Andromeda berpikir jika pelaku masih berkeliaran di sekitar Wisnu. Bukan tidak mungkin, ia muncul di antara staf wedding organizer dan mencuri-curi kesempatan untuk menambahkan satu dosis tambahan racun. Untuk itu, Andromeda menemui Miranti malam-malam, ketika Wisnu dan Kalila sudah tidur. Ia membutuhkan bantuan sahabat Kalila itu. "Untuk apa memanggil saya malam-malam begini?" sembur Miranti. Wajah lelahnya menguap berganti raut tak bersahabat.Apalagi mereka bertemu di kamar serba tertutup sehingga Miranti merasa perlu waspada, kalau tidak bisa disebut curiga. Hati Miranti jengkel bukan main. Entah dari mana Andromeda mendapat nomor teleponnya. Miranti lupa, sebagai polisi, Andromeda bisa melakukan banyak hal dalam senyap. "Saya butuh bantuan Anda." Andromeda memelihara sikap sopannya meski ia sangat gatal untuk menggoda dan mengerjai Miranti. "Apa terkait kasus Om Wisnu?" Kemarahan di hati Miranti sedikit mereda. Ia selalu prihatin jika sudah menyangkut nasib Wisnu dan bersedia
Dering alarm ponsel membangunkan Kalila. Susah payah ia membuka mata karena kepalanya terasa berat. Dilihatnya jam dinding. Jam setengah empat, enam puluh menit sebelum subuh. Kalila mencoba bangun, tetapi ketika tubuhnya sudah tegak dan kakinya menyentuh lantai kamar, bumi seperti berputar hebat dan dilihatnya isi kamar seolah jungkir balik. Sesaat Kalila menangkupkan kedua tangan ke wajah lalu menarik napas dalam-dalam, berharap kepalanya tak lagi berat setelah memasukkan oksigen sebanyak mungkin ke paru-paru. Namun, upayanya tidak membuahkan hasil. Ketika ia berdiri, tubuhnya hampir limbung sehingga Kalila memutuskan untuk kembali duduk. Lagi, Kalila menghela napas. Ya, Allah, saya izin absen tahajud malam ini karena sakit. Lantas Kalila kembali bergelung di balik selimut. Ia juga merasa wajahnya sangat panas, terutama di sekitar mata dan hidung sampai-sampai kedua matanya seperti berair. Ketika azan Subuh terdengar, Kalila menyibak selimut dengan panik. Ia harus segera salat da
"Palingan cuma flu biasa, Mir. Sehari istirahat juga sembuh. Kamu sendiri tahu, kemarin aku bolak-balik minum es. Kecapekan juga." Cuaca kemarin saat resepsi memang terasa lebih panas meski pesta diadakan di taman. Akibatnya, Kalila tergoda untuk melahap sup buah dan es krim lebih dari satu porsi sampai perutnya terasa penuh padahal ia belum makan. Beberapa kali Farhan mengingatkan, tetapi Kalila ngeyel. "Jangan menyederhanakan masalah. Awalnya Om Wisnu juga disangka kena asam lambung, ternyata keracunan." Miranti terus berujar panik. Ia melupakan tujuan utamanya menelepon Kalila.Sebenarnya , Miranti menelepon Kalila karena ingin menanyakan nomor ponsel Andromeda. Polisi itu sudah membuat ulah dan Miranti harus menghubunginya. Namun, keadaan Kalila melupakannya dari Andromeda."Gejalanya beda dengan Papa." Kalila bersikeras sembari mengingat keadaan tubuhnya. Ia tidak mual, hanya demam dan pusing. Bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan karena sebabnya jelas. Berbeda dengan Wisnu.
