"Maaf, La, malam ini aku pulang telat." Farhan mengirim pesan karena khawatir Wisnu menunggunya makan malam. Sejak menjadi menanti, yang masih dalam hitungan hari, Wisnu selalu ingin sarapan dan makan malam bersama. Lelaki itu terasa lebih sentimentil, tetapi Farhan maklum. Bisa jadi ia punya banyak pikiran buruk tentang kondisinya dan Farhan merasa harus membesarkan hati Wisnu dengan cara menuruti permintaan-permintaannya selama masih rasional. "Ya." Hanya jawaban pendek yang dikirim Kalila. Farhan menghela napas. Ia ingin jawaban lebih. Ah, sudahlah. Mungkin Lila sedang sibuk dengan skripsinya. Farhan mengusir kecewa. "Bekalnya enak. Makasih, La." Farhan mencoba lagi. Siapa tahu kali ini berhasil membuka obrolan lebih menyenangkan. Sebelum menikah mereka tidak sekaku ini. Entah mengapa pernikahan justru mencipta jarak di antara ia dan Kalila. "Sama-sama." Oh, Tuhan. Farhan menjatuhkan punggung di sandaran kursi putarnya. Ia memejamkan mata seraya menyugar rambut. Sepertinya i
Keheningan serta-merta menyergap dapur. Tidak ada denting sendok beradu dengan piring, bunyi tegukan atau sesapan pada gelas lemon tea, juga suara-suara Andromeda dan Farhan. Dua lelaki itu hanya saling menatap. Mulut mereka terkatup rapat, tetapi isi kepala sangat riuh. Andromeda mengambil sendok. Ketukan pangkalnya ke meja mengakhiri sunyi yang tercipta. Tatap Andromeda tertuju tepat pada manik gelap Farhan. Ia tidak bisa membocorkan skenarionya pada Farhan meski sahabatnya itu sudah bisa menebak. Andromeda tahu tidak sedang menghadapi orang bodoh. Doktor lulusan Munich University itu juga pasti tidak akan tinggal diam dan akan terus mencari jalan untuk menyelesaikan kasus ini. Andromeda juga tahu, Wisnu bukan sekadar senior bagi Farhan. Pria tua itu adalah pengganti bapak yang sangat dirindukan Farhan. Sahabatnya telah menemukan penggenap jiwa yang lowong pada Wisnu dan Kalila. Kehangatan, ketulusan, ada pada mereka. “Berapa persen probabilitas rencanamu berhasil?” Farhan ber
Ada raut lega tercetak di wajah Wisnu saat mendengar ucapan Farhan. Wisnu mengucapkan terima kasih kemudian berjalan pelan menuju kamar. Amarah bergumpal-gumpal di dadanya. Kalau bukan karena menuruti permintaan Kalila dan Miranti agar tetap di rumah, ia pasti sudah pergi ke kantor polisi. Ia merasa harus membuat perhitungan dengan Andromeda. Keramaian. Kata itu kembali berdengung di kepala Farhan ketika ia terpaku menatap tubuh Wisnu hingga hilang di balik pintu. Keramaian.Farhan memejamkan mata. Jika penjahat itu menunggu Wisnu muncul di keramaian, hanya ada satu tempat yang paling memungkinkan. Rumah sakit. Farhan terkesiap. Mendadak tubuhnya sedikit gemetar. Bayangan Wisnu menggelepar meregang nyawa menyerbu kepala disusul hadirnya wajah Bapak dan Mamak. Argh!! Farhan meremas rambutnya. Kepalanya terasa nyeri dan sakit. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuh hingga tubuhnya mendadak lemas dan lungkrah. Perlahan, Farhan mendekati sofa lalu terduduk letih di lantai. Disand
"Aku masih nggak bisa ngebayangin gimana kalau penjahat itu benar-benar datang." Pesan Miranti kembali masuk. Astaghfirullah. Kalila membiarkan pesan Miranti tanpa balasan. Diletakkannya ponsel di meja rias karena pintu kamarnya dibuka dan Farhan masuk. Pria itu mendekati meja rias, mengambil parfum dan menyemprotkannya ke tubuh. Mulutnya masih terkatup rapat. Kalila memandang tubuh tegap Farhan dari cermin. Tangannya yang hampir mengoleskan lips gloss berhenti bergerak. Dihelanya napas lalu membuka mulut. "Bang …." Ia benar-benar tidak tahan dengan suasana serba canggung sehingga memberanikan diri bersuara. "Kenapa, Lila?" Farhan bersandar di dinding, menghadap Kalila dengan kedua tangan tersimpan di saku celana. Wajahnya terkena cahaya matahari yang menerobos masuk melalui jendela. Kalila melihat senyum Farhan, tetapi mata pria itu tidak bisa berbohong. Farhan sedang tegang dan … menyimpan rasa takut. Kalila meremas rok jeansnya. "Apa Bang Farhan sudah bicara dengan Pak A
