bingung harus menjawab apa. Ia tidak punya uang sepeserpun untuk bisa membantu melunasi hutang sebanyak itu. Harta satu-satunya hanya sebuah kalung emas, dan kalung itu pun sudah diambil oleh Bimo secara paksa.
"Kenapa cuma diam? Kamu pasti bingung ya? Maaf karena aku membuatmu terbebani, tapi kamu tenang aja Thena, secepatnya aku akan melunasi hutang itu. Besok atau mungkin lusa," kata Bimo.
Thena mengerutkan keningnya, merasa bingung dengan pernyataan Bimo. Walaupun beberapa hari ini ia dan Bimo bisa saling bicara dengan intens, tapi tetap saja Thena merasa ragu untuk menanyakan maksud dari ucapan pria itu.
"Aku masih punya benda berharga yang bisa dijual dan harganya bisa saja melebihi hutangku itu. Hutangku lunas dan mungkin, setelah aku menjual barang itu aku bisa hidup enak dari hasil penjualannya." Suara Bimo menjelaskan, seolah bisa membaca isi pikiran Thena.
Bimo terkekeh, seolah-olah apa yang diucapkannya itu adalah hal yang sangat menyenangkan dan benar-benar akan terjadi.
"B-Barang apa emangnya? T-Terus kerjaan kamu di rumah orang kaya itu gimana?" tanya Thena dengan terbata.
Terlalu sering dikasari oleh Bimo, membuat Thena tetap merasa takut luar biasa sekalipun pria itu sudah sedikit berbeda dari sebelum-sebelumnya.
"Ada. Pokoknya itu barang rahasia yang harganya bisa mahal banget. Mungkin 4-5 Milyar juga laku. Selain kerja sama dia, aku udah janji sama tuan Brian untuk menjual barang itu sebagai anggunan atas hutang-hutangku," ungkapnya masih penuh misteri. "Jadi, setelah hutangnya lunas, aku bisa punya kerjaan tetap."
Seingat Thena, Bimo tidak punya barang berharga apapun, tapi entahlah. Mungkin saja Bimo diam-diam menyimpan barang berharga itu tanpa sepengetahuannya. Toh seharusnya Thena juga bersyukur, karena akhirnya Bimo akan punya pekerjaan.
"Syukurlah kalo emang udah ketemu jalan keluarnya, semoga masalahnya cepet selesai," seru Thena menimpali.
"Pasti, Thena. Masalah hutang ini bakalan selesai kok dalam waktu secepatnya, kita tunggu aja." Bimo terkekeh senang. Ia bergitu optimis sekali dengan ucapannya itu.
"Semoga kamu bahagia, mas. Semoga nanti kamu bisa hidup tenang tanpa berurusan sama tuan Brian kalo hutang kamu udah lunas."
"Pasti, Thena. Hutang-hutangku itu bakal lunas kok. Aku pernah nunjukin barangnya sama tuan Brian, dan dia langsung setuju. Dia akan mengambil barangnya dalam beberapa hari lagi, mungkin kamu harus mempersiapkan diri."
"Mempersiapkan diri buat apa?"
"Buat ngerayain pencapaian aku lah. Aku bakal terbebas dari hutang, dan mungkin aja sisa uang penjualannya bakalan bikin aku kaya raya."
Thena tersenyum tipis. "Aku turut bahagia," ungkapnya, walaupun tidak tahu kebenaran dari ucapan Bimo.
"Memang harus begitu sepantasnya. Kamu harus ikut bahagia, Thena. Karena setelah barang itu aku jual, hidupku bakal lebih bahagia. Barang itu cuma beban aja," paparnya dengan terkekeh. "Kamu cinta aku gak?" lanjut Bimo bertanya.
Thena gelagapan, tak menyangka jika ternyata Bimo akan menanyakan hal itu. Namun, bukankah sudah tampak sangat jelas sekali? dari awal pernikahan, kan hanya Thena yang jatuh cinta.
"I-Iya, aku cinta kamu, mas." Suara Thena seraya menunduk malu.
