Terima kasih atas segala bentuk dukungan dan VOTE untuk novel ini. Happy reading :)
“Sudahlah, Ray! Jangan drama,” Kevin mendengkus sebal. Raya semakin membuat keadaan tambah runyam saja. Kemarin saja saat akan membawa Raya dan bayinya pulang ke sini, Kevin harus menghadapi drama dari mertuanya, apalagi ini kalau sampai Raya pulang ke rumah orangtuanya dan mengungkit perceraian, bisa-bisa Kevin harus menghadapi sinetron yang episodenya entah bakal sampai kapan habisnya. “Justru aku lelah bermain drama denganmu terus-terusan, Kev! Di saat anakmu lahir, ... kau malah sibuk bersama Mei! Kau anggap apa aku ini, Kev?!” pekik Raya tak tahan lagi menyuarakan kemarahannya. “Ray, sorry again and again. Aku bersalah. Harusnya aku ada di sisimu hari itu, tapi seperti yang sudah kujelaskan padamu berkali-kali, masalah yang menimpa Mei hari itu sangat serius, dia sangat membutuhkan bantuanku.” “Kau pikir melahirkan anakmu bukan masalah yang serius? Kau pikir aku tak membutuhkan bantuanmu? Kev! Aku kesakitan sendirian di dalam taksi yang mengantarku ke rumah sakit! Kupikir ... a
“Ray, pikirkan baik-baik. Kau sedang lelah dan emosi saat ini. Istirahat sajalah dulu, nanti kita bicarakan lagi setelah pikiranmu tenang,” bujuk Nila yang terkejut usai mendengar penuturan Raya. Meskipun dia marah dan kesal kepada Kevin, tapi dalam hatinya tidak rela kalau sampai Raya bercerai dari pria itu. Bagaimanapun Nila masih tetap meyakini jika Kevin pria baik-baik dan bertanggung jawab. Juga berpinsip tegas. Nah, puterinya yang manja ini membutuhkan sosok suami tegas seperti Kevin. Setelah mendengar penjelasan Kevin kemarin, Nila diam-diam respect terhadap Kevin. Nila justru kaget melihat sikap Dirga yang sepertinya justru melindungi Anton, padahal jelas sekali anak sulungnya itu bersalah. “Maaf, Ma. Saya menolong Mei bukan karena saya mengenalnya, siapapun wanita yang sedang menjadi korban Kak Anton saat itu, saya pasti akan tetap menolong dan mendampinginya di rumah sakit dan kantor polisi. Bagaimana jika hal itu terjadi pada Raya atau keluarga kita yang lain, kita tak mun
Mei mengundurkan diri sebagai ketua yayasan dan Juna menyetujuinya. Mei sedang tak ingin beraktivitas di luar rumah. Bahkan dia sudah lama absen dari berbagai kegiatan sosial yang membuatnya harus bertemu dengan orang banyak, tetapi Anna dan teman-teman keberatan saat Mei bilang ingin keluar dari keanggotaan arisan. “Mei, take your time, tapi jangan sampai keluar dari arisan kita, please ... kita nggak komplit kalau nggak ada elu,” bujuk Anna. Tak banyak yang tahu kejadian pelecehan seksual yang dialami Mei selain Anna, sebab Anna curiga saat Aden mendadak membolos kerja tanpa kabar hingga berhari-hari, padahal Aden sangat menyukai pekerjaannya. Sampai akhirnya Anna mendengar kabar Aden kecelakaan. Anna pun menengok Aden ke rumah sakit dan alangkah terkejutnya dia saat ada polisi yang menjaganya. Anna pun baru tahu hari itu jika Aden ternyata seorang buron dan terlibat kasus pelecehan seksual yang dialami Mei. Dan dia lemas begitu mendengar sendiri pengakuan Aden yang bilang bahwa di
“Nah. Udah siap kan, Jun? Yuk, berangkat!” Anna mengedikkan dagunya kepada Juna. Juna jadi kikuk. Ternyata upaya mereka yang mengulur waktu dengan bercinta tadi tak membuat Anna bosan menunggunya. Apa durasi bercintanya yang kurang lama? Ah, tahu begini Juna tancap gas saja jadi 2 ronde sekaligus, masa bodoh Mei bilang capek, kalau digas terus Mei bakalan on lagi bukan? Mei memasang senyum, menyembunyikan debar jantungnya yang kesal dan cemburu. Heran dia. Anna wanita cerdas, tapi kenapa tak peka sih? Mestinya dengan melihat gesture tubuh Mei saja dia tahu kalau Mei tak rela jika Anna menumpang mobil suaminya. Juna merasakan atmosfer kecemburuan yang melingkupi istrinya. “Elu diantar sopir aja, An,” Juna pura-pura memeriksa jam tangannya, “gue udah buru-buru banget ditungguin klien,” katanya kepada Anna, lalu Juna menoleh kepada Mei, “Sayang, berangkat dulu ya?” pamit Juna sambil mengecup kening istrinya lalu menurunkan ciumannya ke bibir, “See you later, baby,” bisiknya sambil meng
