Sejak pagi, Josh sudah standby di rumah sakit untuk menjemput majikannya. Ronald tak jadi ikut karena ada meeting yang tak bisa ditunda. Setelah semua urusan administrasi beres, Zane akhirnya diperbolehkan pulang. "Zane, ayo!" panggil Belle ketika suaminya itu masih memandangi jalanan kota dari jendela Rumah Sakit. Sambil mengulas senyuman, Zane mengangguk dan menghampiri Belle yang baru saja menyelesaikan pembayaran. Dengan langkah yang sangat pelan karena lututnya masih terasa sakit, Zane akhirnya tiba di depan istrinya. "Ayo, pulang," lanjut Belle sembari menggenggam tangan kiri Zane dan tersenyum lega. Sekali lagi, Zane mengangguk. Sambil berjalan beriringan, keduanya lantas keluar dari kamar rawat inap yang telah menciptakan banyak kenangan indah. "Oh, aku lupa kabel chargerku!" pekik Belle tertahan ketika ia tiba-tiba teringat pada kabel charger yang tadi belum sempat ia lepaskan dari stop kontak.Dengan terburu-buru, Belle berlari kembali ke kamar sementara Zane memilih un
Tiba di rumah setelah hampir seminggu lebih di rawat di Rumah Sakit tentu membuat Zane sangat bahagia. Namun di sisi lain, ada kekhawatiran di hatinya, ia tak akan lagi bisa menikmati momen kedekatan bersama Belle seperti kemarin selama di Rumah Sakit. "Zane, kemarilah! Ayo, duduk sini!" Belle sudah membelikan seporsi rawon daging untuk makan siang dan duduk di sofa, bersiap untuk menyuapi lelaki yang masih tak bisa menggunakan tangan kanannya itu.Zane yang sedang memperhatikan pemandangan kota dari jendela sontak menoleh, entah mengapa hatinya bersorak setiap kali Belle memperlakukannya dengan istimewa beberapa hari ini. Dengan langkah pelan, Zane menghampiri Belle dan duduk tenang di sampingnya."Aaaaa ..." Belle membuka mulut saat bersiap memasukkan nasi ke mulut Zane.Sambil menahan senyum, Zane menurut dan membiarkan Belle melakukan rutinitas barunya semingguan ini. Zane sudah seperti bayi yang harus dijaga 24 jam dan bergantung pada istrinya."Besok aku sudah mulai ngantor, Z
"Tuan, makan siangnya sudah siap."Zane yang sedang menonton televisi, menoleh lemah pada seorang pelayan yang pada akhirnya datang sejak tadi pagi. Ia tak bisa lagi menolak karena Belle bersikeras tak ingin mereka menjadi lebih dekat hanya karena keadaan Zane yang belum pulih. Usai Zane membahas tentang perasaannya, Belle seolah semakin menghindar dan menjaga jarak. Pada akhirnya Zane harus sadar diri bila perasaan cinta itu tak mungkin bisa tumbuh di hati Belle untuknya."Mau saya suapi, Tuan?""Tidak usah, Bik. Saya bisa sendiri. Sekalian biar terbiasa!" Zane bangkit dari sofa dan beringsut ke meja makan dengan perlahan. Beraneka menu makan siang yang menggugah selera entah mengapa tak membuat Zane merasa lapar. Seharian di rumah tanpa melakukan aktivitas apapun membuatnya jenuh. Namun demi menghargai pelayan yang sudah repot-repot memasak untuknya, akhirnya Zane duduk di meja makan dengan terpaksa. Pelayan paruh baya bernama Bik Asih itu lantas membantu mengambilkan nasi dan be
