Terima kasih atas dukungan dan VOTE kalian :)
Di sebuah ruang kantor Direktur rumah sakit tempat Juna di rawat, Utomo tengah berbincang dengan dokter Joe. “Setelah sekian lama tak berjumpa, kita harus kembali bertemu lagi dalam kondisi seperti ini, Dok. Kondisi yang mengguncang traumatis saya sebenarnya,” keluh Utomo kepada dokter Joe, yang pernah merawat Sekar saat kecelakaan dulu, dan kini dokter Joe pula yang langsung menangani Juna, putera dari mantan pasiennya itu. Utomo tak ingin cucunya ditangani dokter bedah lain selama masih ada dokter Joe, dokter terbaik di bidangnya, yang sekarang telah menjabat sebagai Direktur rumah sakit ini . “Kondisi Juna tak seburuk Sekar, Pak Tomo. Beruntung dia tak mengalami cedera yang parah di bagian kepala maupun organ vital lainnya. Tetapi memang butuh waktu relatif lama untuk pemulihan tulangnya yang retak dan mengalami dislokasi.” “Tapi, ... cucu saya tidak akan mengalami cacat permanen kan, Dok? Lumpuh, misalnya?” Utomo memberanikan diri menanyakan hal yang sebenarnya sangat takut dia
Entahlah. Mei sendiri tak tahu kenapa bibit ketidaksukannya kepada Anjani mudah sekali bertumbuh di hatinya. Mungkin karena tahu jika wanita ini pernah tidur dengan Juna, sementara itu di depan Opa Tomo Anjani selalu menyebut Juna sebagai adik. Bah! Kakak perempuan macam apa yang meniduri adik lelakinya sendiri? Mei membiarkan Anjani di sini karena Opa Tomo, jika tidak Mei ingin sekali menendangnya keluar. Mei tidak suka melihat cara Anjani memandangi Juna yang tengah terbaring di dalam ruangan khusus yang dibatasi dengan kaca, Juna jadi seperti ikan yang berada di dalam akuarium yang hanya bisa dipandangi tanpa bisa disentuh. Perasaan Mei dikuasai cemburu. Kesal mendapat kunjungan dari mantan-mantan Juna, kemarin Raya dan sekarang Anjani. ‘Awas aja, Jun, pas elu udah sehat nanti gue bakal bikin perhitungan sama elu, bakal gue kelitikin sampai elu ampun-ampunan. Senang lu ya, masih sering ditengokin mantan?' Uh! Mei ingin sekali memukuli Juna dengan guling sekarang juga, lalu mende
Mei tersenyum menerima begitu banyak perhatian untuk Juna, berupa buket bunga dan ucapan dukungan yang dikirimkan ke ruang perawatan Juna dari kalangan sesama pengusaha, teman-teman SMA, dan juga teman-teman sosialita Mei dan Juna. Meskipun Mei membatasi akses tamu yang ingin membesuk Juna, tetapi tak menghentikan aliran dukungan mereka kepada Juna. Teman-teman bergantian menelepon Mei. Salah satunya Anna yang turut menyampaikan simpati dan dukungannya untuk Juna dan juga Mei. “Yang kuat ya, Mei. You’re not alone, elu punya kita semua. Jangan diambil hati omongan para netizen, mereka nggak tahu kejadian yang sebenarnya. Tapi kita semua tahu kok elu dan Juna kayak gimana. Elu fokus aja dengan pemulihan Juna. Elu juga jaga kesehatan ya, Mei?” “Thank you, An.” “My pleasure, beib.” Setelah menerima telepon dari Anna, Mei menyeduh kopi paginya. Mei sedang meletakkan kopi yang baru saja diseduhnya ke atas meja kala Maryam mendatanginya. “Mbak Mei,” panggil Maryam dengan wajah lelahnya
Utomo menelepon dan mengucapkan belasungkawa kepada Mei begitu Maryam mengabarkan kematian Danu. “Mei, dampingi dulu saja tantemu. Bagaimanapun, dia tetap keluargamu. Tantemu membutuhkan dukunganmu saat ini.” “Opa. Tapi. Bagaimana dengan Juna? Ada perkembangan apa hari ini? Jujur, saya berat meninggalkannya.” And I miss him so much. I miss my hubby. Lanjut Mei dalam hati. “Ada aku, Mei. Aku tak akan membiarkan siapapun menyakiti cucuku. Percayalah padaku.” Utomo meyakinkan Mei. Mei menghela napas berat. “Baik, Opa.” Mei menutup sambungan teleponnya dengan Utomo. Dan mengurusi tantenya yang berduka. Selesai pemakaman, Mei istirahat dalam ruangan yang dulu pernah menjadi kamarnya semasa belum menikah dengan Juna. Di kamar ini, dia kerap merasa kesepian dan ketakutan. Digempur kesedihan yang seperti tak berkesudahan. Sampai akhirnya Juna datang bagai pangeran berkuda putih yang menjemput Mei, membawanya angkat kaki jauh-jauh dari sini. “Mei,” panggil Tante Dilla di ambang pintu. M
