Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai.Bryan memasang sunglasessnya sembari tetap menggandeng Belle sejak mereka turun dari pesawat."Kenakan kacamatamu, Belle!" perintah Bryan saat menyadari sedari tadi wajah Belle terekspos.Belle menurut, ia menarik sunglasess yang ia sematkan di belahan kemejanya dan lekas mengenakannya. Ia lantas melirik Bryan yang berjalan cepat di sisinya, sesekali Bryan menunduk saat melewati kerumunan orang.Dua jam kemudian setelah makan malam, mereka berdua tiba di private cottage di daerah Uluwatu. Belle membuat kesepakatan sebelum berangkat liburan bersama di Bali dengan satu syarat, mereka tidur di kamar terpisah. Bryan menyetujuinya dan memesan private cottage dengan dua kamar."Aku lelah sekali, Beb. Aku langsung ke kamarku, ya! Aku mau istirahat." Belle meraih koper miliknya yang dibawa oleh Bryan dan melenggang pergi begitu saja. Melihat tingkah kekasihnya itu, Bryan hanya menghela napas berat. "Baiklah. Kita jalan-jalan besok pagi saja, ya!
Tepat di saat Zane hendak berangkat untuk bertemu Zara, tiba-tiba gawai pipih di saku celananya bergetar dengan intens. Ada panggilan masuk, dari Ronald."Halo, Pa," sapa Zane ragu. "Zane, dari mana saja kalian! Papa telepon Belle tapi nggak aktif.""Eeh, kami ..." Zane mulai panik, ia menggaruk kepalanya yang tetiba gatal. "Kami sedang di bandara, Pa. Kami menuju ke Bali." Karena tak sampai hati berkata yang sejujurnya, akhirnya terpaksa Zane berbohong. Bukan tanpa alasan ia berbuat demikian, Zane hanya tak ingin tingkah polah Belle membuat Ronald terkejut dan kembali sakit seperti dulu."Begitu? Baiklah, baik. Hati-hati! Segera kabari Papa kalo kalian sudah sampai!" "Iya, Pa. Nanti saya telepon lagi kalo kami sudah sampai." "Kenapa berbohong sama Tuan Besar?" tanya Bik Asih kepo, tiba-tiba saja ia sudah berdiri di samping tuan mudanya dan mengagetkan Zane. Zane segera memasukkan ponselnya ke saku celana sambil tersenyum kelu. "Tidak apa, Bik. Tolong Bibik juga bantu saya menja
"Bukannya aku sudah pernah bilang kalo aku janda, Mas Zane?" Amanda tertawa ketika pertanyaan Zane terlontar begitu polos. Zane termangu, benar juga! Amanda pernah bercerita jika dia adalah seorang single parent untuk kedua anak kembarnya. Bagaimana bisa Zane melupakan hal sepenting itu! Bahkan Zane sempat menyangkal tuduhan Belle dan mengatakan bila Amanda sudah punya suami! Mampuslah dia kalo sampai Belle tahu!"Yuk, masuk!" Amanda membuka pintunya lebih lebar agar Zane bisa lewat. Dengan hati-hati, Zane memasuki apartemen yang sangat rapi itu dan meletakkan barang Amanda di pantry. "Oh, lampunya mati!" decak Amanda sambil memencet sakelar lampu di ruang tengah. "Duh, tahu gitu tadi sekalian beli di supermarket!" "Kamu tidak punya stok lampu?" tanya Zane iba. "Nggak punya, Mas Zane.""Di apartemenku ada. Biar aku ambil dulu sebentar!" Dan setelah bergulat membantu Amanda memasang lampu, akhirnya ruang tengah kembali terang benderang berkat bantuan Zane. "Silahkan diminum. Maa
