Wisnu menjadi orang pertama yang diingat Miranti saat terjaga. Ia mengusap leher yang terasa pegal lalu menggerakkannya ke kiri dan ke kanan. Lalu, dilihatnya perawat tertidur di sofa dengan posisi duduk. Kaki perawat itu selonjor sementara punggungnya bersandar di sofa dan kepalanya di bahu sofa. Miranti menghela napas. Semua lelah dan mengantuk, termasuk dirinya. Sampai-sampai ia tidak ingat halaman novel yang terakhir dia baca. Setelah meregangkan tubuh dengan menautkan jemari lalu menariknya ke atas, Miranti ke kamar Wisnu dan pria itu juga sedang terlelap. Miranti mendekat, mengecek tarikan napas Wisnu dan ia lega karena kondisi Wisnu cukup stabil dan tidak lagi mengkhawatirkan. "Lila." Miranti yang akan melangkah keluar kamar berhenti kemudian berbalik. Ditatapnya paras pucat dan lelah milik Wisnu. Mata pria itu terpejam dan tarikan napasnya teratur. Miranti mulai berpikir kalau ia mungkin mengalami halusinasi, seolah-olah mendengar Wisnu memanggil Kalila. Ia pun kembali men
Gea terdiam sesaat. Kedua matanya mengerjap lalu ia tersenyum masam. Ia seperti tidak sedang bicara dengan Miranti yang peduli dan empati. Yang ia hadapi saat ini adalah manusia jutek dan tak tahu adab dalam bicara. "Jangan marah karena Mas Haiyan lebih memilih aku, bukan Kalila." Gea menebak sumber sikap tak bersahabat dan tuduhan sepihak Miranti. Meski ia dan Miranti juga berteman baik, tetapi tidak sedekat hubungan Miranti dan Kalila. "Aku tidak terlalu peduli tentang hal itu." Miranti meneguk kopinya dan membiarkan latte art memudar bercampur dengan kopi. Kedua alis Gea sedikit berkerut. Gea berpikir, memangnya, apa lagi yang membuat Miranti muntab kalau bukan pernikahannya dengan Haiyan? "Ada hal yang jauh lebih penting ketimbang urusan romansa remeh-temeh seperti itu." Miranti berdiri kemudian mendekati seorang polisi yang duduk di salah satu sudut beranda. "Maaf, bisakah Anda tinggalkan kami berdua?" "Maaf, Mbak, tidak bisa. Mbak Miranti juga harus kami pastikan ke
Kalila berlari sekencang mungkin, menginjak tanah berbatu-batu kecil. Sisi kanan dan kiri jalan setapak itu dipenuhi belukar yang tumbuh di sela pepohonan. Sinar matahari menembus melewati sela-sela dedaunan ditingkahi kesiur angin yang sesekali berembus pelan. Napas Kalila terengah dan kakinya ngilu-ngilu, tetapi ia tak berhenti walau sejenak. Detak jantungnya sudah tak karuan. Bayangan Wisnu dan Farhan diseret orang-orang tak dikenal mengisi rongga kepalanya. Kalila sebenarnya tidak tahu di mana dirinya berada. Ia hanya ingat seseorang menghentikan mobil yang ditumpanginya bersama Farhan dan Wisnu. Tiba-tiba Toyota Expander berwarna hitam menyalip dari sisi kanan dan mendadak berhenti di depan mereka dengan posisi melintang disusul turunnya lima orang bertopeng dan bersenjata.. Kalila tidak mengenal tempat itu. Jalan yang mereka lewati sudah beraspal, tetapi di sisi kiri dan kanannya seperti hutan atau mungkin kebun, entahlah Kalila tidak terlalu mengerti. Ada jalan setapak yang ha
