Meninggalkan rumah sakit yang lengang, Andromeda memacu motor menembus dinginnya dini hari, menuju kantor. Dikenakannya jaket kulit dan sarung tangan hitam untuk melindungi tubuh dari gigitan suhu rendah kota gudeg pada akhir-akhir musim kemarau. Ketika tiba di kantor, dilihatnya kepala tim pemburu keluar dari pantry dengan mug putih yang menyebarkan aroma kopi panas di tangan. Penampakan pria berambut cepak dengan luka gores di salah satu alisnya itu tidak kalah berantakan dengan Andromeda. “Kopi, Ndan?” tawarnya dengan suara lelah. Raut muka pria itu tidak kalah kusut dengan Andromeda. Andromeda menggeleng. “Makasih, Ya. Ada yang bisa kamu laporkan?” Sebenarnya Andromeda tidak ingin menanyakan apa pun karena otaknya sudah ruwet, tetapi ia tidak bisa mengontrol saraf mulutnya untuk tidak mengatakan hal itu. Setiap bertemu anak buahnya, Andromeda akan refleks bertanya. Lelaki yang dipanggil Arya itu mengangguk kemudian mengajak Andra ke ruang kerjanya. “Kami sudah dapatkan sali
Salah satu anggota tim IT mengirim rekaman suara ke perangkat lunak pendeteksi pemilik suara. Sekian menit Andromeda dan polisi berambut gondrong itu menunggu komputer selesai memindai. Lalu, layar menampilkan sosok pemilik suara. Seorang pria berkulit cokelat dengan hidung sedang dan tatap mata tajam. Ada tahi lalat di dagu dan dekat telinga kanan. Sebuah nama tertulis di bawah foto si pemilik suara jernih dan tenang itu. Petugas IT beralih ke sistem penyimpan data. Kursor terarah ke file Atamdeva's dalam dalam hitungan detik ratusan foto terpampang di layar. Andromeda menunjuk salah satu foto yang kemudian diperbesar. "Jadi dia orang kepercayaan Kaivan Atmaveda?" "Kalau melihat foto ini memang begitu, Ndan " "Bagaimana dengan telepon yang saya terima semalam?" Layar kembali menampilkan foto dua laki-laki beda usia. "Orang kepercayaan Airlangga Atmaveda." "Ada masalah apa Prof. Wisnu dengan Airlangga?" "Agak berat." Kursor beralih ke file kasus Atmaveda. "Prof. Wisnu menemuka
Otot wajah Farhan yang semula menegang, tiba-tiba melunak. Ia tersenyum. "Kamu mengkhawatirkanku, Lila?”"Astaga." Andromeda mengambil notes dari saku celana dan membantingnya ke lantai. "Ini bukan saatnya bermesraan, Kawan!" Andromeda mengerang lalu menatap sengit Farhan. “Kutu busuk! Kampret goreng!” Ia tidak tahan untuk mengumpat."Ma-maaf." Kalila tertunduk malu. Ia menarik tangannya karena bermaksud kembali ke balkon. "Tidak usah pergi." Farhan meraih tangan Kalila dan menahannya agar tetap di samping ranjang. "Di sini saja, Lila. Kamu boleh mendengar pembicaraan kami. Kalau suatu hari terjadi sesuatu padaku dan Papa, kamu tahu apa yang harus dilakukan." Andromeda melengos. Wajahnya kembali memanas. Farhan yang sok romantis, dia yang malu. Sialan! Benar-benar sialan! Sepertinya ia harus segera pergi. Ia bisa sesak napas kalau lebih lama bersama Farhan dan Kalila."Aku akan buatkan surat pernyataan pembubaran LSM dan pengunduran dirimu dan Prof. Wisnu. Kamu tinggal membacakan."
