Happy reading everybody ... :)
Utomo memegangi berkas-berkas di tangannya dengan tangan gemetar, masih tak percaya membaca laporan dari Ramon ini. “Benarkah dia pelakunya?” desahnya sambil memijiti keningnya yang semakin mengerut bukan keriput karena dimakan usia, tetapi juga karena pening memikirkan kekacauan ini. “Jadi, bagaimana, Tuan?” Ramon bertanya karena sejak tadi Utomo terdiam dan hanya meremas ujung berkas yang disodorinya. “Bisa dipastikan memang dialah dalang dibalik kecelakaan yang menimpa Mas Juna dan Mbak Mei.” Ternyata ada pengkhianat dalam tubuh tim keamanan Juna terdahulu. Memang tak mungkin semudah itu orang luar bisa menyentuh mobil cucunya dan juga Mei, selain orang dalam. Untunglah Juna sudah mengganti semua tim keamanannya dengan yang baru. “Awasi dia terus, biar saja dia pikir kita tak menaruh curiga sedikitpun, aku ingin tahu sejauh apa tindakannya. Kumpulkan saja bukti pengkhianatannya sebanyak mungkin.” “Baik, Tuan.” “Buatkan jadwal rapat dengan dewan komisaris, aku harus bicara denga
Sonia menggelar private party untuk perayaan ulang tahunnya yang ke-33 di sebuah vila pribadi miliknya di Dago. Dia hanya mengundang 33 orang tamu saja, sesuai dengan angka usianya sekarang, yang terdiri dari sahabat, teman dekat, serta beberapa artis papan atas kenalan Sonia, termasuk Demi. Acara berkonsep pesta kebun itu digelar di taman terbuka di dekat kolam renang. Para sosialita itu larut dalam kemeriahan suasana pesta yang privasi dan keamanannya dijaga ketat. Aden yang ditugasi sebagai fotografer khusus untuk acara itupun panen besar, dia memanfaatkan momen itu untuk memotret objek-objeknya yang baru. Roland pun gembira menerima email berisi file berupa foto-foto tungkai seksi para wanita sosialita itu, Roland bersiul puas dan dia pun sudah fasih membedakan mana yang punya Mei dan mana yang bukan. Kemudian Roland menyuplai paket-paket foto itu ke Amerika, kepada distributor penyedia aneka foto untuk para foot fetis di sana. Dan Roland sangat terkejut ketika tiba-tiba saja m
“Mau ikan bakarnya, Mei? Enak loh.” Kevin menawari. Melihat Mei mengangguk, diapun lekas memisahkan daging ikan kembung bakar itu ke dalam piring lain, membersihkannya dari duri, kemudian menyodorkannya ke depan Mei.Kevin mengulum senyum melihat Mei sangat menikmati ikan bakar itu. ‘Dia sama sekali nggak berubah,’ pikirnya sambil geleng-geleng kepala dan membuang tatapannya ke arah lain. Kevin sadar masih ada jejak perasaan yang mengendap di dasar jiwanya untuk Mei, sehingga dia menjaga pandangannya, tak ingin berlarut-larut menatapnya.Anton mengamati ekspresi adiknya. Diam-diam dia kasihan Kevin masih saja memendam perasaannya terhadap Mei. Secara kasat mata, Mei dan Raya sama-sama cantik, tetapi Mei memang punya sex appeal tersendiri yang tak dimiliki Raya. Tetapi Anton juga kasihan kepada Raya, jika masih dibanding-bandingkan dengan wanita dari masa lalu Kevin. Bagaimanapun, adiknya ini harus bertanggung jawab terhadap apa yang sudah dipilihnya sendiri. Raya itu pilihan Kevin se
Mei berkedip-kedip. Juna bilang sudah siap jadi ayah? Tak salah dengarkah dirinya? Mei pun tersenyum dan membelai wajah Juna yang masih menyorot lembut kepadanya.“Elu pasti akan jadi ayah yang baik, Jun, ayah yang hebat buat anak-anak kita nanti,” ucap Mei sambil menangkup kedua pipi Juna, lalu menepuk-nepuknya dengan sayang. Jadi, mulai sekarang Mei harus berhenti meminum pil KB-nya.“Elu juga, Mei, elu pasti akan jadi ibu yang luar biasa buat anak-anak kita,” bisik Juna sambil mendaratkan sebuah kecupan di kening Mei, kemudian Juna berguling dari atas tubuh Mei dan memeluknya seperti guling. Juna mendekap Mei dengan hati yang meluap-luap oleh kebahagiaan. Rasanya dia baru saja terbangun dari mimpi buruk yang sangat menakutinya selama bertahun-tahun ini.Kemudian Juna menceritakan perasaannya kepada Mei. Lega sekali rasanya saat Opa Tomo memberitahunya bahwa Sekar bukanlah ibu kandungnya dan Rudi tentu saja bukan papanya. Dia memanglah anak kandung Wira dan ibunya ternyata Andini, i
