"Om Zane, look at this!"Zane menoleh saat suara cadel Briana berteriak memanggilnya, gadis kecil itu nampak memamerkan sebuah prakarya. Sebuah pigura dengan foto dengan hiasan bunga-bunga dan tulisan di bawahnya."Apa itu, Bri? Wah, keren sekali!" puji Zane berbinar sembari memperhatikan barang yang ditunjukkan oleh Briana dari meja belajarnya. Sambil tersipu, Briana turun dari kursi dan menyerahkan pigura itu pada Zane. Ya, pada akhirnya Zane menerima tawaran Amanda untuk menjaga anaknya sementara nanny mereka istirahat dan pulang. Selain untuk mengisi waktu kosongnya, sikap Hans dan Briana yang lucu juga menjadi salah satu alasan Zane menerima pekerjaan ini. Terlebih, Amanda juga sangat friendly dan Zane merasa nyaman saat bersamanya, sesuatu yang baru kali ini ia rasakan pada perempuan selain Belle. Mungkinkah karena Amanda adalah sosok wanita yang blak-blakan dan apa adanya? Dan jenis wanita seperti inilah yang Zane butuhkan."I made this a couple week ago. Bagus, kan?" Briana
Seminyak, Bali. Suara musik menghentak dengan keras di segala penjuru kelab. Belle sejak tadi memperhatikan DJ yang sangat asyik memainkan Turntable-nya sambil sesekali menggoyangkan kepala. Segelas cocktail yang masih berada di genggamannya tak membuat Belle lantas kalap meminumnya. Ia menyesapnya sedikit demi sedikit, Belle tak ingin mabuk, setidaknya jangan sampai mabuk saat bersama Bryan!"Katanya mau berenang?" tanya Bryan heran sembari mengawasi pakaian kekasihnya, di kelab outdoor itu juga terdapat kolam renang yang sudah dipenuhi oleh bule-bule. Belle sontak menggeleng cepat. "Nggak jadi. Males!" Belle mengawasi kolam renang di tengah pub.Bryan lantas memperhatikan kolam tak jauh dari posisi mereka bersantai dan termenung untuk beberapa saat. Sekelebat ingatan melintas, Bryan tetiba teringat pada Zara. Menyadari pria di sampingnya sedang melamun, Belle lantas mengibaskan tangan di depan kekasihnya itu. Bryan tentu saja tersentak kaget, ia lantas melirik Belle dengan kek
Karena cuaca yang buruk, penerbangan yang seharusnya take off jam 5 sore, terpaksa ditunda hingga badai reda. Belle akhirnya tiba di Jakarta jam sembilan malam dan mendapati apartemennya telah sepi. Tadinya Belle pikir, Zane sudah tidur dan beristirahat. Namun, ketika Belle hendak naik ke kamarnya, ia mendengar kunci pintu ruang tamu berbunyi. Dengan napas tertahan, Belle urung naik dan menunggu dengan penasaran, siapa yang datang? Sesuai dugaannya, Zane muncul dari ruang tamu dengan wajah penuh senyuman. Ekspresi itu sangat jarang Belle lihat dan sejujurnya mulai ia rindukan diam-diam. "Zane."Deg. Zane merasakan tubuhnya membeku. Suara itu ...Tangannya yang sudah terulur di handle pintu, mendadak melayang di udara. Senyuman di wajahnya seketika itu lenyap, Zane memperhatikan sosok yang berdiri di tangga dengan hati ngilu. Belle, dia pulang. "Kamu dari mana?" tanya Belle penasaran sembari memperhatikan penampilan suaminya yang rapi. Untuk beberapa detik, Zane tergagap. Ia bingu
Seandainya boleh kembali ke masa lalu dan memperbaikinya, mungkin Belle akan memilih untuk berteman dengan Zane di awal-awal pernikahan mereka. Menjadikan Zane sebagai musuh, nyatanya berdampak pada hubungan mereka hingga sekarang. Zane tak mudah percaya pada sikap manis Belle. "Apa aku terlihat seperti pria murahan?" Dari sorot matanya yang terlihat serius dan dingin, Belle paham jika ia telah melukai harga diri Zane dengan menawarkan liburan di saat dirinya baru saja pulang dari berlibur bersama Bryan. "Zane, aku minta maaf karena sudah pergi tanpa seijinmu. Aku hanya perlu membuktikan sesuatu dari liburanku dengan Bryan," ungkap Belle dengan kepala tertunduk. Zane bungkam, ia menunggu Belle melanjutkan penjelasannya."Dan aku sudah mendapatkan jawabannya." Belle memberanikan diri menantang tatapan suaminya yang tajam. "Ternyata aku---"Ponsel Zane yang berbunyi dengan nyaring di saku celananya, membuat Belle menghentikan perkataannya. Ia memperhatikan suaminya yang nampak tangg
