Belum terlalu malam ketika Zane dan Belle akhirnya memilih untuk segera tidur sebelum mereka bertengkar. Suasana yang mulai tidak kondusif, juga mood Zane yang buruk, membuat Belle akhirnya mengalah dan menuruti apapun kemauan suaminya untuk malam ini. Dari ranjangnya, Zane bisa melihat Belle tengah berusaha untuk memejamkan matanya. Gerak-gerik istrinya yang gelisah, seakan menggambarkan suasana hatinya yang buruk. "Belle, apa kamu sudah tidur?" tanya Zane merasa bersalah karena sudah membentak Belle tadi. Hening. Belle tak lagi bergerak. Namun, Zane tahu jika istrinya itu masih belum tidur. "Aku minta maaf karena sudah membentakmu tadi. Aku tidak bermaksud untuk begitu." Masih hening, Belle mendengarkan setiap ucapan Zane dari tempatnya berbaring. "Ya sudah kalo kamu tidur. Selamat malam, Belle. Sekali lagi maafkan aku," ucap Zane setelah melihat Belle tak merespon apapun. Namun, sebersit ide kemudian muncul di benak Zane. Hanya untuk mengetes apakah Belle benar-benar tidur a
Sejak pagi, Josh sudah standby di rumah sakit untuk menjemput majikannya. Ronald tak jadi ikut karena ada meeting yang tak bisa ditunda. Setelah semua urusan administrasi beres, Zane akhirnya diperbolehkan pulang. "Zane, ayo!" panggil Belle ketika suaminya itu masih memandangi jalanan kota dari jendela Rumah Sakit. Sambil mengulas senyuman, Zane mengangguk dan menghampiri Belle yang baru saja menyelesaikan pembayaran. Dengan langkah yang sangat pelan karena lututnya masih terasa sakit, Zane akhirnya tiba di depan istrinya. "Ayo, pulang," lanjut Belle sembari menggenggam tangan kiri Zane dan tersenyum lega. Sekali lagi, Zane mengangguk. Sambil berjalan beriringan, keduanya lantas keluar dari kamar rawat inap yang telah menciptakan banyak kenangan indah. "Oh, aku lupa kabel chargerku!" pekik Belle tertahan ketika ia tiba-tiba teringat pada kabel charger yang tadi belum sempat ia lepaskan dari stop kontak.Dengan terburu-buru, Belle berlari kembali ke kamar sementara Zane memilih un
Tiba di rumah setelah hampir seminggu lebih di rawat di Rumah Sakit tentu membuat Zane sangat bahagia. Namun di sisi lain, ada kekhawatiran di hatinya, ia tak akan lagi bisa menikmati momen kedekatan bersama Belle seperti kemarin selama di Rumah Sakit. "Zane, kemarilah! Ayo, duduk sini!" Belle sudah membelikan seporsi rawon daging untuk makan siang dan duduk di sofa, bersiap untuk menyuapi lelaki yang masih tak bisa menggunakan tangan kanannya itu.Zane yang sedang memperhatikan pemandangan kota dari jendela sontak menoleh, entah mengapa hatinya bersorak setiap kali Belle memperlakukannya dengan istimewa beberapa hari ini. Dengan langkah pelan, Zane menghampiri Belle dan duduk tenang di sampingnya."Aaaaa ..." Belle membuka mulut saat bersiap memasukkan nasi ke mulut Zane.Sambil menahan senyum, Zane menurut dan membiarkan Belle melakukan rutinitas barunya semingguan ini. Zane sudah seperti bayi yang harus dijaga 24 jam dan bergantung pada istrinya."Besok aku sudah mulai ngantor, Z
"Tuan, makan siangnya sudah siap."Zane yang sedang menonton televisi, menoleh lemah pada seorang pelayan yang pada akhirnya datang sejak tadi pagi. Ia tak bisa lagi menolak karena Belle bersikeras tak ingin mereka menjadi lebih dekat hanya karena keadaan Zane yang belum pulih. Usai Zane membahas tentang perasaannya, Belle seolah semakin menghindar dan menjaga jarak. Pada akhirnya Zane harus sadar diri bila perasaan cinta itu tak mungkin bisa tumbuh di hati Belle untuknya."Mau saya suapi, Tuan?""Tidak usah, Bik. Saya bisa sendiri. Sekalian biar terbiasa!" Zane bangkit dari sofa dan beringsut ke meja makan dengan perlahan. Beraneka menu makan siang yang menggugah selera entah mengapa tak membuat Zane merasa lapar. Seharian di rumah tanpa melakukan aktivitas apapun membuatnya jenuh. Namun demi menghargai pelayan yang sudah repot-repot memasak untuknya, akhirnya Zane duduk di meja makan dengan terpaksa. Pelayan paruh baya bernama Bik Asih itu lantas membantu mengambilkan nasi dan be
