Kepergian nenek Lila kala itu, sempat membuat Zane ingin mengakhiri hidupnya. Zane hidup sebatang kara, tak ada lagi penyemangat, tak ada lagi seorang pun yang menyayanginya. Itulah mengapa, saat mendonorkan ginjal pada Ronald, Zane melakukannya dengan ikhlas. Selain karena telah berjanji pada nenek Lila, Zane juga sudah bosan hidup di dunia. Dalam benaknya, hidup dengan satu ginjal pastilah tidak mudah. Zane pasti akan sekarat cepat atau lambat jika terlalu memforsir dirinya. Bekerja tanpa kenal lelah, lanjut berolahraga dan menyiksa tubuhnya, adalah bentuk protes Zane pada sangat pencipta. Zane berharap bisa segera menyusul nenek Lila, berkumpul dengannya di akhirat sana. Namun, setelah akhirnya mengenal dan menikah dengan Belle, Zane kembali bersemangat menjalani hidupnya. Meskipun tak sekali dua kali Belle melukai perasaannya, Zane tetap bertahan karena ia merasa memiliki seseorang yang berarti di hidupnya. "Belle mengalami patah tulang kaki, dia juga terancam buta karena korn
"Bagaimana keadaan istri saya, Dok!?" Untuk ketiga kalinya, Zane memaksa dokter Fani untuk menjawab pertanyaannya. Dokter senior itu terlihat bingung untuk merangkai kata, ia mengawasi Zane dan Amanda bergantian. "Pak Zane, kami sudah mengupayakan yang terbaik. Memasang pen di tulang kering yang patah. Tetapi--""Tetapi apa, Dokter!" sela Zane dengan histeris. "Nona Belle tidak akan bisa melihat lagi. Benturan yang cukup keras di sekitar mata membuat kornea mata nona Belle mengalami kerusakan."Entah mimpi apa Zane semalam, penjelasan dokter Fani bagaikan terompet yang berbunyi nyari tepat di telinganya. Zane merasa kepalanya berdengung usai mendengar fakta itu. "Kami akan memindahkan nona Belle ke ruang recovery. Anda baru bisa menemuinya jika pasien sudah sadar," sambung dokter Fani lugas sebelum kemudian berlalu pergi. Amanda yang berdiri syok di sebelah Zane, hanya bisa memperhatikan sahabatnya itu dengan air mata berlinang. Cobaan yang tiada henti seakan tak pernah bosan sil
Ronald langsung menuju rumah sakit setelah Zane memberi kabar duka tentang keadaan Belle. Ia memang sempat syok dan menyalahkan dirinya sendiri karena telah mengabaikan Belle beberapa bulan belakangan, tetapi Zane berusaha menguatkan mertuanya itu dan meminta Ronald untuk kuat demi kesembuhan Belle. Seharian, mereka berdua menjaga Belle tanpa sekalipun beranjak. Belum ada tanda-tanda Belle akan sadar dan bangun, meskipun dokter telah memastikan jika keadaan Belle baik-baik saja. "Papa sebaiknya pulang dan istirahat, biar saya yang menjaga Belle di sini," saran Zane sembari menghampiri mertuanya yang nampak lelah. Ronald membuka mata, ia menoleh pada menantunya yang sudah duduk di sampingnya. "Papa akan menginap di sini bersamamu, Zane.""Saya bisa menjaga Belle sendiri, Pa. Papa pulanglah dan istirahat, jangan sampai Papa ikut drop dan sakit." Zane menyela dengan cemas, ia tahu betul jika Ronald tak boleh terlampau lelah dan banyak pikiran.Cukup lama keduanya saling tatap sebelum
Yang lebih menyakitkan dari perpisahan bukanlah perpisahan itu sendiri, tetapi menyadari jika kita akan dilupakan bersama semua kenangan yang pernah dijalani. Itulah yang saat ini Zane rasakan, dilupakan oleh perempuan yang sangat ia cintai. Bahkan sebelum perpisahan mereka dimulai, Belle sudah melupakannya lebih dahulu. Setelah di periksa ulang, adanya cidera di kepala membuat Belle mengalami Amnesia Post Traumatic. Dokter bilang jika Belle akan sembuh dengan beberapa terapi dan obat-obatan. Dan Zane sudah sangat pasrah menghadapi segala permasalahan yang tiada habisnya. "Jadi aku sudah menikah dengan pria tua itu!?" teriak Belle tak percaya ketika Ronald baru saja tiba dan menjelaskan status putrinya. "Zane nggak tua, Belle. Dia hanya selisih beberapa tahun darimu!" sanggah Ronald geram. "Kamu harus bisa menerima statusmu suka atau tidak suka. Bryan sudah mencampakkan kamu dan merelakan kamu menikah dengan Zane. Jadi jangan membahas pria pengecut itu lagi di depan Papa!" "Tapi