Ya, Allah, Lila, kamu pucat sekali, Nak." Bibi Farhan, Fatma menghampiri Kalila Diletakkannya kedua tangan di pipi Kalila. "Kamu sakit, Nak?" Kalila tersenyum. Diusapnya wajah dengan tissue basah agar lebih segar. "Nggak, Bi, cuma kurang tidur karena lembur." "Astaghfirullah. Apa di rumah sakit Farhan juga minta jatah?" "Bibi apaan, sih?" sahut Farhan cepat dengan muka memerah. Nasib jadi pengantin baru, selalu jadi bahan kelakar. Jangankan minta jatah, sejauh ini dia hanya bisa memeluk Kalila, tidak lebih. "Lembur belajar, Bi. Saya belum ujian skripsi." Kalila meringis. Pipinya seketika bersemu kemerahan. Dihelanya napas seraya berharap Bibi Fatma tidak melanjutkan candaan mesumnya. "Adek ini selalu aneh-aneh mikirnya." Zul, paman Farhan menyenggol Fatma dengan sikunya. "Orang sakit mana sempat mikir seperti itu. Bisa lekas pulang saja sudah seneng. Iya, kan, La?" Zul berujar bijak. "Namanya juga pengantin baru, Bang. Lagi pula ini kamar VIP. Mereka hanya berdua. Apa yang
Kalila terkesiap mendengar ucapan Haiyan. Jadi memang bukan perusahaan keluarga Mas Haiyan pelakunya. Berarti memang benar keluarga Atmaveda di balik semua ini.“Aku juga tidak pernah menuduh kamu pelakunya, Hai.” Di telinga Farhan, ucapan Haiyan terdengar seperti sebuah alibi untuk menyembunyikan sesuatu. Untuk apa Haiyan tiba-tiba berkata seperti itu. Seharusnya Andromeda mendengarnya dan membuka kembali peluang untuk menyelidiki keluarga Haiyan. Bukan tidak mungkin, pelaku yang menyerangnya dan Wisnu bukan orang yang sama. Jika Wisnu diincar Atmaveda, bukan tidak mungkin Mahesa yang mengincarnya.“Maaf, Pak. Saya hanya ingin menegaskan posisi saya.” Haiyan merasa tidak enak hati melihat perubahan raut muka dan nada bicara Farhan. “Ngomong-ngomong, apa pelakunya sudah tertangkap, Pak?” “Aku kurang tahu.” Farhan menjawab dengan malas seraya mengedikkan bahu. “Aku masih fokus memulihkan keadaanku dulu.” Suasana mendadak canggung karena Haiyan salah tingkah sementara di sampingnya Ge
Melihat sikap Farhan, pipi Kalila sedikit memerah. Jangankan setelah berpakaian rapi, bangun tidur saja Farhan ganteng. Dia hanya terlalu gengsi untuk mengakui. “Sudah, Bang.” “Sekali-sekali suaminya dipuji, biar seneng. Nanti kalau dipuji perempuan lain gimana?” Farhan mengedipkan mata. “Barusan saya bilang sudah.” “Masa gitu doang.” Lagi, Farhan mengedipkan mata. “Bilang ganteng, cakep, apalah.” Kalila menelan ludah. Ia tidak keberatan memuji, tetapi kata-kata pujian itu seperti tersangkut di tenggorokan. “Ya, sudah kalau nggak mau muji.” Farhan memasang wajah kecewa. Diberikannya sisir pada Kalila. “I-iya, Bang, sudah cakep.” Huft, masa kayak gini juga diomongin. Dasar ngadi-ngadi.“Nah, gitu, dong.” Bibir Farhan melengkung lalu diletakkannya telunjuk di pipi. “Kenapa, Bang?” “Sekarang giliran kamu cium aku.” “Astagfirullah.” “Disuruh nyium suaminya malah istigfar. Nggak suka?” Kalila mengusap dahi dengan punggung tangan. Setelah menghela napas, ia berjinjit lalu mencium
Mendengar suara Farhan, Kalila berbalik. Ia tersenyum, kemudian mengambilkan segelas air putih hangat dan memberikannya pada Farhan. "Terima kasih." Sesaat, pandangan Farhan tertuju pada dada Kalila. Pria itu bisa melihat jika kaus yang dikenakan Kalila pada bagian lehernya membentuk huruf V dan cukup rendah, membuat riak di dalam tubuhnya semakin memanas. Jadi, dibawanya gelas ke kamar agar otaknya tidak berpikir lebih jauh. Sementara itu, Kalila kembali sibuk memanaskan sisa sayur semalam. Bibi Fatma memasak sangat banyak sehingga hari ini Kalila hanya perlu menghangatkan sup kacang merah, ayam asam manis, dan telur balado. Kalila cuma menggoreng tempe sebab makan tanpa tempe goreng hambar bagi Wisnu. "Sampai kapan kita tiarap, Han?" Wisnu menatap Farhan lurus-lurus. Ada jejak rasa kecewa di mata lelaki itu.Kalila yang sedang membersihkan meja dan membereskan peralatan makan diam-diam menajamkan pendengaran. Mereka bertiga baru saja selesai sarapan dan sang papa sudah membuka p
