alila menatap sangsi Farhan. "Beneran sudah nggak apa-apa?" "Bener." Farhan menengadahkan tangan. Kedua sudut bibirnya terangkat. Dengan tatap ragu, Kalila memberikan kunci mobil pada Farhan. Lalu, dalam hitungan menit keduanya sudah berada di luar Sardjito. Belum lama meninggalkan Sardjito, Kalila merasa sangat mengantuk. Ia tidak ingin tidur, tetapi matanya enggan diajak kompromi. Akibatnya, ia sudah terlelap ketika mobil baru saja berada di jalan raya menuju Monumen Jogja Kembali. Sesekali Farhan menoleh, menatap wajah damai Kalila. Di perempatan Monjali, lampu merah menghentikan laju mobil. Lagi, Farhan menoleh. Tangannya terangkat ingin mengusap pipi Kalila. Sempat terhenti sejenak karena khawatir, jari-jari Farhan akhirnya menyentuh sisi wajah Kalila. Farhan tersenyum, mengingat pertemuannya dengan Kalila. Dulu dia gadis SMP yang lucu. Sering datang ke kantor Wisnu sepulang sekolah, duduk di ruang kerja sang papa atau menghabiskan waktu di perpustakaan. Farhan selalu mel
Sempat melihat jarum jam dinding sesaat, Kalila memiringkan tubuh, membelakangi Farhan, lalu memeluk gulingnya. Besok ia harus bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan dan bekal Farhan. Kalila berpikir, dengan mengerjakan tugas-tugasnya sebagai istri, lambat laun ia akan bisa menerima Farhan. Hampir tengah malam ketika Farhan mematikan laptop. Ia harus bertarung dengan hacker yang mencoba membobol ponselnya, Wisnu, dan Kalila. Ia baru bisa tenang ketika penjahat itu tidak bisa lagi menerobos benteng buatannya. Bibir Farhan melengkung saat membaca namanya di daftar kontak Kalila. Beruang Kutub telah berganti dengan Farhan Habibi. Melihat perubahan sekecil itu saja Farhan sudah sangat senang. Setelah berwudu dan salat tiga rakaat, Farhan berbaring di samping Kalila. Kini, perempuan itu menghadapnya. Lama Farhan tercenung. Kedua matanya menatap Kalila. Diusapnya pipi yang selalu kemerahan saat malu atau menyembunyikan sesuatu. Segala yang ada pada Kalila mengingatkan Farhan akan m
Ayunan kaki Kalila berhenti di selasar kampus. Ia baru saja selesai mendaftar ujian skripsi. Kalila masih harus menunggu konfirmasi dari akademik jurusan karena jadwal ujian baru keluar setelah ada kepastian dari empat dosen penguji. Sebenarnya Kalila bisa menggunakan pengaruh Wisnu atau meminta bantuan Farhan agar melobi keempat dosen pengujinya. Apalagi salah satu dari mereka kenal baik dengan Wisnu. Farhan juga pasti mengenal mereka. Namun, Kalila tidak ingin nepotisme. Ia bukan model manusia aji mumpung. Dosen pembimbing utama Kalila pernah menawarkan posisi asisten mata kuliahnya. Sahabat baik Wisnu itu berjanji akan mencarikan jalan untuk menjadi salah satu pengajar di FIB, tetapi Kalila menolak dengan halus. Ia memilih membangun karirnya sendiri. Kalila berharap selepas kuliah bisa lepas dari pengaruh dan bayang-bayang sang papa. Angin berembus cukup kencang saat Kalila duduk di bangku kayu dengan lengan berbentuk lengkung. Cahaya matahari meredup terhalang awam yang mengab