"Zane, bangun! Sudah siang, nanti jodohmu dipatok ayam!"Pijatan lembut di lengannya, membuat Zane membuka mata dengan lemah. Sinar matahari yang menerobos masuk melalui celah jendela, membuat kantuk Zane seketika lenyap. Ia menoleh pada sosok wanita tua yang masih betah memijat lengannya, duduk di pinggiran ranjang dan tersenyum melihat cucunya membuka mata. "Nenek kok baru bangunin aku," protes Zane sembari beranjak duduk.Nenek Lila tersenyum hangat. "Kamu semalam pulang larut banget. Mana tega Nenek bangunin kamu pagi-pagi."Zane lantas menurunkan kedua kakinya sambil mengucek kedua matanya yang masih terasa sepat. Semalam ia pulang jam 2 dinihari karena teman satu shift-nya mendadak sakit, alhasil Zane menggantikannya. Padahal pagi ini adalah jadwalnya mengantar Nenek Lila kontrol ke Rumah Sakit."Aku mandi dulu ya, Nek." Zane turun dari ranjang sempitnya lantas bergegas ke kamar mandi di ruang tengah.Satu jam berikutnya, usai sarapan dan memanasi motor bututnya, Zane memboncen
"Om Zane, look at this!"Zane menoleh saat suara cadel Briana berteriak memanggilnya, gadis kecil itu nampak memamerkan sebuah prakarya. Sebuah pigura dengan foto dengan hiasan bunga-bunga dan tulisan di bawahnya."Apa itu, Bri? Wah, keren sekali!" puji Zane berbinar sembari memperhatikan barang yang ditunjukkan oleh Briana dari meja belajarnya. Sambil tersipu, Briana turun dari kursi dan menyerahkan pigura itu pada Zane. Ya, pada akhirnya Zane menerima tawaran Amanda untuk menjaga anaknya sementara nanny mereka istirahat dan pulang. Selain untuk mengisi waktu kosongnya, sikap Hans dan Briana yang lucu juga menjadi salah satu alasan Zane menerima pekerjaan ini. Terlebih, Amanda juga sangat friendly dan Zane merasa nyaman saat bersamanya, sesuatu yang baru kali ini ia rasakan pada perempuan selain Belle. Mungkinkah karena Amanda adalah sosok wanita yang blak-blakan dan apa adanya? Dan jenis wanita seperti inilah yang Zane butuhkan."I made this a couple week ago. Bagus, kan?" Briana
Seminyak, Bali. Suara musik menghentak dengan keras di segala penjuru kelab. Belle sejak tadi memperhatikan DJ yang sangat asyik memainkan Turntable-nya sambil sesekali menggoyangkan kepala. Segelas cocktail yang masih berada di genggamannya tak membuat Belle lantas kalap meminumnya. Ia menyesapnya sedikit demi sedikit, Belle tak ingin mabuk, setidaknya jangan sampai mabuk saat bersama Bryan!"Katanya mau berenang?" tanya Bryan heran sembari mengawasi pakaian kekasihnya, di kelab outdoor itu juga terdapat kolam renang yang sudah dipenuhi oleh bule-bule. Belle sontak menggeleng cepat. "Nggak jadi. Males!" Belle mengawasi kolam renang di tengah pub.Bryan lantas memperhatikan kolam tak jauh dari posisi mereka bersantai dan termenung untuk beberapa saat. Sekelebat ingatan melintas, Bryan tetiba teringat pada Zara. Menyadari pria di sampingnya sedang melamun, Belle lantas mengibaskan tangan di depan kekasihnya itu. Bryan tentu saja tersentak kaget, ia lantas melirik Belle dengan kek
Karena cuaca yang buruk, penerbangan yang seharusnya take off jam 5 sore, terpaksa ditunda hingga badai reda. Belle akhirnya tiba di Jakarta jam sembilan malam dan mendapati apartemennya telah sepi. Tadinya Belle pikir, Zane sudah tidur dan beristirahat. Namun, ketika Belle hendak naik ke kamarnya, ia mendengar kunci pintu ruang tamu berbunyi. Dengan napas tertahan, Belle urung naik dan menunggu dengan penasaran, siapa yang datang? Sesuai dugaannya, Zane muncul dari ruang tamu dengan wajah penuh senyuman. Ekspresi itu sangat jarang Belle lihat dan sejujurnya mulai ia rindukan diam-diam. "Zane."Deg. Zane merasakan tubuhnya membeku. Suara itu ...Tangannya yang sudah terulur di handle pintu, mendadak melayang di udara. Senyuman di wajahnya seketika itu lenyap, Zane memperhatikan sosok yang berdiri di tangga dengan hati ngilu. Belle, dia pulang. "Kamu dari mana?" tanya Belle penasaran sembari memperhatikan penampilan suaminya yang rapi. Untuk beberapa detik, Zane tergagap. Ia bingu