"Jadi kamu mau mengundurkan diri?" Sore itu, Amanda datang berkunjung. Karena Belle baru saja tidur, akhirnya Zane mengajak Amanda untuk mengobrol di cafetaria. Sambil menikmati segelas kopi panas, Zane mulai bercerita tentang tawaran yang diberikan Ronald tadi pagi. "Mas Zane, aku percaya kamu bisa melakukan pekerjaan itu. Jangan terlalu cemas, kamu bahkan belum mencobanya." Amanda menelisik kantung mata Zane yang menghitam. "Apa belakangan ini kamu begadang?" tebaknya kepo. Zane yang menyadari jika Amanda mengamati wajahnya, sontak berpaling dengan keki. "Tidak. Aku hanya kurang tidur." "Pasti sangat melelahkan menjaga istrimu sendirian, poor you ..." Amanda mengusap punggung tangan Zane yang terkulai di meja. Kebiasaan Amanda yang suka melakukan phisical touch, terkadang membuat Zane risih sendiri. Ia lekas menarik tangannya dari belaian Amanda dan menyembunyikan kedua tangannya di bawah meja. "Maafkan aku, Manda. Aku akan mengajukan surat pengunduran diriku besok lusa sete
Membuka mata dalam kegelapan, merasakan sakit di sekujur tubuh, juga kehilangan ingatan, adalah siksaan yang Belle alami semingguan ini. Alih-alih semangat untuk sembuh dan bisa melihat lagi, ia sama sekali tak tertarik untuk melakukan operasi setelah tahu jika dirinya ternyata telah menikah dengan pria asing. Pria yang hanya bisa Belle kenali dari suaranya itu sepertinya pria yang penyabar, dia tak pernah marah meskipun berulang kali Belle memuntahkan makanan yang disuapi olehnya. Suaranya yang berat, kaku dan tegas itu, malah terdengar sangat lembut di telinga Belle. Sayangnya, karena memori Belle terhapus sementara dari ingatannya, ia sangat membenci pria bernama Zane itu. Belle menganggap Zane adalah sumber masalah yang membuatnya harus berpisah dengan Bryan. Hari ini, Belle sudah diperbolehkan pulang ke apartemen. Belle tak ingat jika ia pernah tinggal di apartemen, ingatan terakhirnya berhenti di momen kala ia menonton konser Bryan, pujaan hatinya. Belle menganggap dirinya ke
"Om Zane, look! This one looks suit on you!" teriak Briana sembari menarik lengan Zane dan menunjuk sebuah setelan suit berwarna navy. "Briana, stop it! Kau membuat Om Zane bingung dengan menunjukkan ini dan itu!" omel Amanda dari belakang. Briana menoleh singkat ke arah sang mama dan kembali menarik Zane ke sana ke sini, sementara Hans terlihat sibuk menghitung jumlah patung yang berjajar di depan store. Enam pasang suit sudah berada di kasir, sementara Josh masih terus memaksa Zane untuk menambah belanjaan. Hampir dua jam mencoba satu setelan ke setelan lain, Zane mulai merasa lelah dan jenuh. "Kita ke salon saja, sementara ini dulu yang kita beli, Josh!" pinta Zane memelas, ia sudah tak sanggup mencoba baju demi baju yang dipilih Amanda dan Briana. Josh melirik Amanda dan Briana secara bergantian, ketiganya lantas mengangguk setuju setelah berpikir cukup lama. Sebenarnya, Zane tak mau belanja dan bersenang-senang di saat Belle masih dalam keadaan sakit. Namun, Ronald memaksa
"Selamat datang, Pak Zanendra! Senang menyambut kedatangan anda di Janata Group!" Seorang pria gagah yang mengenakan setelan jas mahal, tampan dan berusia sekitar 30 tahunan, menyambut kedatangan Zane yang baru turun dari mobil. Mereka seusia, tapi sepertinya pria itu jauh lebih berpengalaman dibanding Zane. "Saya akan menjadi sekretaris anda mulai hari ini. Nama saya Brion Nawangsa. Anda bisa memanggilnya saya dengan nama Brion atau Rio." Kening Zane mengernyit tanpa sengaja. Brion? Sekilas seperti nama jenis mobil yang familiar di kalangan masyarakat. "Saya akan memanggilmu Rio saja. Boleh, kan?" "Tentu saja boleh, Pak!" Pria seusia Zane tersebut membungkuk dengan hormat, senyumannya menawan dan sanggup membuat siapapun terpana. "Mari ikut dengan saya, saya akan memperkenalkan anda pada lingkungan di perusahan Janata." Dengan gayanya yang khas dan elok dipandang, Rio menjelaskan satu persatu divisi yang berada di perusahaan Janata Group. Penjelasannya sangat detail dan mudah d