Terima kasih atas dukungan dan vote-nya :) Happy reading ....
Aneka seafood dari restoran telah lengkap terhidang di meja panjang, kecuali ikan, sebab Juna mengira Mei tak suka ikan. Bersama teman-teman perempuannya, Mei menyantap hidangan itu. Sedangkan Juna bergabung di meja lain bersama teman-teman pria. “Ada yang mau ikan bakar, nggak? Biar gue ambilin sekalian,” kata Wanda sambil beranjak dari meja. Beberapa orang mengangkat tangan, minta diambilkan. Sedangkan Mei cuma bisa menelan ludah menahan keinginannya, sadar jika dirinya tak sanggup menyentuh ikan yang masih dipenuhi duri. Wanda kembali dengan dua piring ikan gurame basar dan menghidangkannya tepat di depan Mei. Uapnya menguarkan aroma lezat yang menyiksa penciuman Mei. ‘Sialan, apa kayak gini ya yang dirasain Edward Cullen saat mencium aroma tubuh Bella Swan?’ pikirnya malah mengimajinasikan novel favoritnya. “Mei, cobain, nih? Enak loh, keburu kehabisan,” tegur Wanda. Mei tersenyum kecut sambil menggeleng. “Elu nggak dengar tadi Juna bilang kalau bininya kagak doyan ikan? Makan
Kevin meninggalkan Mei dan Juna dengan langkah berat. Dia tak langsung kembali ke kamar seperti yang diharapkan Juna, tetapi duduk di kursi makan panjang sambil bersedekap gelisah memandangi Mei dan Juna yang sedang berdua saja di tempat pembakaran ikan sana. Bernard yang masih bingung menilai situasi antara kedua temannya ini pilih mengawasi keduanya saja, berjaga-jaga. Bernard belum pernah melihat sorot mengancam seserius itu dalam mata seorang Juna yang dikenalnya, apalagi ancaman itu ditujukan kepada Kevin yang pernah begitu dekat dengan Juna semasa SMA. Selama ini Juna terkenal periang dan tak pernah menyimpan dendam, tetapi apa yang dilihat Bernard barusan seperti mengupas sisi lain dari sosok Juna yang dikenalnya. Jujur, Bernard sempat merinding melihat kilat ingin membunuh yang tersorot di mata Juna tadi. Seperti bukan Juna. Sedangkan di tempatnya, Mei diam saja, membiarkan Juna melakukan apa yang ingin dia lakukan. Dia tahu, percuma saja mencegah Juna yang diam-diam sekeras
Gebrakan Juna di atas meja menciptakan guncangan keras bagai sebuah gempa, menumpahkan air minum dan saus-saus bumbu, membuat taplak putih cantik yang menutupi meja jadi kotor berantakan. “J-jun ....” Mei menengadahkan wajah, memberanikan dirinya menatap Juna. Dan ketakutannya pun benar-benar terjadi, sorot mata Juna kini sama persis dengan sorot mata Tante Dilla yang ... muak kepadanya. Muak. Kepada. Mei. Prang! “J-jun ...!” Mei tak sanggup menahan air matanya yang membobol dengan cepat saat Juna membanting piring yang berisi ikannya yang masih utuh, hingga piring itu pecah berkeping-keping di lantai dan si ikan malang yang dibakar Juna dengan susah payah tadi mencelat dan teronggok sia-sia. Mei menunduk, tak sanggup membalas tatapan Juna yang menyorot tajam penuh kemarahan padanya. “Pengkhianat ...,” desis Juna sambil menarik taplak meja, membuat seluruh isinya tercecer ke lantai. Mei menjerit dengan jantung dihentak kaget. Mei beringsut menjauhi meja, sambil menangis saat Jun
Kevin berenang beberapa putaran, sambil membuang pikirannya yang masih saja gelisah memikirkan Mei. ‘Apa dia baik-baik saja? Semoga Juna tak menyakitinya,’ pikirnya kalut. Kevin menyesal, harusnya dia pandai-pandai menjaga dirinya saat di dekat Mei agar tak tertangkap mata oleh Juna seperti semalam. Sebab dia tahu Juna seperti apa. ‘Elu jatuh cinta ke Mei ‘kan, Jun?’ desah Kevin dengan hati yang dirambati rasa berat. ‘Gue tahu, cepat atau lambat elu bakal jatuh cinta juga sama Mei.’ Kevin tersenyum kecut saat menyuarakan penilaiannya di dalam hati. Ya. Akhirnya kecurigaannya sejak dulu terbukti juga. Entah kenapa, Kevin sempat merasa jika Juna diam-diam sudah mulai tertarik kepada Mei sejak SMA, hanya saja pria itu tak menyadari karena pikirannya terobsesi pada Raya. “Mei itu lucu tahu, Kev, asyik buat digodain. Jarang-jarang ada cewek cakep tapi nggak ngerasa kalau dirinya cakep kayak Mei gitu. Emang sih kadang ngeselin, diam-diam ngajak gelut, tapi malah imut banget ya nggak sih k
