Terima kasih atas segala bentuk dukungan dan VOTE untuk novel ini. Happy reading :)
“Kamu bilang aku tinggal bilang saja kalau menyerah dengan pernikahan kita, karena kau siap memberikan perceraian. Kenapa kau ingin menjilat ludahmu sendiri sekarang saat aku menagihnya, hah?!” pekik Raya tak tahan lagi. Dia sudah lelah dengan pernikahannya. Tak ada lagi secuil perasaannya untuk Kevin! Tetapi, sekeras apapun Raya meminta perceraian, sekeras itu pula Kevin menolak. “Ray, aku benar-benar minta maaf. Tak seharusnya aku mengucapkan kata-kata seperti itu kepadamu.” Kevin memang menyesal. Sebagai lelaki, dia seharusnya bijaksana dalam menjaga setiap ucapannya, sebab dalam setiap kata-katanya itu terkandung tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Hancur atau suksesnya rumah tangga, terletak pada setiap keputusannya sebagai leader bagi keluarganya. Tak semestinya dia dulu membahas tentang perceraian dalam keadaan marah dan pikiran runyam. Tangis bayi terdengar dari kamar Raya yang terletak di lantai atas, sudah setahun ini mereka pisah kamar. Masih bagus Raya mau kemba
Mei memotret isi box makan siang untuk Juna yang sudah ditatanya dengan lucu. Mei tersenyum dan mengirimkan gambar itu ke nomor suaminya, ‘Ready to go to you!’ tulisnya. Entah pujian macam apa lagi yang akan meluncur deras dari bibir Juna untuknya nanti, tetapi sebenarnya Mei tak membutuhkan pujian itu. Membuat Juna senang saja sudah membuatnya gembira. Mei senang melakukan semua ini untuk suaminya. Junalah alasan Mei belajar memasak. Mei bahagia bisa mempersembahkan sesuatu yang berarti untuk Juna, lebih banyak beraktivitas di rumah saja menjadi sangat menyenangkan baginya, biar saja dia dicap orang rumahan. “Jingga ...!” panggil Mei sambil menata tumpukan box di atas meja makan. “Tolong kasihkan ini ke sopir biar diantar sekarang ke kantor Pak Juna. Sebentar lagi sudah jam makan siang. Jangan sampai Pak Juna menunggu,” ujarnya tanpa menoleh, tangannya masih sibuk berkutat dengan tas penghangat makanan. “Tak perlu!” Mei terkejut mendengar suara Juna yang tiba-tiba memasuki ruang m
Dear pembaca yang baik,Mohon izin untuk hari Sabtu dan Minggu ini author belum bisa up date bab lanjutan dikarenakan sedang ikut acara yg tidak memungkinkan untuk mengakses internet, laptop, dan gadget.Bab lanjutan akan segera up date begitu author sudah bisa kembali ke laptop. Mohon maaf sekali atas ketidaknyamanannya menunggu. Dan terima kasih banyak atas segala bentuk dukungannya untuk novel ini. Mohon maaf juga apabila author tidak dapat membalas satu per satu komentar dari pembaca sekalian. Author mengucapkan terima kasih banyak atas segala kritiknya untuk novel ini, author menerimanya dengan senang hati demi peningkatan kualitas kepenulisan selanjutnya.Have a nice weekend :)Warm Regards,Author 'Menikahi Mantan Pacar Teman'
Anjani terbahak-bahak di balik meja kerjanya. Dia sudah mendengar kehebohan yang terjadi kemarin, bahwa IED Juna tiba-tiba saja kambuh di kantor. Tapi yang paling menarik baginya adalah isu perceraian Juna dengan Mei yang kini berembus sekencang badai. “Wah ..., I nggak perlu pusing-pusing mikirin gimana caranya nyingkirin elu dari hidup Juna, Mei! Sekarang justru Juna sendiri yang mendepak dan menceraikan you!” Anjani tertawa puas penuh kemenangan, “Finally, ... you rasakan juga apa yang pernah I rasakan dulu! Emang enak? Selamat jadi samsak hidupnya Juna. Well, begitulah aslinya Juna ..., you pikir dia sebagus tampangnya? On your dream! Wake up and welcome to reality, Mei, ... you married a monster!” ketus Anjani seraya tersenyum sinis. Dia betul-betul puas. Sekarang dia jadi tak perlu repot-repot mengotori tangannya sendiri untuk menyingkirkan wanita yang dibencinya itu dari cyrcle keluarga Utomo. Isu perceraian Juna menjadi perbincangan hangat di dalam gedung perkantoran Utomo Gr
