Terima kasih atas dukungan dan VOTE untuk novel ini :)
“I love you, Jun. I love you so much,” ucap Mei sambil membelai-belai sayang wajah suaminya yang masih pucat. Sesuai niat dan tekadnya, Mei benar-benar mengucapkan kalimat itu tanpa penundaan begitu Juna membuka matanya. "I love you," tegasnya sekali lagi. Sekarang Juna sudah dipindahkan ke dalam kamar perawatan biasa, bukan lagi di dalam ruang akuarium yang membuat Mei repot karena harus memakai pakaian steril dulu setiap kali ingin menjenguk suaminya. Juna tersenyum dan berkedip-kedip. Juna belum sanggup mengeluarkan suara untuk membalas ungkapan cinta sang istri karena kerongkongannya terasa sangat kering dan tenggorokannya juga sakit untuk bersuara, efek pemasangan sonde selama dia tak sadarkan diri. Mei menggenggam erat-erat tangan suaminya, lalu mengecupnya dengan sangat lama, air matanya yang deras membasahi kulit tangan Juna, air mata bahagia. “Thank you, Jun. Akhirnya elu bangun juga. Gue kangen banget sama elu, Jun. I miss you so much!” Meski lemah, tapi Mei bisa merasak
Dokter mengizinkan Juna pulang setelah hampir sebulan menjalani perawatan di rumah sakit. Namun dokter Joe mewanti-wanti agar Juna tetap rutin melakukan kontrol berkala dan terapi fisik untuk mengembalikan fungsi otot dan alat geraknya yang sementara ini masih lumpuh akibat dislokasi dan fraktur tulang kaki. “Welcome home, Jun.” Mei berkata sambil mendorong kursi roda Juna memasuki rumah mereka yang luas. Bersamaan dengan itu suara terompet yang ditiup beramai-ramai oleh para pekerja rumah saling bersahutan seperti suasana tahun baru, menyambut sang tuan yang telah kembali pulang. “Selamat datang, Mas Juna ...!” Teriak mereka semua sambil bertepuk tangan meriah. Senyum hangat mewarnai wajah mereka, menatap haru dan rindu kepada sang majikan. “Semoga lekas sembuh ya, Mas Juna, kami semua siap melayani Anda,” ucap seorang kepala pelayan sambil memberikan sebuah karangan bunga. Juna tersenyum menerimanya. “Siap melayani Anda, udah kayak polisi aja lu pada,” selorohnya, kemudian Juna m
Juna terbangun di tengah malam karena merasakan tekanan di kandung kemihnya alias kebelet pipis. Pria itu menggigit bibir sambil menggeser kakinya yang berat dan kaku dengan susah payah, menahan linu dan nyeri yang merambat. Juna menggunakan otot tangan untuk menumpu tubuhnya. Dia lelaki, tubuhnya gagah atletis, tangannya berotot, pantang takluk oleh kondisi. Pelan-pelan Juna bergerak, sehati-hati mungkin agar tak membangunkan Mei yang sedang terlelap. Juna menghela napas lega karena berhasil menapakkan kakinya ke lantai. Tangannya kemudian menggapai kursi roda. Ditariknya pelan-pelan. Inilah bagian yang tersulit, memindahkan bokongnya ke kursi roda. Sial! Juna melirik Mei, tangannya terulur ingin membangunkan dan minta bantuan. Namun, tiba-tiba saja egonya memprovokasi, ‘Come on, Jun, you are a man!’ ‘I can do it.’ Juna membatin, meniupkan rasa optimis. Juna menggapai lagi kursi rodanya, dan mengangkat tubuhnya sebisa mungkin, sehati-hati mungkin, dan Juna tersenyum saat dia berhas
Mei mengajak Anna menemui Utomo. Kedua orang itupun lekas terlibat perbincangan yang akrab dan juga hangat. Anna tampak luwes dan percaya diri menghadapi Utomo, dan Utomo pun tampak menyayangi Anna. “Maaf, saya tinggal sebentar, saya mau menemui dulu terapis Juna.” Mei berpamitan, memberi kesempatan Utomo dan Anna berbincang hangat. Lalu menuju tempat Juna menjalani terapi fisiknya bersama sang terapis. Mei bersedekap memandangi Juna yang sedang gigih menjalani terapi fisiknya. Dia bisa melihat tekad yang luar biasa dalam diri Juna untuk sembuh. Tekad yang dibungkus ego yang tak kalah tingginya, hingga Juna menganggap perhatian Mei kepadanya sebagai rasa kasihan, dan Juna jenis pria yang pantang dikasihani, terutama oleh Mei, padahal Mei istrinya sendiri. “Bagaimana kemajuannya, Pak?” tanya Mei kepada terapis saat sesi terapi Juna sudah selesai. “Sangat bagus, Bu. Saya lihat ini hasil rontgent tulangnya juga jadi semakin baik. Semangat, Pak Juna! Oya, apa masih ada keluhan linu di