Bimo terkekeh lalu perlahan membalikkan tubuhnya agar menghadap ke arah Thena. Untuk sesaat, Bimo mengagumi keindahan wajah cantik Thena.
"Darah campuran pribumi dan Belanda memang selalu luar biasa, kamu cantik banget Thena. Aku ke mana aja, ya? kenapa baru sadar sekarang kalo istriku itu cantik luarbiasa," pujinya dengan tatapan mata yang meneliti tiap inci di wajah Thena.
Rona merah itu langsung bersemu di pipi Thena. Dia malu dan gugup karena pertama kali dipuji cantik oleh Bimo.
Perlahan, Bimo mengulurkan tangannya lalu meraih dagu Thena. Diusapnya bibir ranum berwarna merah muda milik Thena, lalu ditatapnya dengan penuh minat.
Selain karena saat ini ia mulai bergairah, Bimo juga ingin membalas dendam pada Brian. Sebab ia sudah dicambuk hanya karena mencium Thena, jadi karena sudah terlanjur terluka, ia pun berpikir untuk sekalian saja menyetubuhi Thena.
"Boleh, kan?" tanya Bimo meminta izin. Kemudian, ia mengalihkan tatapannya pada mata Thena.
Thena tidak buta. Ia dengan pasti melihat ada gairah yang berkobar dimata Bimo.
"I-Iya," jawab Thena gugup.
Merasa sudah mengantongi izin, tanpa ragu Bimo pun mulai menipiskan jarak di antara dirinya dan Thena. Hembusan napas hangat itu menerpa wajah mereka masing-masing. Kemudian, Bimo memiringkan kepalanya dan-
Cup
Bibir mereka menempel.
Lumatan-lumatan kecil Bimo lakukan untuk Thena, yang pelan tapi pasti berubah jadi pagutan yang rakus dan menuntut lebih.
Walaupun sudah beberapa hari berlalu. Luka-luka pria itu yang belum mengering dan masih membengkak merah, tanda bahwa peradangan masih terjadi di sana, membuat siapapun juga tahu bahwa pria itu hanya memaksakan dirinya.
Namun, sepertinya Bimo tidak peduli. Ia tetap dengan stamina yang prima, mulai menggauli Thena. Napasnya terengah-engah, bahkan terkadang melenguh ketika melakukan kegiatan panasnya itu.
Sementara itu, Thena hanya diam. Ia tidak bersuara sama sekali, selain hanya mencengkeram sprei lusuh itu dengan sekuat tenaga dengan mata yang terpejam.
"Buka matamu, Thena...." Bimo mendesah, membuat Thena semakin mengeratkan cengkraman tangannya pada sprei lusuh itu.
Thena tahu betul bahwa dirinya bukanlah seorang perawan, tapi tetap saja ia masih belum terbiasa. Semuanya terlalu aneh dan... kurang nyaman.
"Buka matamu, Thena. Jangan buat aku ngerasa lagi bersetubuh dengan patung," desis Bimo sedikit menunjukkan ketidak sukaannya dengan sikap Thena.
Bimo merasa tidak dihargai.
Karena takut Bimo akan murka, maka Thena pun perlahan membuka matanya untuk sekadar mendapati pemandangan yang membuat wajahnya jadi bersemu merah.
Di sana, wajah begitu dekat dengannya, sampai-sampai hembusan napas hangat pria itu menerpa wajahnya.
"Nah, gitu dong," katanya. Kemudian, kembali menggerakkan tubuhnya di atas Thena.
Thena memperhatikan Bimo dalam diam, dan sesekali harus mengigit bibir bawahnya, menahan suaranya agar tidak keluar begitu saja.
Bimo terengah-engah, begitu juga dengan dirinya. Menatap Bimo dengan jarak sedekat ini membuat jantung Thena berdebar kencang. Thena sangat mencintai Bimo, ia bahkan lupa berapa puluh kali dirinya terpesona pada pria itu.
