Dengan rasa ngeri yang semakin meningkat, Anton membayangkan sepasang tungkai Mei yang menggairahkan, yang sampai kini masih membayang jelas dalam pikirannya, tentang bagaimana kaki cantik itu melangkah anggun meninggalkannya kemarin saat keluar dari restoran. “Damn!” Anton meremas kaleng bekas bir yang baru saja habis diteguknya. Lalu menggelengkan kepalanya yang pening. Dia sudah membayar mahal biaya kencan dengan wanita misterius pemilik objek foto ini. Benarkah ini Meilani? Wanita yang diidam-idamkan adiknya sejak SMA? Ah! Bisa jadi wanita lain ‘kan? Dia hanya akan tahu setelah melihatnya nanti. Anton pun lekas menelepon. “Halo?” sapa seseorang di sana. “Saya Anton. Apa benar saya sedang bicara dengan Roland?” “Eh, ha-halo Mister? Be-benar. A-apakah ... Mister sudah di Jakarta?” Suara itu terdengar begitu gugup. “Ya. Dan saya sedang menunggu paket yang sudah saya bayar. Besok ready?” Lalu Anton menyebut sebuah alamat rumah di mana dia sedang menginap saat ini, rumah yang telah
Sepanjang jalan, Mei benar-benar tak mengacuhkan Juna meskipun Juna sudah bicara panjang lebar bahwa dia tak ingat jika sapu tangan itu kado dari Raya. “Dulu itu Raya nggak tahu kalau gue punya banyak sapu tangan, Mei. Jadi sebelum dia kasih kado itu sebenarnya gue udah punya duluan barang yang sama,” Juna meringis ketika teringat lagi betapa dulu Raya menganggapnya seperti orang susah yang tak mampu membeli sendiri barang-barang branded, “dan gue nggak ingat mana yang punya gue sama mana yang dari Raya, jadinya kecampur deh. Gitu loh, Sayang ...,” lanjutnya sambil mengerem saat mobilnya terhadang lampu merah. Juna menoleh kepada Mei yang masih saja bersedekap sambil membuang tatapannya ke arah jendela. “Mei, udahan dong marahnya. Sumpah gue nggak sengaja. Please? Ngomong dong, Sayang ...,” rengek Juna sambil merangkul pundak Mei yang masih saja terdiam seribu bahasa. Lalu Juna nyengir saat akhirnya Mei menoleh juga padanya. “Bisa nggak sih elu singkirin semua jejak barang-barang da
Helikopter yang akan membawanya ke Bandung sudah siap mendarat di helipad di atap sebuah gedung milik Utomo Group. “Irna!” katanya dengan berteriak pada sekretaris karena suara si heli yang berisik dan kencang. Tetapi saat Irna mendekatkan telinga padanya, Juna malah menggeleng. Tiba-tiba dia teringat taruhannya dengan Mei, maka diapun mengurungkan niatnya yang semula ingin menyuruh Irna untuk sering-sering mengecek Mei dan melaporkannya kepada Juna.Sementara itu di kantornya, Mei bingung mencari-cari ponsel miliknya. Lalu dia menepuk jidat, “Ah iya ..., hape gue tadi kan dikantongi Juna dan gue lupa banget mau minta balikin pas turun dari mobil tadi. Aaah. Dasar, Juna! Iseng banget sih ngerebut hape gue. Jadi repot gini kan gue, jadi nggak bisa menghubungi siapa-siapa,” gerutunya dongkol. Terpaksa dia puasa ponsel untuk hari ini saja. “Bu, ini saya disuruh Pak Juna mengantar mobilnya Ibu,” kata seorang sopir utusan Juna. “Makasih, Pak. Selain ini, tadi Pak Juna nitip hape juga ngga
Anton sudah mendengar tentang skenario yang dibuat Roland sehingga bisa mengantarkan Mei ke sini. Mau tak mau, Anton mengikuti saja alur cerita itu. Toh, ini memang rumahnya. Mengenai negosiasi dengan Mei tentang penjualan rumah ini, bisa diaturnya sendiri nanti, yang penting dia bisa menahan Mei dulu selama mungkin di sini lewat alasan itu. Selanjutnya, Anton tentu saja sudah mempersiapkan rencananya sendiri. “Boleh lihat-lihat?” “Why not? This is your home, right?” Anton berkata dan mengangguk-angguk sambil tersenyum. Mei berkedip-kedip takjub mendengar ucapan Anton barusan. ‘Yes, it’s mine,’ ucapnya dalam hati. “Tapi, habiskan dulu minummu, don’t rush yourself. The house is not going anywhere.” Mei tertawa sembari mengangguk, kemudian menghabiskan tehnya. Anton pun tersenyum menatap pantulan kegembiraan di mata Meilani yang ternyata memang sangat cantik, pantas saja adiknya sampai tergila-gila pada wanita ini. Selain cantik, Meilani juga berhati baik, tetapi cenderung naif.
