Flashback On Di Rumah Sakit yang sama, di mana nenek Lila kerapkali melakukan cuci darah, tubuh tua dan ringkih itu tergeletak lemah di ranjang pasien. Sejak semalam, nenek tua itu mengeluh sesak napas dan tak bisa mengonsumsi apapun. Semua yang dimakan dan diminum pasti dimuntahkan lagi beberapa menit setelahnya. "Zane, apa Ronald su-dah pulang?"Zane menoleh cepat pada sang nenek yang tergolek lemah di ranjang dengan selang oksigen terpasang di hidungnya. Beberapa jam yang lalu, Ronald datang membesuk nenek Lila. Dari suster yang berjaga di ruang cuci darah, Ronald diberitahu jika kondisi nenek Lila drop dan dirawat di ICU."Sudah, Nek," sahutnya sembari beringsut duduk di kursi plastik, di samping ranjang pasien.Wajah keriput yang mulai redup itu menarik kedua ujung bibirnya saat Zane menatapnya. Zane ingin menyimpan setiap lekukan kulit itu dalam ingatannya, ia sangat takut kehilangan sosok renta ini dan tak bisa mengingat wajahnya suatu saat nanti."Kamu sudah tahu, kan, kal
"Mas Zane, bisa tolong bikinin kopi? Tanpa gula dan krimer, ya!" "Baik, Dokter." Zane meletakkan gagang telepon itu ditempatnya semula dan bergegas menyalakan kompor untuk memanaskan air. Sejak dua bulan yang lalu, Zane bekerja sebagai OB sekaligus penjaga malam di Clar's Beauty Clinic. Demi mendapat tempat yang nyaman untuk menepi dan bersembunyi dari permasalahannya, Zane rela bekerja apapun. Beruntung malam itu ia bertemu Amanda yang baru pulang dari kelab malam. Meskipun awalnya Zane menolak bantuan kawannya itu, tetapi akhirnya ia tak memiliki pilihan lain ketika Amanda menawarkan untuk tinggal di kliniknya. "Terimakasih, Mas Zane!" Dokter Fredo tersenyum lebar ketika Zane menyuguhkan kopi buatannya di meja praktek dokter itu. "Sama-sama, Dokter. Saya permisi." Zane buru-buru berbalik karena dokter Fredo terlihat sibuk. Sambil membawa nampan yang telah kosong, Zane bergegas kembali ke dapur yang menjadi kantornya selama bekerja di klinik ini. Kameramen senior yang sangat pe
Sejak Zane pergi, Belle tak pernah berusaha untuk mencari tahu di mana suaminya itu berada. Pertengkaran hebat yang terjadi di malam itu telah menyisakan luka dan trauma, Belle merasa telah ditipu dan dimanfaatkan oleh Zane dan juga papanya. Namun, kedatangan Zara yang tiba-tiba, membuat Belle oleng. Dengan gamblangnya, Zara bercerita jika saat ini Zane bekerja sebagai office boy di sebuah klinik. Belle yakin jika tempat itu adalah klinik kecantikan milik Amanda, karena Zara menjelaskan alamat yang sama persis dengan alamat di kartu nama milik Amanda. "Salah satu teman yang sekantor denganku, waktu itu melihat Mas Zane membersihkan dan mengepel lantai yang kotor karena ketumpahan ice cream. Tadinya temenku nggak yakin kalo itu Mas Zane yang satu divisi dengan kami, tapi setelah staf resepsionis di sana menyebut namanya, baru temanku percaya kalo dia nggak salah lihat." Belle memperhatikan bangunan klinik kecantikan milik Amanda dari seberang jalan. Sepuluh menit yang lalu, semua s
"Bye, Mas Zane!" "Jangan lupa cek lagi ruangan dokter Fredo, ya!" "Sampai besok, Mas Zane!" "Mas Zane, tolong sampaikan sama Dokter Amanda kalo aku pulang duluan! Tadi beliau masih sibuk di dalem." Sapaan selamat tinggal dari semua staf klinik yang hendak pulang, menjadi rutinitas yang Zane dengar setiap jam setengah delapan malam. Ia hanya menanggapi mereka dengan senyuman, atau anggukan kepala sampai mereka semua menghilang di balik pintu. Dan seperti biasa, Zane lantas berkutat dengan pemeriksaan kondisi ruangan mulai dari lantai satu sampai lantai tiga. Setelah setiap ruangan selesai di cek dan dibersihkan, Zane akan mematikan lampu sebagai penanda. Semua tak luput dari pemeriksaan Zane karena Amanda berulangkali mengingatkan padanya bila keamanan dan kebersihan klinik adalah tanggung jawab Zane. Dan dua bulanan ini semuanya berjalan tanpa kendala sedikitpun. "Mas Zane, mau ikut makan malam bersamaku dan anak-anak?" Zane urung naik ke lantai tiga dan menoleh pada Amanda yan
