Bukan main bahagianya Zane mendengar janji yang Belle ucapkan. Bagai gayung bersambut, setelah sekian lama akhirnya Zane bisa memiliki Belle seutuhnya. "Apa itu berarti perjanjian kita sudah tidak berlaku lagi?" tanya Zane ragu, karena selama ini kontrak itu telah membatasi ruang geraknya. Dengan senyuman tipis, Belle mengangguk. "Kita akan memulai semuanya dari awal lagi, Zane. Maaf kalo aku terlambat menyadari kebaikanmu." Usai Belle menyelesaikan ucapannya, Zane beringsut maju dan merengkuh istrinya itu dalam pelukan. Belle miliknya! Akhirnya Belle seutuhnya menjadi istrinya! Tak apa meskipun Belle tak perawan, Zane akan menerimanya dengan tulus apapun keadaannya. "Terimakasih, Belle. Aku janji tidak akan mengecewakan kamu. Aku janji--"Belle mengurai pelukan mereka dan mencium bibir Zane untuk menghentikan ocehan suaminya. Ciuman itu kini lebih lepas, Zane bahkan tak lagi terganggu oleh ingatannya tentang ciuman Belle dan Bryan. Zane berusaha menikmati setiap hembusan napas B
"Tunggu, Zane!" tahan Belle ketika Zane hendak memencet bel di apartemen Amanda. Dengan cekatan, Belle merapikan rambutnya dan mengeluarkan cermin kecil dari dalam tas yang ia jinjing. Setelah memastikan make up-nya masih 'on', Belle segera mengembalikan cermin itu ke dalam tasnya lagi. "Silahkan." Belle mempersilahkan Zane --yang sejak tadi tercengang mengamati gerak-geriknya, untuk memencet bel itu. Sambil tersenyum geli, Zane lantas menekan tombol kecil di gagang pintu itu. Meskipun Zane sudah tahu sandinya, tetapi posisinya saat ini adalah sebagai tamu. Tak sopan jika Zane ngeloyor masuk begitu saja.Tak berapa lama, handle itu bergerak dan pintunya terbuka. Belle sudah bersiap untuk menyapa, tetapi rupanya yang menyambut mereka adalah seorang bocah kecil. "Om Zane!!"Bocah itu sontak melompat dan memeluk Zane setelah pintu terbuka lebar. Tentu saja Belle tersentak kaget melihat keakraban Zane dengan bocil itu, ia melepas gandengannya pada lengan Zane dan mundur selangkah. Mer
Di depan pintu kamar berwarna putih itu, Zane mengetuknya perlahan. "Hans, ini Om Zane. Bisa buka pintunya untukku?" bujuknya lembut.Briana ikut menunggu dan berdiri di samping Zane dengan wajah harap-harap cemas. Ia tahu mengapa Hans sangat membenci momen pertambahan umurnya. Dan setiap tahun kakaknya itu selalu bertingkah seperti ini."Hans, open the door, please." Zane mengetuk lagi pintu itu dengan sedikit keras, khawatir Hans tak mendengarnya. "He won't open it, Om. Hans sangat benci acara ulang tahun."Zane mengernyit heran mendengar penuturan Briana, sepanjang yang ia tahu, semua anak pasti akan bahagia saat momen ulang tahunnya tiba. Mengapa Hans justru sebaliknya?"Kenapa dia benci ulang tahun? Tell me, Bri."Zane duduk di samping gadis kecil itu dengan bertumpu pada satu kakinya."Because--"Cklik.Zane dan Briana menoleh secara bersamaan ke arah pintu, Hans tiba-tiba membuka pintu kamarnya dan muncul dengan wajah muram. Zane kembali berdiri dan masuk ke kamar si kembar y
Hening. Belle menyetir mobilnya dengan kalap sementara Zane tak hentinya menghela napas panjang berulang kali. Belle tak memperbolehkan Zane menyetir karena kali ini ia mengebut menuju rumah sakit. Berita tentang acara liburan Bryan dan Belle muncul di banyak media gosip. Bahkan foto Belle saat masuk ke cottage bersama Bryan terekspos pula di laman internet. Ronald yang saat itu tengah menonton televisi sontak terkejut bukan kepalang. Penyakit jantungnya kambuh saat itu juga.Pesan yang dikirim Zara pada Zane juga memberitahukan hal yang sama. Kini semua media tengah mencari keberadaan Belle. Rasa bahagia karena seharian tadi Belle telah mengungkapkan perasaannya, kini berubah kecewa. Zane mulai gamang, berita-berita itu membuatnya meragukan ketulusan Belle. Tiba di Rumah Sakit, Belle langsung berjalan cepat menuju ruangan tempat papanya dirawat. Belle sangat terkejut ketika Zane mengabari keadaan papanya yang kolaps, sesaat setelah mereka terburu-buru pulang dari apartemen Amanda.
