"Miss? Apa anda mendengarkan saya?"Belle tersentak, pikirannya yang sedari tadi kosong sontak berusaha untuk kembali fokus saat suara Tiana menyadarkannya dari lamunan."Ya, Ti?" Belle menoleh keki pada Sekretarisnya. Tiana nampak menghela napasnya panjang sebelum kemudian kembali mengulang penjelasannya. "Pak Ronald menunggu ada di ruangannya sekarang."Belle sontak berdiri, ia meraih ponselnya dan bergegas menuju ruangan papanya. Seharian ini Belle sangat mencemaskan Zane yang ia tinggalkan berdua dengan pelayan. Meskipun Belle selalu mengontrol jam makan dan minum obat, tetapi rasa khawatir masih saja menderanya. Zane belum bisa makan menggunakan tangan kanan, pun suaminya itu tidak kidal. Pasti sangat sulit bagi Zane untuk melahap makanannya sendiri, Belle menghela napas panjang setiap kali mengingat hal itu. "Masuklah, Belle!" seru Ronald begitu melihat putrinya mengintip dari celah pintu. Sambil mengawasi ponselnya yang tak sekalipun berbunyi, Belle lantas menghempaskan pant
"Kamu denger sendiri, kan, ancaman papa tadi!" dengus Belle jengkel. Mereka berdua kini dalam perjalanan pulang menuju apartemen. Karena kondisi tangannya, Zane belum diijinkan untuk menyetir meskipun tadi ia sempat memaksa pada Belle untuk mengemudikan mobil istrinya itu. "Papa hanya kesepian. Dia pasti punya alasan, Belle.""Tapi nggak harus memaksa dan mengancam seperti itu, kan?""Kalo kamu tidak diancam, memangnya kamu mau dengan rela menuruti kemauan papa? Selama ini papa selalu mengancam karena beliau tahu sifatmu," bela Zane dengan suara lembut. Bibir mungil Belle meloloskan decakan kecil. Ia melirik suaminya dengan sinis dan kembali memprotes, "kenapa kamu malah belain papa, sih?"Sambil mengalihkan tatapannya ke jendela, Zane tersenyum samar. "Karena aku menyayangi papa seperti orang tuaku sendiri." "Heiii, jangan rebut papaku, ya! Aku tahu niat busukmu, Zane!" tukas Belle geram. "Aku cuma punya papa. Kalo aku punya mama, mungkin aku masih rela membagi salah satunya den
Seminggu berlalu, kondisi Zane sudah jauh lebih baik dan sudah mulai terbiasa menggunakan tangan kiri untuk beraktifitas. Bik Asih tetap melayani tuan dan majikannya meskipun ia mulai menyadari jika hubungan mereka terlihat janggal. Bagaimana tidak aneh, mereka menikah tetapi tidur di kamar terpisah. "Tuan, sarapannya sudah siap," panggil Bik Asih pada Zane yang tengah melamun di balkon. Zane lantas menoleh sembari mengulas senyuman. "Terimakasih, Bik. Saya akan makan sebentar lagi,“ ucapnya. Sambil membungkuk hormat, Bik Asih lantas kembali masuk ke dalam untuk melanjutkan pekerjaannya yang lain. Zane tak terlalu sering mengobrol dengan pelayan senior itu, ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan melamun, menonton tivi atau membaca buku. Bila bosan, Zane akan jalan-jalan di sekitar apartemen untuk menghirup udara segar atau sekedar duduk-duduk di taman. Kantor masih memberinya cuti hingga tangannya kembali normal, entahlah Zane sendiri tak paham mengapa kantornya terlalu bany
Dalam hidupnya, Zane selalu dikelilingi oleh wanita-wanita cantik dan mempesona. Mereka seakan pemandangan yang sayang untuk disia-siakan. Ya, hanya sekedar pemandangan bagi Zane yang terlampau takut untuk mendekati kaum hawa. Sejak dulu Zane sadar diri, tak mungkin ada wanita yang mau menerima masa lalunya yang kelam, yang tak jelas siapa orang tuanya. Menikah dengan Belle, tentu saja bagaikan mimpi di siang bolong. Zane seakan mendapat durian runtuh. Wanita pertama yang mengisi hatinya adalah istrinya sendiri. Meskipun Zane tahu semua ini hanyalah sementara, tetapi ia tak menyesal sudah mencintai wanita sehebat Belle. Dan sekarang, ada wanita lain datang untuk menguji imannya. Wanita yang tak kalah cantik dan anggun dari istrinya. Wanita yang terang-terangan melakukan physical touch hingga membuat Zane tak berdaya. Di ruangan yang diakui Amanda sebagai ruang kerjanya, Zane duduk dengan wajah tegang. Berduaan saja di ruangan tertutup seperti ini membuatnya resah, terlebih status