Kepergian nenek Lila kala itu, sempat membuat Zane ingin mengakhiri hidupnya. Zane hidup sebatang kara, tak ada lagi penyemangat, tak ada lagi seorang pun yang menyayanginya. Itulah mengapa, saat mendonorkan ginjal pada Ronald, Zane melakukannya dengan ikhlas. Selain karena telah berjanji pada nenek Lila, Zane juga sudah bosan hidup di dunia. Dalam benaknya, hidup dengan satu ginjal pastilah tidak mudah. Zane pasti akan sekarat cepat atau lambat jika terlalu memforsir dirinya. Bekerja tanpa kenal lelah, lanjut berolahraga dan menyiksa tubuhnya, adalah bentuk protes Zane pada sangat pencipta. Zane berharap bisa segera menyusul nenek Lila, berkumpul dengannya di akhirat sana. Namun, setelah akhirnya mengenal dan menikah dengan Belle, Zane kembali bersemangat menjalani hidupnya. Meskipun tak sekali dua kali Belle melukai perasaannya, Zane tetap bertahan karena ia merasa memiliki seseorang yang berarti di hidupnya. "Belle mengalami patah tulang kaki, dia juga terancam buta karena korn
"Bagaimana keadaan istri saya, Dok!?" Untuk ketiga kalinya, Zane memaksa dokter Fani untuk menjawab pertanyaannya. Dokter senior itu terlihat bingung untuk merangkai kata, ia mengawasi Zane dan Amanda bergantian. "Pak Zane, kami sudah mengupayakan yang terbaik. Memasang pen di tulang kering yang patah. Tetapi--""Tetapi apa, Dokter!" sela Zane dengan histeris. "Nona Belle tidak akan bisa melihat lagi. Benturan yang cukup keras di sekitar mata membuat kornea mata nona Belle mengalami kerusakan."Entah mimpi apa Zane semalam, penjelasan dokter Fani bagaikan terompet yang berbunyi nyari tepat di telinganya. Zane merasa kepalanya berdengung usai mendengar fakta itu. "Kami akan memindahkan nona Belle ke ruang recovery. Anda baru bisa menemuinya jika pasien sudah sadar," sambung dokter Fani lugas sebelum kemudian berlalu pergi. Amanda yang berdiri syok di sebelah Zane, hanya bisa memperhatikan sahabatnya itu dengan air mata berlinang. Cobaan yang tiada henti seakan tak pernah bosan sil
Ronald langsung menuju rumah sakit setelah Zane memberi kabar duka tentang keadaan Belle. Ia memang sempat syok dan menyalahkan dirinya sendiri karena telah mengabaikan Belle beberapa bulan belakangan, tetapi Zane berusaha menguatkan mertuanya itu dan meminta Ronald untuk kuat demi kesembuhan Belle. Seharian, mereka berdua menjaga Belle tanpa sekalipun beranjak. Belum ada tanda-tanda Belle akan sadar dan bangun, meskipun dokter telah memastikan jika keadaan Belle baik-baik saja. "Papa sebaiknya pulang dan istirahat, biar saya yang menjaga Belle di sini," saran Zane sembari menghampiri mertuanya yang nampak lelah. Ronald membuka mata, ia menoleh pada menantunya yang sudah duduk di sampingnya. "Papa akan menginap di sini bersamamu, Zane.""Saya bisa menjaga Belle sendiri, Pa. Papa pulanglah dan istirahat, jangan sampai Papa ikut drop dan sakit." Zane menyela dengan cemas, ia tahu betul jika Ronald tak boleh terlampau lelah dan banyak pikiran.Cukup lama keduanya saling tatap sebelum
Yang lebih menyakitkan dari perpisahan bukanlah perpisahan itu sendiri, tetapi menyadari jika kita akan dilupakan bersama semua kenangan yang pernah dijalani. Itulah yang saat ini Zane rasakan, dilupakan oleh perempuan yang sangat ia cintai. Bahkan sebelum perpisahan mereka dimulai, Belle sudah melupakannya lebih dahulu. Setelah di periksa ulang, adanya cidera di kepala membuat Belle mengalami Amnesia Post Traumatic. Dokter bilang jika Belle akan sembuh dengan beberapa terapi dan obat-obatan. Dan Zane sudah sangat pasrah menghadapi segala permasalahan yang tiada habisnya. "Jadi aku sudah menikah dengan pria tua itu!?" teriak Belle tak percaya ketika Ronald baru saja tiba dan menjelaskan status putrinya. "Zane nggak tua, Belle. Dia hanya selisih beberapa tahun darimu!" sanggah Ronald geram. "Kamu harus bisa menerima statusmu suka atau tidak suka. Bryan sudah mencampakkan kamu dan merelakan kamu menikah dengan Zane. Jadi jangan membahas pria pengecut itu lagi di depan Papa!" "Tapi