“Kurang ajar si Jojon, dia itu dendam sama elu apa gimana sih? Masa cuma latihan aja bikin elu sampai kayak gini? Nggak pakai hati tuh orang!” Mei mengomel panjang, menyalah-nyalahkan asisten pribadi suaminya, sebab Mei tak tahu kronologis sebenarnya. “Mei, nggak apa-apa, gue emang yang nyuruh dia buat pukul gue sekeras-kerasnya.” “Hah? Elu, gila?!” Juna mengerut disemprot Mei. Matanya berkedip-kedip takut membalas tatapan Mei yang mendelik galak kepadanya sambil terus mengoceh panjang, tetapi inti dari segala ocehan istrinya itu hanyalah bermuara pada kekhawatiran Mei terhadap dirinya, membuat Juna tersenyum, melayang-layang, tersanjung dan merasa disayang oleh orang yang dia sayang. Tapi Juna buru-buru menahan kala Mei mengambil ponsel Juna dan bilang ingin mengomeli Jonathan secara langsung. “Pinjam sini hape elu, soalnya hape gue kelar sehabis elu banting semalam,” ketus Mei. “Wait, Mei .., wait!” cegah Juna sedikit panik. Bisa-bisa nanti Jonathan keceplosan dan menceritakan s
Maryam menyodorkan benda pipih berwarna ungu metalik yang sangat cantik, pengganti ponsel Mei yang dibanting Juna malam kemarin. Maryam cerewet sekali menjelaskan betapa sulitnya dia mendapatkan smartpone limited edition dari sebuah brand ternama ini. “Mas Juna bilang pokoknya saya harus dapatkan seri yang ini, Mbak, lagi ngehits ini ... pokoknya yang terbaik menurut Mas Juna, buat Mbak Mei.” Mei tak menggubris. Mei tak peduli soal brand, tak peduli limited edition atau pasaran, yang dia pedulikan hanyalah alat komunikasinya dengan dunia luar ini akhirnya kembali. Mei memeriksanya. Senyumnya merekah melihat foto mesranya dengan Juna terpajang sebagai wallpaper. Tapi kemudian kening wanita itu mengerut karena tak menemukan nomor Om Danu. Apa Juna menghapusnya? Tetapi nomor Kevin masih ada. Lagi-lagi Mei mengerutkan kening. Dia tak akan heran jika Juna menghapus nomor Kevin, tetapi kenapa malah Om Danu? "Mar, Juna nggak pasang penyadap kan di hape gue? Jangan-jangan dia mau memata-m
Mei cuma bisa geleng-geleng kepala mendengar permohonan maaf asisten pribadinya. Tanpa diberi tahu Mei sudah tahu kalau Maryam tak sengaja. “Mbak, please ... jangan cerita-cerita ke bos ya? Bisa habis saya kena omel kalau si bos sampai tahu saya nyembur wajah kesayangan si bos. Bukan cuma kena omel, bisa-bisa saya juga kena SP! Bonus saya disunat, gaji tahun depan nggak dinaikin pula,” rengek Maryam harap-harap cemas. Diam-diam Mei tersipu dalam hati mendengar Maryam menyebut ‘wajah kesayangan si bos’. Wajah Mei? Wajahnya adalah kesayangan Juna? Kesayangan Juna. Ah, kenapa tiba-tiba jantungnya berdebar-debar hanya karena kalimat receh itu sih? “Kak Mei? Maaf, ini betulan Kak Mei, kan?” Mei dan Maryam menoleh dan mendongak berbarengan, menatap sosok pemuda yang menghampirinya. Lalu seorang pemuda lain berdiri mematung di belakangnya. “Ivan?” Mei berdiri dan memeluk Ivan, sepupunya. “Apa kabar, Van? Yuk sini, makan bareng sekalian, Kakak belum selesai kok makannya, sini-sini duduk.”