"Zane,tunggu!" paksa Belle saat suami kesayangannya itu terus melangkah tanpa mempedulikan dirinya.Bukannya menurut, Zane tak menggubris perintah Belle dan berlalu masuk ke dalam kamar mandi. Hatinya masih terluka mengetahui kenyataan bila Belle tidur sekamar dengan Bryan sebelum mereka putus. Sempat-sempatnya mereka bermesraan dan bahkan mungkin melakukan hubungan terlarang itu sebelum pulang ke Jakarta. Merasa diabaikan, Belle menghela napasnya geram. Dengan tertatih-tatih, ia menyusul Zane ke kamar mandi.Brak.Zane tersentak kaget dan menoleh. Ia baru saja hendak melepas arm sling yang menggantung di lehernya saat kemudian tatapannya dan Belle bertemu. Dua sorot mata penuh kebencian sama-sama menatap sengit dan tak ingin mengalah."Kamu tuli, ya? Atau mulai teracuni sama masakan janda itu?!" sentak Belle marah.Zane menghembuskan napasnya berat sembari membuang muka, Belle rupanya cemburu pada Amanda, padahal sudah jelas-jelas Zane tak melakukan apapun. Mereka hanya berteman, be
"Ini hanya artikel jebakan, Zane. Aku nggak melakukan apapun bersama Bryan!!""Aku tidak bilang kalo kamu melakukan sesuatu dengan pria itu.""Tapi foto ini yang membuatmu marah, kan? Kamu meragukan aku gara-gara foto sialan ini, kan!" Belle mengusap wajahnya dengan frustasi.Apakah Zane akan percaya? Tentu saja tidak! Cara Belle berpakaian saja sudah menunjukkan jika tak ada rasa malu di diri istrinya itu. Akhirnya Zane merebut ponselnya kembali dan melemparnya ke wastafel. Ia lantas menatap Belle lekat-lekat."Bila memang ucapanmu benar, harusnya kalian berhati-hati sebelum paparazi menemukan kalian. Aku sudah muak denganmu, Belle," keluh Zane lirih.Belle sontak membalas tatapan mengintimidasi suaminya. "Kamu menganggap aku murahan, lalu bagaimana denganmu sendiri, huh? Bukankah kamu dan Amanda sudah pernah tidur bersama?""Jangan mengalihkan topik permasalahan!""Amanda tahu tentang luka di perutmu! Lantas apakah aku masih harus berpikir positif pada kalian?" sela Belle marah. "T
Flashback On Di Rumah Sakit yang sama, di mana nenek Lila kerapkali melakukan cuci darah, tubuh tua dan ringkih itu tergeletak lemah di ranjang pasien. Sejak semalam, nenek tua itu mengeluh sesak napas dan tak bisa mengonsumsi apapun. Semua yang dimakan dan diminum pasti dimuntahkan lagi beberapa menit setelahnya. "Zane, apa Ronald su-dah pulang?"Zane menoleh cepat pada sang nenek yang tergolek lemah di ranjang dengan selang oksigen terpasang di hidungnya. Beberapa jam yang lalu, Ronald datang membesuk nenek Lila. Dari suster yang berjaga di ruang cuci darah, Ronald diberitahu jika kondisi nenek Lila drop dan dirawat di ICU."Sudah, Nek," sahutnya sembari beringsut duduk di kursi plastik, di samping ranjang pasien.Wajah keriput yang mulai redup itu menarik kedua ujung bibirnya saat Zane menatapnya. Zane ingin menyimpan setiap lekukan kulit itu dalam ingatannya, ia sangat takut kehilangan sosok renta ini dan tak bisa mengingat wajahnya suatu saat nanti."Kamu sudah tahu, kan, kal
