Terima kasih atas dukungan dan VOTE untuk novel ini. Happy reading :)
“Kalau itu dasar pemikiran elu buat mengambil keputusan ini, elu egois, Mei. Kekacauan yang timbul bakal lebih besar kalau kita diam. Elu nggak kasihan Anna dan teman-teman elu lainnya? Mereka juga korban, Mei! Kita nggak tahu sejauh apa Aden sudah mengedarkan foto-foto pribadi mereka. Dan bisa jadi apa yang elu alami hari ini bakal kejadian juga sama Anna dan lainnya kalau si bajingan Aden ini kelamaan bebas keliaran,” kata Kevin sambil geleng-geleng kepala, tak mau begitu saja mengiyakan permintaan Mei karena bertentangan dengan nurani dan akal sehatnya sebagai manusia. “Kalaupun elu nggak mau lapor, gue yang akan lapor karena kakak gue yang brengsek itu harus berurusan dengan hukum. Gue nggak tahu, selain elu ... bisa jadi dia juga pernah melakukan hal semacam ini ke wanita lain. Bagaimana bisa gue diam setelah melihat kebejatannya dengan mata kepala gue sendiri, Mei? Biar saja dia berkontempelasi di penjara. Ayo ikut gue ke rumah sakit, elu harus visum sebagai barang bukti.” Kevin
“Bik, Bu Raya ke mana? Menginap di rumah mamanya?” Kevin menanyai Lastri begitu sampai di rumah dan tak melihat Raya.“Loh, Bu Raya kan sudah melahirkan, Pak. Tadi sore Bu Raya seperti mengompol, ternyata air ketubannya sudah merembas keluar, jadinya langsung ke rumah sakit dan dioperasi caesar, Pak,” jelas Lastri dengan raut heran karena Kevin malah belum mengetahui hal sepenting itu, ke mana saja dia hari ini?“Astaga!” Kevin buru-buru memeriksa ponsel yang sejak tadi dia senyapkan karena sibuk mengurusi kasus Mei. Ternyata ada banyak panggilan dari nomor Raya, dokternya, mertuanya, papanya, dan masih banyak lagi. Kevin memang mengabaikan semua telepon yang masuk seharian ini. Dia menyesal telah melewatkan momen sepenting ini.Kevin pun mandi dengan cepat, kemudian kembali mengegas motornya menuju rumah sakit. Namun sesampainya di rumah sakit, sang mertua menyambut kedatangannya dengan wajah masam dan mengabaikan salam hormat darinya.Dikecupnya kening Raya yang sedang tidur, wajah i
Dengan satu tangannya, Juna terpaksa mencekal dan mengunci kedua lengan Mei yang sejak tadi memukulinya, sedangkan tangan satunya dia pakai untuk menepuki pipi Mei agar lekas sadar dari mimpi buruknya. “MEI ...! Wake up!” Bentakan Juna yang keras akhirnya sanggup mengembalikan kesadaran Mei. Juna pun menyalakan lampu utama kamar hingga terang benderang. “J-jun ...?” Mata Mei berkedip-kedip, antara silau dan terkejut. “Iya, Mei, ini gue. Elu mimpi apaan sih, Sayang? Sampai segitunya?” Juna mengecup kening Mei dan memeluk erat-erat kala tangis Mei kembali meledak. “Ssshhh, tenanglah ..., nggak usah dipikirin, kan cuma mimpi,” bisik Juna sambil mengecup kening istrinya, mengira Mei hanya mengalami mimpi buruk. ‘Mimpi. Andai itu cuma mimpi!’ Mei kembali direjam sesal dan sedih. Semakin Juna menenangkannya, semakin kacau hatinya. Bagaimana caranya dia memberitahu Juna jika apa yang dialaminya tadi siang itu bukan mimpi? ‘Bernapas yang dalam, Mei. Ingat, kendalikan napas elu setiap k
Sudah 3 hari ini, setiap pagi, setiap kali Mei membuka mata, wajah Junalah yang dia temukan pertama kali. Suaminya itu tersenyum padanya tampan sekali. Kemudian tangan Juna terulur untuk membelai wajah Mei dengan sorot kasih sayang, menyembunyikan dengan baik kondisi hatinya yang remuk melihat istrinya terpuruk. Juna membantu Mei bangun dari posisi tidurnya untuk bersandar di kepala ranjang. Mei meringis, badannya masih sakit meski tak terasa seremuk kemarin-kemarin usai dia mati-matian mempertahankan harga diri dan kehormatannya hingga mengerahkan seluruh tenaganya untuk melawan Anton. “Aw!” Mei memekik tertahan saat Juna tak sengaja menyenggol lebam di area pundaknya. Juna berjingkat kaget dan buru-buru menjauhkan tangannya dari area tubuh Mei yang baru saja dipegangnya. ‘Bangsat, berani-beraninya elu bikin bini gue jadi kayak gini. Lihat aja pembalasan gue , Ton!’ geram Juna dalam hati. Dia tak sabar menunggu kabar dari John Wick yang saat ini sedang memburu Anton. Juna membant