“Eh. Kok Pak Jaya malah belok sih? Kita mau ke mall Central Park, loh, Pak. Tinggal lurus aja,” tegur Mei kepada sopirnya. Dan sopirnya menjawab jika tadi Maryam menyuruhnya agar lekas menuju sebuah hotel bintang lima di kawasan Sudirman. Mei menoleh kepada si asisten pribadinya, yang tak lain adalah Maryam. “Memangnya launching bukunya Soraya di hotel, bukannya di mall?” Maryam malah cengengesan mencurigakan. Dan melihat cengirannya itu Mei sudah bisa menebak pengkhianatan Maryam padanya yang entah sudah untuk ke berapa kalinya. “Ck! Elu lagi, elu lagi ... bikin ulah.” Mei memandangi Maryam sambil bersedekap. “Ya habis mau gimana lagi, Mbak? Tahu sendiri kalau si bos sudah menitahkan, saya mah bisa apa? Nanti saya deh yang mewakili Mbak Mei menemui Soraya, Mbak Mei urusin aja Mas Juna biar kita semuanya aman nggak ada yang kena omelannya si bos yang pedasnya nggak kalah heboh dari keripik Maicih level 25. Please, Mbak ...,” rengek Maryam sambil berkedip-kedip kepada Mei seperti ku
Juna mendorong pintu kamar hotel dan menutupnya kembali dengan cepat. Dan dengan sekali dorong, tubuh Mei sudah terpepet di dinding, dan Juna menciuminya dengan sepenuh dahaganya akan Mei seraya terengah-engah tak sabar, sambil melucuti pakaian Mei. “Ada yang menyabotase proyek pembangunan mall yang lagi gue garap, elu jangan kaget kalau dengar beritanya di TV, ya. Cerita yang sebenarnya nggak separah itu, kok. Gue bisa handle. Aah, gue butuh elu dulu, Mei. Make love sama elu emang obat paling ampuh buat gue sekarang. Help, Mei, elu paling tahu gimana caranya,” ceracau Juna disela-sela ciumannya. Mei mendongak menatap Juna, terpaku oleh kejujuran ekspresi pria itu. Juna tak pernah menutupi apapun dari Mei, tentang keresahan dan gundahnya, kerap dia tuangkan pada Mei, seperti seorang anak yang mengadu pada ibunya bahwa ada teman nakal yang tadi mengganggunya di sekolah. “Jangan cuma ngeliatin gue doang dong, Mei. Please ... do something to my body, ... I’m yours.” Juna menarik Mei me
Ketiadaan Juna membuat Mei enggan melakukan aktivitas paginya. Menu sarapan terasa hambar, kopi pun terasa lebih pahit dari biasanya. Padahal semuanya ini harus dibayar dengan harga yang sangat mahal. Namun Mei terpaksa melanggar pantangannya khusus hari ini, dia tak menghabiskan sarapan, menyia-nyiakan makanan sehingga harus dibuang. Mengabaikan fakta jika di belahan bumi lain masih banyak orang-orang yang kelaparan dan butuh makan. Tetapi mau bagaimana lagi, gairahnya meredup, hanya karena ketiadaan Juna di sisinya sepagi ini. Diam-diam kini Mei menyadari, Juna sudah menjadi bagian hidupnya yang paling penting, sulit dipisahkan dari dirinya lagi.“Elu di mana sih, Jun? Tumben nggak ngabarin gue?” Mei melempar ponselnya ke bantal karena tak menemukan sedikitpun pesan maupun telepon Juna untuknya. Dia ingin menelepon Jonathan, tetapi diurungkannya niat itu.“Juna pasti punya alasan, dia juga pernah lupa pulang gara-gara lembur di kantor sampai lupa waktu,” ucap Mei pada dirinya sendir
Ivan termangu memandangi amplop coklat yang disodorkan Aden. “Apa ini, Den?” tanyanya bingung. “Buka aja. Buat elu.” Aden mengedikkan kepala. Ivan menurut, membuka amplop cokelat itu dan mengecek isinya, lalu mendelik kaget. Ivan memandangi Aden dengan bola matanya yang masih membesar, bingung, heran, sekaligus takjub melihat segepok uang ratusan ribu sebanyak itu di tangannya, buat dirinya! “Apa maksudnya ini, Den?” Aden tersenyum dengan sorot rahasia yang membuat Ivan penasaran, sebab ‘tak ada makan siang yang gratis.’ Ivan menutup amplop itu dan menyorongkannya kembali kepada Aden. “Sorry, Den, jangan minta gue melakukan hal aneh-aneh semacam jadi kurir narkoba misalnya.” Aden terpingkal-pingkal. “Segitunya elu buruk sangka ke gue, Van! Ya nggaklah, anjir ... kurir narkoba, kepikiran aja lu sampai ke situ, Van? Kebanyakan nonton acara patroli lu, ah! Kayak emak-emak aja.” “Terus, apa ini?” “Hasil penjualan foto Kakak elu.” Aden tersenyum seraya menatap Ivan lurus-lurus. “Fo
“Mbak, ayolah ..., Mbak Mei harus makan. Sejak kemarin Mbak Mei belum makan,” bujuk Maryam seraya memandang sedih bosnya yang sedang dirundung duka. “Gimana gue bisa makan, Mar. Juna juga belum makan, dia nggak bisa makan, dia ... dia__” Mei menangis lagi untuk ke sekian kalinya. Matanya sembab dan lingkar matanya terlihat bengkak karena kebanyakan menangis. Maryam nyaris putus asa membujuk Mei. Padahal Maryam juga ingin menangis. Menjerit. Memekik. Tak tega melihat Jonathan juga terbaring lemah di dalam kamar ICU. Bahkan kondisi Jonathan jauh lebih parah daripada Juna. Namun lebih malang lagi sopir mereka, Pak Karman, yang meninggal di tempat akibat kecelakaan itu. Meninggalkan istrinya yang kini menjadi janda dan tiga anak yang masih berusia sekolah. Tetapi Maryam yakin bos mereka pasti akan menjamin hidup ketiga anak Pak Karman dengan beasiswa dan menyantuni keluarga Pak Karman setiap bulan. Maryam merahasiakan hasil investigasi kecelakaan kemarin dari Mei, bahwa ada yang telah