Tepat di saat Zane hendak berangkat untuk bertemu Zara, tiba-tiba gawai pipih di saku celananya bergetar dengan intens. Ada panggilan masuk, dari Ronald."Halo, Pa," sapa Zane ragu. "Zane, dari mana saja kalian! Papa telepon Belle tapi nggak aktif.""Eeh, kami ..." Zane mulai panik, ia menggaruk kepalanya yang tetiba gatal. "Kami sedang di bandara, Pa. Kami menuju ke Bali." Karena tak sampai hati berkata yang sejujurnya, akhirnya terpaksa Zane berbohong. Bukan tanpa alasan ia berbuat demikian, Zane hanya tak ingin tingkah polah Belle membuat Ronald terkejut dan kembali sakit seperti dulu."Begitu? Baiklah, baik. Hati-hati! Segera kabari Papa kalo kalian sudah sampai!" "Iya, Pa. Nanti saya telepon lagi kalo kami sudah sampai." "Kenapa berbohong sama Tuan Besar?" tanya Bik Asih kepo, tiba-tiba saja ia sudah berdiri di samping tuan mudanya dan mengagetkan Zane. Zane segera memasukkan ponselnya ke saku celana sambil tersenyum kelu. "Tidak apa, Bik. Tolong Bibik juga bantu saya menja
"Bukannya aku sudah pernah bilang kalo aku janda, Mas Zane?" Amanda tertawa ketika pertanyaan Zane terlontar begitu polos. Zane termangu, benar juga! Amanda pernah bercerita jika dia adalah seorang single parent untuk kedua anak kembarnya. Bagaimana bisa Zane melupakan hal sepenting itu! Bahkan Zane sempat menyangkal tuduhan Belle dan mengatakan bila Amanda sudah punya suami! Mampuslah dia kalo sampai Belle tahu!"Yuk, masuk!" Amanda membuka pintunya lebih lebar agar Zane bisa lewat. Dengan hati-hati, Zane memasuki apartemen yang sangat rapi itu dan meletakkan barang Amanda di pantry. "Oh, lampunya mati!" decak Amanda sambil memencet sakelar lampu di ruang tengah. "Duh, tahu gitu tadi sekalian beli di supermarket!" "Kamu tidak punya stok lampu?" tanya Zane iba. "Nggak punya, Mas Zane.""Di apartemenku ada. Biar aku ambil dulu sebentar!" Dan setelah bergulat membantu Amanda memasang lampu, akhirnya ruang tengah kembali terang benderang berkat bantuan Zane. "Silahkan diminum. Maa
"Zane, bangun! Sudah siang, nanti jodohmu dipatok ayam!"Pijatan lembut di lengannya, membuat Zane membuka mata dengan lemah. Sinar matahari yang menerobos masuk melalui celah jendela, membuat kantuk Zane seketika lenyap. Ia menoleh pada sosok wanita tua yang masih betah memijat lengannya, duduk di pinggiran ranjang dan tersenyum melihat cucunya membuka mata. "Nenek kok baru bangunin aku," protes Zane sembari beranjak duduk.Nenek Lila tersenyum hangat. "Kamu semalam pulang larut banget. Mana tega Nenek bangunin kamu pagi-pagi."Zane lantas menurunkan kedua kakinya sambil mengucek kedua matanya yang masih terasa sepat. Semalam ia pulang jam 2 dinihari karena teman satu shift-nya mendadak sakit, alhasil Zane menggantikannya. Padahal pagi ini adalah jadwalnya mengantar Nenek Lila kontrol ke Rumah Sakit."Aku mandi dulu ya, Nek." Zane turun dari ranjang sempitnya lantas bergegas ke kamar mandi di ruang tengah.Satu jam berikutnya, usai sarapan dan memanasi motor bututnya, Zane memboncen
"Om Zane, look at this!"Zane menoleh saat suara cadel Briana berteriak memanggilnya, gadis kecil itu nampak memamerkan sebuah prakarya. Sebuah pigura dengan foto dengan hiasan bunga-bunga dan tulisan di bawahnya."Apa itu, Bri? Wah, keren sekali!" puji Zane berbinar sembari memperhatikan barang yang ditunjukkan oleh Briana dari meja belajarnya. Sambil tersipu, Briana turun dari kursi dan menyerahkan pigura itu pada Zane. Ya, pada akhirnya Zane menerima tawaran Amanda untuk menjaga anaknya sementara nanny mereka istirahat dan pulang. Selain untuk mengisi waktu kosongnya, sikap Hans dan Briana yang lucu juga menjadi salah satu alasan Zane menerima pekerjaan ini. Terlebih, Amanda juga sangat friendly dan Zane merasa nyaman saat bersamanya, sesuatu yang baru kali ini ia rasakan pada perempuan selain Belle. Mungkinkah karena Amanda adalah sosok wanita yang blak-blakan dan apa adanya? Dan jenis wanita seperti inilah yang Zane butuhkan."I made this a couple week ago. Bagus, kan?" Briana