“Mar, ayo balik ke rumah sakit sekarang.” Maryam yang masih mengobrol dengan Ivan segera mengangguk-angguk dan menelepon sopir mereka agar menjemput. “Pak Sur masih beli bensin, Mbak. Karena macet dan mengantre lama di pom bensin, katanya paling cepat sampai sini kira-kira 30 menit lagi.” Mei menggeleng. “Ah. Kelamaan. Kita naik taksi saja,” katanya dengan nada tak sabar. “Baik, Mbak.” Maryam bersiap memesan taksi online. “Kak Mei, biar saya antar saja, kebetulan saya bawa mobil. Kalau pesan taksi bisa saja lama datangnya, kalau Kakak memang buru-buru, hayuk saya antar saja?” Aden yang sedang hadir melayat tiba-tiba mengajukan diri. “Kamu nggak repot?” “Nggak, makanya saya menawari Kakak.” Akhirnya Mei menerima tawaran Aden. “Bagaimana kabar Mas Juna, Kak? Saya doakan lekas membaik ya, Kak. Saya ikut prihatin. Saya yakin Mas Juna orang baik, nggak seperti yang diberitakan,” ujar Aden sambil menyetir. Mei tersenyum tipis. Dia tidak fokus pada pembicaraan ini karena pikirannya
“I love you, Jun. I love you so much,” ucap Mei sambil membelai-belai sayang wajah suaminya yang masih pucat. Sesuai niat dan tekadnya, Mei benar-benar mengucapkan kalimat itu tanpa penundaan begitu Juna membuka matanya. "I love you," tegasnya sekali lagi. Sekarang Juna sudah dipindahkan ke dalam kamar perawatan biasa, bukan lagi di dalam ruang akuarium yang membuat Mei repot karena harus memakai pakaian steril dulu setiap kali ingin menjenguk suaminya. Juna tersenyum dan berkedip-kedip. Juna belum sanggup mengeluarkan suara untuk membalas ungkapan cinta sang istri karena kerongkongannya terasa sangat kering dan tenggorokannya juga sakit untuk bersuara, efek pemasangan sonde selama dia tak sadarkan diri. Mei menggenggam erat-erat tangan suaminya, lalu mengecupnya dengan sangat lama, air matanya yang deras membasahi kulit tangan Juna, air mata bahagia. “Thank you, Jun. Akhirnya elu bangun juga. Gue kangen banget sama elu, Jun. I miss you so much!” Meski lemah, tapi Mei bisa merasak
Dokter mengizinkan Juna pulang setelah hampir sebulan menjalani perawatan di rumah sakit. Namun dokter Joe mewanti-wanti agar Juna tetap rutin melakukan kontrol berkala dan terapi fisik untuk mengembalikan fungsi otot dan alat geraknya yang sementara ini masih lumpuh akibat dislokasi dan fraktur tulang kaki. “Welcome home, Jun.” Mei berkata sambil mendorong kursi roda Juna memasuki rumah mereka yang luas. Bersamaan dengan itu suara terompet yang ditiup beramai-ramai oleh para pekerja rumah saling bersahutan seperti suasana tahun baru, menyambut sang tuan yang telah kembali pulang. “Selamat datang, Mas Juna ...!” Teriak mereka semua sambil bertepuk tangan meriah. Senyum hangat mewarnai wajah mereka, menatap haru dan rindu kepada sang majikan. “Semoga lekas sembuh ya, Mas Juna, kami semua siap melayani Anda,” ucap seorang kepala pelayan sambil memberikan sebuah karangan bunga. Juna tersenyum menerimanya. “Siap melayani Anda, udah kayak polisi aja lu pada,” selorohnya, kemudian Juna m
Juna terbangun di tengah malam karena merasakan tekanan di kandung kemihnya alias kebelet pipis. Pria itu menggigit bibir sambil menggeser kakinya yang berat dan kaku dengan susah payah, menahan linu dan nyeri yang merambat. Juna menggunakan otot tangan untuk menumpu tubuhnya. Dia lelaki, tubuhnya gagah atletis, tangannya berotot, pantang takluk oleh kondisi. Pelan-pelan Juna bergerak, sehati-hati mungkin agar tak membangunkan Mei yang sedang terlelap. Juna menghela napas lega karena berhasil menapakkan kakinya ke lantai. Tangannya kemudian menggapai kursi roda. Ditariknya pelan-pelan. Inilah bagian yang tersulit, memindahkan bokongnya ke kursi roda. Sial! Juna melirik Mei, tangannya terulur ingin membangunkan dan minta bantuan. Namun, tiba-tiba saja egonya memprovokasi, ‘Come on, Jun, you are a man!’ ‘I can do it.’ Juna membatin, meniupkan rasa optimis. Juna menggapai lagi kursi rodanya, dan mengangkat tubuhnya sebisa mungkin, sehati-hati mungkin, dan Juna tersenyum saat dia berhas