Ayunan kaki Kalila berhenti di selasar kampus. Ia baru saja selesai mendaftar ujian skripsi. Kalila masih harus menunggu konfirmasi dari akademik jurusan karena jadwal ujian baru keluar setelah ada kepastian dari empat dosen penguji. Sebenarnya Kalila bisa menggunakan pengaruh Wisnu atau meminta bantuan Farhan agar melobi keempat dosen pengujinya. Apalagi salah satu dari mereka kenal baik dengan Wisnu. Farhan juga pasti mengenal mereka. Namun, Kalila tidak ingin nepotisme. Ia bukan model manusia aji mumpung. Dosen pembimbing utama Kalila pernah menawarkan posisi asisten mata kuliahnya. Sahabat baik Wisnu itu berjanji akan mencarikan jalan untuk menjadi salah satu pengajar di FIB, tetapi Kalila menolak dengan halus. Ia memilih membangun karirnya sendiri. Kalila berharap selepas kuliah bisa lepas dari pengaruh dan bayang-bayang sang papa. Angin berembus cukup kencang saat Kalila duduk di bangku kayu dengan lengan berbentuk lengkung. Cahaya matahari meredup terhalang awam yang mengab
“Belum. Om Wisnu baru beres salat Zuhur kayaknya.” “Ya, sudah, makan bareng Papa saja.” "Beres. Eh, camilan kamu pada habis, nih. " Bagi Miranti, mengobrol tanpa ditemani camilan seperti mencintai seseorang dalam diam, sangat ingin mendekap, tetapi tak bisa dijangkau. "Aku nanti mampir bentar buat belanja." "Siip. Memang datang ke rumahmu dalam keadaan lapar tidak pernah salah.” Miranti terkekeh. “See you." Kalila menggeleng seraya memasukkan ponsel ke dalam tas. Ia tersenyum dan melambaikan tangan pada teman yang melintasi halaman menuju gedung utama. Lantas, ia beranjak dan berjalan cepat menuju tempat parkir. Sejurus kemudian, ia memacu motor keluar kompleks kampus sosio humaniora menuju jalan utama.Melewati boulevard, Kalila memperlambat laju motor. Ia berbelok ke supermarket di ujung perempatan di dekat kampus Fakultas MIPA. Terburu-buru memasuki bangunan berpendingin ruangan. Kakinya terayun cepat menuju rak makanan kecil. Dimasukkannya keripik singkong dan macaroni keju
Air mata Kalila kembali tumpah. Dalam dekapan Miranti, bahunya berguncang dan isakannya memenuhi dapur.“Kita akan cari jalan keluarnya. Besok, kita cari polisi hantu itu. Kita minta penjelasan,” bisik Miranti seraya mengelus punggung Kalila. “Sekarang makan dulu. Hapus air matamu. Jangan sampai Pak Farhan melihat kamu nangis.” Miranti melonggarkan pelukan. Diambilnya beberapa lembar tissue kemudian mengusapkannya di wajah Kalila. Kalila mengucapkan terima kasih dengan suara lemah. Diteguknya teh kamomil hangat yang kebanyakan gula. Miranti pasti lupa takaran gula untuk secangkir teh. “Ngomong-ngomong, kamu pernah nggak ngomongin masalah ini sama Pak Farhan?” tanya Miranti hati-hati. Sembari menatap Kalila, disesapnya teh hijau hangat yang ternyata terlalu manis.Kalila tercenung. Kedua tangan Kalila menangkup pada dinding cangkir, membiarkan hangat air teh mengaliri telapaknya. Pernah terbersit di kepala untuk membicarakan masalah ini dengan Farhan, tetapi ia selalu lupa, Ia terlal
"Maaf, La, malam ini aku pulang telat." Farhan mengirim pesan karena khawatir Wisnu menunggunya makan malam. Sejak menjadi menanti, yang masih dalam hitungan hari, Wisnu selalu ingin sarapan dan makan malam bersama. Lelaki itu terasa lebih sentimentil, tetapi Farhan maklum. Bisa jadi ia punya banyak pikiran buruk tentang kondisinya dan Farhan merasa harus membesarkan hati Wisnu dengan cara menuruti permintaan-permintaannya selama masih rasional. "Ya." Hanya jawaban pendek yang dikirim Kalila. Farhan menghela napas. Ia ingin jawaban lebih. Ah, sudahlah. Mungkin Lila sedang sibuk dengan skripsinya. Farhan mengusir kecewa. "Bekalnya enak. Makasih, La." Farhan mencoba lagi. Siapa tahu kali ini berhasil membuka obrolan lebih menyenangkan. Sebelum menikah mereka tidak sekaku ini. Entah mengapa pernikahan justru mencipta jarak di antara ia dan Kalila. "Sama-sama." Oh, Tuhan. Farhan menjatuhkan punggung di sandaran kursi putarnya. Ia memejamkan mata seraya menyugar rambut. Sepertinya i
