Terima kasih atas segala bentuk dukungan dan VOTE untuk novel ini. Happy reading :)
Mei mengundurkan diri sebagai ketua yayasan dan Juna menyetujuinya. Mei sedang tak ingin beraktivitas di luar rumah. Bahkan dia sudah lama absen dari berbagai kegiatan sosial yang membuatnya harus bertemu dengan orang banyak, tetapi Anna dan teman-teman keberatan saat Mei bilang ingin keluar dari keanggotaan arisan. “Mei, take your time, tapi jangan sampai keluar dari arisan kita, please ... kita nggak komplit kalau nggak ada elu,” bujuk Anna. Tak banyak yang tahu kejadian pelecehan seksual yang dialami Mei selain Anna, sebab Anna curiga saat Aden mendadak membolos kerja tanpa kabar hingga berhari-hari, padahal Aden sangat menyukai pekerjaannya. Sampai akhirnya Anna mendengar kabar Aden kecelakaan. Anna pun menengok Aden ke rumah sakit dan alangkah terkejutnya dia saat ada polisi yang menjaganya. Anna pun baru tahu hari itu jika Aden ternyata seorang buron dan terlibat kasus pelecehan seksual yang dialami Mei. Dan dia lemas begitu mendengar sendiri pengakuan Aden yang bilang bahwa di
“Nah. Udah siap kan, Jun? Yuk, berangkat!” Anna mengedikkan dagunya kepada Juna. Juna jadi kikuk. Ternyata upaya mereka yang mengulur waktu dengan bercinta tadi tak membuat Anna bosan menunggunya. Apa durasi bercintanya yang kurang lama? Ah, tahu begini Juna tancap gas saja jadi 2 ronde sekaligus, masa bodoh Mei bilang capek, kalau digas terus Mei bakalan on lagi bukan? Mei memasang senyum, menyembunyikan debar jantungnya yang kesal dan cemburu. Heran dia. Anna wanita cerdas, tapi kenapa tak peka sih? Mestinya dengan melihat gesture tubuh Mei saja dia tahu kalau Mei tak rela jika Anna menumpang mobil suaminya. Juna merasakan atmosfer kecemburuan yang melingkupi istrinya. “Elu diantar sopir aja, An,” Juna pura-pura memeriksa jam tangannya, “gue udah buru-buru banget ditungguin klien,” katanya kepada Anna, lalu Juna menoleh kepada Mei, “Sayang, berangkat dulu ya?” pamit Juna sambil mengecup kening istrinya lalu menurunkan ciumannya ke bibir, “See you later, baby,” bisiknya sambil meng
“Kamu bilang aku tinggal bilang saja kalau menyerah dengan pernikahan kita, karena kau siap memberikan perceraian. Kenapa kau ingin menjilat ludahmu sendiri sekarang saat aku menagihnya, hah?!” pekik Raya tak tahan lagi. Dia sudah lelah dengan pernikahannya. Tak ada lagi secuil perasaannya untuk Kevin! Tetapi, sekeras apapun Raya meminta perceraian, sekeras itu pula Kevin menolak. “Ray, aku benar-benar minta maaf. Tak seharusnya aku mengucapkan kata-kata seperti itu kepadamu.” Kevin memang menyesal. Sebagai lelaki, dia seharusnya bijaksana dalam menjaga setiap ucapannya, sebab dalam setiap kata-katanya itu terkandung tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Hancur atau suksesnya rumah tangga, terletak pada setiap keputusannya sebagai leader bagi keluarganya. Tak semestinya dia dulu membahas tentang perceraian dalam keadaan marah dan pikiran runyam. Tangis bayi terdengar dari kamar Raya yang terletak di lantai atas, sudah setahun ini mereka pisah kamar. Masih bagus Raya mau kemba
Mei memotret isi box makan siang untuk Juna yang sudah ditatanya dengan lucu. Mei tersenyum dan mengirimkan gambar itu ke nomor suaminya, ‘Ready to go to you!’ tulisnya. Entah pujian macam apa lagi yang akan meluncur deras dari bibir Juna untuknya nanti, tetapi sebenarnya Mei tak membutuhkan pujian itu. Membuat Juna senang saja sudah membuatnya gembira. Mei senang melakukan semua ini untuk suaminya. Junalah alasan Mei belajar memasak. Mei bahagia bisa mempersembahkan sesuatu yang berarti untuk Juna, lebih banyak beraktivitas di rumah saja menjadi sangat menyenangkan baginya, biar saja dia dicap orang rumahan. “Jingga ...!” panggil Mei sambil menata tumpukan box di atas meja makan. “Tolong kasihkan ini ke sopir biar diantar sekarang ke kantor Pak Juna. Sebentar lagi sudah jam makan siang. Jangan sampai Pak Juna menunggu,” ujarnya tanpa menoleh, tangannya masih sibuk berkutat dengan tas penghangat makanan. “Tak perlu!” Mei terkejut mendengar suara Juna yang tiba-tiba memasuki ruang m
