Di depan pintu kamar berwarna putih itu, Zane mengetuknya perlahan. "Hans, ini Om Zane. Bisa buka pintunya untukku?" bujuknya lembut.Briana ikut menunggu dan berdiri di samping Zane dengan wajah harap-harap cemas. Ia tahu mengapa Hans sangat membenci momen pertambahan umurnya. Dan setiap tahun kakaknya itu selalu bertingkah seperti ini."Hans, open the door, please." Zane mengetuk lagi pintu itu dengan sedikit keras, khawatir Hans tak mendengarnya. "He won't open it, Om. Hans sangat benci acara ulang tahun."Zane mengernyit heran mendengar penuturan Briana, sepanjang yang ia tahu, semua anak pasti akan bahagia saat momen ulang tahunnya tiba. Mengapa Hans justru sebaliknya?"Kenapa dia benci ulang tahun? Tell me, Bri."Zane duduk di samping gadis kecil itu dengan bertumpu pada satu kakinya."Because--"Cklik.Zane dan Briana menoleh secara bersamaan ke arah pintu, Hans tiba-tiba membuka pintu kamarnya dan muncul dengan wajah muram. Zane kembali berdiri dan masuk ke kamar si kembar y
Hening. Belle menyetir mobilnya dengan kalap sementara Zane tak hentinya menghela napas panjang berulang kali. Belle tak memperbolehkan Zane menyetir karena kali ini ia mengebut menuju rumah sakit. Berita tentang acara liburan Bryan dan Belle muncul di banyak media gosip. Bahkan foto Belle saat masuk ke cottage bersama Bryan terekspos pula di laman internet. Ronald yang saat itu tengah menonton televisi sontak terkejut bukan kepalang. Penyakit jantungnya kambuh saat itu juga.Pesan yang dikirim Zara pada Zane juga memberitahukan hal yang sama. Kini semua media tengah mencari keberadaan Belle. Rasa bahagia karena seharian tadi Belle telah mengungkapkan perasaannya, kini berubah kecewa. Zane mulai gamang, berita-berita itu membuatnya meragukan ketulusan Belle. Tiba di Rumah Sakit, Belle langsung berjalan cepat menuju ruangan tempat papanya dirawat. Belle sangat terkejut ketika Zane mengabari keadaan papanya yang kolaps, sesaat setelah mereka terburu-buru pulang dari apartemen Amanda.
"Zane,tunggu!" paksa Belle saat suami kesayangannya itu terus melangkah tanpa mempedulikan dirinya.Bukannya menurut, Zane tak menggubris perintah Belle dan berlalu masuk ke dalam kamar mandi. Hatinya masih terluka mengetahui kenyataan bila Belle tidur sekamar dengan Bryan sebelum mereka putus. Sempat-sempatnya mereka bermesraan dan bahkan mungkin melakukan hubungan terlarang itu sebelum pulang ke Jakarta. Merasa diabaikan, Belle menghela napasnya geram. Dengan tertatih-tatih, ia menyusul Zane ke kamar mandi.Brak.Zane tersentak kaget dan menoleh. Ia baru saja hendak melepas arm sling yang menggantung di lehernya saat kemudian tatapannya dan Belle bertemu. Dua sorot mata penuh kebencian sama-sama menatap sengit dan tak ingin mengalah."Kamu tuli, ya? Atau mulai teracuni sama masakan janda itu?!" sentak Belle marah.Zane menghembuskan napasnya berat sembari membuang muka, Belle rupanya cemburu pada Amanda, padahal sudah jelas-jelas Zane tak melakukan apapun. Mereka hanya berteman, be
"Ini hanya artikel jebakan, Zane. Aku nggak melakukan apapun bersama Bryan!!""Aku tidak bilang kalo kamu melakukan sesuatu dengan pria itu.""Tapi foto ini yang membuatmu marah, kan? Kamu meragukan aku gara-gara foto sialan ini, kan!" Belle mengusap wajahnya dengan frustasi.Apakah Zane akan percaya? Tentu saja tidak! Cara Belle berpakaian saja sudah menunjukkan jika tak ada rasa malu di diri istrinya itu. Akhirnya Zane merebut ponselnya kembali dan melemparnya ke wastafel. Ia lantas menatap Belle lekat-lekat."Bila memang ucapanmu benar, harusnya kalian berhati-hati sebelum paparazi menemukan kalian. Aku sudah muak denganmu, Belle," keluh Zane lirih.Belle sontak membalas tatapan mengintimidasi suaminya. "Kamu menganggap aku murahan, lalu bagaimana denganmu sendiri, huh? Bukankah kamu dan Amanda sudah pernah tidur bersama?""Jangan mengalihkan topik permasalahan!""Amanda tahu tentang luka di perutmu! Lantas apakah aku masih harus berpikir positif pada kalian?" sela Belle marah. "T
