Terima kasih atas dukungan dan VOTE untuk novel ini. Enjoy reading ....
Jika pada saat ini kamar Mei dan Juna tengah diselimuti atmosfer yang sarat romantika, berbanding terbalik dengan suasana di dalam kamar milik Raya dan Kevin yang terasa muram. Kevin sudah lebih dulu sampai di rumah. Bahkan sudah memakai piyama tidur dan merebahkan dirinya di kasur, tetapi Raya belum kunjung pulang. Kevin sudah berkali-kali menelepon, tetapi istrinya itu justru menolak panggilannya. “Apa-apaan sih?” Kevin menggumam dongkol. Raya semakin keterlaluan saja, makin tak menghargai dirinya sebagai suami. Pergi tanpa izin, kapan pulang juga sesuka hatinya sendiri. Bukan sekali-dua kali saja Raya menginap berhari-hari di rumah orangtuanya tanpa pamit, tapi dijemput pulang malah merajuk, mengatasnamakan kehamilannya. “Aku nggak bisa tidur kalau di kamar kita. Daripada aku insomnia dan nggak bagus buat perkembangan kandunganku, biarin aku menginap di sini beberapa hari lagi,” rengek Raya di depan orangtuanya, membuat Nila ikut-ikutan mencegah Kevin membawa anaknya pulang, bukan
Genap tujuh bulan pasca operasinya yang lalu, tulang yang patah di area kaki Juna telah menyatu dengan baik sehingga pelepasan pen bisa dilakukan. Setelah pelepasan pen itu Juna tetap melatih otot-otot kakinya yang masih kaku agar kembali normal, dibawah pengawasan terapis dari rumah sakit yang biasa melatihnya, ditambah asupan makanan bergizi yang sesuai dengan kebutuhan tubuhnya selama proses pemulihan membuat kondisi kaki Juna semakin lama semakin membaik. “Untuk sementara hindari dulu aktivitas berlebih atau angkat beban berlebihan pada area yang patah ini ya, Pak.” Terapis Juna tak pernah bosan mengingatkan pasien yang rajin dilatihnya ini. “Siap, Pak.” Juna mengangguk penuh janji, dia juga ingin cepat sembuh dan kembali gagah seperti dulu tanpa membawa-bawa tongkat besi yang membuatnya jadi seperti kakek-kakek saja, bahkan Opa Tomo saja masih gagah dan tak memakai tongkat di usianya yang sudah 79 tahun. Mei dan Juna mengantar terapis Juna sampai teras rumah. Keduanya melambaik
“Mei ...!” panggil Demi. Juna mundur untuk memberi ruang bagi Mei membalas pelukan Demi, teman satu cyrcle Mei di sebuah kelompok arisan sosialita. Usai cipika-cipiki, Mei dan Demi asyik mengobrol. Sedangkan Juna kembali mengedarkan pandang ke segala penjuru ruangan dan terkejut melihat seorang pemuda tengah mengarahkan layar ponselnya ke arah Demi yang sedang berbincang hangat dengan Mei. Apakah pria itu penguntit Demi yang seorang artis? Tapi kemudian pemuda itu meletakkan ponselnya di telinga seakan sedang menerima telepon seseorang, sikapnya terlihat tidak alami. Apa dia gugup karena tahu Juna memergokinya? “Halo, Jun?” Tatapan Juna pun teralihkan ke suara yang menegurnya. “Eh, Anna?” Juna tak heran bertemu dengan Anna di tempat semacam ini, karena Anna penyuka seni, entah fotografi maupun lukisan. Anna punya selera yang bagus dan kejelian tersendiri dalam menilai seni. Bahkan salah satu lukisan abstrak yang pernah dihadiahkan Anna untuk Juna dulu, tetap menjadi favorit Juna
Mei pamit meninggalkan Demi dan Anna yang langsung berbincang dengan Aden, memberi kesempatan Anna bicara langsung dengan Aden terkait tawarannya untuk Aden agar mau mengisi lowongan fotografer dalam tim konten kreatifnya. Demi tetap di sana karena ingin membantu Anna membujuk Aden, sebab saat ini banyak pihak yang sedang mengincar Aden sejak dia meraih gelar juara favorit dalam ajang lomba fotografi bergengsi tingkat nasional ini. Demi pun memanfaatkan pesonanya sebagai artis untuk membujuk Aden. Padahal tanpa dibujuk sekalipun, Aden memang sudah mengincar para wanita itu dan ingin masuk ke dalam lingkaran mereka.Sementara itu, Mei dan Juna asyik berkeliling melihat-lihat dan menikmati pameran fotografi di dalam gedung itu. Bagi Mei, semua foto itu bagus-bagus, dia tak memiliki kejelian khusus menilai seni. Berbanding terbalik dengan Juna yang bisa diam cukup lama hanya untuk mengamati sebuah foto saja.Mei mengamati tatapan Juna yang sedang tertancap pada sebingkai foto yang menampi