"Mas Zane, bisa tolong bikinin kopi? Tanpa gula dan krimer, ya!" "Baik, Dokter." Zane meletakkan gagang telepon itu ditempatnya semula dan bergegas menyalakan kompor untuk memanaskan air. Sejak dua bulan yang lalu, Zane bekerja sebagai OB sekaligus penjaga malam di Clar's Beauty Clinic. Demi mendapat tempat yang nyaman untuk menepi dan bersembunyi dari permasalahannya, Zane rela bekerja apapun. Beruntung malam itu ia bertemu Amanda yang baru pulang dari kelab malam. Meskipun awalnya Zane menolak bantuan kawannya itu, tetapi akhirnya ia tak memiliki pilihan lain ketika Amanda menawarkan untuk tinggal di kliniknya. "Terimakasih, Mas Zane!" Dokter Fredo tersenyum lebar ketika Zane menyuguhkan kopi buatannya di meja praktek dokter itu. "Sama-sama, Dokter. Saya permisi." Zane buru-buru berbalik karena dokter Fredo terlihat sibuk. Sambil membawa nampan yang telah kosong, Zane bergegas kembali ke dapur yang menjadi kantornya selama bekerja di klinik ini. Kameramen senior yang sangat pe
Selama prosesi pemakaman, Zane lebih banyak terlibat di dalamnya. Ia turut menggotong keranda Shamilah, ia juga turun ke liang kubur untuk mengantarkan ibunya ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Sambil menahan tangis, Zane juga mengadzani jenazah ibunya sebelum akhirnya ia menyampaikan salam perpisahan. "Aku menyayangimu, Ibu. Beristirahatlah dengan tenang, selamat jalan." Hanya kalimat itu yang Zane katakan secara sadar, karena setelahnya ia tak bisa mengingat apapun lagi. Saat kembali membuka mata, ia sudah berada di apartemen dengan beberapa orang mengelilinginya sambil menangis. Belle berulangkali mengucap syukur sambil menciumi suaminya. Amanda dan Rio bahkan saling berpelukan penuh haru tak jauh dari mereka. Ronald, masih dengan mata yang basah, ikut mendekat dan memeluk menantunya. "Stay strong, Nak. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk mendiang Ibumu. Dia pasti sangat bangga padamu, Zane." Setetes air mata lolos kembali dari sudut mata Zane, mengingat ibunya mas
Malam itu juga, Zane meminta bantuan pada Rio untuk mencari tahu di mana ibunya berada.Tak mungkin Zane menghubungi mertuanya karena ia tak ingin mengganggu istirahat Ronald. Dengan mengerahkan segala kemampuannya, Rio akhirnya mendapat nama rumah sakit di mana Shamilah saat ini tengah dirawat. Bersama Belle, Zane akhirnya berangkat menuju rumah sakit tersebut. Ia tak ingin menyia-nyiakan waktu, Zane takut ibunya keburu pergi seperti nenek Lila dulu. Dan benar saja, saat Zane berlari menyusuri lorong tempat Shamilah dirawat, beberapa orang suster nampak keluar dari ruangan itu dengan wajah panik. Rasanya sekujur tubuh Zane memanas detik itu juga, ia sontak berlari semakin cepat dan meringsek masuk ke kamar di mana ibunya berada. Wajah pucat itu, sedang berusaha keras bernapas melalui selang oksigen di hidungnya. Air mata Zane kembali menetes ketika dilihatnya tubuh ibunya mulai kesusahan untuk menghirup oksigen itu. "Ibu..." Zane mendekat tanpa mempedulikan beberapa orang suster y
Teruntuk anakku tersayang, Zanendra Aditya. Saat kamu membuka surat ini, mungkin perasaanmu pada Ibu masih sama. Benci, marah, dan kecewa pasti masih kamu rasakan hingga saat ini. Tapi, melalui surat ini ijinkan Ibu untuk menjelaskan padamu beberapa hal yang tidak sempat Ibu katakan malam itu. Zane, demikian kamu dipanggil oleh mereka yang menyayangimu, nama indah yang berarti hadiah/ berkat dari Tuhan. Semua yang mengenalmu pasti akan menyayangimu, dan Ibu bersyukur akan hal itu. Zane