"Miss? Apa anda mendengarkan saya?"Belle tersentak, pikirannya yang sedari tadi kosong sontak berusaha untuk kembali fokus saat suara Tiana menyadarkannya dari lamunan."Ya, Ti?" Belle menoleh keki pada Sekretarisnya. Tiana nampak menghela napasnya panjang sebelum kemudian kembali mengulang penjelasannya. "Pak Ronald menunggu ada di ruangannya sekarang."Belle sontak berdiri, ia meraih ponselnya dan bergegas menuju ruangan papanya. Seharian ini Belle sangat mencemaskan Zane yang ia tinggalkan berdua dengan pelayan. Meskipun Belle selalu mengontrol jam makan dan minum obat, tetapi rasa khawatir masih saja menderanya. Zane belum bisa makan menggunakan tangan kanan, pun suaminya itu tidak kidal. Pasti sangat sulit bagi Zane untuk melahap makanannya sendiri, Belle menghela napas panjang setiap kali mengingat hal itu. "Masuklah, Belle!" seru Ronald begitu melihat putrinya mengintip dari celah pintu. Sambil mengawasi ponselnya yang tak sekalipun berbunyi, Belle lantas menghempaskan pant
"Kamu denger sendiri, kan, ancaman papa tadi!" dengus Belle jengkel. Mereka berdua kini dalam perjalanan pulang menuju apartemen. Karena kondisi tangannya, Zane belum diijinkan untuk menyetir meskipun tadi ia sempat memaksa pada Belle untuk mengemudikan mobil istrinya itu. "Papa hanya kesepian. Dia pasti punya alasan, Belle.""Tapi nggak harus memaksa dan mengancam seperti itu, kan?""Kalo kamu tidak diancam, memangnya kamu mau dengan rela menuruti kemauan papa? Selama ini papa selalu mengancam karena beliau tahu sifatmu," bela Zane dengan suara lembut. Bibir mungil Belle meloloskan decakan kecil. Ia melirik suaminya dengan sinis dan kembali memprotes, "kenapa kamu malah belain papa, sih?"Sambil mengalihkan tatapannya ke jendela, Zane tersenyum samar. "Karena aku menyayangi papa seperti orang tuaku sendiri." "Heiii, jangan rebut papaku, ya! Aku tahu niat busukmu, Zane!" tukas Belle geram. "Aku cuma punya papa. Kalo aku punya mama, mungkin aku masih rela membagi salah satunya den
Seminggu berlalu, kondisi Zane sudah jauh lebih baik dan sudah mulai terbiasa menggunakan tangan kiri untuk beraktifitas. Bik Asih tetap melayani tuan dan majikannya meskipun ia mulai menyadari jika hubungan mereka terlihat janggal. Bagaimana tidak aneh, mereka menikah tetapi tidur di kamar terpisah. "Tuan, sarapannya sudah siap," panggil Bik Asih pada Zane yang tengah melamun di balkon. Zane lantas menoleh sembari mengulas senyuman. "Terimakasih, Bik. Saya akan makan sebentar lagi,“ ucapnya. Sambil membungkuk hormat, Bik Asih lantas kembali masuk ke dalam untuk melanjutkan pekerjaannya yang lain. Zane tak terlalu sering mengobrol dengan pelayan senior itu, ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan melamun, menonton tivi atau membaca buku. Bila bosan, Zane akan jalan-jalan di sekitar apartemen untuk menghirup udara segar atau sekedar duduk-duduk di taman. Kantor masih memberinya cuti hingga tangannya kembali normal, entahlah Zane sendiri tak paham mengapa kantornya terlalu bany
Dalam hidupnya, Zane selalu dikelilingi oleh wanita-wanita cantik dan mempesona. Mereka seakan pemandangan yang sayang untuk disia-siakan. Ya, hanya sekedar pemandangan bagi Zane yang terlampau takut untuk mendekati kaum hawa. Sejak dulu Zane sadar diri, tak mungkin ada wanita yang mau menerima masa lalunya yang kelam, yang tak jelas siapa orang tuanya. Menikah dengan Belle, tentu saja bagaikan mimpi di siang bolong. Zane seakan mendapat durian runtuh. Wanita pertama yang mengisi hatinya adalah istrinya sendiri. Meskipun Zane tahu semua ini hanyalah sementara, tetapi ia tak menyesal sudah mencintai wanita sehebat Belle. Dan sekarang, ada wanita lain datang untuk menguji imannya. Wanita yang tak kalah cantik dan anggun dari istrinya. Wanita yang terang-terangan melakukan physical touch hingga membuat Zane tak berdaya. Di ruangan yang diakui Amanda sebagai ruang kerjanya, Zane duduk dengan wajah tegang. Berduaan saja di ruangan tertutup seperti ini membuatnya resah, terlebih status