Seandainya boleh kembali ke masa lalu dan memperbaikinya, mungkin Belle akan memilih untuk berteman dengan Zane di awal-awal pernikahan mereka. Menjadikan Zane sebagai musuh, nyatanya berdampak pada hubungan mereka hingga sekarang. Zane tak mudah percaya pada sikap manis Belle. "Apa aku terlihat seperti pria murahan?" Dari sorot matanya yang terlihat serius dan dingin, Belle paham jika ia telah melukai harga diri Zane dengan menawarkan liburan di saat dirinya baru saja pulang dari berlibur bersama Bryan. "Zane, aku minta maaf karena sudah pergi tanpa seijinmu. Aku hanya perlu membuktikan sesuatu dari liburanku dengan Bryan," ungkap Belle dengan kepala tertunduk. Zane bungkam, ia menunggu Belle melanjutkan penjelasannya."Dan aku sudah mendapatkan jawabannya." Belle memberanikan diri menantang tatapan suaminya yang tajam. "Ternyata aku---"Ponsel Zane yang berbunyi dengan nyaring di saku celananya, membuat Belle menghentikan perkataannya. Ia memperhatikan suaminya yang nampak tangg
Selama prosesi pemakaman, Zane lebih banyak terlibat di dalamnya. Ia turut menggotong keranda Shamilah, ia juga turun ke liang kubur untuk mengantarkan ibunya ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Sambil menahan tangis, Zane juga mengadzani jenazah ibunya sebelum akhirnya ia menyampaikan salam perpisahan. "Aku menyayangimu, Ibu. Beristirahatlah dengan tenang, selamat jalan." Hanya kalimat itu yang Zane katakan secara sadar, karena setelahnya ia tak bisa mengingat apapun lagi. Saat kembali membuka mata, ia sudah berada di apartemen dengan beberapa orang mengelilinginya sambil menangis. Belle berulangkali mengucap syukur sambil menciumi suaminya. Amanda dan Rio bahkan saling berpelukan penuh haru tak jauh dari mereka. Ronald, masih dengan mata yang basah, ikut mendekat dan memeluk menantunya. "Stay strong, Nak. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk mendiang Ibumu. Dia pasti sangat bangga padamu, Zane." Setetes air mata lolos kembali dari sudut mata Zane, mengingat ibunya mas
Malam itu juga, Zane meminta bantuan pada Rio untuk mencari tahu di mana ibunya berada.Tak mungkin Zane menghubungi mertuanya karena ia tak ingin mengganggu istirahat Ronald. Dengan mengerahkan segala kemampuannya, Rio akhirnya mendapat nama rumah sakit di mana Shamilah saat ini tengah dirawat. Bersama Belle, Zane akhirnya berangkat menuju rumah sakit tersebut. Ia tak ingin menyia-nyiakan waktu, Zane takut ibunya keburu pergi seperti nenek Lila dulu. Dan benar saja, saat Zane berlari menyusuri lorong tempat Shamilah dirawat, beberapa orang suster nampak keluar dari ruangan itu dengan wajah panik. Rasanya sekujur tubuh Zane memanas detik itu juga, ia sontak berlari semakin cepat dan meringsek masuk ke kamar di mana ibunya berada. Wajah pucat itu, sedang berusaha keras bernapas melalui selang oksigen di hidungnya. Air mata Zane kembali menetes ketika dilihatnya tubuh ibunya mulai kesusahan untuk menghirup oksigen itu. "Ibu..." Zane mendekat tanpa mempedulikan beberapa orang suster y
