"Om Zane, look! This one looks suit on you!" teriak Briana sembari menarik lengan Zane dan menunjuk sebuah setelan suit berwarna navy. "Briana, stop it! Kau membuat Om Zane bingung dengan menunjukkan ini dan itu!" omel Amanda dari belakang. Briana menoleh singkat ke arah sang mama dan kembali menarik Zane ke sana ke sini, sementara Hans terlihat sibuk menghitung jumlah patung yang berjajar di depan store. Enam pasang suit sudah berada di kasir, sementara Josh masih terus memaksa Zane untuk menambah belanjaan. Hampir dua jam mencoba satu setelan ke setelan lain, Zane mulai merasa lelah dan jenuh. "Kita ke salon saja, sementara ini dulu yang kita beli, Josh!" pinta Zane memelas, ia sudah tak sanggup mencoba baju demi baju yang dipilih Amanda dan Briana. Josh melirik Amanda dan Briana secara bergantian, ketiganya lantas mengangguk setuju setelah berpikir cukup lama. Sebenarnya, Zane tak mau belanja dan bersenang-senang di saat Belle masih dalam keadaan sakit. Namun, Ronald memaksa
"Selamat datang, Pak Zanendra! Senang menyambut kedatangan anda di Janata Group!" Seorang pria gagah yang mengenakan setelan jas mahal, tampan dan berusia sekitar 30 tahunan, menyambut kedatangan Zane yang baru turun dari mobil. Mereka seusia, tapi sepertinya pria itu jauh lebih berpengalaman dibanding Zane. "Saya akan menjadi sekretaris anda mulai hari ini. Nama saya Brion Nawangsa. Anda bisa memanggilnya saya dengan nama Brion atau Rio." Kening Zane mengernyit tanpa sengaja. Brion? Sekilas seperti nama jenis mobil yang familiar di kalangan masyarakat. "Saya akan memanggilmu Rio saja. Boleh, kan?" "Tentu saja boleh, Pak!" Pria seusia Zane tersebut membungkuk dengan hormat, senyumannya menawan dan sanggup membuat siapapun terpana. "Mari ikut dengan saya, saya akan memperkenalkan anda pada lingkungan di perusahan Janata." Dengan gayanya yang khas dan elok dipandang, Rio menjelaskan satu persatu divisi yang berada di perusahaan Janata Group. Penjelasannya sangat detail dan mudah d
Kembali ke kantor dengan mood yang berbeda, rupanya cukup mempengaruhi kinerja Zane hingga sore. Tak ada satupun penjelasan Rio yang masuk ke otaknya, padahal sebelumnya Zane sangat mudah memahami apapun. "Apa anda baik-baik saja, Pak?" tanya Rio cemas ketika dilihatnya Zane mulai mengurut keningnya yang berdenyut pening. Zane menarik napas dalam-dalam hingga memenuhi rongga paru-parunya, mencoba menetralkan rasa cemburu yang sejak siang tadi menggerogoti hatinya. Belle terus saja meminta Zane menjelaskan di mana Bryan, mengapa pria itu tak mencari Belle, dan bolehkah ia menelepon Bryan sebentar saja? Permintaan tak masuk akal yang mustahil untuk Zane kabulkan. Padahal, bisa saja Zane mengungkapkan mengapa Bryan tak menghubungi Belle karena pria itu sudah jatuh hati pada Zara! Tapi, Zane tak setega itu, ia buka pria jahat yang tak peduli pada perasaan istrinya. "Pak Zane, are you oke?" ulang Rio sembari meletakkan tablet di meja dan mendekat ke tempat bosnya. Sambil menghembuskan
Sesuai dengan apa yang sudah Zane janjikan, ia menemani Belle kontrol ke rumah sakit. Sejak pagi usai sarapan, keduanya telah berangkat menuju rumah sakit ditemani oleh Josh. Tak banyak interaksi di antara sepasang suami istri itu, malah Zane lebih banyak mengobrol dengan Josh terkait urusan pekerjaan. Sedikit banyak, Zane mulai paham pada job desk-nya. Dibantu oleh Rio dan juga Josh, Zane cepat beradaptasi dengan lingkungan barunya di perusahaan Janata. Sampai di rumah sakit, mereka masih harus mengantri dengan beberapa pasien lain yang sudah lebih dulu datang. Sekilas kenangan di masa lalunya, membuat Zane tersenyum getir. Dulu sekali, ia cukup sering duduk dan mengantri seperti ini ketika mengantar nenek Lila kontrol. Dan berada di antara pasien-pasien ini juga mengingatkan Zane pada rutinitasnya beberapa bulan yang lalu ketika kontrol patah tulang di bahunya. "Kurang berapa pasien lagi?" tanya Belle membuyarkan lamunan Zane. "Prakteknya saja belum buka, Belle. Kita mendapat n