Lelang sudah berlangsung lebih dari sejam yang lalu. Juna menghapus keringat yang membanjiri kening dengan sapu tangan mahalnya. Kakinya terasa nyeri sekarang karena dia tadi setengah berlari demi mencapai tempat ini. Juna mengamati acara yang tengah berlangsung, syukurlah foto-foto yang diincarnya belum dilelang. Bahkan akhirnya Juna sampai menunggu lebih dari 1 jam hingga foto-foto itu akhirnya keluar dan mengundang decak kagum orang-orang. “I want you,” gumam Juna seraya mengulum senyumnya. Juna duduk dengan lebih tenang. Menunggu penawaran berlangsung. “Ya, 250 juta! Ayo, ada lagi? Masih ada waktu lima menit lagi, atau foto seri pertama ‘Makanan terenak di dunia yang disantap oleh wanita tercantik di negeri Indonesia’ ini akan kita tutup di angka 250 juta,” kata petugas lelang mengumumkan. “Tiga ratus juta.” “Tiga ratus sepuluh juta.” “Tiga ratus empat puluh juta.” “Tiga ratus lima puluh juta.” “Empat ratus juta.” “Empat ratus lima puluh juta.” Lelang bergulir dengan cepat
“An, bawa sini coba ... gue mau lihat hasil foto-fotonya.” Juna berkata kepada Anna sambil mengedikkan dagunya ke arah Aden. “Aden, sini ... tunjukin foto-fotonya, kita mau lihat,” pinta Anna kepada Aden yang tiba-tiba saja berubah gugup. “Eh, i-iya, Kak.” “Jangan ada yang dihapus, biar aja apa adanya,” kata Juna yang sejak tadi memerhatikan tangan Aden yang gemetar, membuat Juna menyipit curiga. Karena Aden masih saja sibuk berkutat dengan kameranya, Juna jadi tak sabar dan mendekat kepada Aden lalu merebut kameranya, dan memeriksa sendiri semua isinya. Tak ada yang mencurigakan dari semua foto-foto Aden ini, dia pikir bakal banyak menemukan foto-foto Demi. Tetapi entah kenapa firasat Juna tidak enak dengan pemuda ini. Juna yakin pemuda ini seorang penguntit karena jelas-jelas dia tadi melihat Aden menyorotkan kamera ponselnya ke arah Demi yang sedang asyik mengobrol dengan Mei. Juna pikir Aden sedang menguntit Demi karena Demi seorang artis, Juna tak tahu saja kalau ternyata Ad
“Cuma ini doang?” Roland bersedekap memandangi Aden dengan sorot mata tak puas dan kecewa. Aden mengedikkan bahu. “Fiuh! Hampir aja gue ketahuan suaminya, bisa langsung diganyang di tempat gue, Land. Untung aja Juna nggak curiga karena gue udah keburu menghapus foto-fotonya yang lain. Tapi yang gue kirim via email ke elu jelas kan?” tanyanya seraya mengangkat kaki dan meluruskannya di atas sofa. “Jelas sih,” Rolan mengerucutkan bibir, “tapi tetap aja bukan kualitas HD. Asal elu tahu, peminat fotonya si Mei ini makin meningkat sejak kita lempar ke pasaran fotonya yang pertama dulu. Bahkan ada yang sampai order khusus dan siap bayar mahal, sayang banget kalau elu cuma dapat 1 foto ini doang, Den! Ayolah, ini kesempatan kita banjir cuan,” tantangnya. “Coba aja lu sodorin punya Demi dan Anna, cakep juga kan itu.” “Lumayan, sih. Tapi tetap aja punya si Mei ini yang kadung banyak fansnya, Den. Ayo dong, lu pasti bisa dapetin yang lebih banyak lagi. Elu kan jadi lebih gampang bikin kesemp
Utomo memegangi berkas-berkas di tangannya dengan tangan gemetar, masih tak percaya membaca laporan dari Ramon ini. “Benarkah dia pelakunya?” desahnya sambil memijiti keningnya yang semakin mengerut bukan keriput karena dimakan usia, tetapi juga karena pening memikirkan kekacauan ini. “Jadi, bagaimana, Tuan?” Ramon bertanya karena sejak tadi Utomo terdiam dan hanya meremas ujung berkas yang disodorinya. “Bisa dipastikan memang dialah dalang dibalik kecelakaan yang menimpa Mas Juna dan Mbak Mei.” Ternyata ada pengkhianat dalam tubuh tim keamanan Juna terdahulu. Memang tak mungkin semudah itu orang luar bisa menyentuh mobil cucunya dan juga Mei, selain orang dalam. Untunglah Juna sudah mengganti semua tim keamanannya dengan yang baru. “Awasi dia terus, biar saja dia pikir kita tak menaruh curiga sedikitpun, aku ingin tahu sejauh apa tindakannya. Kumpulkan saja bukti pengkhianatannya sebanyak mungkin.” “Baik, Tuan.” “Buatkan jadwal rapat dengan dewan komisaris, aku harus bicara denga