"Miss? Apa anda mendengarkan saya?"Belle tersentak, pikirannya yang sedari tadi kosong sontak berusaha untuk kembali fokus saat suara Tiana menyadarkannya dari lamunan."Ya, Ti?" Belle menoleh keki pada Sekretarisnya. Tiana nampak menghela napasnya panjang sebelum kemudian kembali mengulang penjelasannya. "Pak Ronald menunggu ada di ruangannya sekarang."Belle sontak berdiri, ia meraih ponselnya dan bergegas menuju ruangan papanya. Seharian ini Belle sangat mencemaskan Zane yang ia tinggalkan berdua dengan pelayan. Meskipun Belle selalu mengontrol jam makan dan minum obat, tetapi rasa khawatir masih saja menderanya. Zane belum bisa makan menggunakan tangan kanan, pun suaminya itu tidak kidal. Pasti sangat sulit bagi Zane untuk melahap makanannya sendiri, Belle menghela napas panjang setiap kali mengingat hal itu. "Masuklah, Belle!" seru Ronald begitu melihat putrinya mengintip dari celah pintu. Sambil mengawasi ponselnya yang tak sekalipun berbunyi, Belle lantas menghempaskan pant
"Kamu denger sendiri, kan, ancaman papa tadi!" dengus Belle jengkel. Mereka berdua kini dalam perjalanan pulang menuju apartemen. Karena kondisi tangannya, Zane belum diijinkan untuk menyetir meskipun tadi ia sempat memaksa pada Belle untuk mengemudikan mobil istrinya itu. "Papa hanya kesepian. Dia pasti punya alasan, Belle.""Tapi nggak harus memaksa dan mengancam seperti itu, kan?""Kalo kamu tidak diancam, memangnya kamu mau dengan rela menuruti kemauan papa? Selama ini papa selalu mengancam karena beliau tahu sifatmu," bela Zane dengan suara lembut. Bibir mungil Belle meloloskan decakan kecil. Ia melirik suaminya dengan sinis dan kembali memprotes, "kenapa kamu malah belain papa, sih?"Sambil mengalihkan tatapannya ke jendela, Zane tersenyum samar. "Karena aku menyayangi papa seperti orang tuaku sendiri." "Heiii, jangan rebut papaku, ya! Aku tahu niat busukmu, Zane!" tukas Belle geram. "Aku cuma punya papa. Kalo aku punya mama, mungkin aku masih rela membagi salah satunya den
Seminggu berlalu, kondisi Zane sudah jauh lebih baik dan sudah mulai terbiasa menggunakan tangan kiri untuk beraktifitas. Bik Asih tetap melayani tuan dan majikannya meskipun ia mulai menyadari jika hubungan mereka terlihat janggal. Bagaimana tidak aneh, mereka menikah tetapi tidur di kamar terpisah. "Tuan, sarapannya sudah siap," panggil Bik Asih pada Zane yang tengah melamun di balkon. Zane lantas menoleh sembari mengulas senyuman. "Terimakasih, Bik. Saya akan makan sebentar lagi,“ ucapnya. Sambil membungkuk hormat, Bik Asih lantas kembali masuk ke dalam untuk melanjutkan pekerjaannya yang lain. Zane tak terlalu sering mengobrol dengan pelayan senior itu, ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan melamun, menonton tivi atau membaca buku. Bila bosan, Zane akan jalan-jalan di sekitar apartemen untuk menghirup udara segar atau sekedar duduk-duduk di taman. Kantor masih memberinya cuti hingga tangannya kembali normal, entahlah Zane sendiri tak paham mengapa kantornya terlalu bany
Dalam hidupnya, Zane selalu dikelilingi oleh wanita-wanita cantik dan mempesona. Mereka seakan pemandangan yang sayang untuk disia-siakan. Ya, hanya sekedar pemandangan bagi Zane yang terlampau takut untuk mendekati kaum hawa. Sejak dulu Zane sadar diri, tak mungkin ada wanita yang mau menerima masa lalunya yang kelam, yang tak jelas siapa orang tuanya. Menikah dengan Belle, tentu saja bagaikan mimpi di siang bolong. Zane seakan mendapat durian runtuh. Wanita pertama yang mengisi hatinya adalah istrinya sendiri. Meskipun Zane tahu semua ini hanyalah sementara, tetapi ia tak menyesal sudah mencintai wanita sehebat Belle. Dan sekarang, ada wanita lain datang untuk menguji imannya. Wanita yang tak kalah cantik dan anggun dari istrinya. Wanita yang terang-terangan melakukan physical touch hingga membuat Zane tak berdaya. Di ruangan yang diakui Amanda sebagai ruang kerjanya, Zane duduk dengan wajah tegang. Berduaan saja di ruangan tertutup seperti ini membuatnya resah, terlebih status