“Belum. Om Wisnu baru beres salat Zuhur kayaknya.” “Ya, sudah, makan bareng Papa saja.” "Beres. Eh, camilan kamu pada habis, nih. " Bagi Miranti, mengobrol tanpa ditemani camilan seperti mencintai seseorang dalam diam, sangat ingin mendekap, tetapi tak bisa dijangkau. "Aku nanti mampir bentar buat belanja." "Siip. Memang datang ke rumahmu dalam keadaan lapar tidak pernah salah.” Miranti terkekeh. “See you." Kalila menggeleng seraya memasukkan ponsel ke dalam tas. Ia tersenyum dan melambaikan tangan pada teman yang melintasi halaman menuju gedung utama. Lantas, ia beranjak dan berjalan cepat menuju tempat parkir. Sejurus kemudian, ia memacu motor keluar kompleks kampus sosio humaniora menuju jalan utama.Melewati boulevard, Kalila memperlambat laju motor. Ia berbelok ke supermarket di ujung perempatan di dekat kampus Fakultas MIPA. Terburu-buru memasuki bangunan berpendingin ruangan. Kakinya terayun cepat menuju rak makanan kecil. Dimasukkannya keripik singkong dan macaroni keju
Air mata Kalila kembali tumpah. Dalam dekapan Miranti, bahunya berguncang dan isakannya memenuhi dapur.“Kita akan cari jalan keluarnya. Besok, kita cari polisi hantu itu. Kita minta penjelasan,” bisik Miranti seraya mengelus punggung Kalila. “Sekarang makan dulu. Hapus air matamu. Jangan sampai Pak Farhan melihat kamu nangis.” Miranti melonggarkan pelukan. Diambilnya beberapa lembar tissue kemudian mengusapkannya di wajah Kalila. Kalila mengucapkan terima kasih dengan suara lemah. Diteguknya teh kamomil hangat yang kebanyakan gula. Miranti pasti lupa takaran gula untuk secangkir teh. “Ngomong-ngomong, kamu pernah nggak ngomongin masalah ini sama Pak Farhan?” tanya Miranti hati-hati. Sembari menatap Kalila, disesapnya teh hijau hangat yang ternyata terlalu manis.Kalila tercenung. Kedua tangan Kalila menangkup pada dinding cangkir, membiarkan hangat air teh mengaliri telapaknya. Pernah terbersit di kepala untuk membicarakan masalah ini dengan Farhan, tetapi ia selalu lupa, Ia terlal
"Maaf, La, malam ini aku pulang telat." Farhan mengirim pesan karena khawatir Wisnu menunggunya makan malam. Sejak menjadi menanti, yang masih dalam hitungan hari, Wisnu selalu ingin sarapan dan makan malam bersama. Lelaki itu terasa lebih sentimentil, tetapi Farhan maklum. Bisa jadi ia punya banyak pikiran buruk tentang kondisinya dan Farhan merasa harus membesarkan hati Wisnu dengan cara menuruti permintaan-permintaannya selama masih rasional. "Ya." Hanya jawaban pendek yang dikirim Kalila. Farhan menghela napas. Ia ingin jawaban lebih. Ah, sudahlah. Mungkin Lila sedang sibuk dengan skripsinya. Farhan mengusir kecewa. "Bekalnya enak. Makasih, La." Farhan mencoba lagi. Siapa tahu kali ini berhasil membuka obrolan lebih menyenangkan. Sebelum menikah mereka tidak sekaku ini. Entah mengapa pernikahan justru mencipta jarak di antara ia dan Kalila. "Sama-sama." Oh, Tuhan. Farhan menjatuhkan punggung di sandaran kursi putarnya. Ia memejamkan mata seraya menyugar rambut. Sepertinya i
Keheningan serta-merta menyergap dapur. Tidak ada denting sendok beradu dengan piring, bunyi tegukan atau sesapan pada gelas lemon tea, juga suara-suara Andromeda dan Farhan. Dua lelaki itu hanya saling menatap. Mulut mereka terkatup rapat, tetapi isi kepala sangat riuh. Andromeda mengambil sendok. Ketukan pangkalnya ke meja mengakhiri sunyi yang tercipta. Tatap Andromeda tertuju tepat pada manik gelap Farhan. Ia tidak bisa membocorkan skenarionya pada Farhan meski sahabatnya itu sudah bisa menebak. Andromeda tahu tidak sedang menghadapi orang bodoh. Doktor lulusan Munich University itu juga pasti tidak akan tinggal diam dan akan terus mencari jalan untuk menyelesaikan kasus ini. Andromeda juga tahu, Wisnu bukan sekadar senior bagi Farhan. Pria tua itu adalah pengganti bapak yang sangat dirindukan Farhan. Sahabatnya telah menemukan penggenap jiwa yang lowong pada Wisnu dan Kalila. Kehangatan, ketulusan, ada pada mereka. “Berapa persen probabilitas rencanamu berhasil?” Farhan ber
