Beranda / Pernikahan / Menikahi Pria Lumpuh / 2. Pertemuan Yang Tak diinginkan

Share

2. Pertemuan Yang Tak diinginkan

Thena tak pernah berani membayangkan kebahagiaan dalam kehidupannya yang menyedihkan ini, tapi kesengsaraan yang tak berujung bukankah terlalu berlebihan? Seolah kehidupan yang menyengsarakan saja tidak cukup, Tuhan justru membuat Thena harus menghadapi kesedihan bertubi-tubi seperti ini.

"Antarkan nona ini pulang dulu," kata Ismail seraya menoleh ke arah salah satu pria tinggi besar yang sebelumnya menjemput Thena dan Bimo.

"Baik, pak. Ayo nona ikuti aku," sahut pria asing itu lalu kemudian meraih bahu Thena dan menggiringnya pergi.

Namun Thena menepisnya. Ia menatap penuh protes ke arah Bimo-

"Mas, ini ada apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba kayak gini?"

Helaan napas berat terdengar dari Bimo. Ia kemudian tersenyum hangat dan menghampiri Thena, seraya mengulurkan tangannya untuk mengusap lembut puncak kepala Thena.

Ini pertama kalinya Bimo bersikap selembut ini, dan hal ini membuat Thena sempat membeku dan tersihir untuk beberapa saat.

"Kamu pulang duluan aja, ya? Aku ada urusan pekerjaan yang harus dibicarain sama pak Mandor dulu," jawabnya berbohong.

"Pekerjaan apa?" tanya Thena bingung. Sebab, ia bahkan tak mengerti dengan sikap Bimo.

Tadi dia menyeretnya kasar, lalu tiba-tiba jadi bersikap selembut ini. Bimo bahkan mengubah panggilannya jadi 'Aku-kamu'... sangat aneh.

"Eng... ini rahasia, tapi nanti aku ceritain semuanya ke kamu, aku janji. Sekarang kamu pulang duluan aja, ya? Kamu kan katanya kurang sehat."

Bimo merangkul pundak Thena lalu menuntun dan meyakinkannya untuk ikut pria asing itu dan segera pulang.

"Hati-hati di jalan... aku pulang setelah selesai," seru Bimo melambaikan tangannya mengiringi Thena yang pergi di antarkan oleh mobil itu.

Di detik berikutnya, ekspresi wajah Bimo berubah. Ia kembali memasang wajah datar, lalu kemudian bergegas masuk ke dalam rumah.

"Gimana, pak Mandor? Perempuan tadi itu namanya Thena... Thena Salindri. Dia cantik, kulitnya putih, badannya juga bagus. Kalo tuan Brian membelinya, tuan Brian bisa ngejual dia lagi ke tempat pelacuran. Dia pasti bakal laku dengan harga yang lebih mahal dan-"

Bimo tak menyelesaikan kalimatnya, ketika Ismail meliriknya tajam.

"Tuan Brian akan membayar 3 Milyar, sesuai dengan jumlah total hutangmu."

"4... saya mau 4 Milyar, karena saya juga mau diuntungkan. Saya butuh uang untuk kebutuhan hidup dan lainnya," cetus Bimo bernegosiasi.

"Kau ini diberi hati malah minta jantung," desis Ismail marah.

Ia mendelik tajam, lalu kemudian melirik kembali ke arah Brian untuk sekadar menemukan tuannya itu berbicara padanya menggunakan bahasa isyaratnya-

(Berikan saja uang sesuai harga yanng dia minta. Perempuam itu harus jadi miliku, Ismail.)

Mengerti semua kalimat itu, Ismail pun menganggukan kepalanya.

"Oke, Bimo. Karena tuanku menyukai barang yang kau tawarkan, jadi tuanku akan membayar dengan harga yang sesuai dengan yang kau minta. Dalam waktu dekat aku akan menjemputnya, jadi kau pastikan barang yang kau jual itu dalam kondisi bagus, dan kau tidak boleh menyentuhnya ataupun menyetubuhinya. Kalau itu terjadi, kau harus membayar mahal."

"Iya, terserah. Pokoknya jadi 4 Milyar, kan? Deal?" Seru Bimo dan dengan begitu bersemangat mengulurkan tangannya.

"Deal," sahut Ismail seraya menerima uluran tangan itu.

***

Suara derit pintu rumah yang reyot itu membuat Thena berjingkat bangun dari pembaringannya, dan dengan tertatih-tatih segera keluar dari kamarnya.

"Mas... kamu pulang?" suara Thena langsung menyapa begitu ia mendapati Bimo baru saja selesai menutup pintu.

Thena melirik jam dinding yang menunjukan pukul 7 malam, membuatnya jadi semakin mengerutkan kening menatap penuh tanya ke arah Bimo.