Hening menjeda pembicaraan dua lelaki paruh baya itu. Sesaat hanya ada deru mesin pendingin dan detak jarum jam. Haryo diam, membiarkan ketegangan menguasai ruang kerjanya. Ditatapnya Wisnu lekat-lekat. Ia sudah menduga Wisnu akan mempertanyakan keputusannya, tetapi ia belum menyiapkan jawaban apa pun. Ia pikir, Andromeda pasti sudah menemui Wisnu terlebih dahulu. Jadi sekarang, dr. Haryo butuh waktu untuk mencari jawaban paling tepat. "Aku tidak mengira kamu melacurkan diri dan mengobarkan temanmu." Wisnu berkata dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca. Di akhir usia, satu-satunya teman yang ia percaya sungguh-sungguh justru telah berkhianat, diam-diam menikung dari belakang. Kepala Wisnu serasa mau meledak menyadari hal itu. "Pa …." Kalila memegang lengan Wisnu. Dilihatnya paras Wisnu yang kaku dan dingin meski mata lelaki itu berembun. Kalila bisa mengerti perasaan sang papa, tetapi menyerang dr. Haryo sefrontal itu tidak pernah terlintas di benak Kalila. Sementara itu, di s
Sore itu menjadi hari kelabu bagi Kalila. Seiring dengan tergelincirnya matahari di balik cakrawala, ia harus melihat Farhan tergeletak di sisi utara tempat parkir RS Sardjito. Tempat parkir itu ada di lantai tujuh, langsung beratap langit yang saat itu berwarna jingga kemerahan. Angin bertiup cukup kencang meriapkan ujung jilbab dan bagian bawah roknya. Ketika Kalila mendekat, seorang pria dengan pistol di tangan juga melakukan hal yang sama. Pria itu bertubuh tinggi tegap dengan rambut lurus dan dibiarkan sedikit memanjang. Ia berkulit cokelat gelap dengan manik mata cokelat terang. Sebuah tahi lalat ada di sisi kiri hidungnya yang bangir. Sementara kakinya terayun cepat, pistol di tangan pria itu terus terarah pada laki-laki yang menindih Farhan. Laki-laki yang menindih Farhan juga berpostur tinggi tegap. Ia memakai hoodie hitam dengan gambar samurai di bagian punggung. Pada pipi kiri pria itu, terdapat bekas luka sayat yang membentuk huruf X. Kalila menatap ngeri wajah kaku pri
Koridor rumah sakit sepi. Hampir tengah malam, tidak ada pengunjung yang menengok rekan atau saudara yang sakit selarut ini. Sesekali perawat masuk ke kamar pasien, mungkin karena ada keluhan atau hal mendesak lainnya. Andromeda meninggalkan dua anggotanya di depan pintu kamar Farhan. Mereka baru datang lewat waktu magrib sehingga masih bugar dan rapi, kontras dengan keadaannya yang mirip layangan lusuh tersangkut pohon selama berhari-hari. Kepalan tangan Andromeda meninju pelan lengan salah satu anggotanya yang berjaga di ujung koridor. Ia berbincang sesaat sebelum meneruskan langkah menuju food court. Ia butuh kop untuk meredam kecamuk pikiran dan sedikit mengurangi letih di tubuhnyai. "Markas kosong tanpa jejak." Laporan komandan tim pemburu berdengung di kepala Andromeda saat ia berada di dalam lift. Kepalanya menatap lurus ke arah pintu lift sementara kedua tangan tersimpan di saku celana. Sendiri di dalam kotak besi itu membuatnya leluasa berpikir tanpa obrolan orang lain. "
Meninggalkan rumah sakit yang lengang, Andromeda memacu motor menembus dinginnya dini hari, menuju kantor. Dikenakannya jaket kulit dan sarung tangan hitam untuk melindungi tubuh dari gigitan suhu rendah kota gudeg pada akhir-akhir musim kemarau. Ketika tiba di kantor, dilihatnya kepala tim pemburu keluar dari pantry dengan mug putih yang menyebarkan aroma kopi panas di tangan. Penampakan pria berambut cepak dengan luka gores di salah satu alisnya itu tidak kalah berantakan dengan Andromeda. “Kopi, Ndan?” tawarnya dengan suara lelah. Raut muka pria itu tidak kalah kusut dengan Andromeda. Andromeda menggeleng. “Makasih, Ya. Ada yang bisa kamu laporkan?” Sebenarnya Andromeda tidak ingin menanyakan apa pun karena otaknya sudah ruwet, tetapi ia tidak bisa mengontrol saraf mulutnya untuk tidak mengatakan hal itu. Setiap bertemu anak buahnya, Andromeda akan refleks bertanya. Lelaki yang dipanggil Arya itu mengangguk kemudian mengajak Andra ke ruang kerjanya. “Kami sudah dapatkan sali