Ada raut lega tercetak di wajah Wisnu saat mendengar ucapan Farhan. Wisnu mengucapkan terima kasih kemudian berjalan pelan menuju kamar. Amarah bergumpal-gumpal di dadanya. Kalau bukan karena menuruti permintaan Kalila dan Miranti agar tetap di rumah, ia pasti sudah pergi ke kantor polisi. Ia merasa harus membuat perhitungan dengan Andromeda. Keramaian. Kata itu kembali berdengung di kepala Farhan ketika ia terpaku menatap tubuh Wisnu hingga hilang di balik pintu. Keramaian.Farhan memejamkan mata. Jika penjahat itu menunggu Wisnu muncul di keramaian, hanya ada satu tempat yang paling memungkinkan. Rumah sakit. Farhan terkesiap. Mendadak tubuhnya sedikit gemetar. Bayangan Wisnu menggelepar meregang nyawa menyerbu kepala disusul hadirnya wajah Bapak dan Mamak. Argh!! Farhan meremas rambutnya. Kepalanya terasa nyeri dan sakit. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuh hingga tubuhnya mendadak lemas dan lungkrah. Perlahan, Farhan mendekati sofa lalu terduduk letih di lantai. Disand
Bibir Andromeda melengkung lalu mendekati meja. Ia membungkuk lalu duduk bersila hingga tubuhnya dan Kaivan berada dalam satu garis lurus. Mulutnya masih terkatup rapat sementara otaknya sibuk menakar kekuatan Kaivan dan permainan yang mungkin disiapkannya. Baru saja tubuh Andromeda berada di atas tatami, dinding di samping kirinya tiba-tiba bergeser lalu dua lelaki tegap berjas dan berkacamata hitam keluar dari balik dinding dan berdiri dua meter di belakang Andromeda. “Saya kira kita akan bicara empat mata.” Tatap tajam Andromeda menerobos rongga mata Kaivan. “Rupanya Anda tak seberani yang saya kira. Anda tak lebih dari seekor kecoa.” Andromeda tersenyum meremehkan. Kai tertawa. “Ternyata benar kata orang, Anda polisi bermulut besar.” Pria itu berdecak. “Toh, Anda juga tidak datang sendiri, bukan?” Hiasan gantung di belakang Kaivan tiba-tiba tergulung. Dinding di belakangnya menjelma layar lebar yang memperlihatkan orang-orang Andromeda di sekitar rumah Kaivan. “Saya hitung, ad
“Kamu yakin negosiasi dengan Kaivan akan berhasil?” Farhan menatap lurus-lurus Andromeda. Seharian ini Farhan harus ikut Andromeda koordinasi terakhir dan simulasi beberapa rencana yang akan mereka lakukan dan itu membuat otak dan fisik Farhan sangat letih, lebih capek dari mengajar selama berjam-jam di depan kelas. Sorot mata pria itu meredup dan digelayuti kekhawatiran juga ketakutan. Musuh mereka bukan kaleng-kaleng, bukan penjahat kelas teri. Andromeda mengangguk yakin. Diseruputnya sisa kopi di dalam gelas. “Aku punya kartu As Kaivan dan Atmaveda grup. Dia tidak akan berkutik di depanku.” “Dia tidak sebodoh yang kamu kira, Da.” “Dia memang tidak bodoh. Tapi aku juga bukan polisi ingusan.” Andromeda menatap keluar jendela ruang kerjanya yang masih dibiarkan terbuka. Diambilnya pulpen dari kemeja kemudian memutar-mutarnya. “Aku pastikan, dia bertemu lawan sepadan.” Pandangan Andromeda kembali tertuju pada Farhan. “Kamu tidak perlu khawatir, Kawan. Semua sudah aku hitung.” Ia be