Sunyi, gelap. Tak biasanya apartemen terasa sepi seperti ini. Biasanya saat Belle pulang dari kantor, Zane akan menyambutnya dengan senyuman dari ruang tivi. Tapi, petang ini tak ada siapapun. Bahkan Bik Asih juga tak terlihat sibuk di dapur menyiapkan makan malam. "Bik," panggil Belle sedikit meninggikan suaranya. Ia berjalan menuju dapur di mana kamar Bik Asih terletak di sana. Saat hampir sampai, pintu kamar itu bergerak ke dalam dan muncullah pelayan paruh baya itu. "Ya, Non?" "Tumben Bibik nggak masak? Di mana Zane? Nggak biasanya rumah sesepi ini," cerca Belle dengan pertanyaan, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Anu, Non. Tadi tuan keluar, terus bilang sama saya kalo beliau mau makan di luar. Saya pikir makan bareng Non Belle juga, makanya Bibik nggak masak." "Keluar ke mana?" Belle merogoh ponselnya di dalam tas, jangan-jangan Zane mengirimkan pesan tapi tak sempat terbaca olehnya. Namun, ketika tak ada satupun pesan yang masuk, Belle lantas menoleh pada pintu kam
Selama prosesi pemakaman, Zane lebih banyak terlibat di dalamnya. Ia turut menggotong keranda Shamilah, ia juga turun ke liang kubur untuk mengantarkan ibunya ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Sambil menahan tangis, Zane juga mengadzani jenazah ibunya sebelum akhirnya ia menyampaikan salam perpisahan. "Aku menyayangimu, Ibu. Beristirahatlah dengan tenang, selamat jalan." Hanya kalimat itu yang Zane katakan secara sadar, karena setelahnya ia tak bisa mengingat apapun lagi. Saat kembali membuka mata, ia sudah berada di apartemen dengan beberapa orang mengelilinginya sambil menangis. Belle berulangkali mengucap syukur sambil menciumi suaminya. Amanda dan Rio bahkan saling berpelukan penuh haru tak jauh dari mereka. Ronald, masih dengan mata yang basah, ikut mendekat dan memeluk menantunya. "Stay strong, Nak. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk mendiang Ibumu. Dia pasti sangat bangga padamu, Zane." Setetes air mata lolos kembali dari sudut mata Zane, mengingat ibunya mas
Malam itu juga, Zane meminta bantuan pada Rio untuk mencari tahu di mana ibunya berada.Tak mungkin Zane menghubungi mertuanya karena ia tak ingin mengganggu istirahat Ronald. Dengan mengerahkan segala kemampuannya, Rio akhirnya mendapat nama rumah sakit di mana Shamilah saat ini tengah dirawat. Bersama Belle, Zane akhirnya berangkat menuju rumah sakit tersebut. Ia tak ingin menyia-nyiakan waktu, Zane takut ibunya keburu pergi seperti nenek Lila dulu. Dan benar saja, saat Zane berlari menyusuri lorong tempat Shamilah dirawat, beberapa orang suster nampak keluar dari ruangan itu dengan wajah panik. Rasanya sekujur tubuh Zane memanas detik itu juga, ia sontak berlari semakin cepat dan meringsek masuk ke kamar di mana ibunya berada. Wajah pucat itu, sedang berusaha keras bernapas melalui selang oksigen di hidungnya. Air mata Zane kembali menetes ketika dilihatnya tubuh ibunya mulai kesusahan untuk menghirup oksigen itu. "Ibu..." Zane mendekat tanpa mempedulikan beberapa orang suster y