"Kamu lama banget di rumah orang kaya itu, sebenarnya ada apa? Pekerjaan apa yang kamu bilang itu? "

"Hei... tenang dulu. Ayo duduk dulu, biar aku jelasin."

Dengan lembut, Bimo meraih tangan Thena dan mengajaknya untuk duduk di sebuah kursi bambu yang ada di salah satu sudut ruangan.

"Dengar, kamu tahu kan aku punya banyak hutang?"

Thena mengangguk.

"Nah, sebenarnya aku menemui tuan Brian dan pak Mandor itu buat bicara soal hutang. Tuan Brian mau aku kerja di rumahnya, makanya aku ajak kamu ke sana karena tuan Brian dan pak Mandor katanya harus tahu siapa aja anggota keluarga yang harus aku tanggung." Bimo memaparkan panjang lebar.

Walaupun awalnya terlihat ragu, tetapi pada akhirnya Thena pun menghilangkan keraguannya.

"Hutangnya berapa? Apa uang yamg selalu kamu ambil dari aku itu masih gak cukup? Apa tetep gak cukup buat ngelunasin hutangnya?"

"Gaji kamu cuma 20 ribu sehari mana cukup? Buat judi aja aku harus pinjem duit ke si Brian itu, sampe akhirnya hutangnya membengkak. Mana mungkin bisa dilunasi kalo ngandelin uang kamu aja," pungkas Bimo sedikit emosi.

Beberapa kali ia menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan untuk sekadar menekan emosinya agar tidak meledak-ledak. Sebab, Bimo takut rencananya hancur jika ia hilang kendali.

Sudah sejauh ini, tidak mungkin ia mengacaukannya hanya karena emosi sesaat.

"Hutangnya berapa juta? Kalo kamu kerja sama tuan Brian, apa hutangnya bakal lunas? Atau-"

Cup

Thena menjeda kalimatnya saat tiba-tiba Bimo mengecup bibirnya singkat.

"Jangan banyak tanya, ya? Aku pusing," ujar Bimo tenang.

Kemudian ia meraih dagu Thena, dan kembali mengecup bibir itu. Hanya kecupan ringan, tapi lambat-laun, kecupan singkat itu mulai berubah jadi ciuman panas.

Bimo menyapu lembut bibir Thena. Melumat dan memagut bibir itu dengan rakus, seperti orang yang begitu kehausan.

"M-Mas," cicit Thena di sela-sela ciuman Bimo padanya.

Kemudian, Thena mengerang saat tangan Bimo menyelusup masuk ke dalam dasternya dan perlahan meraba perutnya.

Tangan Bimo terus meraba, dan mulai bergerak meraba ke atas, sampai-

"Mas!" Thena mengerang dan tersentak saat tangan Bimo menangkup dadanya.

Seolah tak peduli, Bimo tetap menggerayangi tubuh Thena. Ia terus melumat bibir Thena dengan penuh nafsu.

Tubuhnya membara.

"Kita pindah ke kamar," kata Bimo setelah menyudahi ciuman panasnya.

Napas keduanya terengah-engah, sama-sama kehabisan napas.

Thena menarik napas dalam-dalam, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, lalu kemudian menghembuskan napasnya pelan.

"Aku gak bisa, mas. Aku gak bisa berhubungan sama kamu dulu," tolak Thena dengan takut-takut karena khawatir Bimo akan kembali mengamuk dan menyiksanya lagi.

"Kenapa?" tanya Bimo seraya menundukan kepalanya untuk beralih menelusuri leher jenjang Thena dan meninggalkan bekas merah di sana.

"Aku... baru keguguran...." Thena menjawab dengan tersenggal-senggal, disela-sela erangannya karena kegiatan Bimo yang masih menciumi lehernya.

Mendengar itu, Bimo pun seketika mematung di tempatnya untuk beberapa saat, sebelum akhirnya ia tersadar dan menjauhkan dirinya dari Thena.

"O-Oh, iya. Aku lupa, sori."

Bimo tersenyum simpul, lalu bangkit berdiri dan melenggang pergi begitu saja meninggalkan Thena yang termangu di tempatnya.

Sepeninggalnya Bimo, Thena menghembuskan napas kasar dan menyandarkan punggungnya pada dinding rumahnya yang berupa anyaman bambu itu untuk sekadar kembali meratapi nasibnya.

"Harusnya lima bulan kedepan aku bisa melahirkan, tapi Tuhan mala mengambil bayinya," gumam Thena nelangsa.

Dadanya kembali berdenyut, mengingatkan Thena kalau janin yang selama 4 bulan ini dikandungnya sudah tiada dan bahkan tak bisa ia makamkan dengan layak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status