Andromeda tiba di rumah Wisnu hampir bersamaan dengan Miranti, hanya berselang sepuluh menit setelah Miranti datang dan melihat Ratna menyanggah ucapan Wisnu sementara pria itu duduk dengan sorot mata lelah dan wajah sayu. Miranti duduk tidak jauh dari Ratna, mencoba mencerna, apa yang sebenarnya terjadi. "Tidak mungkin Mas Ian dilihat dua orang di tempat yang berbeda, Mbak." Farhan bersuara setelah Ratna selesai bicara. "Prof. Wisnu jelas melihat orang yang memberinya kopi adalah Mas Ian. Sedangkan Aida sendiri bilang kalau papanya baru menjemput setelah magrib. Jadi wajar kalau memang Mas Ian masih di kampus." "Ini lagi ngomongin Mas Ian, OB di kantor Om Wisnu?" Miranti bersuara. Ada benang merah yang terputus di kepalanya sehingga ia belum mengerti sepenuhnya apa yang sedang terjadi. "Iya, Mir. Semalam Mas Ian ditetapkan sebagai tersangka." "Oh, My." Kedua mata Miranti membulat sempurna. Dimainkannya ujung rambut dengan jari seraya menatap Ratna tak percaya. "Andromeda mengat
Andromeda duduk dengan kaki kanan berada di atas paha kiri. Ditatapnya Ian lekat-lekat sembari menggigit-gigit ujung Zippo. Puzzle kasus ini hampir lengkap. Siapa naga di balik aksi percobaan pembunuhan Wisnu juga sudah terdeteksi. Hanya tinggal menyambung dengan benang merah dan melakukan pembuktian-pembuktian. Namun, puzzle itu ambyar setelah kesaksian Miranti yang menguatkan alibi Ian. Semua bukti kembali mentah. Andromeda harus menelisik keping-keping puzzle itu satu per satu dan mencari celah kosong yang membuat susunan puzzlenya lowong. . "Mbak Lila kenal baik saya. Dia mungkin bisa meyakinkan Anda kalau manusia dalam video itu bukan saya." Wajah lelah Ian sesaat seperti bercahaya. Ada kilat harapan pada tatap mata yang semula sayu. Tiba-tiba saja sosok Kalila hadir di kepalanya seperti wahyu yang diturunkan Tuhan pada para nabi. Ia bukan nabi, tetapi ide yang baru saja muncul di kepala ia anggap wangsit, pelita di tengah hidupnya yang mendadak suram. Andromeda mengelilingi m
Kalila menatap Andromeda sekilas lalu meminta izin memakai mouse yang segera dituruti Andromeda. Kalila memajukan video dan menghentikan di satu titik. "Setahu saya, Mas Ian selalu menyajikan kopi dengan cangkir, bukan gelas." "Bisa jadi saat itu semua cangkir dipakai atau kotor." Gelengan Kalila menyangkal analisis Andromeda. "Papa membawa setengah lusin cangkir dari rumah dan menyimpannya di kantor." "Saya mengerti. Prof. Wisnu tipe orang yang tidak suka berganti-ganti barang." Kembali ketukan ujung pulpen memenuhi ruang interogasi beraroma apel. Wajah Andromeda terlihat suram. Ditatapnya juniornya dengan gusar. Saraf otaknya sudah menemukan di mana titik kesalahan penyelidikannya bermula. "Baik, Mbak Lila. Terima kasih atas waktu dan keterangan Anda. Saya kira cukup sekian untuk hari ini." Andromeda menarik kedua sudut bibir ke atas yang segera dibalas anggukan dan senyum Kalila. Kalila keluar ruang berukuran sembilan meter persegi dengan delapan lubang ventilasi berbentuk pe
alila menatap sangsi Farhan. "Beneran sudah nggak apa-apa?" "Bener." Farhan menengadahkan tangan. Kedua sudut bibirnya terangkat. Dengan tatap ragu, Kalila memberikan kunci mobil pada Farhan. Lalu, dalam hitungan menit keduanya sudah berada di luar Sardjito. Belum lama meninggalkan Sardjito, Kalila merasa sangat mengantuk. Ia tidak ingin tidur, tetapi matanya enggan diajak kompromi. Akibatnya, ia sudah terlelap ketika mobil baru saja berada di jalan raya menuju Monumen Jogja Kembali. Sesekali Farhan menoleh, menatap wajah damai Kalila. Di perempatan Monjali, lampu merah menghentikan laju mobil. Lagi, Farhan menoleh. Tangannya terangkat ingin mengusap pipi Kalila. Sempat terhenti sejenak karena khawatir, jari-jari Farhan akhirnya menyentuh sisi wajah Kalila. Farhan tersenyum, mengingat pertemuannya dengan Kalila. Dulu dia gadis SMP yang lucu. Sering datang ke kantor Wisnu sepulang sekolah, duduk di ruang kerja sang papa atau menghabiskan waktu di perpustakaan. Farhan selalu mel