"Tapi kamu harus banyak istirahat. Kamu dengar sendiri tadi dokter Fani bilang kalo kamu belum boleh banyak bergerak." Zane mendelik kaget mendengar keinginan istrinya yang tiba-tiba. "Aku bosan di rumah! Lagian aku masih bisa tiduran di ruanganmu. Jangan berlebihan, please.""Aku tidak berlebihan. Mana mungkin aku melarangmu kalo bukan untuk kebaikanmu sendiri!" "Memangnya kenapa kalo aku ikut? Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" Zane melirik Josh yang sejak tadi menyimak perdebatan majikannya. Dengan keki, Josh lantas berpaling dan bergegas pergi. Setelah tangan kanan mertuanya itu naik ke mobil, Zane lantas memijat pelipisnya yang mulai berdenyut pening. "Ya sudah. Kamu boleh ikut asalkan mulai nanti malam aku akan tidur sekamar denganmu!" putus Zane memberi pilihan. Bola mata Belle membeliak, bibirnya menganga dengan terkejut."Kesepakatan macam apa itu!" protesnya tak terima. "Terserah kamu mau menerimanya atau tidak. Tadi kamu dengar sendiri, kan, dokter Fani bilang
"Belle." Zane lekas memotong pertanyaan istrinya yang tak sopan dan terkesan menuduh. Wajah Rio yang sejak tadi ceria, mendadak tegang dan pias. "S-saya--""Rio, maafkan istri saya. Kamu bisa keluar sekarang dan siapkan mobil saya di lobi," tukas Zane tak enak hati. Sebelum Rio melaksanakan perintah bosnya dan berbalik badan, ia sempat melirik Belle yang tengah duduk di kursi roda. Selama ini Rio sangat menjaga image-nya di depan Zane karena ia tak ingin terlihat buruk. Namun, Belle dengan lancarnya malah menyebar aib Rio begitu saja. "Saya permisi, Miss Belle. Sampai bertemu lagi," pamit Rio dengan sopan sebelum kemudian ia berlalu pergi. Setelah cukup lama sekretaris tampan itu menghilang di balik pintu, Zane lantas menghampiri Belle dan berdiri lama di hadapannya. Ekspresi Belle tak banyak berubah, ia tetap memasang wajah dingin tak tersentuh dengan tatapan mata kosong. "Apa sudah lega sekarang?" tanya Zane setelah dirinya cukup tenang. "Lega untuk apa?" "Lega karena kamu
Sejak sekamar lagi, Zane merasa semangatnya setiap pagi selalu penuh terisi. Ia berangkat ke kantor dengan mood yang bagus, pun pekerjaan bisa selesai tepat pada waktunya. Setelah hampir sebulan berjibaku di Perusahaan Janata Group, Zane mulai menguasai job desk-nya. Tak dipungkiri, keharmonisan rumah tangganya berpengaruh banyak pada kinerja Zane yang memuaskan. Sebisa mungkin, Zane meniadakan kesalahan di hadapan istrinya agar hidupnya damai dan tentram. Dan bisa jadi, tidurnya yang berkualitas juga turut andil dalam meningkatkan semua itu. Belle tak lagi mengonsumsi pil pereda nyeri setiap malam, pelukan dan ciuman yang Zane berikan diam-diam sudah cukup membuatnya tenang dan bisa melewati rasa sakit itu tanpa mengonsumsi obat-obatan. Sebenarnya, Zane mulai curiga pada sikap Belle yang selalu tidur lebih awal dan bangun paling akhir. Selama beberapa pekan ini, rutinitas itu terus berlangsung seakan Belle membiarkan Zane melakukan love bombing sebelum ia terlelap. Dan malam ini,
Ciuman pada malam itu seakan mengembalikan sedikit demi sedikit memori yang sempat terhapus diingatan Belle. Sayangnya, ia tak berani menanyakan pada Zane terkait suara-suara ataupun kejadian yang perlahan datang dan pergi. Sudah beberapa bulan ini, sejak keduanya melakukan ciuman itu, Zane mulai semakin berani berbuat nakal. Terkadang, Belle terbangun dengan tangan Zane yang sudah menyelinap di balik bra-nya. Beruntungnya, Zane tak pernah melakukan lebih dari itu. "Bik," panggil Belle ketika ia sedang duduk di ruang tengah usai sarapan. Penyangga di kakinya sudah dilepas, sudah dua bulan berlalu dan Belle kini bisa berpindah dari ranjang ke kursi rodanya tanpa bantuan. Zane membelikan kursi roda canggih dengan navigasi pintar dan sensor hambatan yang akan secara otomatis berhenti jika ada benda atau jalanan yang tidak rata. Belle juga bisa memerintahkan kursi rodanya dengan bantuan suara tanpa harus repot-repot menggerakkan roda dengan tangan. "Ya, Non!" sahut Bik Asih sambil be