Dear pembaca yang baik,Mohon izin untuk hari Sabtu dan Minggu ini author belum bisa up date bab lanjutan dikarenakan sedang ikut acara yg tidak memungkinkan untuk mengakses internet, laptop, dan gadget.Bab lanjutan akan segera up date begitu author sudah bisa kembali ke laptop. Mohon maaf sekali atas ketidaknyamanannya menunggu. Dan terima kasih banyak atas segala bentuk dukungannya untuk novel ini. Mohon maaf juga apabila author tidak dapat membalas satu per satu komentar dari pembaca sekalian. Author mengucapkan terima kasih banyak atas segala kritiknya untuk novel ini, author menerimanya dengan senang hati demi peningkatan kualitas kepenulisan selanjutnya.Have a nice weekend :)Warm Regards,Author 'Menikahi Mantan Pacar Teman'
Anjani terbahak-bahak di balik meja kerjanya. Dia sudah mendengar kehebohan yang terjadi kemarin, bahwa IED Juna tiba-tiba saja kambuh di kantor. Tapi yang paling menarik baginya adalah isu perceraian Juna dengan Mei yang kini berembus sekencang badai. “Wah ..., I nggak perlu pusing-pusing mikirin gimana caranya nyingkirin elu dari hidup Juna, Mei! Sekarang justru Juna sendiri yang mendepak dan menceraikan you!” Anjani tertawa puas penuh kemenangan, “Finally, ... you rasakan juga apa yang pernah I rasakan dulu! Emang enak? Selamat jadi samsak hidupnya Juna. Well, begitulah aslinya Juna ..., you pikir dia sebagus tampangnya? On your dream! Wake up and welcome to reality, Mei, ... you married a monster!” ketus Anjani seraya tersenyum sinis. Dia betul-betul puas. Sekarang dia jadi tak perlu repot-repot mengotori tangannya sendiri untuk menyingkirkan wanita yang dibencinya itu dari cyrcle keluarga Utomo. Isu perceraian Juna menjadi perbincangan hangat di dalam gedung perkantoran Utomo Gr
Saat Juna menjatuhkan talak dan mengusirnya, Mei memang hancur sehancur-sehancurnya. Dia meninggalkan rumah itu hanya dengan pakaian yang masih melekat di badan, bahkan dia belum sempat melepas apron yang dipakainya saat memasakkan makanan untuk Juna. Mei bingung, tak tahu harus ke mana. Tetapi dia terus melangkahkan kakinya dengan kepala menunduk di bawah cuaca yang sedang terik-teriknya. Mei memeluk dirinya sendiri, melindungi kulit lengannya yang tersengat cahaya matahari. Hingga pada sore hari, beberapa jam kemudian, tiba-tiba saja langkahnya sudah terhenti di gerbang pemakaman umum, tempat orangtuanya di semayamkan. Mei melangkahkan kaki, menuju dua gundukan pusara mami dan papinya. Lalu mengadukan apa yang baru saja dialaminya kepada mereka sambil menangis, seakan orangtuanya bisa mendengar keluh kesahnya saja. Tetapi itu rupanya sangat membantu Mei untuk melonggarkan dadanya dari himpitan rasa sesak yang membelitnya. Mei menjadi merasa lebih plong. Di depan makam orangtuanya di
Juna memandangi akta cerainya dengan tatapan nanar. Lalu dia menyimpannya di laci. Dia tak sanggup melihatnya lagi. Padahal, bukankah dia yang menginginkan perceraian ini? Tapi kenapa hatinya justru diremas-remas nyeri setelah menerima hal yang sangat dia inginkan ini? “Kev, elu emang brengsek, ... dasar tukang tikung!” Juna menggeram dengan tangan yang gemetar dan terkepal kuat. Juna pun mengeluarkan alat komunikasi khususnya dan menelepon seseorang, “John Wick, gue mau order.” “Monggo, Tuan.” Juna menyebut nama targetnya. “Anda yakin, Tuan? Bukankah dia sahabat Anda?” “Mantan sahabat. Pokoknya elu tembak saja, lalu pertemukan dia dengan kakaknya di pulau itu, biar mereka reunian.” “Tapi, kakaknya kan sudah jadi mayat, Tuan, ya ndak bisa reunian dong? Kecuali kalau dia bisa melihat hantu.” “Bodo’ amat, nggak peduli.” Terdengar desah napas John Wick di seberang sana. “Tuan, bolehkah saya tahu apa masalahnya, sampai Tuan ingin membunuh sahabat sendiri?” selidik si pembunuh elit