Teruntuk anakku tersayang, Zanendra Aditya. Saat kamu membuka surat ini, mungkin perasaanmu pada Ibu masih sama. Benci, marah, dan kecewa pasti masih kamu rasakan hingga saat ini. Tapi, melalui surat ini ijinkan Ibu untuk menjelaskan padamu beberapa hal yang tidak sempat Ibu katakan malam itu. Zane, demikian kamu dipanggil oleh mereka yang menyayangimu, nama indah yang berarti hadiah/ berkat dari Tuhan. Semua yang mengenalmu pasti akan menyayangimu, dan Ibu bersyukur akan hal itu. Zane yang kini tumbuh menjadi pria dewasa yang hebat dan penyayang, Ibu bangga pernah menjadi bagian dari masa kecilmu. Anakku, Zanendra anakku, bocah kecil yang selalu menemani Ibu tidur dan memeluk Ibu setiap malam, maafkan Ibu yang telah membuatmu trauma seperti ini. Seandainya bisa memutar kembali waktu, seandainya Ibu masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki semuanya dari awal lagi, mungkin Ibu akan membawamu pergi tanpa harus membunuh pria itu. Agar kita bisa melalui masa berat itu berdua, agar I
Selama proses pemulihan dari operasinya, Zane selalu mendampingi Belle tanpa sekalipun beranjak meninggalkannya. Zane menepati janjinya untuk selalu siaga 24 jam demi memastikan istrinya baik-baik saja. Kembali pulang ke tanah air, Bik Asih menyambut kedatangan majikannya dengan penuh sukacita. Pun Ronald tak bisa menyembunyikan kebahagiaan dan rasa syukurnya ketika mendapati putrinya telah bisa melihat seperti dulu kala. "Papa akan mengadakan acara syukuran dan mengundang anak-anak yayasan untuk datang. Kesembuhanmu patut dirayakan, Belle," ujar Ronald berjanji. Belle hanya menanggapinya dengan senyuman dan anggukan, meskipun penglihatannya belum sepenuhnya jernih melihat objek di depannya, tetapi Belle tetap bersyukur kini ia bisa melihat orang-orang yang ia sayangi. "Di mana Zane? Apa dia belum pulang dari kantor?" Pandangan Ronald mengedar mencari sosok menantunya. "Zane akan segera kembali, Pa. Tadi habis mengantarku pulang, dia langsung ke kantor karena ada meeting penting
"Apa sudah selesai anda menghina saya, Nona?" "Saya terima nikah dan kawinnya Belle Ivy Janata binti Ronald Janata dengan mas kawin tersebut tunai.""Saat kita berpisah nanti, apakah aku masih boleh mengunjungi papamu?""Karena pohon ini akan tetap tumbuh meskipun dia tidak disiram dan tidak dirawat dengan baik. Sama sepertiku." "Bahkan sampah yang tidak berguna, bisa bermanfaat di tangan orang yang tepat. Aku salah satu sampah itu, dan ternyata orang yang tepat bukanlah kamu.""Kalo kamu bisa melakukannya dengan Bryan, lalu kenapa kamu tidak mau melakukannya denganku?" "Itu gajiku bulan ini.""Satu-satunya perempuan yang akan melakukan hubungan badan denganku hanya kamu, Belle!" "Ya sudah, maaf ya, Istriku. Aku janji kalo suatu saat kamu sakit, aku akan jagain kamu 24 jam sampai kamu sembuh." "Zane ..." Kilasan kejadian demi kejadian lewat secara bergantian di ingatan Belle. Semuanya tentang Zane, sejak pertama kali mereka bertemu hingga ingatan terakhirnya sebelum kecelakaan
Seperti yang sudah dinanti-nantikan, akhirnya hari itu tiba jua. Ronald mengantar Belle dan Zane di bandara seperti biasanya. Kali ini, Rio ikut menemani bosnya karena Zane butuh seseorang untuk menemani dan menenangkannya selama Belle dioperasi. Tak banyak halangan yang berarti, bahkan semua berjalan dengan sangat lancar. Cuaca pun seakan merestui sepanjang Zane landing di Singapore dan tiba di hotel. Karena operasi masih dilakukan besok, jadi Zane dan Belle masih punya waktu untuk istirahat. "Aku penasaran, kenapa beberapa hari ini kamu selalu memakai kalung itu?" Zane memperhatikan kalung sederhana berliontin permata kecil di leher istrinya. Dengan penuh perasaan, Belle menyentuh bandul permata pemberian Milah dan tersenyum mengingat momen terakhirnya bersama sang mertua. Sewaktu Belle meminta tolong pada Milah untuk memasangkan kalung itu dilehernya, wanita itu menangis penuh haru dan bahagia. Dia bahkan memeluk dan mencium Belle sebelum akhirnya benar-benar pergi. "Belle, k