Bimo tampan, dengan kulit sawo matang dan bibir yang tipis. Hidung bangirnya hampir menyamai hidung Thena, membuat Thena berpikir kalau saja anak mereka sempat lahir, apa dia akan terlihat sangat sempurna?
Ah... andai Thena tidak pernah keguguran.
"Thena!" teriak Bimo membuat Thena tersentak dan segera sadar dari lamunannya.
Bimo menarik dirinya menjauh dari Thena, lalu terkulai lemas di sisi kiri Thena dengan dada yang naik turun karena kelelahan.
Malam mereka berakhir.
"Cantik," puji Bimo pada Thena yang terlihat sedang mematut dirinya di depan cermin yang menempel di lemari lapuknya. Thena yang sedang membubuhkan lipstik di bibirnya itu pun seketika jadi menunduk malu. Ini pertama kalinya Bimo memuji kecantikannya, dan ini membuat Thena menjadi malu sekaligus senang. "Itu baju dari Mamah?" tanya Bimo dengan wajah yang terlihat lebih sumringah dari sebelum-sebelumnya. "Iya, kemarin Mamah ngasih ke aku. Kenapa? Gak cocok ya dipake sama aku?" tanya Thena yang tiba-tiba merasa tidak percaya diri. "Aku gak bilang gitu, kenapa jadi gak pede, hm? kamu makin cantik pake baju itu, cocok banget." Thena semakin tersipu malu. "Kata Mama, hari ini pak Mandor mau beli barang kamu itu, jadi katanya aku harus dandan cantik. Kamu gak pake baju bagus, mas?" Bimo tersenyum lebar lalu menggeleng kuat. "Aku kayaknya gak perlu pake baju bagus. Duitnya gak cukup buat beli dua baju baru, jadi aku beli buat kamu aja." "Oh... jadi ini pake uang kamu?" "Uang aku sama
Dibawah guyuran hujan, Thena terduduk lemas di paving blok area halaman rumah Briant. Ya, Thena sudah dijual pada seorang pria cacat bernama Briant. Bimo benar-benar ingin menyaingi Tuhan. Berani-beraninya dia membuat alur kehidupan yang menyengsarakan bagi Thena. Dengan hebatnya, pria bajingan itu menjual Thena pada seorang pria cacat yang bahkan tidak sudi membiarkan Thena menginjakkan kaki ke dalam rumahnya. "Tuan, apa tidak sebaiknya dia dibawa masuk? di luar hujan deras, dia bisa sakit," ucap Ismail yang berbicara pada Briant menggunakan suara dan juga gerakan tangannya sebagai bahasa isyarat. (Tidak boleh. Biarkan dia di luar dulu. Dia bekas pria bejat itu, biarkan air hujan membersihkan kotoran di seluruh tubuhnya) , kata Briant menggunakan bahasa isyarat. Gerakan tangannya begitu penuh penekanan, tanda bahwa pria itu sedang dipenuhi oleh amarah. "Tapi, tuan. Dia bisa sakit. Lagipula si Bimo itu sudah berkata bahwa dia tidak menyentuh istrinya sama sekali," ungkap Ismail.
