Thena tak pernah berani membayangkan kebahagiaan dalam kehidupannya yang menyedihkan ini, tapi kesengsaraan yang tak berujung bukankah terlalu berlebihan? Seolah kehidupan yang menyengsarakan saja tidak cukup, Tuhan justru membuat Thena harus menghadapi kesedihan bertubi-tubi seperti ini.
"Antarkan nona ini pulang dulu," kata Ismail seraya menoleh ke arah salah satu pria tinggi besar yang sebelumnya menjemput Thena dan Bimo.
"Baik, pak. Ayo nona ikuti aku," sahut pria asing itu lalu kemudian meraih bahu Thena dan menggiringnya pergi.
Namun Thena menepisnya. Ia menatap penuh protes ke arah Bimo-
"Mas, ini ada apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba kayak gini?"
Helaan napas berat terdengar dari Bimo. Ia kemudian tersenyum hangat dan menghampiri Thena, seraya mengulurkan tangannya untuk mengusap lembut puncak kepala Thena.
Ini pertama kalinya Bimo bersikap selembut ini, dan hal ini membuat Thena sempat membeku dan tersihir untuk beberapa saat.
"Kamu pulang duluan aja, ya? Aku ada urusan pekerjaan yang harus dibicarain sama pak Mandor dulu," jawabnya berbohong.
"Pekerjaan apa?" tanya Thena bingung. Sebab, ia bahkan tak mengerti dengan sikap Bimo.
Tadi dia menyeretnya kasar, lalu tiba-tiba jadi bersikap selembut ini. Bimo bahkan mengubah panggilannya jadi 'Aku-kamu'... sangat aneh.
"Eng... ini rahasia, tapi nanti aku ceritain semuanya ke kamu, aku janji. Sekarang kamu pulang duluan aja, ya? Kamu kan katanya kurang sehat."
Bimo merangkul pundak Thena lalu menuntun dan meyakinkannya untuk ikut pria asing itu dan segera pulang.
"Hati-hati di jalan... aku pulang setelah selesai," seru Bimo melambaikan tangannya mengiringi Thena yang pergi di antarkan oleh mobil itu.
Di detik berikutnya, ekspresi wajah Bimo berubah. Ia kembali memasang wajah datar, lalu kemudian bergegas masuk ke dalam rumah.
"Gimana, pak Mandor? Perempuan tadi itu namanya Thena... Thena Salindri. Dia cantik, kulitnya putih, badannya juga bagus. Kalo tuan Brian membelinya, tuan Brian bisa ngejual dia lagi ke tempat pelacuran. Dia pasti bakal laku dengan harga yang lebih mahal dan-"
Bimo tak menyelesaikan kalimatnya, ketika Ismail meliriknya tajam.
"Tuan Brian akan membayar 3 Milyar, sesuai dengan jumlah total hutangmu."
"4... saya mau 4 Milyar, karena saya juga mau diuntungkan. Saya butuh uang untuk kebutuhan hidup dan lainnya," cetus Bimo bernegosiasi.
"Kau ini diberi hati malah minta jantung," desis Ismail marah.
Ia mendelik tajam, lalu kemudian melirik kembali ke arah Brian untuk sekadar menemukan tuannya itu berbicara padanya menggunakan bahasa isyaratnya-
(Berikan saja uang sesuai harga yanng dia minta. Perempuam itu harus jadi miliku, Ismail.)
Mengerti semua kalimat itu, Ismail pun menganggukan kepalanya.
"Oke, Bimo. Karena tuanku menyukai barang yang kau tawarkan, jadi tuanku akan membayar dengan harga yang sesuai dengan yang kau minta. Dalam waktu dekat aku akan menjemputnya, jadi kau pastikan barang yang kau jual itu dalam kondisi bagus, dan kau tidak boleh menyentuhnya ataupun menyetubuhinya. Kalau itu terjadi, kau harus membayar mahal."
"Iya, terserah. Pokoknya jadi 4 Milyar, kan? Deal?" Seru Bimo dan dengan begitu bersemangat mengulurkan tangannya.
"Deal," sahut Ismail seraya menerima uluran tangan itu.
***
Suara derit pintu rumah yang reyot itu membuat Thena berjingkat bangun dari pembaringannya, dan dengan tertatih-tatih segera keluar dari kamarnya.
"Mas... kamu pulang?" suara Thena langsung menyapa begitu ia mendapati Bimo baru saja selesai menutup pintu.
Thena melirik jam dinding yang menunjukan pukul 7 malam, membuatnya jadi semakin mengerutkan kening menatap penuh tanya ke arah Bimo.
"Kamu lama banget di rumah orang kaya itu, sebenarnya ada apa? Pekerjaan apa yang kamu bilang itu? "
"Hei... tenang dulu. Ayo duduk dulu, biar aku jelasin."