halo, hola, readers. Maaf baru update lagi. Kondisi kesehatan dan adanya projek lain membuat saya sedikit menunda waktu update. Semoga teman-teman masih bersedia mengikuti cerita ini. Salam hangat dari Farhan dan Kalila :-) *** Pergi. Mendadak dada Kalila terasa sesak mendengar kata itu. Kepalanya tertunduk dan tangannya meremas tepi rok. Apa saat itu hampir tiba? Kenapa terburu-buru mengurus balik nama rumah dan mobil? Ia anak tunggal. Tidak akan terjadi konflik rebutan harta warisan dengan siapa pun. Tidak mungkin ia akan berebut dengan Farhan. Lagi pula, setahu Kalila harta Wisnu hanya rumah ini dan isinya. Pria itu lebih banyak bersedekah ketimbang menyimpan uang untuk diri dan keluarganya. Wisnu tidak pernah membeli sesuatu berlebih. Semua hanya seperlunya dan kalau benar-benar dibutuhkan. Wisnu tidak akan membeli barang baru jika yang lama masih bisa dipakai. Seandainya ia membeli barang baru, maka barang lama akan ia berikan pada orang lain. First in first out. Begitu prin
Selepas salat Asar, Farhan melajukan Expander menuju makam. Tanah pekuburan itu sebenarnya terletak di belakang kompleks, tetapi untuk memasukinya harus memutar keluar dulu dari gerbang kompleks kemudian belok kiri memasuki jalan kampung di pertigaan pertama setelah pintu keluar kompleks. Makam itu digunakan oleh warga dua kompleks perumahan dan penduduk di pemukiman belakang kompleks sehingga pintu masuknya berada di depan jalan yang bisa dilewati warga dari ketiga wilayah itu. Sebelum ke makam, Kalila meminta Farhan ke florist yang letaknya lima ratus meter dari pertigaan di mana mereka akan berbelok. "Mama paling suka kalau aku ajak jalan sore-sore." Suara Wisnu terdengar renyah dan hangat. Bibirnya tidak henti menyunggingkan senyum seolah ia benar-benar akan bertemu sang istri yang telah lama terpisah jarak. Farhan menoleh, tersenyum kemudian kembali menatap jalanan. Ia bisa merasakan kegembiraan Wisnu. Andai bisa, dia pun akan mengunjungi makam Mamak dan Bapak sesering mungk
Ucapan Wisnu memaku tubuh Kalila. Seperti ada dua tangan yang tiba-tiba keluar dari lantai kemudian memegang erat kakinya sehingga tidak bisa melangkah. Main? Aku main? Dari mana Papa mendapat kata itu? Apakah Bang Farhan telah mengadu pada Papa dan menyebut main setiap kali aku keluar rumah? “Lila nggak pernah pergi main atau nongkrong, Pa.” Kalila menggeser sedikit tubuhnya kemudian duduk di kursi, agak jauh dari Wisnu. Ditatapnya paras sang papa dengan pandangan tak terima. Memang, kadang sepulang meliput, wawancara, atau mengambil foto, ia mampir ke kafe. Biasanya ia akan membuat janji dengan Miranti dan mereka akan mengobrol. Namun, bukan itu tujuan kepergiannya. Apalagi setelah menikah. Jangankan main, hanya ke kampus atau ke kosan Miranti saja Farhan sudah sangat rewel. “Syukurlah kalau kamu tidak melakukannya.” Wisnu menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia tahu, Kalila masih ingin bebas. Ia khawatir Kalila melupakan kewajibannya sebagai istri karena terlalu asyik dengan Mir
Farhan membiarkan Andromeda pergi tanpa mengantarnya sampai keluar rumah. Kepalanya terlalu penuh dengan berbagai lintasan pikiran dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Ia memilih menyalakan laptop dan membuka data bisnis gelap keluarga Atmaveda. Sampai saat ini ia masih tak habis pikir, dari kota yang katanya paling nyaman dan ngangeni ini, hidup bos mafia yang puluhan tahun menjalankan bisnis ilegal tanpa tersentuh hukum. “Kaivan dan Airlangga tetap akan kami seret ke penjara. Tapi kamu tahu, mereka sangat rapi dalam menyembunyikan kejahatan. Tidak akan mudah membekuk mereka, Kawan.” Ucapan Andromeda kembali terngiang di kepala. Waktu itu, Farhan keberatan jika harus bernegosiasi dengan Kaivan karena itu artinya, ia menukar bukti kejahatan Kaivan dengan nyawanya. Setelah negosiasi, ia dan Wisnu harus diam padahal mereka tahu ada kejahatan besar sedang berlangsung. Farhan tidak bisa membayangkan kehidupan macam apa yang akan dijalaninya ketika harus menyembu