Sempat melihat jarum jam dinding sesaat, Kalila memiringkan tubuh, membelakangi Farhan, lalu memeluk gulingnya. Besok ia harus bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan dan bekal Farhan. Kalila berpikir, dengan mengerjakan tugas-tugasnya sebagai istri, lambat laun ia akan bisa menerima Farhan. Hampir tengah malam ketika Farhan mematikan laptop. Ia harus bertarung dengan hacker yang mencoba membobol ponselnya, Wisnu, dan Kalila. Ia baru bisa tenang ketika penjahat itu tidak bisa lagi menerobos benteng buatannya. Bibir Farhan melengkung saat membaca namanya di daftar kontak Kalila. Beruang Kutub telah berganti dengan Farhan Habibi. Melihat perubahan sekecil itu saja Farhan sudah sangat senang. Setelah berwudu dan salat tiga rakaat, Farhan berbaring di samping Kalila. Kini, perempuan itu menghadapnya. Lama Farhan tercenung. Kedua matanya menatap Kalila. Diusapnya pipi yang selalu kemerahan saat malu atau menyembunyikan sesuatu. Segala yang ada pada Kalila mengingatkan Farhan akan m
Ayunan kaki Kalila berhenti di selasar kampus. Ia baru saja selesai mendaftar ujian skripsi. Kalila masih harus menunggu konfirmasi dari akademik jurusan karena jadwal ujian baru keluar setelah ada kepastian dari empat dosen penguji. Sebenarnya Kalila bisa menggunakan pengaruh Wisnu atau meminta bantuan Farhan agar melobi keempat dosen pengujinya. Apalagi salah satu dari mereka kenal baik dengan Wisnu. Farhan juga pasti mengenal mereka. Namun, Kalila tidak ingin nepotisme. Ia bukan model manusia aji mumpung. Dosen pembimbing utama Kalila pernah menawarkan posisi asisten mata kuliahnya. Sahabat baik Wisnu itu berjanji akan mencarikan jalan untuk menjadi salah satu pengajar di FIB, tetapi Kalila menolak dengan halus. Ia memilih membangun karirnya sendiri. Kalila berharap selepas kuliah bisa lepas dari pengaruh dan bayang-bayang sang papa. Angin berembus cukup kencang saat Kalila duduk di bangku kayu dengan lengan berbentuk lengkung. Cahaya matahari meredup terhalang awam yang mengab
“Belum. Om Wisnu baru beres salat Zuhur kayaknya.” “Ya, sudah, makan bareng Papa saja.” "Beres. Eh, camilan kamu pada habis, nih. " Bagi Miranti, mengobrol tanpa ditemani camilan seperti mencintai seseorang dalam diam, sangat ingin mendekap, tetapi tak bisa dijangkau. "Aku nanti mampir bentar buat belanja." "Siip. Memang datang ke rumahmu dalam keadaan lapar tidak pernah salah.” Miranti terkekeh. “See you." Kalila menggeleng seraya memasukkan ponsel ke dalam tas. Ia tersenyum dan melambaikan tangan pada teman yang melintasi halaman menuju gedung utama. Lantas, ia beranjak dan berjalan cepat menuju tempat parkir. Sejurus kemudian, ia memacu motor keluar kompleks kampus sosio humaniora menuju jalan utama.Melewati boulevard, Kalila memperlambat laju motor. Ia berbelok ke supermarket di ujung perempatan di dekat kampus Fakultas MIPA. Terburu-buru memasuki bangunan berpendingin ruangan. Kakinya terayun cepat menuju rak makanan kecil. Dimasukkannya keripik singkong dan macaroni keju
Air mata Kalila kembali tumpah. Dalam dekapan Miranti, bahunya berguncang dan isakannya memenuhi dapur.“Kita akan cari jalan keluarnya. Besok, kita cari polisi hantu itu. Kita minta penjelasan,” bisik Miranti seraya mengelus punggung Kalila. “Sekarang makan dulu. Hapus air matamu. Jangan sampai Pak Farhan melihat kamu nangis.” Miranti melonggarkan pelukan. Diambilnya beberapa lembar tissue kemudian mengusapkannya di wajah Kalila. Kalila mengucapkan terima kasih dengan suara lemah. Diteguknya teh kamomil hangat yang kebanyakan gula. Miranti pasti lupa takaran gula untuk secangkir teh. “Ngomong-ngomong, kamu pernah nggak ngomongin masalah ini sama Pak Farhan?” tanya Miranti hati-hati. Sembari menatap Kalila, disesapnya teh hijau hangat yang ternyata terlalu manis.Kalila tercenung. Kedua tangan Kalila menangkup pada dinding cangkir, membiarkan hangat air teh mengaliri telapaknya. Pernah terbersit di kepala untuk membicarakan masalah ini dengan Farhan, tetapi ia selalu lupa, Ia terlal