Kevin dan Raya sarapan dalam diam. Sejak Kevin mengancam akan menceraikannya, Raya memang jadi lebih segan dan menurut kepadanya. Raya bahkan tak pernah lagi menginap di rumah orang tuanya tanpa seizin suami. Raya juga sudah mau menyeduhkan teh atau kopi untuk Kevin, membuat pembantunya terheran-heran dengan perubahan sikap nyonya majikannya yang tiba-tiba. Namun perubahan baik itu tak serta merta mengubah hubungan keduanya menjadi kembali menghangat. “Kapan jadwalmu kontrol kandungan ke dokter lagi, Ray?” Suara Kevin memecah keheningan. “Besok malam jam 7,” sahut Raya singkat. “Ingatkan aku besok.” Raya mengangguk, padahal biasanya dia akan membangkang dan bilang biar mamanya saja yang mengantarkan. “Habiskan susumu,” tegur Kevin karena melihat gelas susu istrinya masih penuh. Lagi-lagi Raya menurut tanpa berkata-kata. Padahal biasanya wanita itu fasih mengomel jika Kevin menyuruhnya menghabiskan susu khusus untuk ibu hamil yang membuatnya eneg. Kevin bukannya tak menyadari per
PRANG!! Sebuah kursi tiba-tiba saja menghantam kaca jendela kamar, beling berceceran di lantai. Bersamaan dengan itu, seorang pria berjaket memasuki kamar dan menendang Anton hingga pria itu terjengkang dari ranjang. Mei memekik dan menutupi tubuhnya dengan sprei. Wanita itu meringkuk dan menangis sekeras-kerasnya. Sedangkan Anton tengah bergumul di lantai dengan pria yang menyerangnya. Bug! Bug! Bug! Mei mendengar jelas pukulan-pukulan keras bertubi-tubi itu. Tangisnya kian menjadi. Sekujur tubuhnya menggigil karena jijik, takut, marah, kecewa, sekaligus masih terangsang. Semua rasa itu menderanya tiada ampun. Sedangkan Anton di sana mengaduh, memekik, merintih ... karena pukulan demi pukulan keras pria itu telak mengenai wajah dan perutnya, pria itu benar-benar membabibuta menyerangnya, membuat Anton terpojok dan kewalahan. Pria itu sama-sama tinggi sepertinya, tetapi tak jauh lebih besar, tapi entah setan apa yang menguasainya, pria ini sangat kuat hingga Anton tak berdaya lagi
“How do you feel, Mei?” Kevin bertanya setelah Mei menghabiskan banyak air kelapa muda guna menetralkan pengaruh obat perangsang dalam dirinya. Mei mengangguk-angguk. “It works, Kev. I feel better,” sahutnya sambil menarik resletting jaket Kevin hingga menutupi seluruh tubuhnya. Ada rasa takut yang terasa mengintimidasinya sekarang. Mei jadi takut jika lekuk tubuhnya dilihat orang lain hingga memancing syahwat mereka. Mei menunduk saja sejak tadi, rasanya dia tak punya kepercayaan diri untuk menatap orang lain. Dia merasa kotor dan jijik pada dirinya sendiri setelah apa yang terjadi tadi. Dia tak ingin mengingatnya, tetapi jejak nyeri yang ditinggalkan Anton di sekujur tubuhnya masih terasa begitu nyata. Mei pun kembali menangis sambil memeluk dirinya sendiri. “Mei ...?” Tangan Kevin terulur ingin menenangkan. “Don’t touch me! Don’t touch ....” Mata Mei terpejam dan kepalanya terus saja menggeleng. Kevin mengepalkan tangan, dia tahu Mei sedang mengalami trauma pasca upaya perkosaan
“Kalau itu dasar pemikiran elu buat mengambil keputusan ini, elu egois, Mei. Kekacauan yang timbul bakal lebih besar kalau kita diam. Elu nggak kasihan Anna dan teman-teman elu lainnya? Mereka juga korban, Mei! Kita nggak tahu sejauh apa Aden sudah mengedarkan foto-foto pribadi mereka. Dan bisa jadi apa yang elu alami hari ini bakal kejadian juga sama Anna dan lainnya kalau si bajingan Aden ini kelamaan bebas keliaran,” kata Kevin sambil geleng-geleng kepala, tak mau begitu saja mengiyakan permintaan Mei karena bertentangan dengan nurani dan akal sehatnya sebagai manusia. “Kalaupun elu nggak mau lapor, gue yang akan lapor karena kakak gue yang brengsek itu harus berurusan dengan hukum. Gue nggak tahu, selain elu ... bisa jadi dia juga pernah melakukan hal semacam ini ke wanita lain. Bagaimana bisa gue diam setelah melihat kebejatannya dengan mata kepala gue sendiri, Mei? Biar saja dia berkontempelasi di penjara. Ayo ikut gue ke rumah sakit, elu harus visum sebagai barang bukti.” Kevin