"Siapa dia, Zane?" ulang Belle bingung sembari memperhatikan wanita cantik itu. Seorang gadis kecil, tersenyum ketika tatapan mereka beradu, dia tak kalah cantiknya dari wanita itu. "Hai, apakah kamu istrinya Mas Zane?" Dengan cepat, Belle mengangguk dan wanita itu sontak mengulurkan tangan. "Namaku Amanda, Clara Amanda!" Ingatan Belle sontak berputar kembali pada selembar kartu nama yang masih ia simpan di laci nakas. Ia lupa untuk mencari tahu tentang siapa pemilik kartu nama itu karena kesibukannya di kantor sangat menyita waktu. Dan sekarang, tepat di hadapannya, wanita itu datang sendiri tanpa ia repot-repot mencari tahu. "Aku Belle Ivy. Panggil saja Belle," ucap Belle memperkenalkan diri. "Mom, can I buy this candies?" Teriakan suara bocah lelaki membuat Belle dan Zane tersentak kaget dan menoleh bersamaan. "Ups, sorry!" sesal bocah itu meminta maaf ketika menyadari dua orang dewasa telah terkejut karena teriakannya yang kencang. "Hans, don't shout!" teriak bocah perem
Hidup bersama dengan Belle, sedikit banyak sudah membuat kesabaran Zane berulangkali diuji. Permasalahan yang satu belum selesai, muncul lagi permasalahan baru. Zane tak habis pikir, apakah Belle memang suka membuatnya naik pitam? Bahkan sejak pertemuan pertama mereka, Belle sudah menghinanya dan memancing amarahnya. "Kamu deketin saja sana perempuan itu!""Dia sudah punya suami. Apa pantas aku mendekati wanita yang sudah bersuami? Aku bukan Bryan, pantang bagiku berdekatan dengan perempuan yang sudah mempunyai pasangan." Zane bangkit dari ayunan dan membalas tatapan tajam istrinya. "Dan kalaupun aku harus mendekati perempuan. Itu akan aku lakukan setelah kita resmi berpisah. Jadi berhenti memintaku mendekati siapapun." Belle terhenyak mendengar jawaban tegas itu. Tadinya ia ingin memojokkan Zane, tapi rupanya Zane malah balik membuatnya mati kutu. Saat tak ada lagi yang harus dijelaskan, Zane lantas berbalik dan meninggalkan Belle seorang diri. Angin malam yang berhembus kecil, me
Membidik objek dan mengabadikannya dalam potret dan video adalah hobi yang sudah Zane tekuni sejak SMP. Karena tak memiliki memori indah di masa kecil, Zane kini berusaha untuk mengabadikan perjalanan hidupnya melalui foto. Ia mengikuti ekstrakulikuler fotografi dan jatuh cinta pada hobinya itu. Dari uang saku yang ia tabung selama setahun, Zane berhasil membeli kamera pertamanya. Dari sana, Zane semakin terobsesi untuk menjadi fotografer dan mengabadikan momen indah orang lain. Saat libur sekolah, Zane bekerja sambilan menawarkan jasa foto pada wisatawan yang datang ke tempat wisata. Dari pekerjaan sampingan itu, Zane berhasil menabung dan membeli kamera lain untuk ia gunakan bekerja dengan hasil yang lebih foto yang lebih bagus.Nenek Lila mendukung hobi cucunya itu meskipun Zane jadi tak kenal waktu setiap kali weekend tiba. Menjadikan hobi sebagai ladang uang adalah keberuntungan yang tak disia-siakan begitu saja oleh Zane. Ia terus menabung, menyisihkan uangnya untuk tabungan ku
Belle baru saja selesai meeting di lantai tujuh ketika ia bertemu Zane di lift lantai lima. Belle tak sendiri, di lift itu ada Tiana dan Manajer Marketing and Development juga beberapa orang staf. Tentu saja Belle terkejut melihat Zane berada di gedung Janata Realty, ia tak menduga akan bertemu suaminya. Seragam hitam yang Zane kenakan, menyita perhatian Belle selama dua detik. Merasa menghalangi jalan orang-orang yang hendak keluar dari lift, Zane lantas bergeser dan membiarkan mereka lewat. Tatapannya masih terpaku pada Belle yang tak menunjukkan ekspresi apapun. "Miss?" Tiana berbisik pada Belle yang masih bergeming dan mematung. Sontak Belle tersadar jika ia masih belum bergerak, buru-buru ia berpaling dan keluar tanpa sekalipun menyapa Zane. Tentu saja respon itu membuat Zane mematung untuk beberapa saat. Belle bahkan melewatinya seakan mereka adalah dua orang asing yang tak saling mengenal. Belle terus berlalu menyusuri lorong dan berbelok menuju ruangannya. Jadi, seperti