Uang itu memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang.Kebahagiaan memang tidak bisa dibeli oleh uang, tapi jika tidak punya uang, maka kamu tidak bisa apa-apa.Itulah mengapa aku benci dengan fakta bahwa hidup jangan bergantung pada uang.-Gea Athena***"Gimana cara mandinya?" tanya Thena polos Untuk sejenak, Surti mengerjapkan matanya beberapa kali, merasa sedikit terpana dengan pertanyaan Thena. "O-Oh... mandinya? I-Ini pake ini," ucap Surti seraya menunjuk ke arah shower. "Puter kerannya yang ini, nanti airnya bakalan keluar." lanjutnya. "Terus, itu yang kayak bak mandi itu buat apa? apa gak bisa diisi terus mandinya pake gayung?" "Aduh gusti," seru Surti menepuk keningnya tak habis pikir. "Padahal penampilan Nona teh udah kayak Walanda, tapi kenapa harus hidup susah. Bener kata pak Mandor, selama ini Nona teh hidupnya salah tempat." Thena tidak menjawab. Ia memilih beranjak masuk ke dalam Shower Enclosure, lalu melirik ke arah Surti, seolah-olah mengatakan 'Aku ingin ma
"Sudah, sudah. Tolong hentikan tangisanmu itu Nona Thena. Hidup dengan tuanku gak seburuk itu," desis Ismail jengkel. "Nona nangis karena fisik tuan Briant yang cacat, iya? Itu gak usah dipikirin. Nona cuma jadi istri tuan Briant sampe tuan Briant selesai sama tujuannya, toh selama pernikahan juga tuan Briant gak akan nyentuh Nona." Thena tak menjawab. Ia tetap terisak-isak pedih di atas tempat tidurnya. "Buat apa menangis seperti itu? Seharusnya malah Nona bahagia karena dengan menikahi tuanku, Nona bakal hidup bagaikan ratu selagi Nona jadi seorang penurut. Nona mau apa? uang banyak? Mobil? baju bagus? Atau sebidang tanah? tuan Briant bisa ngasih itu semua buat Nona kalo Nona mau." Namun, Thena masih saja diam, membuat Ismail jadi gemas sendiri. "Seharusnya Nona tahu betul, kalo gak menjawab ucapan orang yang usianya lebih tua itu sama dengan gak sopan," sarkasmenya. Seketika, Thena pun menghentikan isak tangisnya. "Maaf, pak mandor," sesalnya. Beberapa kali, ia menyeka air mat
Dengan hati-hati, Ismail mendorong kursi roda Brian untuk masuk ke dalan kamar mandi lalu kemudian ia pun membiarkan Brian di dalam kubikel shower.(Keluarlah. Aku bisa sendiri,) ucap Brian dengan bahasa isyarat."Baik tuan," sahut Ismail dengan ucapan verbal, lalu kemudian mengangguk untuk memberikan tanda pada Brian bahwa dia mengiyakan perintah majikannya itu.Tanpa menunggu lama, Ismail pun melenggang pergi keluar dari kamar mandi dan menutup kembali pintunya dengan rapat-rapat.Tak ada yang perlu Ismail khawatirkan karena kamar mandi itu sudah dirancang khusus untuk menyesuaikan dengan kondisi fisik Brian yang tak sempurna.Sementara itu, sepeninggalnya Ismail, Brian perlahan menggerakan dagunya dan membuatnya kembali ke posisi normalnya.Perlahan, Brian memijat rahangnya yang terasa pegal karena harus mempertahankan posisi bengkoknya untuk waktu yang lama."Aku harap semua sandiwara melelahkan ini bisa segera berak
Sudah hampir sepekan Athena terkurung di dalam kamar ini, kamar mewah bernuansa putih di karpet lembutnya, di ranjang, juga di semua furniture-nya.Kamar ini dibuat dengan ukuran yang sangat luas dan bahkan melebihi ukuran rumah bedeng yang ditinggali oleh Athena dengan Bima. Namun, sekaligus kemewahan yang ia dapatkan di rumah mewah milik Brian ini, tetap saja Athena tak merasa bahagia.Surti setengah jam yang lalu masuk, membawa nampan makanan, meletak- kannya di meja. Lalu tanpa berkata apa-apa pergi dan mengunci kembali pintu itu dari luar.Dan selama setengah jam yang panjang itu pula, Athena mencoba setengah mati untuk tidak melirik pada nampan yang sangat meng- goda itu. Perutnya keroncongan, dan dia merasa haus. Dia belum makan dari siang karena berpikir untuk membuat dirinya kelaparan. Setidaknya, ia lebih memilih mati karena kelaparan daripada harus dijadian pelacur atau dijual ke pria hidung belang.Aroma makanan itu terasa begitu menggoda,