Sunyi, gelap. Tak biasanya apartemen terasa sepi seperti ini. Biasanya saat Belle pulang dari kantor, Zane akan menyambutnya dengan senyuman dari ruang tivi. Tapi, petang ini tak ada siapapun. Bahkan Bik Asih juga tak terlihat sibuk di dapur menyiapkan makan malam. "Bik," panggil Belle sedikit meninggikan suaranya. Ia berjalan menuju dapur di mana kamar Bik Asih terletak di sana. Saat hampir sampai, pintu kamar itu bergerak ke dalam dan muncullah pelayan paruh baya itu. "Ya, Non?" "Tumben Bibik nggak masak? Di mana Zane? Nggak biasanya rumah sesepi ini," cerca Belle dengan pertanyaan, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Anu, Non. Tadi tuan keluar, terus bilang sama saya kalo beliau mau makan di luar. Saya pikir makan bareng Non Belle juga, makanya Bibik nggak masak." "Keluar ke mana?" Belle merogoh ponselnya di dalam tas, jangan-jangan Zane mengirimkan pesan tapi tak sempat terbaca olehnya. Namun, ketika tak ada satupun pesan yang masuk, Belle lantas menoleh pada pintu kam
Sejak mengetahui jika Belle memiliki hubungan dengan pria lain meskipun telah berstatus sebagai istrinya, sampai-sampai rela membuat kontrak pernikahan demi menjaga kehormatannya, Zane selalu bertanya dalam hati, apa yang membuat Belle begitu kekeuh mempertahankan hubungan cintanya? Selain karena hubungan mereka telah terjalin selama bertahun lamanya, pasti ada alasan lain yang sangat ingin Zane ketahui. "Mengapa kalian sangat bersikukuh untuk mempertahankan hubungan? Tidak bisakah kalian berpisah secara baik-baik dan menjalani takdir kalian apa adanya?" Ya, dengan sekali helaan napas, Zane akhirnya berhasil mengeluarkan uneg-uneg di hatinya. Sungguh, rasanya sangat plong bisa menanyakan hal ini secara langsung. Alih-alih menjawab, Bryan sontak tertawa setelah mendengar pertanyaan itu. Cara Zane menatapnya, semakin membuat Bryan terpingkal-pingkal hingga sakit perut. Zane ini memang bodoh atau benar-benar polos? "Kau masih bertanya kenapa?" tanya Bryan mengulang pertanyaan pria
Hari minggu adalah waktu di mana Belle bisa puas tidur hingga siang. Namun, sebulanan ini weekend-nya terasa berbeda karena Belle harus melayani Zane. Meskipun suaminya itu sudah banyak kemajuan, Belle masih saja memperlakukannya seperti bocah. Pagi ini, di meja makan, Zane sedang menyantap sarapannya dengan khusyuk. Belle duduk di hadapannya dengan segelas susu. Tak ada percakapan, Zane masih merasa kesal karena Belle sudah membohonginya. "Masih belum mau bicara?" tanya Belle sembari menelisik ekspresi Zane yang mendadak masam. Dengan tegas, Zane menggeleng. Ia tak sekalipun membalas tatapan Belle meskipun sejak tadi istrinya itu melayangkan sorot mematikan. "Apa kamu marah sama aku?" tebak Belle cepat, dan Zane tak memberi respon apapun. "Oke, bisa jelaskan salahku di mana?" Hening. Zane masih bungkam seribu bahasa. "Terus kalo kamu diem, aku mana tahu salahku di mana!?" lanjut Belle mulai hilang kesabaran. Makanan di piring Zane sudah hampir habis, ia tak lagi berselera unt
"Siapa dia, Zane?" ulang Belle bingung sembari memperhatikan wanita cantik itu. Seorang gadis kecil, tersenyum ketika tatapan mereka beradu, dia tak kalah cantiknya dari wanita itu. "Hai, apakah kamu istrinya Mas Zane?" Dengan cepat, Belle mengangguk dan wanita itu sontak mengulurkan tangan. "Namaku Amanda, Clara Amanda!" Ingatan Belle sontak berputar kembali pada selembar kartu nama yang masih ia simpan di laci nakas. Ia lupa untuk mencari tahu tentang siapa pemilik kartu nama itu karena kesibukannya di kantor sangat menyita waktu. Dan sekarang, tepat di hadapannya, wanita itu datang sendiri tanpa ia repot-repot mencari tahu. "Aku Belle Ivy. Panggil saja Belle," ucap Belle memperkenalkan diri. "Mom, can I buy this candies?" Teriakan suara bocah lelaki membuat Belle dan Zane tersentak kaget dan menoleh bersamaan. "Ups, sorry!" sesal bocah itu meminta maaf ketika menyadari dua orang dewasa telah terkejut karena teriakannya yang kencang. "Hans, don't shout!" teriak bocah perem