yang kini tumbuh menjadi pria dewasa yang hebat dan penyayang, Ibu bangga pernah menjadi bagian dari masa kecilmu. Anakku, Zanendra anakku, bocah kecil yang selalu menemani Ibu tidur dan memeluk Ibu setiap malam, maafkan Ibu yang telah membuatmu trauma seperti ini. Seandainya bisa memutar kembali waktu, seandainya Ibu masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki semuanya dari awal lagi, mungkin Ibu akan membawamu pergi tanpa harus membunuh pria itu. Agar kita bisa melalui masa berat itu berdua, agar I
Selama proses pemulihan dari operasinya, Zane selalu mendampingi Belle tanpa sekalipun beranjak meninggalkannya. Zane menepati janjinya untuk selalu siaga 24 jam demi memastikan istrinya baik-baik saja. Kembali pulang ke tanah air, Bik Asih menyambut kedatangan majikannya dengan penuh sukacita. Pun Ronald tak bisa menyembunyikan kebahagiaan dan rasa syukurnya ketika mendapati putrinya telah bisa melihat seperti dulu kala. "Papa akan mengadakan acara syukuran dan mengundang anak-anak yayasan untuk datang. Kesembuhanmu patut dirayakan, Belle," ujar Ronald berjanji. Belle hanya menanggapinya dengan senyuman dan anggukan, meskipun penglihatannya belum sepenuhnya jernih melihat objek di depannya, tetapi Belle tetap bersyukur kini ia bisa melihat orang-orang yang ia sayangi. "Di mana Zane? Apa dia belum pulang dari kantor?" Pandangan Ronald mengedar mencari sosok menantunya. "Zane akan segera kembali, Pa. Tadi habis mengantarku pulang, dia langsung ke kantor karena ada meeting penting
"Apa sudah selesai anda menghina saya, Nona?" "Saya terima nikah dan kawinnya Belle Ivy Janata binti Ronald Janata dengan mas kawin tersebut tunai.""Saat kita berpisah nanti, apakah aku masih boleh mengunjungi papamu?""Karena pohon ini akan tetap tumbuh meskipun dia tidak disiram dan tidak dirawat dengan baik. Sama sepertiku." "Bahkan sampah yang tidak berguna, bisa bermanfaat di tangan orang yang tepat. Aku salah satu sampah itu, dan ternyata orang yang tepat bukanlah kamu.""Kalo kamu bisa melakukannya dengan Bryan, lalu kenapa kamu tidak mau melakukannya denganku?" "Itu gajiku bulan ini.""Satu-satunya perempuan yang akan melakukan hubungan badan denganku hanya kamu, Belle!" "Ya sudah, maaf ya, Istriku. Aku janji kalo suatu saat kamu sakit, aku akan jagain kamu 24 jam sampai kamu sembuh." "Zane ..." Kilasan kejadian demi kejadian lewat secara bergantian di ingatan Belle. Semuanya tentang Zane, sejak pertama kali mereka bertemu hingga ingatan terakhirnya sebelum kecelakaan
Seperti yang sudah dinanti-nantikan, akhirnya hari itu tiba jua. Ronald mengantar Belle dan Zane di bandara seperti biasanya. Kali ini, Rio ikut menemani bosnya karena Zane butuh seseorang untuk menemani dan menenangkannya selama Belle dioperasi. Tak banyak halangan yang berarti, bahkan semua berjalan dengan sangat lancar. Cuaca pun seakan merestui sepanjang Zane landing di Singapore dan tiba di hotel. Karena operasi masih dilakukan besok, jadi Zane dan Belle masih punya waktu untuk istirahat. "Aku penasaran, kenapa beberapa hari ini kamu selalu memakai kalung itu?" Zane memperhatikan kalung sederhana berliontin permata kecil di leher istrinya. Dengan penuh perasaan, Belle menyentuh bandul permata pemberian Milah dan tersenyum mengingat momen terakhirnya bersama sang mertua. Sewaktu Belle meminta tolong pada Milah untuk memasangkan kalung itu dilehernya, wanita itu menangis penuh haru dan bahagia. Dia bahkan memeluk dan mencium Belle sebelum akhirnya benar-benar pergi. "Belle, k