Dengan rasa ngeri yang semakin meningkat, Anton membayangkan sepasang tungkai Mei yang menggairahkan, yang sampai kini masih membayang jelas dalam pikirannya, tentang bagaimana kaki cantik itu melangkah anggun meninggalkannya kemarin saat keluar dari restoran. “Damn!” Anton meremas kaleng bekas bir yang baru saja habis diteguknya. Lalu menggelengkan kepalanya yang pening. Dia sudah membayar mahal biaya kencan dengan wanita misterius pemilik objek foto ini. Benarkah ini Meilani? Wanita yang diidam-idamkan adiknya sejak SMA? Ah! Bisa jadi wanita lain ‘kan? Dia hanya akan tahu setelah melihatnya nanti. Anton pun lekas menelepon. “Halo?” sapa seseorang di sana. “Saya Anton. Apa benar saya sedang bicara dengan Roland?” “Eh, ha-halo Mister? Be-benar. A-apakah ... Mister sudah di Jakarta?” Suara itu terdengar begitu gugup. “Ya. Dan saya sedang menunggu paket yang sudah saya bayar. Besok ready?” Lalu Anton menyebut sebuah alamat rumah di mana dia sedang menginap saat ini, rumah yang telah
Sepanjang jalan, Mei benar-benar tak mengacuhkan Juna meskipun Juna sudah bicara panjang lebar bahwa dia tak ingat jika sapu tangan itu kado dari Raya. “Dulu itu Raya nggak tahu kalau gue punya banyak sapu tangan, Mei. Jadi sebelum dia kasih kado itu sebenarnya gue udah punya duluan barang yang sama,” Juna meringis ketika teringat lagi betapa dulu Raya menganggapnya seperti orang susah yang tak mampu membeli sendiri barang-barang branded, “dan gue nggak ingat mana yang punya gue sama mana yang dari Raya, jadinya kecampur deh. Gitu loh, Sayang ...,” lanjutnya sambil mengerem saat mobilnya terhadang lampu merah. Juna menoleh kepada Mei yang masih saja bersedekap sambil membuang tatapannya ke arah jendela. “Mei, udahan dong marahnya. Sumpah gue nggak sengaja. Please? Ngomong dong, Sayang ...,” rengek Juna sambil merangkul pundak Mei yang masih saja terdiam seribu bahasa. Lalu Juna nyengir saat akhirnya Mei menoleh juga padanya. “Bisa nggak sih elu singkirin semua jejak barang-barang da
Helikopter yang akan membawanya ke Bandung sudah siap mendarat di helipad di atap sebuah gedung milik Utomo Group. “Irna!” katanya dengan berteriak pada sekretaris karena suara si heli yang berisik dan kencang. Tetapi saat Irna mendekatkan telinga padanya, Juna malah menggeleng. Tiba-tiba dia teringat taruhannya dengan Mei, maka diapun mengurungkan niatnya yang semula ingin menyuruh Irna untuk sering-sering mengecek Mei dan melaporkannya kepada Juna.Sementara itu di kantornya, Mei bingung mencari-cari ponsel miliknya. Lalu dia menepuk jidat, “Ah iya ..., hape gue tadi kan dikantongi Juna dan gue lupa banget mau minta balikin pas turun dari mobil tadi. Aaah. Dasar, Juna! Iseng banget sih ngerebut hape gue. Jadi repot gini kan gue, jadi nggak bisa menghubungi siapa-siapa,” gerutunya dongkol. Terpaksa dia puasa ponsel untuk hari ini saja. “Bu, ini saya disuruh Pak Juna mengantar mobilnya Ibu,” kata seorang sopir utusan Juna. “Makasih, Pak. Selain ini, tadi Pak Juna nitip hape juga ngga
Anton sudah mendengar tentang skenario yang dibuat Roland sehingga bisa mengantarkan Mei ke sini. Mau tak mau, Anton mengikuti saja alur cerita itu. Toh, ini memang rumahnya. Mengenai negosiasi dengan Mei tentang penjualan rumah ini, bisa diaturnya sendiri nanti, yang penting dia bisa menahan Mei dulu selama mungkin di sini lewat alasan itu. Selanjutnya, Anton tentu saja sudah mempersiapkan rencananya sendiri. “Boleh lihat-lihat?” “Why not? This is your home, right?” Anton berkata dan mengangguk-angguk sambil tersenyum. Mei berkedip-kedip takjub mendengar ucapan Anton barusan. ‘Yes, it’s mine,’ ucapnya dalam hati. “Tapi, habiskan dulu minummu, don’t rush yourself. The house is not going anywhere.” Mei tertawa sembari mengangguk, kemudian menghabiskan tehnya. Anton pun tersenyum menatap pantulan kegembiraan di mata Meilani yang ternyata memang sangat cantik, pantas saja adiknya sampai tergila-gila pada wanita ini. Selain cantik, Meilani juga berhati baik, tetapi cenderung naif.