Dilla tak henti-hentinya berterima kasih kepada Mei yang telah mendanai acara peringatan 100 hari kematian suaminya. Baik sekali keponakannya ini, padahal jelas-jelas Danu sudah mengaku kalau telah menjadi dalang kesengsaraan hidup orangtua Mei di masa lalu, bahkan Mei juga ikut-ikutan sengsara karenanya. Bahkan Mei kini rutin menyantuninya setiap bulan, sehingga Dilla tak mencemaskan lagi kebutuhan dapurnya. “Sudahlah. Semuanya terjadi atas kehendak Tuhan, Tan. Kebetulan terjadinya lewat Om Danu, kalaupun bukan karena Om Danu, mungkin papi bangkrutnya lewat orang lain, karena skenario kehidupan papi memang harus seperti itu.” Dilla membelai wajah Mei dengan kelembutan seorang ibu, dengan sebelah tangannya yang tidak lumpuh, matanya berkaca-kaca haru menatap kebesaran hati keponakannya ini. “Tante doakan kamu menjalani hidupmu yang sekarang ini dengan banyak kebahagiaan, Mei,” doanya mengalir tulus. Mei tersenyum, dia memang bahagia telah memiliki Juna dalam hidupnya. Pria itu tetap
Mei memejamkan mata dan pura-pura sudah tidur saat mendengar suara langkah Juna dan kruknya memasuki kamar. Biasanya dia akan melompat dari kasur dan menyambut suaminya itu dengan senyum terbaik yang dimilikinya. Tapi sekarang, hatinya masih diremas sakit. Bisa-bisanya Juna membohonginya sedang meeting tapi malah dinner dengan Raya, dan parahnya Mei justru mengetahui hal itu dari instastory Raya yang tampak bangga bisa mengulangi kencan mesranya dengan Juna, padahal mereka sama-sama sudah menikah! Juna tak sengaja menjatuhkan kruknya. Mei menahan kaget sambil mengintip Juna yang sedang susah payah mengambil kruknya yang tergeletak di lantai. Hatinya tak tega ingin menolong, tetapi di sisi lain dia juga marah. Mei mengepalkan tangan, perang batin antara ingin menolong atau membiarkannya saja sebagai pelajaran. “Ahh, sompret ..., elu tuh ye, baru jadi benda mati, baru jadi kruk aja udah sombong ngerjain gue malam-malam gini. Gue capek tau nggak sih ... wahai elu si tuan kruk yang aroga
Jika pada saat ini kamar Mei dan Juna tengah diselimuti atmosfer yang sarat romantika, berbanding terbalik dengan suasana di dalam kamar milik Raya dan Kevin yang terasa muram. Kevin sudah lebih dulu sampai di rumah. Bahkan sudah memakai piyama tidur dan merebahkan dirinya di kasur, tetapi Raya belum kunjung pulang. Kevin sudah berkali-kali menelepon, tetapi istrinya itu justru menolak panggilannya. “Apa-apaan sih?” Kevin menggumam dongkol. Raya semakin keterlaluan saja, makin tak menghargai dirinya sebagai suami. Pergi tanpa izin, kapan pulang juga sesuka hatinya sendiri. Bukan sekali-dua kali saja Raya menginap berhari-hari di rumah orangtuanya tanpa pamit, tapi dijemput pulang malah merajuk, mengatasnamakan kehamilannya. “Aku nggak bisa tidur kalau di kamar kita. Daripada aku insomnia dan nggak bagus buat perkembangan kandunganku, biarin aku menginap di sini beberapa hari lagi,” rengek Raya di depan orangtuanya, membuat Nila ikut-ikutan mencegah Kevin membawa anaknya pulang, bukan
Genap tujuh bulan pasca operasinya yang lalu, tulang yang patah di area kaki Juna telah menyatu dengan baik sehingga pelepasan pen bisa dilakukan. Setelah pelepasan pen itu Juna tetap melatih otot-otot kakinya yang masih kaku agar kembali normal, dibawah pengawasan terapis dari rumah sakit yang biasa melatihnya, ditambah asupan makanan bergizi yang sesuai dengan kebutuhan tubuhnya selama proses pemulihan membuat kondisi kaki Juna semakin lama semakin membaik. “Untuk sementara hindari dulu aktivitas berlebih atau angkat beban berlebihan pada area yang patah ini ya, Pak.” Terapis Juna tak pernah bosan mengingatkan pasien yang rajin dilatihnya ini. “Siap, Pak.” Juna mengangguk penuh janji, dia juga ingin cepat sembuh dan kembali gagah seperti dulu tanpa membawa-bawa tongkat besi yang membuatnya jadi seperti kakek-kakek saja, bahkan Opa Tomo saja masih gagah dan tak memakai tongkat di usianya yang sudah 79 tahun. Mei dan Juna mengantar terapis Juna sampai teras rumah. Keduanya melambaik