Saat Juna menjatuhkan talak dan mengusirnya, Mei memang hancur sehancur-sehancurnya. Dia meninggalkan rumah itu hanya dengan pakaian yang masih melekat di badan, bahkan dia belum sempat melepas apron yang dipakainya saat memasakkan makanan untuk Juna. Mei bingung, tak tahu harus ke mana. Tetapi dia terus melangkahkan kakinya dengan kepala menunduk di bawah cuaca yang sedang terik-teriknya. Mei memeluk dirinya sendiri, melindungi kulit lengannya yang tersengat cahaya matahari. Hingga pada sore hari, beberapa jam kemudian, tiba-tiba saja langkahnya sudah terhenti di gerbang pemakaman umum, tempat orangtuanya di semayamkan. Mei melangkahkan kaki, menuju dua gundukan pusara mami dan papinya. Lalu mengadukan apa yang baru saja dialaminya kepada mereka sambil menangis, seakan orangtuanya bisa mendengar keluh kesahnya saja. Tetapi itu rupanya sangat membantu Mei untuk melonggarkan dadanya dari himpitan rasa sesak yang membelitnya. Mei menjadi merasa lebih plong. Di depan makam orangtuanya di
Juna memandangi akta cerainya dengan tatapan nanar. Lalu dia menyimpannya di laci. Dia tak sanggup melihatnya lagi. Padahal, bukankah dia yang menginginkan perceraian ini? Tapi kenapa hatinya justru diremas-remas nyeri setelah menerima hal yang sangat dia inginkan ini? “Kev, elu emang brengsek, ... dasar tukang tikung!” Juna menggeram dengan tangan yang gemetar dan terkepal kuat. Juna pun mengeluarkan alat komunikasi khususnya dan menelepon seseorang, “John Wick, gue mau order.” “Monggo, Tuan.” Juna menyebut nama targetnya. “Anda yakin, Tuan? Bukankah dia sahabat Anda?” “Mantan sahabat. Pokoknya elu tembak saja, lalu pertemukan dia dengan kakaknya di pulau itu, biar mereka reunian.” “Tapi, kakaknya kan sudah jadi mayat, Tuan, ya ndak bisa reunian dong? Kecuali kalau dia bisa melihat hantu.” “Bodo’ amat, nggak peduli.” Terdengar desah napas John Wick di seberang sana. “Tuan, bolehkah saya tahu apa masalahnya, sampai Tuan ingin membunuh sahabat sendiri?” selidik si pembunuh elit
Anna mengunjungi kantor Juna bersama Utomo sambil membawa sekotak bekal makan siang. Mau tak mau Juna pun menyambut keduanya dan menemani mereka duduk di sofa tamu. Anna memanggil Maya, sekretaris Juna. “Tolong siapkan ini buat Juna, ya?” katanya. “Sorry, An. Bukannya menolak, tapi gue baru aja makan siang pakai daging bebek, habis dibeliin sama aspri gue. Tapi daripada makanannya mubazir, buat elu aja, May. Belum makan kan elu?” kata Juna sambil menoleh pada Maya dan lekas diangguki sekretarisnya itu. Anna tersenyum dan ikut mengangguk, mempersilakan Maya menikmati makan siang darinya itu, namun terlihat sorot kecewa dalam bola matanya. Sedangkan Utomo terkekeh senang mendengar sang cucu akhirnya sudah bisa makan siang seperti biasanya lagi. “Syukurlah, itu artinya maag yang kamu derita sudah mulai membaik. Baru saja Opa mau menyuruhmu ke rumah sakit buat pemeriksaan lambung lebih lanjut,” ujarnya. “Nggak perlu, Opa. Aku baik-baik saja, kok.” Juna mengangguk dan tersenyum, meyaki
Mei mengecek ponsel, ingin melihat sudah sampai di mana posisi taksi online yang dia pesan tadi. Ternyata masih stuck cukup lama di sebuah titik, mungkin kena macet. Mei pun menghela napas sabar, lalu Mei mengangkat wajahnya ke depan setelah memasukkan ponselnya ke dalam slingbag. Jantungnya pun bagai dipecut kala melihat 2 sosok yang tak asing tengah berjalan berlawanan arah dengannya. Mei menyipitkan mata, berharap dia salah lihat, tetapi itu memang benar Juna ..., meskipun sosok itu terlihat lebih kurus dibandingkan saat terakhir kali Mei melihatnya tetapi Mei hafal betul jika sosok yang tengah menggandeng tangan wanita itu adalah mantan suaminya. Dan Mei lebih terkejut lagi karena wanita itu adalah Anna. Kaki Mei seketika lemas, ternyata benar dugaannya selama ini jika Anna memang ada hati kepada Juna. Dan baru juga Juna bercerai, wanita itu sudah gesit memasuki kehidupan Juna. Namun yang lebih menyakitkan, secepat itu pula Juna menerima wanita lain dalam hidupnya, padahal akta pe