Athena dikurung di kamarnya dengan pintu yang sengaja dikunci dari luar oleh Surti. Dua orang pengawal bahkan berjaga di sana, tak membiarkan satu celah pun bisa membuat Athena kembali kabur."Di mana dia? Terus dokternya bagaimana?" tanya Ismail pada Surti dengan wajah dinginnya."Di dalam kamar, sudah di amankan. Bu dokter udah aku bayar. Udah aku bebaskan dan dibiarkan pulang," jawab Surti memaparkan.Ismail meremas kantong obat yang dibawanya itu, lalu dengan emosi dia masuk dengan kasar ke kamar Athena untuk sekadar melayangkan tatapan tajamnya pada Athena yang terduduk menangis di tepi tempat tidurnya."Kenapa kamu berbuat begitu, Nona? Padahal hanya tinggal duduk manis dan diam merasakan semua kemewahan ini saja, tapi tetap membantah? Ckckck... apa kemewahan ini masih kurang?" cibir Ismail.Athena diam.Ia tak berani menjawab, sehingga yang dilakukannya saat ini hanya menangis terisak-isak, tak mampu mengeluarkan barang sa
Jelas satu kampung gempar. Mereka membicarakan Bima yang tiba-tiba bisa beli rumah di kota, dan bisa beli berbagai macam barang elektronik yang bahkan sebelumnya sangat mustahil bisa dibeli oleh Bima. Naasnya, kabar ini juga sampai ke telinga Athena dengan Ismail yang lebih dulu memulai pembicaraan. "Bima menikah bulan depan dengan calonnya yang bernama Ayu, Nona Athena pun harus segera mempersiapkan diri. Nona akan segera menikah dengan tuan Brian," kata Ismail tanpa tedeng aling-aling. Tidakkah Ismail tahu bahwa saat ini hati Athena sedang berdarah-darah? Suaminya akan menikah lagi dengan perempuan lain setelah dia menjualnya! Mata Athena sudah berlinangan air mata. Ia ingin sekali menyalahkan takdir hidupnya. Kenapa? Kenapa Athena harus hidup semenyengsarakan ini?! "Jangan bersedih lagi hanya untuk mantan suamimu, Nona Athena. Dia sudah tidak berhak mengusik ketenangan hidup Nona, walau sekedar dalam pikiran." Suara Ismail kembali
Hari Senin pagi, Athena begitu semangat melangkahkan kakinya memasuki lift VIP khusus para eksekutif perusahaan.Hari ini sangat menyenangkan bagi Athena karena ia berangkat bekerja diantar oleh Reza. Pria itu bahkan datang pagi-pagi sekali untuk sekadar menjemput Athena. Bahkan,Reza begitu telaten menyuapi Valerie, membuat Athena merasa benar-benar punya pasangan yang cocok untuk dirinya dan ayah yang baik untuk anaknya."Morning, Bu Aleah. Anda sepertinya sangat ceria hari ini, tidak seperti biasanya." Suara Brian menyapa.Sontak, saat itu Athena menoleh ke belakang, untuk sekadar mendapati Brian yang tersenyum tipis ke arahnya.Ah, sial memang. Saking larutnya dalam rasa senang, Athena bahkan sampai tidak melihat keberadaan Brian.“O-Oh… morning pak Brian,” sahut Athena sedikit terbata. Ia berdeham sejenak sebelum akhirnya ia menetralkan raut wajahnya kembali menjadi terlihat tanpa ekspresi."Diantar oleh suami, bu?" ta