Anton menjerit-jerit histeris. Tidak! Dia telah kehilangan sesuatu paling berharga dalam dirinya. Siapa yang tega melakukan ini padanya? Ini sangat kejam. Kejam sekali. Dan berhari-hari dia menahan sakit luar biasa di area paling vital tubuhnya ini, menunggu proses penyembuhan yang sangat menyiksa. Jika biasanya organ vitalnya itu kerap membuatnya mengerang nikmat, kini justru membuatnya merintih sakit bahkan sampai menjerit-jerit tak tahan nyeri. “Help ... me ..., please ...!” Tapi sia-sia, tiada orang yang peduli pada dirinya, sekeras apapun dia memekik minta tolong, tak seorang pun yang datang menengoknya. Anton kini sadar dia memang dibiarkan sendirian di sebuah ruangan yang terbuat dari gubuk reot. Masih bagus orang yang menculiknya kemarin itu mau menyediakan antibiotik dan pereda nyeri, serta biskuit dan sebotol besar air minum dalam kemasan untuknya. Meski tak seberapa, tapi cukup mengganjal perut Anton yang kelaparan. Anton pikir penderitaannya akan berakhir sampai di situ s
“Sudahlah, Ray! Jangan drama,” Kevin mendengkus sebal. Raya semakin membuat keadaan tambah runyam saja. Kemarin saja saat akan membawa Raya dan bayinya pulang ke sini, Kevin harus menghadapi drama dari mertuanya, apalagi ini kalau sampai Raya pulang ke rumah orangtuanya dan mengungkit perceraian, bisa-bisa Kevin harus menghadapi sinetron yang episodenya entah bakal sampai kapan habisnya. “Justru aku lelah bermain drama denganmu terus-terusan, Kev! Di saat anakmu lahir, ... kau malah sibuk bersama Mei! Kau anggap apa aku ini, Kev?!” pekik Raya tak tahan lagi menyuarakan kemarahannya. “Ray, sorry again and again. Aku bersalah. Harusnya aku ada di sisimu hari itu, tapi seperti yang sudah kujelaskan padamu berkali-kali, masalah yang menimpa Mei hari itu sangat serius, dia sangat membutuhkan bantuanku.” “Kau pikir melahirkan anakmu bukan masalah yang serius? Kau pikir aku tak membutuhkan bantuanmu? Kev! Aku kesakitan sendirian di dalam taksi yang mengantarku ke rumah sakit! Kupikir ... a
“Ray, pikirkan baik-baik. Kau sedang lelah dan emosi saat ini. Istirahat sajalah dulu, nanti kita bicarakan lagi setelah pikiranmu tenang,” bujuk Nila yang terkejut usai mendengar penuturan Raya. Meskipun dia marah dan kesal kepada Kevin, tapi dalam hatinya tidak rela kalau sampai Raya bercerai dari pria itu. Bagaimanapun Nila masih tetap meyakini jika Kevin pria baik-baik dan bertanggung jawab. Juga berpinsip tegas. Nah, puterinya yang manja ini membutuhkan sosok suami tegas seperti Kevin. Setelah mendengar penjelasan Kevin kemarin, Nila diam-diam respect terhadap Kevin. Nila justru kaget melihat sikap Dirga yang sepertinya justru melindungi Anton, padahal jelas sekali anak sulungnya itu bersalah. “Maaf, Ma. Saya menolong Mei bukan karena saya mengenalnya, siapapun wanita yang sedang menjadi korban Kak Anton saat itu, saya pasti akan tetap menolong dan mendampinginya di rumah sakit dan kantor polisi. Bagaimana jika hal itu terjadi pada Raya atau keluarga kita yang lain, kita tak mun
Mei mengundurkan diri sebagai ketua yayasan dan Juna menyetujuinya. Mei sedang tak ingin beraktivitas di luar rumah. Bahkan dia sudah lama absen dari berbagai kegiatan sosial yang membuatnya harus bertemu dengan orang banyak, tetapi Anna dan teman-teman keberatan saat Mei bilang ingin keluar dari keanggotaan arisan. “Mei, take your time, tapi jangan sampai keluar dari arisan kita, please ... kita nggak komplit kalau nggak ada elu,” bujuk Anna. Tak banyak yang tahu kejadian pelecehan seksual yang dialami Mei selain Anna, sebab Anna curiga saat Aden mendadak membolos kerja tanpa kabar hingga berhari-hari, padahal Aden sangat menyukai pekerjaannya. Sampai akhirnya Anna mendengar kabar Aden kecelakaan. Anna pun menengok Aden ke rumah sakit dan alangkah terkejutnya dia saat ada polisi yang menjaganya. Anna pun baru tahu hari itu jika Aden ternyata seorang buron dan terlibat kasus pelecehan seksual yang dialami Mei. Dan dia lemas begitu mendengar sendiri pengakuan Aden yang bilang bahwa di