Sialan! Andromeda menepukkan kedua telapak tangannya, memanggil anak buahnya. "Ambilkan piring. Aku mau makan,” perintahnya pada salah satu anggotanya."Nggak makan Mbak Miranti saja, Ndan?"Andromeda melotot. "Makan kamu kayaknya lebih enak." Anak buahnya lari terbirit-birit ke pantry untuk mengambil piring dan gelas. Kalau Andromeda mengatakan akan memakan mereka, itu artinya dia sangat kesal. Jangan sampai berada di dekat Andromeda saat pria itu sedang jengkel. Setelah makan siang yang terlalu awal, Andromeda meminta izin pada perawat untuk menemui Wisnu. Ketika melewati ruang makan, ia melirik Miranti yang mengacuhkannya seolah Andromeda adalah kuman penyakit yang harus disingkirkan. Andromeda mengurungkan niat untuk menyapa Miranti, khawatir tujuan utamanya ke rumah Wisnu gagal. Ia akan kembali mencoba mengobrol jika urusan dengan Wisnu sudah selesai. Andromeda berdiri di ambang pintu, mengetuk tiga kali, kemudian duduk di kursi di samping ranjang. “Bagaimana kondisi Anda, P
Wisnu menjadi orang pertama yang diingat Miranti saat terjaga. Ia mengusap leher yang terasa pegal lalu menggerakkannya ke kiri dan ke kanan. Lalu, dilihatnya perawat tertidur di sofa dengan posisi duduk. Kaki perawat itu selonjor sementara punggungnya bersandar di sofa dan kepalanya di bahu sofa. Miranti menghela napas. Semua lelah dan mengantuk, termasuk dirinya. Sampai-sampai ia tidak ingat halaman novel yang terakhir dia baca. Setelah meregangkan tubuh dengan menautkan jemari lalu menariknya ke atas, Miranti ke kamar Wisnu dan pria itu juga sedang terlelap. Miranti mendekat, mengecek tarikan napas Wisnu dan ia lega karena kondisi Wisnu cukup stabil dan tidak lagi mengkhawatirkan. "Lila." Miranti yang akan melangkah keluar kamar berhenti kemudian berbalik. Ditatapnya paras pucat dan lelah milik Wisnu. Mata pria itu terpejam dan tarikan napasnya teratur. Miranti mulai berpikir kalau ia mungkin mengalami halusinasi, seolah-olah mendengar Wisnu memanggil Kalila. Ia pun kembali men
Gea terdiam sesaat. Kedua matanya mengerjap lalu ia tersenyum masam. Ia seperti tidak sedang bicara dengan Miranti yang peduli dan empati. Yang ia hadapi saat ini adalah manusia jutek dan tak tahu adab dalam bicara. "Jangan marah karena Mas Haiyan lebih memilih aku, bukan Kalila." Gea menebak sumber sikap tak bersahabat dan tuduhan sepihak Miranti. Meski ia dan Miranti juga berteman baik, tetapi tidak sedekat hubungan Miranti dan Kalila. "Aku tidak terlalu peduli tentang hal itu." Miranti meneguk kopinya dan membiarkan latte art memudar bercampur dengan kopi. Kedua alis Gea sedikit berkerut. Gea berpikir, memangnya, apa lagi yang membuat Miranti muntab kalau bukan pernikahannya dengan Haiyan? "Ada hal yang jauh lebih penting ketimbang urusan romansa remeh-temeh seperti itu." Miranti berdiri kemudian mendekati seorang polisi yang duduk di salah satu sudut beranda. "Maaf, bisakah Anda tinggalkan kami berdua?" "Maaf, Mbak, tidak bisa. Mbak Miranti juga harus kami pastikan ke
Kalila berlari sekencang mungkin, menginjak tanah berbatu-batu kecil. Sisi kanan dan kiri jalan setapak itu dipenuhi belukar yang tumbuh di sela pepohonan. Sinar matahari menembus melewati sela-sela dedaunan ditingkahi kesiur angin yang sesekali berembus pelan. Napas Kalila terengah dan kakinya ngilu-ngilu, tetapi ia tak berhenti walau sejenak. Detak jantungnya sudah tak karuan. Bayangan Wisnu dan Farhan diseret orang-orang tak dikenal mengisi rongga kepalanya. Kalila sebenarnya tidak tahu di mana dirinya berada. Ia hanya ingat seseorang menghentikan mobil yang ditumpanginya bersama Farhan dan Wisnu. Tiba-tiba Toyota Expander berwarna hitam menyalip dari sisi kanan dan mendadak berhenti di depan mereka dengan posisi melintang disusul turunnya lima orang bertopeng dan bersenjata.. Kalila tidak mengenal tempat itu. Jalan yang mereka lewati sudah beraspal, tetapi di sisi kiri dan kanannya seperti hutan atau mungkin kebun, entahlah Kalila tidak terlalu mengerti. Ada jalan setapak yang ha
Ya, Allah, Lila, kamu pucat sekali, Nak." Bibi Farhan, Fatma menghampiri Kalila Diletakkannya kedua tangan di pipi Kalila. "Kamu sakit, Nak?" Kalila tersenyum. Diusapnya wajah dengan tissue basah agar lebih segar. "Nggak, Bi, cuma kurang tidur karena lembur." "Astaghfirullah. Apa di rumah sakit Farhan juga minta jatah?" "Bibi apaan, sih?" sahut Farhan cepat dengan muka memerah. Nasib jadi pengantin baru, selalu jadi bahan kelakar. Jangankan minta jatah, sejauh ini dia hanya bisa memeluk Kalila, tidak lebih. "Lembur belajar, Bi. Saya belum ujian skripsi." Kalila meringis. Pipinya seketika bersemu kemerahan. Dihelanya napas seraya berharap Bibi Fatma tidak melanjutkan candaan mesumnya. "Adek ini selalu aneh-aneh mikirnya." Zul, paman Farhan menyenggol Fatma dengan sikunya. "Orang sakit mana sempat mikir seperti itu. Bisa lekas pulang saja sudah seneng. Iya, kan, La?" Zul berujar bijak. "Namanya juga pengantin baru, Bang. Lagi pula ini kamar VIP. Mereka hanya berdua. Apa yang