Teruntuk anakku tersayang, Zanendra Aditya. Saat kamu membuka surat ini, mungkin perasaanmu pada Ibu masih sama. Benci, marah, dan kecewa pasti masih kamu rasakan hingga saat ini. Tapi, melalui surat ini ijinkan Ibu untuk menjelaskan padamu beberapa hal yang tidak sempat Ibu katakan malam itu. Zane, demikian kamu dipanggil oleh mereka yang menyayangimu, nama indah yang berarti hadiah/ berkat dari Tuhan. Semua yang mengenalmu pasti akan menyayangimu, dan Ibu bersyukur akan hal itu. Zane yang kini tumbuh menjadi pria dewasa yang hebat dan penyayang, Ibu bangga pernah menjadi bagian dari masa kecilmu. Anakku, Zanendra anakku, bocah kecil yang selalu menemani Ibu tidur dan memeluk Ibu setiap malam, maafkan Ibu yang telah membuatmu trauma seperti ini. Seandainya bisa memutar kembali waktu, seandainya Ibu masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki semuanya dari awal lagi, mungkin Ibu akan membawamu pergi tanpa harus membunuh pria itu. Agar kita bisa melalui masa berat itu berdua, agar I
Selama proses pemulihan dari operasinya, Zane selalu mendampingi Belle tanpa sekalipun beranjak meninggalkannya. Zane menepati janjinya untuk selalu siaga 24 jam demi memastikan istrinya baik-baik saja. Kembali pulang ke tanah air, Bik Asih menyambut kedatangan majikannya dengan penuh sukacita. Pun Ronald tak bisa menyembunyikan kebahagiaan dan rasa syukurnya ketika mendapati putrinya telah bisa melihat seperti dulu kala. "Papa akan mengadakan acara syukuran dan mengundang anak-anak yayasan untuk datang. Kesembuhanmu patut dirayakan, Belle," ujar Ronald berjanji. Belle hanya menanggapinya dengan senyuman dan anggukan, meskipun penglihatannya belum sepenuhnya jernih melihat objek di depannya, tetapi Belle tetap bersyukur kini ia bisa melihat orang-orang yang ia sayangi. "Di mana Zane? Apa dia belum pulang dari kantor?" Pandangan Ronald mengedar mencari sosok menantunya. "Zane akan segera kembali, Pa. Tadi habis mengantarku pulang, dia langsung ke kantor karena ada meeting penting
"Apa sudah selesai anda menghina saya, Nona?" "Saya terima nikah dan kawinnya Belle Ivy Janata binti Ronald Janata dengan mas kawin tersebut tunai.""Saat kita berpisah nanti, apakah aku masih boleh mengunjungi papamu?""Karena pohon ini akan tetap tumbuh meskipun dia tidak disiram dan tidak dirawat dengan baik. Sama sepertiku." "Bahkan sampah yang tidak berguna, bisa bermanfaat di tangan orang yang tepat. Aku salah satu sampah itu, dan ternyata orang yang tepat bukanlah kamu.""Kalo kamu bisa melakukannya dengan Bryan, lalu kenapa kamu tidak mau melakukannya denganku?" "Itu gajiku bulan ini.""Satu-satunya perempuan yang akan melakukan hubungan badan denganku hanya kamu, Belle!" "Ya sudah, maaf ya, Istriku. Aku janji kalo suatu saat kamu sakit, aku akan jagain kamu 24 jam sampai kamu sembuh." "Zane ..." Kilasan kejadian demi kejadian lewat secara bergantian di ingatan Belle. Semuanya tentang Zane, sejak pertama kali mereka bertemu hingga ingatan terakhirnya sebelum kecelakaan
Seperti yang sudah dinanti-nantikan, akhirnya hari itu tiba jua. Ronald mengantar Belle dan Zane di bandara seperti biasanya. Kali ini, Rio ikut menemani bosnya karena Zane butuh seseorang untuk menemani dan menenangkannya selama Belle dioperasi. Tak banyak halangan yang berarti, bahkan semua berjalan dengan sangat lancar. Cuaca pun seakan merestui sepanjang Zane landing di Singapore dan tiba di hotel. Karena operasi masih dilakukan besok, jadi Zane dan Belle masih punya waktu untuk istirahat. "Aku penasaran, kenapa beberapa hari ini kamu selalu memakai kalung itu?" Zane memperhatikan kalung sederhana berliontin permata kecil di leher istrinya. Dengan penuh perasaan, Belle menyentuh bandul permata pemberian Milah dan tersenyum mengingat momen terakhirnya bersama sang mertua. Sewaktu Belle meminta tolong pada Milah untuk memasangkan kalung itu dilehernya, wanita itu menangis penuh haru dan bahagia. Dia bahkan memeluk dan mencium Belle sebelum akhirnya benar-benar pergi. "Belle, k
