Terima kasih atas dukungan dan Vote yang diberikan. Happy reading semuanya :)
Helikopter yang akan membawanya ke Bandung sudah siap mendarat di helipad di atap sebuah gedung milik Utomo Group. “Irna!” katanya dengan berteriak pada sekretaris karena suara si heli yang berisik dan kencang. Tetapi saat Irna mendekatkan telinga padanya, Juna malah menggeleng. Tiba-tiba dia teringat taruhannya dengan Mei, maka diapun mengurungkan niatnya yang semula ingin menyuruh Irna untuk sering-sering mengecek Mei dan melaporkannya kepada Juna.Sementara itu di kantornya, Mei bingung mencari-cari ponsel miliknya. Lalu dia menepuk jidat, “Ah iya ..., hape gue tadi kan dikantongi Juna dan gue lupa banget mau minta balikin pas turun dari mobil tadi. Aaah. Dasar, Juna! Iseng banget sih ngerebut hape gue. Jadi repot gini kan gue, jadi nggak bisa menghubungi siapa-siapa,” gerutunya dongkol. Terpaksa dia puasa ponsel untuk hari ini saja. “Bu, ini saya disuruh Pak Juna mengantar mobilnya Ibu,” kata seorang sopir utusan Juna. “Makasih, Pak. Selain ini, tadi Pak Juna nitip hape juga ngga
Anton sudah mendengar tentang skenario yang dibuat Roland sehingga bisa mengantarkan Mei ke sini. Mau tak mau, Anton mengikuti saja alur cerita itu. Toh, ini memang rumahnya. Mengenai negosiasi dengan Mei tentang penjualan rumah ini, bisa diaturnya sendiri nanti, yang penting dia bisa menahan Mei dulu selama mungkin di sini lewat alasan itu. Selanjutnya, Anton tentu saja sudah mempersiapkan rencananya sendiri. “Boleh lihat-lihat?” “Why not? This is your home, right?” Anton berkata dan mengangguk-angguk sambil tersenyum. Mei berkedip-kedip takjub mendengar ucapan Anton barusan. ‘Yes, it’s mine,’ ucapnya dalam hati. “Tapi, habiskan dulu minummu, don’t rush yourself. The house is not going anywhere.” Mei tertawa sembari mengangguk, kemudian menghabiskan tehnya. Anton pun tersenyum menatap pantulan kegembiraan di mata Meilani yang ternyata memang sangat cantik, pantas saja adiknya sampai tergila-gila pada wanita ini. Selain cantik, Meilani juga berhati baik, tetapi cenderung naif.
Kevin dan Raya sarapan dalam diam. Sejak Kevin mengancam akan menceraikannya, Raya memang jadi lebih segan dan menurut kepadanya. Raya bahkan tak pernah lagi menginap di rumah orang tuanya tanpa seizin suami. Raya juga sudah mau menyeduhkan teh atau kopi untuk Kevin, membuat pembantunya terheran-heran dengan perubahan sikap nyonya majikannya yang tiba-tiba. Namun perubahan baik itu tak serta merta mengubah hubungan keduanya menjadi kembali menghangat. “Kapan jadwalmu kontrol kandungan ke dokter lagi, Ray?” Suara Kevin memecah keheningan. “Besok malam jam 7,” sahut Raya singkat. “Ingatkan aku besok.” Raya mengangguk, padahal biasanya dia akan membangkang dan bilang biar mamanya saja yang mengantarkan. “Habiskan susumu,” tegur Kevin karena melihat gelas susu istrinya masih penuh. Lagi-lagi Raya menurut tanpa berkata-kata. Padahal biasanya wanita itu fasih mengomel jika Kevin menyuruhnya menghabiskan susu khusus untuk ibu hamil yang membuatnya eneg. Kevin bukannya tak menyadari per
PRANG!! Sebuah kursi tiba-tiba saja menghantam kaca jendela kamar, beling berceceran di lantai. Bersamaan dengan itu, seorang pria berjaket memasuki kamar dan menendang Anton hingga pria itu terjengkang dari ranjang. Mei memekik dan menutupi tubuhnya dengan sprei. Wanita itu meringkuk dan menangis sekeras-kerasnya. Sedangkan Anton tengah bergumul di lantai dengan pria yang menyerangnya. Bug! Bug! Bug! Mei mendengar jelas pukulan-pukulan keras bertubi-tubi itu. Tangisnya kian menjadi. Sekujur tubuhnya menggigil karena jijik, takut, marah, kecewa, sekaligus masih terangsang. Semua rasa itu menderanya tiada ampun. Sedangkan Anton di sana mengaduh, memekik, merintih ... karena pukulan demi pukulan keras pria itu telak mengenai wajah dan perutnya, pria itu benar-benar membabibuta menyerangnya, membuat Anton terpojok dan kewalahan. Pria itu sama-sama tinggi sepertinya, tetapi tak jauh lebih besar, tapi entah setan apa yang menguasainya, pria ini sangat kuat hingga Anton tak berdaya lagi
