Terima kasih atas dukungan dan VOTE untuk novel ini :) Happy reading ....
Mei menunggu sajian makanan di sebuah restoran padang yang biasa dia kunjungi dengan Maryam. Sambil menunggu, Mei pun menelepon Juna. Setelah menanti beberapa saat, akhirnya Juna mengangkat teleponnya. “Halo, Jun? Lagi ngapain?” sapa Mei dengan senyum terkembang.“Halo,” Juna tertawa lirih, “lagi meeting.”“Ups, sorry. Oke, gue tutup, ntar gue telepon lagi. Bye, Sayang. I love you,” bisik Mei sebelum menutup teleponnya, tak ingin mengganggu Juna yang sedang bekerja.“Kak Mei?”Mei terkejut melihat Aden.“Eh, halo, Den. Sudah makan atau belum?”“Saya baru aja masuk terus ngeliat Kakak di sini. Tumben sendirian?”“Yuk, makan bareng aja. Kamu sendirian?”Aden mengangguk dan duduk di depan Mei. Tentu saja dia tak menyia-nyiakan kesempatan ini.“Kebetulan saya habis ada pemotretan di satu event, terus lapar. Tadi nggak pengen makan, ternyata sekarang lapar juga, terus mampir ke sini. Restoran padang yang ini memang paling enak, Kak.”“Kamu biasa makan di sini?”“Lumayan, Kak.”Restoran pad
Dilla tak henti-hentinya berterima kasih kepada Mei yang telah mendanai acara peringatan 100 hari kematian suaminya. Baik sekali keponakannya ini, padahal jelas-jelas Danu sudah mengaku kalau telah menjadi dalang kesengsaraan hidup orangtua Mei di masa lalu, bahkan Mei juga ikut-ikutan sengsara karenanya. Bahkan Mei kini rutin menyantuninya setiap bulan, sehingga Dilla tak mencemaskan lagi kebutuhan dapurnya. “Sudahlah. Semuanya terjadi atas kehendak Tuhan, Tan. Kebetulan terjadinya lewat Om Danu, kalaupun bukan karena Om Danu, mungkin papi bangkrutnya lewat orang lain, karena skenario kehidupan papi memang harus seperti itu.” Dilla membelai wajah Mei dengan kelembutan seorang ibu, dengan sebelah tangannya yang tidak lumpuh, matanya berkaca-kaca haru menatap kebesaran hati keponakannya ini. “Tante doakan kamu menjalani hidupmu yang sekarang ini dengan banyak kebahagiaan, Mei,” doanya mengalir tulus. Mei tersenyum, dia memang bahagia telah memiliki Juna dalam hidupnya. Pria itu tetap
Mei memejamkan mata dan pura-pura sudah tidur saat mendengar suara langkah Juna dan kruknya memasuki kamar. Biasanya dia akan melompat dari kasur dan menyambut suaminya itu dengan senyum terbaik yang dimilikinya. Tapi sekarang, hatinya masih diremas sakit. Bisa-bisanya Juna membohonginya sedang meeting tapi malah dinner dengan Raya, dan parahnya Mei justru mengetahui hal itu dari instastory Raya yang tampak bangga bisa mengulangi kencan mesranya dengan Juna, padahal mereka sama-sama sudah menikah! Juna tak sengaja menjatuhkan kruknya. Mei menahan kaget sambil mengintip Juna yang sedang susah payah mengambil kruknya yang tergeletak di lantai. Hatinya tak tega ingin menolong, tetapi di sisi lain dia juga marah. Mei mengepalkan tangan, perang batin antara ingin menolong atau membiarkannya saja sebagai pelajaran. “Ahh, sompret ..., elu tuh ye, baru jadi benda mati, baru jadi kruk aja udah sombong ngerjain gue malam-malam gini. Gue capek tau nggak sih ... wahai elu si tuan kruk yang aroga
Jika pada saat ini kamar Mei dan Juna tengah diselimuti atmosfer yang sarat romantika, berbanding terbalik dengan suasana di dalam kamar milik Raya dan Kevin yang terasa muram. Kevin sudah lebih dulu sampai di rumah. Bahkan sudah memakai piyama tidur dan merebahkan dirinya di kasur, tetapi Raya belum kunjung pulang. Kevin sudah berkali-kali menelepon, tetapi istrinya itu justru menolak panggilannya. “Apa-apaan sih?” Kevin menggumam dongkol. Raya semakin keterlaluan saja, makin tak menghargai dirinya sebagai suami. Pergi tanpa izin, kapan pulang juga sesuka hatinya sendiri. Bukan sekali-dua kali saja Raya menginap berhari-hari di rumah orangtuanya tanpa pamit, tapi dijemput pulang malah merajuk, mengatasnamakan kehamilannya. “Aku nggak bisa tidur kalau di kamar kita. Daripada aku insomnia dan nggak bagus buat perkembangan kandunganku, biarin aku menginap di sini beberapa hari lagi,” rengek Raya di depan orangtuanya, membuat Nila ikut-ikutan mencegah Kevin membawa anaknya pulang, bukan