Dear, Readers. Kita ke Andromeda dan Miranti dulu, ya. Semoga teman-teman tetap suka :-). Terima kasih sudah menemani Farhan, Kalila, Andromeda, dan Miranti sampai di sini :-)***Andromeda melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Setelah melewati sedikit perdebatan sengit dan dengan bantuan Bibi Fatma, akhirnya dia bisa memboncengkan Miranti, momen yang ia tunggu dan perjuangkan sampai nyaris kehabisan ide. Di mata Andromeda, Miranti tidak jauh beda dengan seekor burung liar. Kadang, ia terbang dan seperti tak sudi melihatnya. Sekali waktu, Miranti hinggap dan menggoda untuk ditangkap lalu ditawan di dalam sangkar. Membayangkan hal seperti itu kadang membuat otak lelaki Andromeda traveling. Jika sudah begitu, Andromeda akan menambah waktu jogging atau jam latihan taekwondo. Hanya dengan menyibukkan diri otaknya selamat.Cuaca malam itu cukup dingin. Belum terlalu larut, masih jam delapan, tetapi angin berembus cukup kencang. Beberapa hari terakhir, beberapa kali awan gelap menutup
Bibir Andromeda melengkung lalu mendekati meja. Ia membungkuk lalu duduk bersila hingga tubuhnya dan Kaivan berada dalam satu garis lurus. Mulutnya masih terkatup rapat sementara otaknya sibuk menakar kekuatan Kaivan dan permainan yang mungkin disiapkannya. Baru saja tubuh Andromeda berada di atas tatami, dinding di samping kirinya tiba-tiba bergeser lalu dua lelaki tegap berjas dan berkacamata hitam keluar dari balik dinding dan berdiri dua meter di belakang Andromeda. “Saya kira kita akan bicara empat mata.” Tatap tajam Andromeda menerobos rongga mata Kaivan. “Rupanya Anda tak seberani yang saya kira. Anda tak lebih dari seekor kecoa.” Andromeda tersenyum meremehkan. Kai tertawa. “Ternyata benar kata orang, Anda polisi bermulut besar.” Pria itu berdecak. “Toh, Anda juga tidak datang sendiri, bukan?” Hiasan gantung di belakang Kaivan tiba-tiba tergulung. Dinding di belakangnya menjelma layar lebar yang memperlihatkan orang-orang Andromeda di sekitar rumah Kaivan. “Saya hitung, ad
“Kamu yakin negosiasi dengan Kaivan akan berhasil?” Farhan menatap lurus-lurus Andromeda. Seharian ini Farhan harus ikut Andromeda koordinasi terakhir dan simulasi beberapa rencana yang akan mereka lakukan dan itu membuat otak dan fisik Farhan sangat letih, lebih capek dari mengajar selama berjam-jam di depan kelas. Sorot mata pria itu meredup dan digelayuti kekhawatiran juga ketakutan. Musuh mereka bukan kaleng-kaleng, bukan penjahat kelas teri. Andromeda mengangguk yakin. Diseruputnya sisa kopi di dalam gelas. “Aku punya kartu As Kaivan dan Atmaveda grup. Dia tidak akan berkutik di depanku.” “Dia tidak sebodoh yang kamu kira, Da.” “Dia memang tidak bodoh. Tapi aku juga bukan polisi ingusan.” Andromeda menatap keluar jendela ruang kerjanya yang masih dibiarkan terbuka. Diambilnya pulpen dari kemeja kemudian memutar-mutarnya. “Aku pastikan, dia bertemu lawan sepadan.” Pandangan Andromeda kembali tertuju pada Farhan. “Kamu tidak perlu khawatir, Kawan. Semua sudah aku hitung.” Ia be