"Tuan, makan malamnya sudah siap." Zane yang sejak tadi menatap kosong ke arah layar televisi, lantas menoleh lemah pada Bik Asih yang berdiri di tak jauh darinya. Sudah jam tujuh, tapi Belle belum juga pulang dari kantor. Zane sengaja menunggunya di ruang tengah sejak sore tadi, tapi tak ada tanda-tanda Belle akan pulang. "Saya nunggu Belle pulang saja, Bik." Zane berpaling dan kembali menonton tivi. "Anu, Tuan ... Apa non Belle nggak pamit sama Tuan?" Pertanyaan Bik Asih tak pelak membuat Zane menoleh dengan kaget. "Tadi siang, non Belle pergi bawa koper. Katanya ada acara kantor di Bali selama tiga hari. Saya kira non Belle sudah pamit sama Tuan," lanjut Bik Asih dengan sungkan. "Mungkin Belle sudah mengirim pesan, tapi belum sempat saya baca," kelit Zane menutupi. Bik Asih hanya mengangguk dan pamit untuk kembali ke dapur, sementara Zane lantas bangkit dan mengambil ponselnya di kamar. Tak ada satupun pesan yang masuk ke ponsel usangnya itu. Pun Zane tak tahu apakah Belle
Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai.Bryan memasang sunglasessnya sembari tetap menggandeng Belle sejak mereka turun dari pesawat."Kenakan kacamatamu, Belle!" perintah Bryan saat menyadari sedari tadi wajah Belle terekspos.Belle menurut, ia menarik sunglasess yang ia sematkan di belahan kemejanya dan lekas mengenakannya. Ia lantas melirik Bryan yang berjalan cepat di sisinya, sesekali Bryan menunduk saat melewati kerumunan orang.Dua jam kemudian setelah makan malam, mereka berdua tiba di private cottage di daerah Uluwatu. Belle membuat kesepakatan sebelum berangkat liburan bersama di Bali dengan satu syarat, mereka tidur di kamar terpisah. Bryan menyetujuinya dan memesan private cottage dengan dua kamar."Aku lelah sekali, Beb. Aku langsung ke kamarku, ya! Aku mau istirahat." Belle meraih koper miliknya yang dibawa oleh Bryan dan melenggang pergi begitu saja. Melihat tingkah kekasihnya itu, Bryan hanya menghela napas berat. "Baiklah. Kita jalan-jalan besok pagi saja, ya!
Tepat di saat Zane hendak berangkat untuk bertemu Zara, tiba-tiba gawai pipih di saku celananya bergetar dengan intens. Ada panggilan masuk, dari Ronald."Halo, Pa," sapa Zane ragu. "Zane, dari mana saja kalian! Papa telepon Belle tapi nggak aktif.""Eeh, kami ..." Zane mulai panik, ia menggaruk kepalanya yang tetiba gatal. "Kami sedang di bandara, Pa. Kami menuju ke Bali." Karena tak sampai hati berkata yang sejujurnya, akhirnya terpaksa Zane berbohong. Bukan tanpa alasan ia berbuat demikian, Zane hanya tak ingin tingkah polah Belle membuat Ronald terkejut dan kembali sakit seperti dulu."Begitu? Baiklah, baik. Hati-hati! Segera kabari Papa kalo kalian sudah sampai!" "Iya, Pa. Nanti saya telepon lagi kalo kami sudah sampai." "Kenapa berbohong sama Tuan Besar?" tanya Bik Asih kepo, tiba-tiba saja ia sudah berdiri di samping tuan mudanya dan mengagetkan Zane. Zane segera memasukkan ponselnya ke saku celana sambil tersenyum kelu. "Tidak apa, Bik. Tolong Bibik juga bantu saya menja
"Bukannya aku sudah pernah bilang kalo aku janda, Mas Zane?" Amanda tertawa ketika pertanyaan Zane terlontar begitu polos. Zane termangu, benar juga! Amanda pernah bercerita jika dia adalah seorang single parent untuk kedua anak kembarnya. Bagaimana bisa Zane melupakan hal sepenting itu! Bahkan Zane sempat menyangkal tuduhan Belle dan mengatakan bila Amanda sudah punya suami! Mampuslah dia kalo sampai Belle tahu!"Yuk, masuk!" Amanda membuka pintunya lebih lebar agar Zane bisa lewat. Dengan hati-hati, Zane memasuki apartemen yang sangat rapi itu dan meletakkan barang Amanda di pantry. "Oh, lampunya mati!" decak Amanda sambil memencet sakelar lampu di ruang tengah. "Duh, tahu gitu tadi sekalian beli di supermarket!" "Kamu tidak punya stok lampu?" tanya Zane iba. "Nggak punya, Mas Zane.""Di apartemenku ada. Biar aku ambil dulu sebentar!" Dan setelah bergulat membantu Amanda memasang lampu, akhirnya ruang tengah kembali terang benderang berkat bantuan Zane. "Silahkan diminum. Maa