Keheningan serta-merta menyergap dapur. Tidak ada denting sendok beradu dengan piring, bunyi tegukan atau sesapan pada gelas lemon tea, juga suara-suara Andromeda dan Farhan. Dua lelaki itu hanya saling menatap. Mulut mereka terkatup rapat, tetapi isi kepala sangat riuh. Andromeda mengambil sendok. Ketukan pangkalnya ke meja mengakhiri sunyi yang tercipta. Tatap Andromeda tertuju tepat pada manik gelap Farhan. Ia tidak bisa membocorkan skenarionya pada Farhan meski sahabatnya itu sudah bisa menebak. Andromeda tahu tidak sedang menghadapi orang bodoh. Doktor lulusan Munich University itu juga pasti tidak akan tinggal diam dan akan terus mencari jalan untuk menyelesaikan kasus ini. Andromeda juga tahu, Wisnu bukan sekadar senior bagi Farhan. Pria tua itu adalah pengganti bapak yang sangat dirindukan Farhan. Sahabatnya telah menemukan penggenap jiwa yang lowong pada Wisnu dan Kalila. Kehangatan, ketulusan, ada pada mereka. “Berapa persen probabilitas rencanamu berhasil?” Farhan ber
Ada raut lega tercetak di wajah Wisnu saat mendengar ucapan Farhan. Wisnu mengucapkan terima kasih kemudian berjalan pelan menuju kamar. Amarah bergumpal-gumpal di dadanya. Kalau bukan karena menuruti permintaan Kalila dan Miranti agar tetap di rumah, ia pasti sudah pergi ke kantor polisi. Ia merasa harus membuat perhitungan dengan Andromeda. Keramaian. Kata itu kembali berdengung di kepala Farhan ketika ia terpaku menatap tubuh Wisnu hingga hilang di balik pintu. Keramaian.Farhan memejamkan mata. Jika penjahat itu menunggu Wisnu muncul di keramaian, hanya ada satu tempat yang paling memungkinkan. Rumah sakit. Farhan terkesiap. Mendadak tubuhnya sedikit gemetar. Bayangan Wisnu menggelepar meregang nyawa menyerbu kepala disusul hadirnya wajah Bapak dan Mamak. Argh!! Farhan meremas rambutnya. Kepalanya terasa nyeri dan sakit. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuh hingga tubuhnya mendadak lemas dan lungkrah. Perlahan, Farhan mendekati sofa lalu terduduk letih di lantai. Disand
"Aku masih nggak bisa ngebayangin gimana kalau penjahat itu benar-benar datang." Pesan Miranti kembali masuk. Astaghfirullah. Kalila membiarkan pesan Miranti tanpa balasan. Diletakkannya ponsel di meja rias karena pintu kamarnya dibuka dan Farhan masuk. Pria itu mendekati meja rias, mengambil parfum dan menyemprotkannya ke tubuh. Mulutnya masih terkatup rapat. Kalila memandang tubuh tegap Farhan dari cermin. Tangannya yang hampir mengoleskan lips gloss berhenti bergerak. Dihelanya napas lalu membuka mulut. "Bang …." Ia benar-benar tidak tahan dengan suasana serba canggung sehingga memberanikan diri bersuara. "Kenapa, Lila?" Farhan bersandar di dinding, menghadap Kalila dengan kedua tangan tersimpan di saku celana. Wajahnya terkena cahaya matahari yang menerobos masuk melalui jendela. Kalila melihat senyum Farhan, tetapi mata pria itu tidak bisa berbohong. Farhan sedang tegang dan … menyimpan rasa takut. Kalila meremas rok jeansnya. "Apa Bang Farhan sudah bicara dengan Pak A
Hening menjeda pembicaraan dua lelaki paruh baya itu. Sesaat hanya ada deru mesin pendingin dan detak jarum jam. Haryo diam, membiarkan ketegangan menguasai ruang kerjanya. Ditatapnya Wisnu lekat-lekat. Ia sudah menduga Wisnu akan mempertanyakan keputusannya, tetapi ia belum menyiapkan jawaban apa pun. Ia pikir, Andromeda pasti sudah menemui Wisnu terlebih dahulu. Jadi sekarang, dr. Haryo butuh waktu untuk mencari jawaban paling tepat. "Aku tidak mengira kamu melacurkan diri dan mengobarkan temanmu." Wisnu berkata dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca. Di akhir usia, satu-satunya teman yang ia percaya sungguh-sungguh justru telah berkhianat, diam-diam menikung dari belakang. Kepala Wisnu serasa mau meledak menyadari hal itu. "Pa …." Kalila memegang lengan Wisnu. Dilihatnya paras Wisnu yang kaku dan dingin meski mata lelaki itu berembun. Kalila bisa mengerti perasaan sang papa, tetapi menyerang dr. Haryo sefrontal itu tidak pernah terlintas di benak Kalila. Sementara itu, di s