Flashback On Di Rumah Sakit yang sama, di mana nenek Lila kerapkali melakukan cuci darah, tubuh tua dan ringkih itu tergeletak lemah di ranjang pasien. Sejak semalam, nenek tua itu mengeluh sesak napas dan tak bisa mengonsumsi apapun. Semua yang dimakan dan diminum pasti dimuntahkan lagi beberapa menit setelahnya. "Zane, apa Ronald su-dah pulang?"Zane menoleh cepat pada sang nenek yang tergolek lemah di ranjang dengan selang oksigen terpasang di hidungnya. Beberapa jam yang lalu, Ronald datang membesuk nenek Lila. Dari suster yang berjaga di ruang cuci darah, Ronald diberitahu jika kondisi nenek Lila drop dan dirawat di ICU."Sudah, Nek," sahutnya sembari beringsut duduk di kursi plastik, di samping ranjang pasien.Wajah keriput yang mulai redup itu menarik kedua ujung bibirnya saat Zane menatapnya. Zane ingin menyimpan setiap lekukan kulit itu dalam ingatannya, ia sangat takut kehilangan sosok renta ini dan tak bisa mengingat wajahnya suatu saat nanti."Kamu sudah tahu, kan, kal
"Mas Zane, bisa tolong bikinin kopi? Tanpa gula dan krimer, ya!" "Baik, Dokter." Zane meletakkan gagang telepon itu ditempatnya semula dan bergegas menyalakan kompor untuk memanaskan air. Sejak dua bulan yang lalu, Zane bekerja sebagai OB sekaligus penjaga malam di Clar's Beauty Clinic. Demi mendapat tempat yang nyaman untuk menepi dan bersembunyi dari permasalahannya, Zane rela bekerja apapun. Beruntung malam itu ia bertemu Amanda yang baru pulang dari kelab malam. Meskipun awalnya Zane menolak bantuan kawannya itu, tetapi akhirnya ia tak memiliki pilihan lain ketika Amanda menawarkan untuk tinggal di kliniknya. "Terimakasih, Mas Zane!" Dokter Fredo tersenyum lebar ketika Zane menyuguhkan kopi buatannya di meja praktek dokter itu. "Sama-sama, Dokter. Saya permisi." Zane buru-buru berbalik karena dokter Fredo terlihat sibuk. Sambil membawa nampan yang telah kosong, Zane bergegas kembali ke dapur yang menjadi kantornya selama bekerja di klinik ini. Kameramen senior yang sangat pe
Sejak Zane pergi, Belle tak pernah berusaha untuk mencari tahu di mana suaminya itu berada. Pertengkaran hebat yang terjadi di malam itu telah menyisakan luka dan trauma, Belle merasa telah ditipu dan dimanfaatkan oleh Zane dan juga papanya. Namun, kedatangan Zara yang tiba-tiba, membuat Belle oleng. Dengan gamblangnya, Zara bercerita jika saat ini Zane bekerja sebagai office boy di sebuah klinik. Belle yakin jika tempat itu adalah klinik kecantikan milik Amanda, karena Zara menjelaskan alamat yang sama persis dengan alamat di kartu nama milik Amanda. "Salah satu teman yang sekantor denganku, waktu itu melihat Mas Zane membersihkan dan mengepel lantai yang kotor karena ketumpahan ice cream. Tadinya temenku nggak yakin kalo itu Mas Zane yang satu divisi dengan kami, tapi setelah staf resepsionis di sana menyebut namanya, baru temanku percaya kalo dia nggak salah lihat." Belle memperhatikan bangunan klinik kecantikan milik Amanda dari seberang jalan. Sepuluh menit yang lalu, semua s
"Bye, Mas Zane!" "Jangan lupa cek lagi ruangan dokter Fredo, ya!" "Sampai besok, Mas Zane!" "Mas Zane, tolong sampaikan sama Dokter Amanda kalo aku pulang duluan! Tadi beliau masih sibuk di dalem." Sapaan selamat tinggal dari semua staf klinik yang hendak pulang, menjadi rutinitas yang Zane dengar setiap jam setengah delapan malam. Ia hanya menanggapi mereka dengan senyuman, atau anggukan kepala sampai mereka semua menghilang di balik pintu. Dan seperti biasa, Zane lantas berkutat dengan pemeriksaan kondisi ruangan mulai dari lantai satu sampai lantai tiga. Setelah setiap ruangan selesai di cek dan dibersihkan, Zane akan mematikan lampu sebagai penanda. Semua tak luput dari pemeriksaan Zane karena Amanda berulangkali mengingatkan padanya bila keamanan dan kebersihan klinik adalah tanggung jawab Zane. Dan dua bulanan ini semuanya berjalan tanpa kendala sedikitpun. "Mas Zane, mau ikut makan malam bersamaku dan anak-anak?" Zane urung naik ke lantai tiga dan menoleh pada Amanda yan