“How do you feel, Mei?” Kevin bertanya setelah Mei menghabiskan banyak air kelapa muda guna menetralkan pengaruh obat perangsang dalam dirinya. Mei mengangguk-angguk. “It works, Kev. I feel better,” sahutnya sambil menarik resletting jaket Kevin hingga menutupi seluruh tubuhnya. Ada rasa takut yang terasa mengintimidasinya sekarang. Mei jadi takut jika lekuk tubuhnya dilihat orang lain hingga memancing syahwat mereka. Mei menunduk saja sejak tadi, rasanya dia tak punya kepercayaan diri untuk menatap orang lain. Dia merasa kotor dan jijik pada dirinya sendiri setelah apa yang terjadi tadi. Dia tak ingin mengingatnya, tetapi jejak nyeri yang ditinggalkan Anton di sekujur tubuhnya masih terasa begitu nyata. Mei pun kembali menangis sambil memeluk dirinya sendiri. “Mei ...?” Tangan Kevin terulur ingin menenangkan. “Don’t touch me! Don’t touch ....” Mata Mei terpejam dan kepalanya terus saja menggeleng. Kevin mengepalkan tangan, dia tahu Mei sedang mengalami trauma pasca upaya perkosaan
“Kalau itu dasar pemikiran elu buat mengambil keputusan ini, elu egois, Mei. Kekacauan yang timbul bakal lebih besar kalau kita diam. Elu nggak kasihan Anna dan teman-teman elu lainnya? Mereka juga korban, Mei! Kita nggak tahu sejauh apa Aden sudah mengedarkan foto-foto pribadi mereka. Dan bisa jadi apa yang elu alami hari ini bakal kejadian juga sama Anna dan lainnya kalau si bajingan Aden ini kelamaan bebas keliaran,” kata Kevin sambil geleng-geleng kepala, tak mau begitu saja mengiyakan permintaan Mei karena bertentangan dengan nurani dan akal sehatnya sebagai manusia. “Kalaupun elu nggak mau lapor, gue yang akan lapor karena kakak gue yang brengsek itu harus berurusan dengan hukum. Gue nggak tahu, selain elu ... bisa jadi dia juga pernah melakukan hal semacam ini ke wanita lain. Bagaimana bisa gue diam setelah melihat kebejatannya dengan mata kepala gue sendiri, Mei? Biar saja dia berkontempelasi di penjara. Ayo ikut gue ke rumah sakit, elu harus visum sebagai barang bukti.” Kevin
“Bik, Bu Raya ke mana? Menginap di rumah mamanya?” Kevin menanyai Lastri begitu sampai di rumah dan tak melihat Raya.“Loh, Bu Raya kan sudah melahirkan, Pak. Tadi sore Bu Raya seperti mengompol, ternyata air ketubannya sudah merembas keluar, jadinya langsung ke rumah sakit dan dioperasi caesar, Pak,” jelas Lastri dengan raut heran karena Kevin malah belum mengetahui hal sepenting itu, ke mana saja dia hari ini?“Astaga!” Kevin buru-buru memeriksa ponsel yang sejak tadi dia senyapkan karena sibuk mengurusi kasus Mei. Ternyata ada banyak panggilan dari nomor Raya, dokternya, mertuanya, papanya, dan masih banyak lagi. Kevin memang mengabaikan semua telepon yang masuk seharian ini. Dia menyesal telah melewatkan momen sepenting ini.Kevin pun mandi dengan cepat, kemudian kembali mengegas motornya menuju rumah sakit. Namun sesampainya di rumah sakit, sang mertua menyambut kedatangannya dengan wajah masam dan mengabaikan salam hormat darinya.Dikecupnya kening Raya yang sedang tidur, wajah i
Dengan satu tangannya, Juna terpaksa mencekal dan mengunci kedua lengan Mei yang sejak tadi memukulinya, sedangkan tangan satunya dia pakai untuk menepuki pipi Mei agar lekas sadar dari mimpi buruknya. “MEI ...! Wake up!” Bentakan Juna yang keras akhirnya sanggup mengembalikan kesadaran Mei. Juna pun menyalakan lampu utama kamar hingga terang benderang. “J-jun ...?” Mata Mei berkedip-kedip, antara silau dan terkejut. “Iya, Mei, ini gue. Elu mimpi apaan sih, Sayang? Sampai segitunya?” Juna mengecup kening Mei dan memeluk erat-erat kala tangis Mei kembali meledak. “Ssshhh, tenanglah ..., nggak usah dipikirin, kan cuma mimpi,” bisik Juna sambil mengecup kening istrinya, mengira Mei hanya mengalami mimpi buruk. ‘Mimpi. Andai itu cuma mimpi!’ Mei kembali direjam sesal dan sedih. Semakin Juna menenangkannya, semakin kacau hatinya. Bagaimana caranya dia memberitahu Juna jika apa yang dialaminya tadi siang itu bukan mimpi? ‘Bernapas yang dalam, Mei. Ingat, kendalikan napas elu setiap k