Dengan lembut, Bimo meraih tangan Thena dan mengajaknya untuk duduk di sebuah kursi bambu yang ada di salah satu sudut ruangan.
"Dengar, kamu tahu kan aku punya banyak hutang?"
Thena mengangguk.
"Nah, sebenarnya aku menemui tuan Brian dan pak Mandor itu buat bicara soal hutang. Tuan Brian mau aku kerja di rumahnya, makanya aku ajak kamu ke sana karena tuan Brian dan pak Mandor katanya harus tahu siapa aja anggota keluarga yang harus aku tanggung." Bimo memaparkan panjang lebar.
Walaupun awalnya terlihat ragu, tetapi pada akhirnya Thena pun menghilangkan keraguannya.
"Hutangnya berapa? Apa uang yamg selalu kamu ambil dari aku itu masih gak cukup? Apa tetep gak cukup buat ngelunasin hutangnya?"
"Gaji kamu cuma 20 ribu sehari mana cukup? Buat judi aja aku harus pinjem duit ke si Brian itu, sampe akhirnya hutangnya membengkak. Mana mungkin bisa dilunasi kalo ngandelin uang kamu aja," pungkas Bimo sedikit emosi.
Beberapa kali ia menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan untuk sekadar menekan emosinya agar tidak meledak-ledak. Sebab, Bimo takut rencananya hancur jika ia hilang kendali.
Sudah sejauh ini, tidak mungkin ia mengacaukannya hanya karena emosi sesaat.
"Hutangnya berapa juta? Kalo kamu kerja sama tuan Brian, apa hutangnya bakal lunas? Atau-"
Cup
Thena menjeda kalimatnya saat tiba-tiba Bimo mengecup bibirnya singkat.
"Jangan banyak tanya, ya? Aku pusing," ujar Bimo tenang.
Kemudian ia meraih dagu Thena, dan kembali mengecup bibir itu. Hanya kecupan ringan, tapi lambat-laun, kecupan singkat itu mulai berubah jadi ciuman panas.
Bimo menyapu lembut bibir Thena. Melumat dan memagut bibir itu dengan rakus, seperti orang yang begitu kehausan.
"M-Mas," cicit Thena di sela-sela ciuman Bimo padanya.
Kemudian, Thena mengerang saat tangan Bimo menyelusup masuk ke dalam dasternya dan perlahan meraba perutnya.
Tangan Bimo terus meraba, dan mulai bergerak meraba ke atas, sampai-
"Mas!" Thena mengerang dan tersentak saat tangan Bimo menangkup dadanya.
Seolah tak peduli, Bimo tetap menggerayangi tubuh Thena. Ia terus melumat bibir Thena dengan penuh nafsu.
Tubuhnya membara.
"Kita pindah ke kamar," kata Bimo setelah menyudahi ciuman panasnya.
Napas keduanya terengah-engah, sama-sama kehabisan napas.
Thena menarik napas dalam-dalam, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, lalu kemudian menghembuskan napasnya pelan.
"Aku gak bisa, mas. Aku gak bisa berhubungan sama kamu dulu," tolak Thena dengan takut-takut karena khawatir Bimo akan kembali mengamuk dan menyiksanya lagi.
"Kenapa?" tanya Bimo seraya menundukan kepalanya untuk beralih menelusuri leher jenjang Thena dan meninggalkan bekas merah di sana.
"Aku... baru keguguran...." Thena menjawab dengan tersenggal-senggal, disela-sela erangannya karena kegiatan Bimo yang masih menciumi lehernya.
Mendengar itu, Bimo pun seketika mematung di tempatnya untuk beberapa saat, sebelum akhirnya ia tersadar dan menjauhkan dirinya dari Thena.
"O-Oh, iya. Aku lupa, sori."
Bimo tersenyum simpul, lalu bangkit berdiri dan melenggang pergi begitu saja meninggalkan Thena yang termangu di tempatnya.
Sepeninggalnya Bimo, Thena menghembuskan napas kasar dan menyandarkan punggungnya pada dinding rumahnya yang berupa anyaman bambu itu untuk sekadar kembali meratapi nasibnya.
"Harusnya lima bulan kedepan aku bisa melahirkan, tapi Tuhan mala mengambil bayinya," gumam Thena nelangsa.
Dadanya kembali berdenyut, mengingatkan Thena kalau janin yang selama 4 bulan ini dikandungnya sudah tiada dan bahkan tak bisa ia makamkan dengan layak.