Andromeda tiba di rumah Wisnu hampir bersamaan dengan Miranti, hanya berselang sepuluh menit setelah Miranti datang dan melihat Ratna menyanggah ucapan Wisnu sementara pria itu duduk dengan sorot mata lelah dan wajah sayu. Miranti duduk tidak jauh dari Ratna, mencoba mencerna, apa yang sebenarnya terjadi. "Tidak mungkin Mas Ian dilihat dua orang di tempat yang berbeda, Mbak." Farhan bersuara setelah Ratna selesai bicara. "Prof. Wisnu jelas melihat orang yang memberinya kopi adalah Mas Ian. Sedangkan Aida sendiri bilang kalau papanya baru menjemput setelah magrib. Jadi wajar kalau memang Mas Ian masih di kampus." "Ini lagi ngomongin Mas Ian, OB di kantor Om Wisnu?" Miranti bersuara. Ada benang merah yang terputus di kepalanya sehingga ia belum mengerti sepenuhnya apa yang sedang terjadi. "Iya, Mir. Semalam Mas Ian ditetapkan sebagai tersangka." "Oh, My." Kedua mata Miranti membulat sempurna. Dimainkannya ujung rambut dengan jari seraya menatap Ratna tak percaya. "Andromeda mengat
Andromeda duduk dengan kaki kanan berada di atas paha kiri. Ditatapnya Ian lekat-lekat sembari menggigit-gigit ujung Zippo. Puzzle kasus ini hampir lengkap. Siapa naga di balik aksi percobaan pembunuhan Wisnu juga sudah terdeteksi. Hanya tinggal menyambung dengan benang merah dan melakukan pembuktian-pembuktian. Namun, puzzle itu ambyar setelah kesaksian Miranti yang menguatkan alibi Ian. Semua bukti kembali mentah. Andromeda harus menelisik keping-keping puzzle itu satu per satu dan mencari celah kosong yang membuat susunan puzzlenya lowong. . "Mbak Lila kenal baik saya. Dia mungkin bisa meyakinkan Anda kalau manusia dalam video itu bukan saya." Wajah lelah Ian sesaat seperti bercahaya. Ada kilat harapan pada tatap mata yang semula sayu. Tiba-tiba saja sosok Kalila hadir di kepalanya seperti wahyu yang diturunkan Tuhan pada para nabi. Ia bukan nabi, tetapi ide yang baru saja muncul di kepala ia anggap wangsit, pelita di tengah hidupnya yang mendadak suram. Andromeda mengelilingi m
Kalila menatap Andromeda sekilas lalu meminta izin memakai mouse yang segera dituruti Andromeda. Kalila memajukan video dan menghentikan di satu titik. "Setahu saya, Mas Ian selalu menyajikan kopi dengan cangkir, bukan gelas." "Bisa jadi saat itu semua cangkir dipakai atau kotor." Gelengan Kalila menyangkal analisis Andromeda. "Papa membawa setengah lusin cangkir dari rumah dan menyimpannya di kantor." "Saya mengerti. Prof. Wisnu tipe orang yang tidak suka berganti-ganti barang." Kembali ketukan ujung pulpen memenuhi ruang interogasi beraroma apel. Wajah Andromeda terlihat suram. Ditatapnya juniornya dengan gusar. Saraf otaknya sudah menemukan di mana titik kesalahan penyelidikannya bermula. "Baik, Mbak Lila. Terima kasih atas waktu dan keterangan Anda. Saya kira cukup sekian untuk hari ini." Andromeda menarik kedua sudut bibir ke atas yang segera dibalas anggukan dan senyum Kalila. Kalila keluar ruang berukuran sembilan meter persegi dengan delapan lubang ventilasi berbentuk pe
alila menatap sangsi Farhan. "Beneran sudah nggak apa-apa?" "Bener." Farhan menengadahkan tangan. Kedua sudut bibirnya terangkat. Dengan tatap ragu, Kalila memberikan kunci mobil pada Farhan. Lalu, dalam hitungan menit keduanya sudah berada di luar Sardjito. Belum lama meninggalkan Sardjito, Kalila merasa sangat mengantuk. Ia tidak ingin tidur, tetapi matanya enggan diajak kompromi. Akibatnya, ia sudah terlelap ketika mobil baru saja berada di jalan raya menuju Monumen Jogja Kembali. Sesekali Farhan menoleh, menatap wajah damai Kalila. Di perempatan Monjali, lampu merah menghentikan laju mobil. Lagi, Farhan menoleh. Tangannya terangkat ingin mengusap pipi Kalila. Sempat terhenti sejenak karena khawatir, jari-jari Farhan akhirnya menyentuh sisi wajah Kalila. Farhan tersenyum, mengingat pertemuannya dengan Kalila. Dulu dia gadis SMP yang lucu. Sering datang ke kantor Wisnu sepulang sekolah, duduk di ruang kerja sang papa atau menghabiskan waktu di perpustakaan. Farhan selalu mel
Sempat melihat jarum jam dinding sesaat, Kalila memiringkan tubuh, membelakangi Farhan, lalu memeluk gulingnya. Besok ia harus bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan dan bekal Farhan. Kalila berpikir, dengan mengerjakan tugas-tugasnya sebagai istri, lambat laun ia akan bisa menerima Farhan. Hampir tengah malam ketika Farhan mematikan laptop. Ia harus bertarung dengan hacker yang mencoba membobol ponselnya, Wisnu, dan Kalila. Ia baru bisa tenang ketika penjahat itu tidak bisa lagi menerobos benteng buatannya. Bibir Farhan melengkung saat membaca namanya di daftar kontak Kalila. Beruang Kutub telah berganti dengan Farhan Habibi. Melihat perubahan sekecil itu saja Farhan sudah sangat senang. Setelah berwudu dan salat tiga rakaat, Farhan berbaring di samping Kalila. Kini, perempuan itu menghadapnya. Lama Farhan tercenung. Kedua matanya menatap Kalila. Diusapnya pipi yang selalu kemerahan saat malu atau menyembunyikan sesuatu. Segala yang ada pada Kalila mengingatkan Farhan akan m