You Hate When People See You Cry Because You Want To Be That Strong Girl. At The Same Time, Though, You Hate How Nobody Notices How Torn Apart And Broken You Are.(Anonymous)***“Baba, pon unyi.” (Papa, handponenya bunyi.) Suara menggemaskan itu terdengar, disusul dengan langkah kecil Valerie yang datang menghampiri Andreas dengan sebuah ponsel yang digenggam erat oleh tangan mungilnya.Andreas dan Athena yang saat itu sedang duduk di ruang tamu membicarakan soal bisnis pun akhirnya menoleh ke arah Valerie yang berjalan sedikit limbung ke arah mereka.“Oh, iya beneran bunyi. Makasih ya?” Andreas menyahut senang seraya meraih tubuh mungil Valerie untuk duduk dipangkuannya.Ia mengambil ponselnya dan menerima panggilan itu untuk beberapa saat, sebelum akhirnya padangdan matanya tertuju ke arah Athena.“Ada apa?” tanya Athena.Andreas tak langsung menjawab. Ia menutup lubang spiker
"Kak Andre," panggil Athena ragu. Ia bersandar pada daun pintu ruang praktek Andreas di klinik pria itu.“Ada apa?” sahut Andreas bertanya, setelah ia selesai membungkus semua obat-obatan racikannya.“Eng… itu… aku mau tanya… apa dokter Reza… suka ngerayain ulang tahun?” tanya Athena dengan suara yang sedikit terbata-bata.Mendengar itu, Andreas pun seketika mengulum senyumnya dan berbalik menatap Athena dengan kedua alis yang sengaja naikkan sebelah, berniat menggoda Athena.“Apa ini artinya kamu mau memberikan lampu hijau pada penantian Reza selama ini?”Athena menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia tiba-tiba saja merasa malu dan canggung kalau harus mengakui niatannya.“Eng.. iya, aku pikir kata-kata kakak juga ada benernya. Mulai dari hari ini aku mau buka hati aku buat dokter Reza. Apa kakak tahu di mana dokter Reza biasanya ngerayain ulang tahun?”
“Minum obat anda, tuan.” Suara Ismail menegur Brian yang masih saja keras kepala tak mau meminum obatnya sama sekali.Brian masih tetap memilih terus berbaring lemah di atas tempat tidurnya, sambil terus mendiamkan demam menggorogoti tubuhnya lebih lama lagi.“Berhenti mengoceh, Ismail. Suaramu membuat kepalaku makin sakit,” protes Brian seraya menarik selimutnya sampai menutupi seluruh kepalanya.“Tuan, kan, harus mengurus perusahaan. Belum lagi proyek bersama perusahaan Hilton. Kalau anda masih terbaring lemah seperti ini, bu Aleah Dominique pasti akan marah besar. Anda tahu sendiri bagaimana murkanya beliau seperti apa?"Brian diam. Ia enggan menjawab ucapan Ismail dan memilih tetap memejamkan matanya.Pada akhirnya Ismail hanya bisa menghela napas berat dan mengembalikan botol pil obat anti depresan juga obat demam Brian itu ke dalam laci nakas."Ah, ternyata tuan sudah tak punya semangan hidup. Padahal saya
"Brian Atmaja bercerai," ucap Andreas membaca headline dari berita online yang ia baca di ponselnya. “Ckckck... jaman sekarang berita perceraian orang-orang kaya lebih banyak dimuat di media berita, darpada informasi saham atau apapun yang lebih pending,”lanjutnya berkomentar.Sementara Athena tampak termenung mendengar kabar itu. Entah ia harus bereaksi seperti apa. Sebab, untuk sekadar bergembira pun ia tak mampu. Hatinya sudah terlanjur kosong untuk sekadar memberikan reaksi soal Brian.“Kamu gak mau ketawa gitu?” tanya Andreas seraya menoleh ke arah Athena.Athena menggeleng cepat.“Gak deh makasih. Gak peduli juga hidup mereka berantakan atau apa pun juga, kecuali kalo mereka sengsara karena perbuatanku, barulah aku senang." Sudut bibir Athena berkedut, menyunggungkan senyum miring untuk beberapa saat.Andreas terbahak, lalu mengulurkan tangannya untuk sekadar mengusap gemas puncak kepala Athena.&ldq