Bimo babak belur. Tulang pipinya bengkak dan membiru akibat bogem mentah dari pria kekar dengan badan penuh tato sampai ke area lehernya itu. Sudut bibirnya Bimo lebam dengan sisa-sisa darah yang mengering di sana. Ya, pagi-pagi sekali Bimo dijemput paksa oleh Ismail dan beberapa anak buah Brian dengan alasan yang tidak diketahui oleh Bimo. "Tuan... Ampun, tuan. Saya teh gak bohong. Saya cuma cium Thena, itu pun terpaksa karena saya panik Thena banyak tanya soal apa yang saya lakukan di rumah tuan. Jadi, demi buat dia bungkam, saya cium dia. Sumpah, saya gak nyentuh dia lebih daripada itu." Dengan bertelanjang dada dan kedua tangan yang diikat ke belakang, ia bersimpuh dan menatap penuh permohonan pada pria yang berada di hadapannya. Brian Atmaja. Dengan air wajahnya yang tanpa ekspresi dan tatapan mata yang dingin itu, dia duduk di kursi rodanya. Rahangnya terlihat bengkok ke samping seperti orang yang terkena stroke. Ia mengangkat tangannya dan membuat gerakan yang tidak bisa di
"Cantik," puji Bimo pada Thena yang terlihat sedang mematut dirinya di depan cermin yang menempel di lemari lapuknya. Thena yang sedang membubuhkan lipstik di bibirnya itu pun seketika jadi menunduk malu. Ini pertama kalinya Bimo memuji kecantikannya, dan ini membuat Thena menjadi malu sekaligus senang. "Itu baju dari Mamah?" tanya Bimo dengan wajah yang terlihat lebih sumringah dari sebelum-sebelumnya. "Iya, kemarin Mamah ngasih ke aku. Kenapa? Gak cocok ya dipake sama aku?" tanya Thena yang tiba-tiba merasa tidak percaya diri. "Aku gak bilang gitu, kenapa jadi gak pede, hm? kamu makin cantik pake baju itu, cocok banget." Thena semakin tersipu malu. "Kata Mama, hari ini pak Mandor mau beli barang kamu itu, jadi katanya aku harus dandan cantik. Kamu gak pake baju bagus, mas?" Bimo tersenyum lebar lalu menggeleng kuat. "Aku kayaknya gak perlu pake baju bagus. Duitnya gak cukup buat beli dua baju baru, jadi aku beli buat kamu aja." "Oh... jadi ini pake uang kamu?" "Uang aku sama
Dibawah guyuran hujan, Thena terduduk lemas di paving blok area halaman rumah Briant. Ya, Thena sudah dijual pada seorang pria cacat bernama Briant. Bimo benar-benar ingin menyaingi Tuhan. Berani-beraninya dia membuat alur kehidupan yang menyengsarakan bagi Thena. Dengan hebatnya, pria bajingan itu menjual Thena pada seorang pria cacat yang bahkan tidak sudi membiarkan Thena menginjakkan kaki ke dalam rumahnya. "Tuan, apa tidak sebaiknya dia dibawa masuk? di luar hujan deras, dia bisa sakit," ucap Ismail yang berbicara pada Briant menggunakan suara dan juga gerakan tangannya sebagai bahasa isyarat. (Tidak boleh. Biarkan dia di luar dulu. Dia bekas pria bejat itu, biarkan air hujan membersihkan kotoran di seluruh tubuhnya) , kata Briant menggunakan bahasa isyarat. Gerakan tangannya begitu penuh penekanan, tanda bahwa pria itu sedang dipenuhi oleh amarah. "Tapi, tuan. Dia bisa sakit. Lagipula si Bimo itu sudah berkata bahwa dia tidak menyentuh istrinya sama sekali," ungkap Ismail.