"Benarkah?" Belle memekik girang ketika Zane mengabarinya bahwa minggu depan ada donor kornea yang tersedia untuknya. Dengan senyuman lebar, Zane mengangguk dan memeluk istrinya dengan erat. "Benar. Kamu harus banyak-banyak istirahat dan jangan terlalu capek mengurusiku.""Cih, terus siapa yang mau ngurusin kamu kalo bukan aku?" ledek Belle sembari menjulurkan lidah. "Sepertinya ide Amanda tidak terlalu buruk.""Maksudmu!?" Belle mendelik dan mendorong tubuh suaminya yang betah memeluknya sejak tadi. "Coba saja kalo berani!""Kenapa harus takut!?""Oh, jadi begitu!? Kamu sekarang sudah berani meladeni tantangan dariku?" Zane hanya tertawa menanggapi omelan istrinya. Ia menghujani Belle dengan ciuman dan menggendongnya ke atas ranjang. Ia pandangi wajah dengan bibir manyun itu dengan gemas. "Bagaimana bisa aku cari wanita pengganti kalo istriku secantik ini? Bahkan meskipun dia menolak mengandung anakku, aku akan menunggu dia sampai siap, selama apapun itu." "Zane." Belle memoton
Bukan tanpa alasan Rio bertanya tentang Amanda pada bosnya. Tadinya, ia hanya iseng agar Zane berhenti melamun. Namun, Zane justru menanggapi pertanyaan itu dengan serius dan mengajaknya untuk makan malam bersama. Sungguh, Rio merasa serba salah dan bingung untuk memutuskan. "Besok malam Amanda ada waktu. Kita akan makan malam di restoran favorit istriku, bagaimana?"Wajah Zane yang sesaat lalu terlihat murung, kini kembali ceria usai menelepon Amanda untuk mengajaknya makan malam. Mau tak mau, Rio akhirnya mengangguk dengan sangat terpaksa. "Ya sudah, cepat keluar dan selesaikan pekerjaanmu," usir Zane sembari bersiap membuka berkas yang menumpuk di mejanya. Dengan langkah lebar, Rio bergegas pergi sembari mengutuk dirinya sendiri. Nasi sudah menjadi bubur, ia tidak mungkin menarik kembali ucapannya mengingat Zane sangat menjaga Amanda seperti adiknya sendiri. Bisa-bisa Rio babak belur jika Zane tahu bila ia hanya iseng bertanya tentang Amanda. Keesokan hari, Zane menyelesaikan p
Kehadiran orang-orang yang peduli dan menyayanginya, membuat Zane perlahan bangkit dan move on dari momen menyakitkan yang ia alami seminggu yang lalu. Kini, Zane sudah mulai ngantor setelah berhari-hari meliburkan diri dan menikmati waktu berdua dengan Belle di apartemen. Keduanya saling menguatkan dan menghibur satu sama lain, Zane mulai bisa tersenyum kembali setelah sebelumnya selalu murung dan merenung sendiri. "Permisi, Pak. Ada Pak Ronald di luar." Rio meringsek masuk ke dalam ruangan kerja bosnya. "Beliau ingin menemui anda."Dengan dada yang mulai terasa sesak kembali, Zane lantas menutup map di hadapannya dan berkata, "persilahkan beliau masuk, Rio."Tak seberapa lama setelah Rio keluar, Ronald pun muncul dengan wajah tak terbaca. Tak ada senyuman, tak ada raut kesedihan. Baru kali ini Zane melihat wajah tanpa ekspresi itu nampak di raut mertuanya. Dengan tanggap, Zane bangkit dan mempersilahkan Ronald untuk duduk di sofa panjang tak jauh dari meja kerjanya. Ia paham, Rona