Andromeda menatap sengit Farhan sebelum kembali melihat ke arah halaman. “Coba ingat baik-baik, apa ada kata membunuh dalam kalimatku? Apa aku memintamu membunuh anak Kaivan?” Andromeda menekan earpiece di telinga kanannya. Dialihkannya perhatian pada Farhan. “Tuhan memberi otakmu, tolong dipakai untuk mikir yang bener, bukan cuma mikirin Kalila.” “Sial!” Farhan meraih dan mencengkeram kedua lengan Andromeda. Lantas, salah satu kakinya maju ke depan, lalu ia berbalik dan sedikit membungkuk. Diangkatnya tubuh Andromeda dan membantingnya ke lantai perpustakaan yang beralas permadani dari Iran. “Kutu kupret busuk!” Andromeda meringis seraya berusaha bangun. Ia tidak menduga kalau Farhan akan semarah itu. Dielusnya bagian punggung yang sedikit ngilu. “Aku akan balas nanti setelah kamu benar-benar sembuh.” Dilayangkannya tinju ke wajah Farhan yang dengan tangkas berhasil ditangkis pria itu. “Ingat, aku mengalah, bukan kalah!” ujarnya geram. “Berhenti mengejekku atau aku akan melakukan
Farhan terbangun karena dering tak biasa terdengar dari ponselnya. Sebelum bangun, ia menoleh. Kalila masih pulas, tidur dengan kepala di atas lengan Farhan. Dengan hati-hati Farhan mengangkat kepala Kalila agar ia bisa menarik tangannya kemudian meletakkan kembali di atas bantal. Menyibak selimut, Farhan turun cepat-cepat dari ranjang, mengambil ponsel yang ia simpan di atas rak seraya melirik jam dinding. Jam dua dinihari. Sepagi ini sahabatnya sudah menghubungi. "Seperti tidak ada waktu lain saja." Farhan bergumam pelan sambil mengacak rambut. Kumbang JantanSiap-siap rencana kedua.Jam sembilan aku ke rumahmu. Berdiri di samping rak, perhatian Farhan masih tertuju pada layar ponsel meski pesan yang baru saja ia baca sudah dihapus. Hari ini ia berencana menyusun rencana penelitian untuk diajukan ke Dikti dan PIMNAS. Ada beberapa tema penelitian yang sudah lama mampir di kepalanya dan Farhan berharap tahun ini ada salah satu dari tema-tema itu yang bisa ia mulai. Namun, panggila
Sambil mengayunkan kaki menuju mobil, diam-diam Kalila tersenyum geli mengingat raut muka Andromeda. Ia masih sempat melihat ke halaman sebelum melajukan mobil meninggalkan kosan Miranti. Memasuki rumah lewat garasi, Kalila masuk kamar untuk mencuci tangan dan kaki. Setelah itu, ia menemui Wisnu dan berbincang sejenak sebelum akhirnya pergi ke dapur. Farhan tidak ada di teras belakang dan kamar. Kalila berpikir pasti pria itu sedang menyiapkan makan malam. "Makasih sudah masak, Bang." Kalila mencium tangan Farhan yang baru saja menata potongan wortel, brokoli, dan kentang rebus di piring. Di meja sudah ada sepiring tempe goreng dan sambal tomat. Dapur dipenuhi aroma kaldu dari panci yang berada di atas kompor. "Puas banget perginya." Farhan tersenyum melihat raut bahagia pada wajah Kalila meski jejak rasa lelah terlihat cukup jelas. Kekhawatiran Kalila seketika lenyap melihat sambutan Farhan. Dibalasnya senyum Farhan lalu mengambil gelas di rak. "Mumpung Miranti masih di sini." Ka