Mei dan Juna pulang lebih dulu ke Jakarta malam itu juga dengan dua mobil yang berbeda, tanpa menunggu berakhirnya dulu acara reuni di esok hari. “Jon. Gimana kondisi Mei sekarang?” tanya Juna dalam perjalanan pulang. “Iyem bilang, Mei sudah lebih tenang, Bos. Sudah nggak nangis lagi.” “Apa dia terluka?” “Secara mental, iya. Masih syok.” Jonathan mengangguk-angguk seraya membuang tatapannya ke luar jendela yang diselimuti gelap karena sekarang jam 2 dini hari. ‘Pake nanya apa Mbak Mei terluka apa nggak, ya iyalah, Bambang ...,’ batin Jonathan sewot. Bosnya ini kalau tanya memang suka ngadi-ngadi. Kalau Anjani, mungkin sudah nggak kaget lagi, sudah tahan banting menghadapi monster peliharaan Juna sejak kecil, beda dengan Mei yang baru mengetahuinya. “Jon. Mulai besok, kasih pengumuman ke bagian dapur, sering-sering penuhi meja makan dengan menu ikan. Mei ternyata suka ikan.” “S-siap, Bos.” Jonathan mengangguk dan langsung menyampaikan pesan Juna itu lewat chat ke bagian dapur seka
“Ngapain lu cengar-cengir gitu, Jon? Lagi senang, lu?” tegur Maryam saat berpapasan dengan rekan kerjanya di teras samping. Maryam baru saja memarkir mobil. Jonathan bersul-siul seraya memutar-mutar sesuatu di tangannya. “Porche, dari Bos,” sahutnya sambil memainkan alis matanya naik-turun. Lalu memencet kunci remote di tangannya dan sebuah sedan silver menyala dan berkedip-kedip di garasi sana. Maryam terbelalak. “Ah, gila! Jojooon!” panggilnya dengan kepala berdenyut-denyut frustrasi, jiwa iri-dengkinya meronta-ronta melihat keberuntungan Jonathan, rekannya sesama asisten pribadi. Jonathan melambaikan tangan kepada Maryam seraya memasuki sedan mewah itu, menghidupkan mesin, lalu meninggalkan garasi. Sukses membuat Maryam cemberut. “Hmm padahal kan si bos lagi ‘kambuh’, biasanya bakal bikin orang-orang sekitarnya ketiban apes, tapi kok Jojon malah ketiban Porche sih? Ada apaan, ya?” guman Maryam sambil berpikir keras. Bosnya memang aneh, absurd, dan sulit ditebak. Baru juga Maryam
Juna terbahak-bahak melihat wajah Mei merona merah dan sepasang bola mata indahnya menyorotkan panik. Juna memegangi pergelangan tangan Mei kala wanita itu beringsut ingin menjauh. “Ssst. Mau ke mana? Sini aja, Maemunah. Gue nggak pengen elu pergi. Elu bilang nggak akan pergi selama gue nggak menginginkan elu pergi ‘kan?” Juna terkekeh seraya mengalungkan tangan dan kakinya ke tubuh Mei, memeluk Mei seperti sebuah guling ternyaman dalam hidupnya. Lalu Juna menciumi pipi Mei dengan ujung hidungnya yang mancung. “Maafin gue, Mei,” bisik Juna kemudian. “Elu pasti syok ngeliat gue seperti itu. Gue nggak pengen semarah itu, Mei, tapi gue lepas kontrol karena ...,” Juna menelan ludah, “gue nggak suka liat elu sedekat itu lagi sama Kevin,” akunya seraya membelai wajah Mei yang membisu. “Elu mau makan ikan hasil bakaran dia, tapi elu menolak hasil bakaran gue. Elu nggak adil, Mei. Itu kan sama-sama ikan. Sama-sama gurame. Sama-sama dibakar. Sama-sama dibumbui, malah bumbu ikan yang gue bawa
“Kurang ajar si Jojon, dia itu dendam sama elu apa gimana sih? Masa cuma latihan aja bikin elu sampai kayak gini? Nggak pakai hati tuh orang!” Mei mengomel panjang, menyalah-nyalahkan asisten pribadi suaminya, sebab Mei tak tahu kronologis sebenarnya. “Mei, nggak apa-apa, gue emang yang nyuruh dia buat pukul gue sekeras-kerasnya.” “Hah? Elu, gila?!” Juna mengerut disemprot Mei. Matanya berkedip-kedip takut membalas tatapan Mei yang mendelik galak kepadanya sambil terus mengoceh panjang, tetapi inti dari segala ocehan istrinya itu hanyalah bermuara pada kekhawatiran Mei terhadap dirinya, membuat Juna tersenyum, melayang-layang, tersanjung dan merasa disayang oleh orang yang dia sayang. Tapi Juna buru-buru menahan kala Mei mengambil ponsel Juna dan bilang ingin mengomeli Jonathan secara langsung. “Pinjam sini hape elu, soalnya hape gue kelar sehabis elu banting semalam,” ketus Mei. “Wait, Mei .., wait!” cegah Juna sedikit panik. Bisa-bisa nanti Jonathan keceplosan dan menceritakan s