halo, hola, readers. Maaf baru update lagi. Kondisi kesehatan dan adanya projek lain membuat saya sedikit menunda waktu update. Semoga teman-teman masih bersedia mengikuti cerita ini. Salam hangat dari Farhan dan Kalila :-) *** Pergi. Mendadak dada Kalila terasa sesak mendengar kata itu. Kepalanya tertunduk dan tangannya meremas tepi rok. Apa saat itu hampir tiba? Kenapa terburu-buru mengurus balik nama rumah dan mobil? Ia anak tunggal. Tidak akan terjadi konflik rebutan harta warisan dengan siapa pun. Tidak mungkin ia akan berebut dengan Farhan. Lagi pula, setahu Kalila harta Wisnu hanya rumah ini dan isinya. Pria itu lebih banyak bersedekah ketimbang menyimpan uang untuk diri dan keluarganya. Wisnu tidak pernah membeli sesuatu berlebih. Semua hanya seperlunya dan kalau benar-benar dibutuhkan. Wisnu tidak akan membeli barang baru jika yang lama masih bisa dipakai. Seandainya ia membeli barang baru, maka barang lama akan ia berikan pada orang lain. First in first out. Begitu prin
Selepas salat Asar, Farhan melajukan Expander menuju makam. Tanah pekuburan itu sebenarnya terletak di belakang kompleks, tetapi untuk memasukinya harus memutar keluar dulu dari gerbang kompleks kemudian belok kiri memasuki jalan kampung di pertigaan pertama setelah pintu keluar kompleks. Makam itu digunakan oleh warga dua kompleks perumahan dan penduduk di pemukiman belakang kompleks sehingga pintu masuknya berada di depan jalan yang bisa dilewati warga dari ketiga wilayah itu. Sebelum ke makam, Kalila meminta Farhan ke florist yang letaknya lima ratus meter dari pertigaan di mana mereka akan berbelok. "Mama paling suka kalau aku ajak jalan sore-sore." Suara Wisnu terdengar renyah dan hangat. Bibirnya tidak henti menyunggingkan senyum seolah ia benar-benar akan bertemu sang istri yang telah lama terpisah jarak. Farhan menoleh, tersenyum kemudian kembali menatap jalanan. Ia bisa merasakan kegembiraan Wisnu. Andai bisa, dia pun akan mengunjungi makam Mamak dan Bapak sesering mungk
Ucapan Wisnu memaku tubuh Kalila. Seperti ada dua tangan yang tiba-tiba keluar dari lantai kemudian memegang erat kakinya sehingga tidak bisa melangkah. Main? Aku main? Dari mana Papa mendapat kata itu? Apakah Bang Farhan telah mengadu pada Papa dan menyebut main setiap kali aku keluar rumah? “Lila nggak pernah pergi main atau nongkrong, Pa.” Kalila menggeser sedikit tubuhnya kemudian duduk di kursi, agak jauh dari Wisnu. Ditatapnya paras sang papa dengan pandangan tak terima. Memang, kadang sepulang meliput, wawancara, atau mengambil foto, ia mampir ke kafe. Biasanya ia akan membuat janji dengan Miranti dan mereka akan mengobrol. Namun, bukan itu tujuan kepergiannya. Apalagi setelah menikah. Jangankan main, hanya ke kampus atau ke kosan Miranti saja Farhan sudah sangat rewel. “Syukurlah kalau kamu tidak melakukannya.” Wisnu menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia tahu, Kalila masih ingin bebas. Ia khawatir Kalila melupakan kewajibannya sebagai istri karena terlalu asyik dengan Mir
Farhan membiarkan Andromeda pergi tanpa mengantarnya sampai keluar rumah. Kepalanya terlalu penuh dengan berbagai lintasan pikiran dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Ia memilih menyalakan laptop dan membuka data bisnis gelap keluarga Atmaveda. Sampai saat ini ia masih tak habis pikir, dari kota yang katanya paling nyaman dan ngangeni ini, hidup bos mafia yang puluhan tahun menjalankan bisnis ilegal tanpa tersentuh hukum. “Kaivan dan Airlangga tetap akan kami seret ke penjara. Tapi kamu tahu, mereka sangat rapi dalam menyembunyikan kejahatan. Tidak akan mudah membekuk mereka, Kawan.” Ucapan Andromeda kembali terngiang di kepala. Waktu itu, Farhan keberatan jika harus bernegosiasi dengan Kaivan karena itu artinya, ia menukar bukti kejahatan Kaivan dengan nyawanya. Setelah negosiasi, ia dan Wisnu harus diam padahal mereka tahu ada kejahatan besar sedang berlangsung. Farhan tidak bisa membayangkan kehidupan macam apa yang akan dijalaninya ketika harus menyembu