"Benarkah?" Belle memekik girang ketika Zane mengabarinya bahwa minggu depan ada donor kornea yang tersedia untuknya. Dengan senyuman lebar, Zane mengangguk dan memeluk istrinya dengan erat. "Benar. Kamu harus banyak-banyak istirahat dan jangan terlalu capek mengurusiku.""Cih, terus siapa yang mau ngurusin kamu kalo bukan aku?" ledek Belle sembari menjulurkan lidah. "Sepertinya ide Amanda tidak terlalu buruk.""Maksudmu!?" Belle mendelik dan mendorong tubuh suaminya yang betah memeluknya sejak tadi. "Coba saja kalo berani!""Kenapa harus takut!?""Oh, jadi begitu!? Kamu sekarang sudah berani meladeni tantangan dariku?" Zane hanya tertawa menanggapi omelan istrinya. Ia menghujani Belle dengan ciuman dan menggendongnya ke atas ranjang. Ia pandangi wajah dengan bibir manyun itu dengan gemas. "Bagaimana bisa aku cari wanita pengganti kalo istriku secantik ini? Bahkan meskipun dia menolak mengandung anakku, aku akan menunggu dia sampai siap, selama apapun itu." "Zane." Belle memoton
Bukan tanpa alasan Rio bertanya tentang Amanda pada bosnya. Tadinya, ia hanya iseng agar Zane berhenti melamun. Namun, Zane justru menanggapi pertanyaan itu dengan serius dan mengajaknya untuk makan malam bersama. Sungguh, Rio merasa serba salah dan bingung untuk memutuskan. "Besok malam Amanda ada waktu. Kita akan makan malam di restoran favorit istriku, bagaimana?"Wajah Zane yang sesaat lalu terlihat murung, kini kembali ceria usai menelepon Amanda untuk mengajaknya makan malam. Mau tak mau, Rio akhirnya mengangguk dengan sangat terpaksa. "Ya sudah, cepat keluar dan selesaikan pekerjaanmu," usir Zane sembari bersiap membuka berkas yang menumpuk di mejanya. Dengan langkah lebar, Rio bergegas pergi sembari mengutuk dirinya sendiri. Nasi sudah menjadi bubur, ia tidak mungkin menarik kembali ucapannya mengingat Zane sangat menjaga Amanda seperti adiknya sendiri. Bisa-bisa Rio babak belur jika Zane tahu bila ia hanya iseng bertanya tentang Amanda. Keesokan hari, Zane menyelesaikan p
Kehadiran orang-orang yang peduli dan menyayanginya, membuat Zane perlahan bangkit dan move on dari momen menyakitkan yang ia alami seminggu yang lalu. Kini, Zane sudah mulai ngantor setelah berhari-hari meliburkan diri dan menikmati waktu berdua dengan Belle di apartemen. Keduanya saling menguatkan dan menghibur satu sama lain, Zane mulai bisa tersenyum kembali setelah sebelumnya selalu murung dan merenung sendiri. "Permisi, Pak. Ada Pak Ronald di luar." Rio meringsek masuk ke dalam ruangan kerja bosnya. "Beliau ingin menemui anda."Dengan dada yang mulai terasa sesak kembali, Zane lantas menutup map di hadapannya dan berkata, "persilahkan beliau masuk, Rio."Tak seberapa lama setelah Rio keluar, Ronald pun muncul dengan wajah tak terbaca. Tak ada senyuman, tak ada raut kesedihan. Baru kali ini Zane melihat wajah tanpa ekspresi itu nampak di raut mertuanya. Dengan tanggap, Zane bangkit dan mempersilahkan Ronald untuk duduk di sofa panjang tak jauh dari meja kerjanya. Ia paham, Rona