“Kamu bilang aku tinggal bilang saja kalau menyerah dengan pernikahan kita, karena kau siap memberikan perceraian. Kenapa kau ingin menjilat ludahmu sendiri sekarang saat aku menagihnya, hah?!” pekik Raya tak tahan lagi. Dia sudah lelah dengan pernikahannya. Tak ada lagi secuil perasaannya untuk Kevin! Tetapi, sekeras apapun Raya meminta perceraian, sekeras itu pula Kevin menolak. “Ray, aku benar-benar minta maaf. Tak seharusnya aku mengucapkan kata-kata seperti itu kepadamu.” Kevin memang menyesal. Sebagai lelaki, dia seharusnya bijaksana dalam menjaga setiap ucapannya, sebab dalam setiap kata-katanya itu terkandung tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Hancur atau suksesnya rumah tangga, terletak pada setiap keputusannya sebagai leader bagi keluarganya. Tak semestinya dia dulu membahas tentang perceraian dalam keadaan marah dan pikiran runyam. Tangis bayi terdengar dari kamar Raya yang terletak di lantai atas, sudah setahun ini mereka pisah kamar. Masih bagus Raya mau kemba
Mei memotret isi box makan siang untuk Juna yang sudah ditatanya dengan lucu. Mei tersenyum dan mengirimkan gambar itu ke nomor suaminya, ‘Ready to go to you!’ tulisnya. Entah pujian macam apa lagi yang akan meluncur deras dari bibir Juna untuknya nanti, tetapi sebenarnya Mei tak membutuhkan pujian itu. Membuat Juna senang saja sudah membuatnya gembira. Mei senang melakukan semua ini untuk suaminya. Junalah alasan Mei belajar memasak. Mei bahagia bisa mempersembahkan sesuatu yang berarti untuk Juna, lebih banyak beraktivitas di rumah saja menjadi sangat menyenangkan baginya, biar saja dia dicap orang rumahan. “Jingga ...!” panggil Mei sambil menata tumpukan box di atas meja makan. “Tolong kasihkan ini ke sopir biar diantar sekarang ke kantor Pak Juna. Sebentar lagi sudah jam makan siang. Jangan sampai Pak Juna menunggu,” ujarnya tanpa menoleh, tangannya masih sibuk berkutat dengan tas penghangat makanan. “Tak perlu!” Mei terkejut mendengar suara Juna yang tiba-tiba memasuki ruang m
Dear pembaca yang baik,Mohon izin untuk hari Sabtu dan Minggu ini author belum bisa up date bab lanjutan dikarenakan sedang ikut acara yg tidak memungkinkan untuk mengakses internet, laptop, dan gadget.Bab lanjutan akan segera up date begitu author sudah bisa kembali ke laptop. Mohon maaf sekali atas ketidaknyamanannya menunggu. Dan terima kasih banyak atas segala bentuk dukungannya untuk novel ini. Mohon maaf juga apabila author tidak dapat membalas satu per satu komentar dari pembaca sekalian. Author mengucapkan terima kasih banyak atas segala kritiknya untuk novel ini, author menerimanya dengan senang hati demi peningkatan kualitas kepenulisan selanjutnya.Have a nice weekend :)Warm Regards,Author 'Menikahi Mantan Pacar Teman'
Anjani terbahak-bahak di balik meja kerjanya. Dia sudah mendengar kehebohan yang terjadi kemarin, bahwa IED Juna tiba-tiba saja kambuh di kantor. Tapi yang paling menarik baginya adalah isu perceraian Juna dengan Mei yang kini berembus sekencang badai. “Wah ..., I nggak perlu pusing-pusing mikirin gimana caranya nyingkirin elu dari hidup Juna, Mei! Sekarang justru Juna sendiri yang mendepak dan menceraikan you!” Anjani tertawa puas penuh kemenangan, “Finally, ... you rasakan juga apa yang pernah I rasakan dulu! Emang enak? Selamat jadi samsak hidupnya Juna. Well, begitulah aslinya Juna ..., you pikir dia sebagus tampangnya? On your dream! Wake up and welcome to reality, Mei, ... you married a monster!” ketus Anjani seraya tersenyum sinis. Dia betul-betul puas. Sekarang dia jadi tak perlu repot-repot mengotori tangannya sendiri untuk menyingkirkan wanita yang dibencinya itu dari cyrcle keluarga Utomo. Isu perceraian Juna menjadi perbincangan hangat di dalam gedung perkantoran Utomo Gr