Seharian ini Mei disibukkan dengan kegiatan yayasan Pelita Bangsa. Sebagai ketua umum, Mei harus sanggup menjalankan visi dan misi yayasan sesuai anggaran dasar. Sudah menjadi tugasnya mengkoordinasikan program kerja yayasan baik perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, maupun pertanggungjawaban. Mei juga mendelegasikan pengurus harian untuk melakukan hubungan dengan pihak-pihak di luar yayasan, terkait pengganti program beasiswa atlet daerah yang sempat bermasalah beberapa waktu lalu. Kemudian mendengarkan laporan dari mereka dan mendiskusikan beberapa kendala dan masalah. Kesibukan membuat Mei melupakan jadwal makan siang, dia bahkan lupa menelepon Juna dan menanyai kabarnya. Mei buru-buru menelepon begitu teringat suaminya, tetapi sepertinya Juna sedang menerima telepon lain sehingga telepon dari Mei tak juga tersambung. “Kayaknya elu lagi euforia bisa balik ngantor lagi, Jun, makanya semua kerjaan mau elu embat. Dari tadi ditelepon sibuk melulu,” gumam Mei sambil beralih menelepon Mary
Mei menunggu sajian makanan di sebuah restoran padang yang biasa dia kunjungi dengan Maryam. Sambil menunggu, Mei pun menelepon Juna. Setelah menanti beberapa saat, akhirnya Juna mengangkat teleponnya. “Halo, Jun? Lagi ngapain?” sapa Mei dengan senyum terkembang.“Halo,” Juna tertawa lirih, “lagi meeting.”“Ups, sorry. Oke, gue tutup, ntar gue telepon lagi. Bye, Sayang. I love you,” bisik Mei sebelum menutup teleponnya, tak ingin mengganggu Juna yang sedang bekerja.“Kak Mei?”Mei terkejut melihat Aden.“Eh, halo, Den. Sudah makan atau belum?”“Saya baru aja masuk terus ngeliat Kakak di sini. Tumben sendirian?”“Yuk, makan bareng aja. Kamu sendirian?”Aden mengangguk dan duduk di depan Mei. Tentu saja dia tak menyia-nyiakan kesempatan ini.“Kebetulan saya habis ada pemotretan di satu event, terus lapar. Tadi nggak pengen makan, ternyata sekarang lapar juga, terus mampir ke sini. Restoran padang yang ini memang paling enak, Kak.”“Kamu biasa makan di sini?”“Lumayan, Kak.”Restoran pad
Dilla tak henti-hentinya berterima kasih kepada Mei yang telah mendanai acara peringatan 100 hari kematian suaminya. Baik sekali keponakannya ini, padahal jelas-jelas Danu sudah mengaku kalau telah menjadi dalang kesengsaraan hidup orangtua Mei di masa lalu, bahkan Mei juga ikut-ikutan sengsara karenanya. Bahkan Mei kini rutin menyantuninya setiap bulan, sehingga Dilla tak mencemaskan lagi kebutuhan dapurnya. “Sudahlah. Semuanya terjadi atas kehendak Tuhan, Tan. Kebetulan terjadinya lewat Om Danu, kalaupun bukan karena Om Danu, mungkin papi bangkrutnya lewat orang lain, karena skenario kehidupan papi memang harus seperti itu.” Dilla membelai wajah Mei dengan kelembutan seorang ibu, dengan sebelah tangannya yang tidak lumpuh, matanya berkaca-kaca haru menatap kebesaran hati keponakannya ini. “Tante doakan kamu menjalani hidupmu yang sekarang ini dengan banyak kebahagiaan, Mei,” doanya mengalir tulus. Mei tersenyum, dia memang bahagia telah memiliki Juna dalam hidupnya. Pria itu tetap
Mei memejamkan mata dan pura-pura sudah tidur saat mendengar suara langkah Juna dan kruknya memasuki kamar. Biasanya dia akan melompat dari kasur dan menyambut suaminya itu dengan senyum terbaik yang dimilikinya. Tapi sekarang, hatinya masih diremas sakit. Bisa-bisanya Juna membohonginya sedang meeting tapi malah dinner dengan Raya, dan parahnya Mei justru mengetahui hal itu dari instastory Raya yang tampak bangga bisa mengulangi kencan mesranya dengan Juna, padahal mereka sama-sama sudah menikah! Juna tak sengaja menjatuhkan kruknya. Mei menahan kaget sambil mengintip Juna yang sedang susah payah mengambil kruknya yang tergeletak di lantai. Hatinya tak tega ingin menolong, tetapi di sisi lain dia juga marah. Mei mengepalkan tangan, perang batin antara ingin menolong atau membiarkannya saja sebagai pelajaran. “Ahh, sompret ..., elu tuh ye, baru jadi benda mati, baru jadi kruk aja udah sombong ngerjain gue malam-malam gini. Gue capek tau nggak sih ... wahai elu si tuan kruk yang aroga