Andromeda menatap sengit Farhan sebelum kembali melihat ke arah halaman. “Coba ingat baik-baik, apa ada kata membunuh dalam kalimatku? Apa aku memintamu membunuh anak Kaivan?” Andromeda menekan earpiece di telinga kanannya. Dialihkannya perhatian pada Farhan. “Tuhan memberi otakmu, tolong dipakai untuk mikir yang bener, bukan cuma mikirin Kalila.” “Sial!” Farhan meraih dan mencengkeram kedua lengan Andromeda. Lantas, salah satu kakinya maju ke depan, lalu ia berbalik dan sedikit membungkuk. Diangkatnya tubuh Andromeda dan membantingnya ke lantai perpustakaan yang beralas permadani dari Iran. “Kutu kupret busuk!” Andromeda meringis seraya berusaha bangun. Ia tidak menduga kalau Farhan akan semarah itu. Dielusnya bagian punggung yang sedikit ngilu. “Aku akan balas nanti setelah kamu benar-benar sembuh.” Dilayangkannya tinju ke wajah Farhan yang dengan tangkas berhasil ditangkis pria itu. “Ingat, aku mengalah, bukan kalah!” ujarnya geram. “Berhenti mengejekku atau aku akan melakukan
Farhan terbangun karena dering tak biasa terdengar dari ponselnya. Sebelum bangun, ia menoleh. Kalila masih pulas, tidur dengan kepala di atas lengan Farhan. Dengan hati-hati Farhan mengangkat kepala Kalila agar ia bisa menarik tangannya kemudian meletakkan kembali di atas bantal. Menyibak selimut, Farhan turun cepat-cepat dari ranjang, mengambil ponsel yang ia simpan di atas rak seraya melirik jam dinding. Jam dua dinihari. Sepagi ini sahabatnya sudah menghubungi. "Seperti tidak ada waktu lain saja." Farhan bergumam pelan sambil mengacak rambut. Kumbang JantanSiap-siap rencana kedua.Jam sembilan aku ke rumahmu. Berdiri di samping rak, perhatian Farhan masih tertuju pada layar ponsel meski pesan yang baru saja ia baca sudah dihapus. Hari ini ia berencana menyusun rencana penelitian untuk diajukan ke Dikti dan PIMNAS. Ada beberapa tema penelitian yang sudah lama mampir di kepalanya dan Farhan berharap tahun ini ada salah satu dari tema-tema itu yang bisa ia mulai. Namun, panggila
Sambil mengayunkan kaki menuju mobil, diam-diam Kalila tersenyum geli mengingat raut muka Andromeda. Ia masih sempat melihat ke halaman sebelum melajukan mobil meninggalkan kosan Miranti. Memasuki rumah lewat garasi, Kalila masuk kamar untuk mencuci tangan dan kaki. Setelah itu, ia menemui Wisnu dan berbincang sejenak sebelum akhirnya pergi ke dapur. Farhan tidak ada di teras belakang dan kamar. Kalila berpikir pasti pria itu sedang menyiapkan makan malam. "Makasih sudah masak, Bang." Kalila mencium tangan Farhan yang baru saja menata potongan wortel, brokoli, dan kentang rebus di piring. Di meja sudah ada sepiring tempe goreng dan sambal tomat. Dapur dipenuhi aroma kaldu dari panci yang berada di atas kompor. "Puas banget perginya." Farhan tersenyum melihat raut bahagia pada wajah Kalila meski jejak rasa lelah terlihat cukup jelas. Kekhawatiran Kalila seketika lenyap melihat sambutan Farhan. Dibalasnya senyum Farhan lalu mengambil gelas di rak. "Mumpung Miranti masih di sini." Ka