Seminyak, Bali. Suara musik menghentak dengan keras di segala penjuru kelab. Belle sejak tadi memperhatikan DJ yang sangat asyik memainkan Turntable-nya sambil sesekali menggoyangkan kepala. Segelas cocktail yang masih berada di genggamannya tak membuat Belle lantas kalap meminumnya. Ia menyesapnya sedikit demi sedikit, Belle tak ingin mabuk, setidaknya jangan sampai mabuk saat bersama Bryan!"Katanya mau berenang?" tanya Bryan heran sembari mengawasi pakaian kekasihnya, di kelab outdoor itu juga terdapat kolam renang yang sudah dipenuhi oleh bule-bule. Belle sontak menggeleng cepat. "Nggak jadi. Males!" Belle mengawasi kolam renang di tengah pub.Bryan lantas memperhatikan kolam tak jauh dari posisi mereka bersantai dan termenung untuk beberapa saat. Sekelebat ingatan melintas, Bryan tetiba teringat pada Zara. Menyadari pria di sampingnya sedang melamun, Belle lantas mengibaskan tangan di depan kekasihnya itu. Bryan tentu saja tersentak kaget, ia lantas melirik Belle dengan kek
Karena cuaca yang buruk, penerbangan yang seharusnya take off jam 5 sore, terpaksa ditunda hingga badai reda. Belle akhirnya tiba di Jakarta jam sembilan malam dan mendapati apartemennya telah sepi. Tadinya Belle pikir, Zane sudah tidur dan beristirahat. Namun, ketika Belle hendak naik ke kamarnya, ia mendengar kunci pintu ruang tamu berbunyi. Dengan napas tertahan, Belle urung naik dan menunggu dengan penasaran, siapa yang datang? Sesuai dugaannya, Zane muncul dari ruang tamu dengan wajah penuh senyuman. Ekspresi itu sangat jarang Belle lihat dan sejujurnya mulai ia rindukan diam-diam. "Zane."Deg. Zane merasakan tubuhnya membeku. Suara itu ...Tangannya yang sudah terulur di handle pintu, mendadak melayang di udara. Senyuman di wajahnya seketika itu lenyap, Zane memperhatikan sosok yang berdiri di tangga dengan hati ngilu. Belle, dia pulang. "Kamu dari mana?" tanya Belle penasaran sembari memperhatikan penampilan suaminya yang rapi. Untuk beberapa detik, Zane tergagap. Ia bingu
Seandainya boleh kembali ke masa lalu dan memperbaikinya, mungkin Belle akan memilih untuk berteman dengan Zane di awal-awal pernikahan mereka. Menjadikan Zane sebagai musuh, nyatanya berdampak pada hubungan mereka hingga sekarang. Zane tak mudah percaya pada sikap manis Belle. "Apa aku terlihat seperti pria murahan?" Dari sorot matanya yang terlihat serius dan dingin, Belle paham jika ia telah melukai harga diri Zane dengan menawarkan liburan di saat dirinya baru saja pulang dari berlibur bersama Bryan. "Zane, aku minta maaf karena sudah pergi tanpa seijinmu. Aku hanya perlu membuktikan sesuatu dari liburanku dengan Bryan," ungkap Belle dengan kepala tertunduk. Zane bungkam, ia menunggu Belle melanjutkan penjelasannya."Dan aku sudah mendapatkan jawabannya." Belle memberanikan diri menantang tatapan suaminya yang tajam. "Ternyata aku---"Ponsel Zane yang berbunyi dengan nyaring di saku celananya, membuat Belle menghentikan perkataannya. Ia memperhatikan suaminya yang nampak tangg
Karena tak ada seorang pun yang bisa Amanda mintai bantuan, terpaksa ia meminta tolong pada Zane untuk mendekor ruang makan dengan beberapa printilan ulang tahun. Balon, bunting flag serta tirai rumbai kertas dengan warna biru dan pink adalah serangkaian dekorasi yang harus Zane selesaikan secepatnya sebelum si kembar pulang sekolah. Sambil mengobrol ringan dengan Amanda yang bergulat di dapur, Zane akhirnya menyelesaikan dekorasi itu dua jam kemudian. "Aku pulang dulu. Nanti sore aku kembali lagi," pamit Zane sembari membuang sampah sisa-sisa pembungkus balon. Amanda menengok ke arah Zane dan mengikuti pria itu dari belakang. "Terimakasih banyak, Mas Zane. Datanglah jam 4 nanti, kami akan memulai acaranya setelah kamu datang," ujar Amanda setelah Zane bersiap untuk membuka pintu. Sebagai respon, Zane hanya mengangguk. Amanda terus mengikutinya hingga Zane keluar dari apartemen. Membuat Zane salah tingkah sendiri karena Belle tak pernah memperlakukannya demikian. Jangankan menga