Uang itu memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang.Kebahagiaan memang tidak bisa dibeli oleh uang, tapi jika tidak punya uang, maka kamu tidak bisa apa-apa.Itulah mengapa aku benci dengan fakta bahwa hidup jangan bergantung pada uang.-Gea Athena***"Gimana cara mandinya?" tanya Thena polos Untuk sejenak, Surti mengerjapkan matanya beberapa kali, merasa sedikit terpana dengan pertanyaan Thena. "O-Oh... mandinya? I-Ini pake ini," ucap Surti seraya menunjuk ke arah shower. "Puter kerannya yang ini, nanti airnya bakalan keluar." lanjutnya. "Terus, itu yang kayak bak mandi itu buat apa? apa gak bisa diisi terus mandinya pake gayung?" "Aduh gusti," seru Surti menepuk keningnya tak habis pikir. "Padahal penampilan Nona teh udah kayak Walanda, tapi kenapa harus hidup susah. Bener kata pak Mandor, selama ini Nona teh hidupnya salah tempat." Thena tidak menjawab. Ia memilih beranjak masuk ke dalam Shower Enclosure, lalu melirik ke arah Surti, seolah-olah mengatakan 'Aku ingin ma
"Sudah, sudah. Tolong hentikan tangisanmu itu Nona Thena. Hidup dengan tuanku gak seburuk itu," desis Ismail jengkel. "Nona nangis karena fisik tuan Briant yang cacat, iya? Itu gak usah dipikirin. Nona cuma jadi istri tuan Briant sampe tuan Briant selesai sama tujuannya, toh selama pernikahan juga tuan Briant gak akan nyentuh Nona." Thena tak menjawab. Ia tetap terisak-isak pedih di atas tempat tidurnya. "Buat apa menangis seperti itu? Seharusnya malah Nona bahagia karena dengan menikahi tuanku, Nona bakal hidup bagaikan ratu selagi Nona jadi seorang penurut. Nona mau apa? uang banyak? Mobil? baju bagus? Atau sebidang tanah? tuan Briant bisa ngasih itu semua buat Nona kalo Nona mau." Namun, Thena masih saja diam, membuat Ismail jadi gemas sendiri. "Seharusnya Nona tahu betul, kalo gak menjawab ucapan orang yang usianya lebih tua itu sama dengan gak sopan," sarkasmenya. Seketika, Thena pun menghentikan isak tangisnya. "Maaf, pak mandor," sesalnya. Beberapa kali, ia menyeka air mat
Dengan hati-hati, Ismail mendorong kursi roda Brian untuk masuk ke dalan kamar mandi lalu kemudian ia pun membiarkan Brian di dalam kubikel shower.(Keluarlah. Aku bisa sendiri,) ucap Brian dengan bahasa isyarat."Baik tuan," sahut Ismail dengan ucapan verbal, lalu kemudian mengangguk untuk memberikan tanda pada Brian bahwa dia mengiyakan perintah majikannya itu.Tanpa menunggu lama, Ismail pun melenggang pergi keluar dari kamar mandi dan menutup kembali pintunya dengan rapat-rapat.Tak ada yang perlu Ismail khawatirkan karena kamar mandi itu sudah dirancang khusus untuk menyesuaikan dengan kondisi fisik Brian yang tak sempurna.Sementara itu, sepeninggalnya Ismail, Brian perlahan menggerakan dagunya dan membuatnya kembali ke posisi normalnya.Perlahan, Brian memijat rahangnya yang terasa pegal karena harus mempertahankan posisi bengkoknya untuk waktu yang lama."Aku harap semua sandiwara melelahkan ini bisa segera berak
Sudah hampir sepekan Athena terkurung di dalam kamar ini, kamar mewah bernuansa putih di karpet lembutnya, di ranjang, juga di semua furniture-nya.Kamar ini dibuat dengan ukuran yang sangat luas dan bahkan melebihi ukuran rumah bedeng yang ditinggali oleh Athena dengan Bima. Namun, sekaligus kemewahan yang ia dapatkan di rumah mewah milik Brian ini, tetap saja Athena tak merasa bahagia.Surti setengah jam yang lalu masuk, membawa nampan makanan, meletak- kannya di meja. Lalu tanpa berkata apa-apa pergi dan mengunci kembali pintu itu dari luar.Dan selama setengah jam yang panjang itu pula, Athena mencoba setengah mati untuk tidak melirik pada nampan yang sangat meng- goda itu. Perutnya keroncongan, dan dia merasa haus. Dia belum makan dari siang karena berpikir untuk membuat dirinya kelaparan. Setidaknya, ia lebih memilih mati karena kelaparan daripada harus dijadian pelacur atau dijual ke pria hidung belang.Aroma makanan itu terasa begitu menggoda,
Athena dikurung di kamarnya dengan pintu yang sengaja dikunci dari luar oleh Surti. Dua orang pengawal bahkan berjaga di sana, tak membiarkan satu celah pun bisa membuat Athena kembali kabur."Di mana dia? Terus dokternya bagaimana?" tanya Ismail pada Surti dengan wajah dinginnya."Di dalam kamar, sudah di amankan. Bu dokter udah aku bayar. Udah aku bebaskan dan dibiarkan pulang," jawab Surti memaparkan.Ismail meremas kantong obat yang dibawanya itu, lalu dengan emosi dia masuk dengan kasar ke kamar Athena untuk sekadar melayangkan tatapan tajamnya pada Athena yang terduduk menangis di tepi tempat tidurnya."Kenapa kamu berbuat begitu, Nona? Padahal hanya tinggal duduk manis dan diam merasakan semua kemewahan ini saja, tapi tetap membantah? Ckckck... apa kemewahan ini masih kurang?" cibir Ismail.Athena diam.Ia tak berani menjawab, sehingga yang dilakukannya saat ini hanya menangis terisak-isak, tak mampu mengeluarkan barang sa