Karena tak ada seorang pun yang bisa Amanda mintai bantuan, terpaksa ia meminta tolong pada Zane untuk mendekor ruang makan dengan beberapa printilan ulang tahun. Balon, bunting flag serta tirai rumbai kertas dengan warna biru dan pink adalah serangkaian dekorasi yang harus Zane selesaikan secepatnya sebelum si kembar pulang sekolah. Sambil mengobrol ringan dengan Amanda yang bergulat di dapur, Zane akhirnya menyelesaikan dekorasi itu dua jam kemudian. "Aku pulang dulu. Nanti sore aku kembali lagi," pamit Zane sembari membuang sampah sisa-sisa pembungkus balon. Amanda menengok ke arah Zane dan mengikuti pria itu dari belakang. "Terimakasih banyak, Mas Zane. Datanglah jam 4 nanti, kami akan memulai acaranya setelah kamu datang," ujar Amanda setelah Zane bersiap untuk membuka pintu. Sebagai respon, Zane hanya mengangguk. Amanda terus mengikutinya hingga Zane keluar dari apartemen. Membuat Zane salah tingkah sendiri karena Belle tak pernah memperlakukannya demikian. Jangankan menga
Bukan main bahagianya Zane mendengar janji yang Belle ucapkan. Bagai gayung bersambut, setelah sekian lama akhirnya Zane bisa memiliki Belle seutuhnya. "Apa itu berarti perjanjian kita sudah tidak berlaku lagi?" tanya Zane ragu, karena selama ini kontrak itu telah membatasi ruang geraknya. Dengan senyuman tipis, Belle mengangguk. "Kita akan memulai semuanya dari awal lagi, Zane. Maaf kalo aku terlambat menyadari kebaikanmu." Usai Belle menyelesaikan ucapannya, Zane beringsut maju dan merengkuh istrinya itu dalam pelukan. Belle miliknya! Akhirnya Belle seutuhnya menjadi istrinya! Tak apa meskipun Belle tak perawan, Zane akan menerimanya dengan tulus apapun keadaannya. "Terimakasih, Belle. Aku janji tidak akan mengecewakan kamu. Aku janji--"Belle mengurai pelukan mereka dan mencium bibir Zane untuk menghentikan ocehan suaminya. Ciuman itu kini lebih lepas, Zane bahkan tak lagi terganggu oleh ingatannya tentang ciuman Belle dan Bryan. Zane berusaha menikmati setiap hembusan napas B
"Tunggu, Zane!" tahan Belle ketika Zane hendak memencet bel di apartemen Amanda. Dengan cekatan, Belle merapikan rambutnya dan mengeluarkan cermin kecil dari dalam tas yang ia jinjing. Setelah memastikan make up-nya masih 'on', Belle segera mengembalikan cermin itu ke dalam tasnya lagi. "Silahkan." Belle mempersilahkan Zane --yang sejak tadi tercengang mengamati gerak-geriknya, untuk memencet bel itu. Sambil tersenyum geli, Zane lantas menekan tombol kecil di gagang pintu itu. Meskipun Zane sudah tahu sandinya, tetapi posisinya saat ini adalah sebagai tamu. Tak sopan jika Zane ngeloyor masuk begitu saja.Tak berapa lama, handle itu bergerak dan pintunya terbuka. Belle sudah bersiap untuk menyapa, tetapi rupanya yang menyambut mereka adalah seorang bocah kecil. "Om Zane!!"Bocah itu sontak melompat dan memeluk Zane setelah pintu terbuka lebar. Tentu saja Belle tersentak kaget melihat keakraban Zane dengan bocil itu, ia melepas gandengannya pada lengan Zane dan mundur selangkah. Mer
Di depan pintu kamar berwarna putih itu, Zane mengetuknya perlahan. "Hans, ini Om Zane. Bisa buka pintunya untukku?" bujuknya lembut.Briana ikut menunggu dan berdiri di samping Zane dengan wajah harap-harap cemas. Ia tahu mengapa Hans sangat membenci momen pertambahan umurnya. Dan setiap tahun kakaknya itu selalu bertingkah seperti ini."Hans, open the door, please." Zane mengetuk lagi pintu itu dengan sedikit keras, khawatir Hans tak mendengarnya. "He won't open it, Om. Hans sangat benci acara ulang tahun."Zane mengernyit heran mendengar penuturan Briana, sepanjang yang ia tahu, semua anak pasti akan bahagia saat momen ulang tahunnya tiba. Mengapa Hans justru sebaliknya?"Kenapa dia benci ulang tahun? Tell me, Bri."Zane duduk di samping gadis kecil itu dengan bertumpu pada satu kakinya."Because--"Cklik.Zane dan Briana menoleh secara bersamaan ke arah pintu, Hans tiba-tiba membuka pintu kamarnya dan muncul dengan wajah muram. Zane kembali berdiri dan masuk ke kamar si kembar y