Tak ada banyak yang aku harapkan.Cukup dengan melihatmu setiap pagi menyajikan senyum dan ucapan selamat pagi tiap kali aku bangun tidur pun, aku sudah bahagia.Ah, andai semua harap tentangmu bisa jadi nyata, Aleah.(Reza Zanuardi)***"Atas nama ibu Aleah Dominique?" suara seorang kurir langsung menyapa begitu Athena membuka pintu mansion Andreas.Bukannya langsung menjawab, Athena justru mengerutkan keningnya bingung dengan segala tanya di kepala-Dia tahu alamat ini dari mana? batin Athena.“Ya, saya sendiri. Ada keperluan apa?”tanya Athena akhirnya, alih-alih menanyakan pertanyaan yang sebelumnya sempat terlintas di kepalanya.“Oh, ini ada kiriman bunga dan kotak hadiah untuk ibu Aleah Dominique atas nama pengirim Reza Zanuardi,” jawabnya ringan seraya mengulurkan rangkaian bungan mawar-bunga baby birth dan tulip ungu itu kepada Athena.Sedangkan Athena sudah
"Aku gak mau pisah, please...." Mona bersimpuh di kaki Brian. "Aku bisa dihukum mati kalo orang tuaku tahu aku hamil sama orang lain."Surat gugatan cerai itu sudah Brian berikan pada Mona. Sudah ia tanda tangani juga, dan hanya tinggal menunggu Mona untuk menanda tanganinya juga, tapi perempuan itu malah membuat segalanya jadi terhambat."Jangan mempersulit keadaan, Mona. Tanda tangani saja," tukas Brian yang tak memperdulikan bagaimana Mona begitu memohon dengan sungguh-sungguh kepadanya.Perempuan itu bahkan memeluk erat kaki Brian dan tak melepaskannya sekalipun sudah beberapa kali Brian melepaskan tautan tangan Mona dari sana."Aku hamil Brian, jangan ceraikan aku. Kalo kita cerai aku harus gimana? Anakku pasti akan hidup tanpa ayah, Brian. Aku mohon... jangan ceraikan aku."Dengan wajah yang berurai air mata, Mona mendongak menatap Brian dengan tatapan memelas. Ia memohon belas kasihan Brian.Helaan napas berat kemudian terdengar dari
"Ngapain?" ketus Athena saat mendapati Reza dan sepeda motornya yang sudah terparkir di depan pintu keluar lobi kantor.Namun, seolah tak terpengaruh dengan wajah dingin dan ucapan Athena yang ketus, Reza justru memamerkan senyum manisnya pada Athena.“Bukan apa-apa sih. Tadi,aku isi bensinnya full tank. Jok belakang juga kosong,kayaknya seru kalo bonceng kamu,” ujar Reza dengan senyuman manis yang tak pernah sekalipun luntur dari wajahnya, menciptakan dua lesung pipit yang terlihat tak kalah manis menghiasi kedua pipinya.Sial memang.“Saya nunggu kakak saya datang jemput,” sahut Athena menolak secara halus. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain,menghindari untuk melihat betapa senyuman manis Reza yang benar-benar mengganggunya.“Andreas ada jadwal OP di rumah sakit, jadi gak mungkin jemput.”“Nanti pasti sebentar lagi pak Lukman bakal jemput ke sini,” kata Athena masih terus mengutarakan
"Tuan tadi kelihatan dingin pada nona Aleah, kenapa?" tanya Ismail begitu ia selesai membantu Brian untuk merebahkan dirinya ke atas tenpat tidur."Karena dia bukan Athena," jawab Brian ringan. "Dia mirip Athena, makanya aku ingin terus melihatnya. Tapi, setelah Athena ditemukan, aku gak lagi mau melihat Aleah. Aku sudah punya tempat tujuan ke mana aku harus melepas rinduku pada Athena," lanjutnya.Mendengar jawaban itu, Ismail pun mengangguk-nganggukan kepalanya."Silakan minum obatnya," ucap Ismal seraya mengulurkan obat anti depresan untuk Brian.Ya, depressi Brian kembali parah setelah ia sangat terpukul dengan penemuan mayat Athena dan Valerie."Aku gak mau minum obat." Brian mendorong pelan uluran tangan Ismail, menghalaunya agar tak memberikan obat itu lagi."Tapi, sakit tuan bisa makin parah kalau gak minum obat.""Aku ingin mati, Ismail... aku cuma ingin pergi," racau Brian membuat Ismail seketika menghembuskan napas be