Genap tujuh bulan pasca operasinya yang lalu, tulang yang patah di area kaki Juna telah menyatu dengan baik sehingga pelepasan pen bisa dilakukan. Setelah pelepasan pen itu Juna tetap melatih otot-otot kakinya yang masih kaku agar kembali normal, dibawah pengawasan terapis dari rumah sakit yang biasa melatihnya, ditambah asupan makanan bergizi yang sesuai dengan kebutuhan tubuhnya selama proses pemulihan membuat kondisi kaki Juna semakin lama semakin membaik. “Untuk sementara hindari dulu aktivitas berlebih atau angkat beban berlebihan pada area yang patah ini ya, Pak.” Terapis Juna tak pernah bosan mengingatkan pasien yang rajin dilatihnya ini. “Siap, Pak.” Juna mengangguk penuh janji, dia juga ingin cepat sembuh dan kembali gagah seperti dulu tanpa membawa-bawa tongkat besi yang membuatnya jadi seperti kakek-kakek saja, bahkan Opa Tomo saja masih gagah dan tak memakai tongkat di usianya yang sudah 79 tahun. Mei dan Juna mengantar terapis Juna sampai teras rumah. Keduanya melambaik
“Mei ...!” panggil Demi. Juna mundur untuk memberi ruang bagi Mei membalas pelukan Demi, teman satu cyrcle Mei di sebuah kelompok arisan sosialita. Usai cipika-cipiki, Mei dan Demi asyik mengobrol. Sedangkan Juna kembali mengedarkan pandang ke segala penjuru ruangan dan terkejut melihat seorang pemuda tengah mengarahkan layar ponselnya ke arah Demi yang sedang berbincang hangat dengan Mei. Apakah pria itu penguntit Demi yang seorang artis? Tapi kemudian pemuda itu meletakkan ponselnya di telinga seakan sedang menerima telepon seseorang, sikapnya terlihat tidak alami. Apa dia gugup karena tahu Juna memergokinya? “Halo, Jun?” Tatapan Juna pun teralihkan ke suara yang menegurnya. “Eh, Anna?” Juna tak heran bertemu dengan Anna di tempat semacam ini, karena Anna penyuka seni, entah fotografi maupun lukisan. Anna punya selera yang bagus dan kejelian tersendiri dalam menilai seni. Bahkan salah satu lukisan abstrak yang pernah dihadiahkan Anna untuk Juna dulu, tetap menjadi favorit Juna
Mei pamit meninggalkan Demi dan Anna yang langsung berbincang dengan Aden, memberi kesempatan Anna bicara langsung dengan Aden terkait tawarannya untuk Aden agar mau mengisi lowongan fotografer dalam tim konten kreatifnya. Demi tetap di sana karena ingin membantu Anna membujuk Aden, sebab saat ini banyak pihak yang sedang mengincar Aden sejak dia meraih gelar juara favorit dalam ajang lomba fotografi bergengsi tingkat nasional ini. Demi pun memanfaatkan pesonanya sebagai artis untuk membujuk Aden. Padahal tanpa dibujuk sekalipun, Aden memang sudah mengincar para wanita itu dan ingin masuk ke dalam lingkaran mereka.Sementara itu, Mei dan Juna asyik berkeliling melihat-lihat dan menikmati pameran fotografi di dalam gedung itu. Bagi Mei, semua foto itu bagus-bagus, dia tak memiliki kejelian khusus menilai seni. Berbanding terbalik dengan Juna yang bisa diam cukup lama hanya untuk mengamati sebuah foto saja.Mei mengamati tatapan Juna yang sedang tertancap pada sebingkai foto yang menampi
Lelang sudah berlangsung lebih dari sejam yang lalu. Juna menghapus keringat yang membanjiri kening dengan sapu tangan mahalnya. Kakinya terasa nyeri sekarang karena dia tadi setengah berlari demi mencapai tempat ini. Juna mengamati acara yang tengah berlangsung, syukurlah foto-foto yang diincarnya belum dilelang. Bahkan akhirnya Juna sampai menunggu lebih dari 1 jam hingga foto-foto itu akhirnya keluar dan mengundang decak kagum orang-orang. “I want you,” gumam Juna seraya mengulum senyumnya. Juna duduk dengan lebih tenang. Menunggu penawaran berlangsung. “Ya, 250 juta! Ayo, ada lagi? Masih ada waktu lima menit lagi, atau foto seri pertama ‘Makanan terenak di dunia yang disantap oleh wanita tercantik di negeri Indonesia’ ini akan kita tutup di angka 250 juta,” kata petugas lelang mengumumkan. “Tiga ratus juta.” “Tiga ratus sepuluh juta.” “Tiga ratus empat puluh juta.” “Tiga ratus lima puluh juta.” “Empat ratus juta.” “Empat ratus lima puluh juta.” Lelang bergulir dengan cepat