"Benarkah?" Belle memekik girang ketika Zane mengabarinya bahwa minggu depan ada donor kornea yang tersedia untuknya. Dengan senyuman lebar, Zane mengangguk dan memeluk istrinya dengan erat. "Benar. Kamu harus banyak-banyak istirahat dan jangan terlalu capek mengurusiku.""Cih, terus siapa yang mau ngurusin kamu kalo bukan aku?" ledek Belle sembari menjulurkan lidah. "Sepertinya ide Amanda tidak terlalu buruk.""Maksudmu!?" Belle mendelik dan mendorong tubuh suaminya yang betah memeluknya sejak tadi. "Coba saja kalo berani!""Kenapa harus takut!?""Oh, jadi begitu!? Kamu sekarang sudah berani meladeni tantangan dariku?" Zane hanya tertawa menanggapi omelan istrinya. Ia menghujani Belle dengan ciuman dan menggendongnya ke atas ranjang. Ia pandangi wajah dengan bibir manyun itu dengan gemas. "Bagaimana bisa aku cari wanita pengganti kalo istriku secantik ini? Bahkan meskipun dia menolak mengandung anakku, aku akan menunggu dia sampai siap, selama apapun itu." "Zane." Belle memoton
Bukan tanpa alasan Rio bertanya tentang Amanda pada bosnya. Tadinya, ia hanya iseng agar Zane berhenti melamun. Namun, Zane justru menanggapi pertanyaan itu dengan serius dan mengajaknya untuk makan malam bersama. Sungguh, Rio merasa serba salah dan bingung untuk memutuskan. "Besok malam Amanda ada waktu. Kita akan makan malam di restoran favorit istriku, bagaimana?"Wajah Zane yang sesaat lalu terlihat murung, kini kembali ceria usai menelepon Amanda untuk mengajaknya makan malam. Mau tak mau, Rio akhirnya mengangguk dengan sangat terpaksa. "Ya sudah, cepat keluar dan selesaikan pekerjaanmu," usir Zane sembari bersiap membuka berkas yang menumpuk di mejanya. Dengan langkah lebar, Rio bergegas pergi sembari mengutuk dirinya sendiri. Nasi sudah menjadi bubur, ia tidak mungkin menarik kembali ucapannya mengingat Zane sangat menjaga Amanda seperti adiknya sendiri. Bisa-bisa Rio babak belur jika Zane tahu bila ia hanya iseng bertanya tentang Amanda. Keesokan hari, Zane menyelesaikan p
Kehadiran orang-orang yang peduli dan menyayanginya, membuat Zane perlahan bangkit dan move on dari momen menyakitkan yang ia alami seminggu yang lalu. Kini, Zane sudah mulai ngantor setelah berhari-hari meliburkan diri dan menikmati waktu berdua dengan Belle di apartemen. Keduanya saling menguatkan dan menghibur satu sama lain, Zane mulai bisa tersenyum kembali setelah sebelumnya selalu murung dan merenung sendiri. "Permisi, Pak. Ada Pak Ronald di luar." Rio meringsek masuk ke dalam ruangan kerja bosnya. "Beliau ingin menemui anda."Dengan dada yang mulai terasa sesak kembali, Zane lantas menutup map di hadapannya dan berkata, "persilahkan beliau masuk, Rio."Tak seberapa lama setelah Rio keluar, Ronald pun muncul dengan wajah tak terbaca. Tak ada senyuman, tak ada raut kesedihan. Baru kali ini Zane melihat wajah tanpa ekspresi itu nampak di raut mertuanya. Dengan tanggap, Zane bangkit dan mempersilahkan Ronald untuk duduk di sofa panjang tak jauh dari meja kerjanya. Ia paham, Rona