“Mei ...!” panggil Demi. Juna mundur untuk memberi ruang bagi Mei membalas pelukan Demi, teman satu cyrcle Mei di sebuah kelompok arisan sosialita. Usai cipika-cipiki, Mei dan Demi asyik mengobrol. Sedangkan Juna kembali mengedarkan pandang ke segala penjuru ruangan dan terkejut melihat seorang pemuda tengah mengarahkan layar ponselnya ke arah Demi yang sedang berbincang hangat dengan Mei. Apakah pria itu penguntit Demi yang seorang artis? Tapi kemudian pemuda itu meletakkan ponselnya di telinga seakan sedang menerima telepon seseorang, sikapnya terlihat tidak alami. Apa dia gugup karena tahu Juna memergokinya? “Halo, Jun?” Tatapan Juna pun teralihkan ke suara yang menegurnya. “Eh, Anna?” Juna tak heran bertemu dengan Anna di tempat semacam ini, karena Anna penyuka seni, entah fotografi maupun lukisan. Anna punya selera yang bagus dan kejelian tersendiri dalam menilai seni. Bahkan salah satu lukisan abstrak yang pernah dihadiahkan Anna untuk Juna dulu, tetap menjadi favorit Juna
Mei pamit meninggalkan Demi dan Anna yang langsung berbincang dengan Aden, memberi kesempatan Anna bicara langsung dengan Aden terkait tawarannya untuk Aden agar mau mengisi lowongan fotografer dalam tim konten kreatifnya. Demi tetap di sana karena ingin membantu Anna membujuk Aden, sebab saat ini banyak pihak yang sedang mengincar Aden sejak dia meraih gelar juara favorit dalam ajang lomba fotografi bergengsi tingkat nasional ini. Demi pun memanfaatkan pesonanya sebagai artis untuk membujuk Aden. Padahal tanpa dibujuk sekalipun, Aden memang sudah mengincar para wanita itu dan ingin masuk ke dalam lingkaran mereka.Sementara itu, Mei dan Juna asyik berkeliling melihat-lihat dan menikmati pameran fotografi di dalam gedung itu. Bagi Mei, semua foto itu bagus-bagus, dia tak memiliki kejelian khusus menilai seni. Berbanding terbalik dengan Juna yang bisa diam cukup lama hanya untuk mengamati sebuah foto saja.Mei mengamati tatapan Juna yang sedang tertancap pada sebingkai foto yang menampi
Lelang sudah berlangsung lebih dari sejam yang lalu. Juna menghapus keringat yang membanjiri kening dengan sapu tangan mahalnya. Kakinya terasa nyeri sekarang karena dia tadi setengah berlari demi mencapai tempat ini. Juna mengamati acara yang tengah berlangsung, syukurlah foto-foto yang diincarnya belum dilelang. Bahkan akhirnya Juna sampai menunggu lebih dari 1 jam hingga foto-foto itu akhirnya keluar dan mengundang decak kagum orang-orang. “I want you,” gumam Juna seraya mengulum senyumnya. Juna duduk dengan lebih tenang. Menunggu penawaran berlangsung. “Ya, 250 juta! Ayo, ada lagi? Masih ada waktu lima menit lagi, atau foto seri pertama ‘Makanan terenak di dunia yang disantap oleh wanita tercantik di negeri Indonesia’ ini akan kita tutup di angka 250 juta,” kata petugas lelang mengumumkan. “Tiga ratus juta.” “Tiga ratus sepuluh juta.” “Tiga ratus empat puluh juta.” “Tiga ratus lima puluh juta.” “Empat ratus juta.” “Empat ratus lima puluh juta.” Lelang bergulir dengan cepat
“An, bawa sini coba ... gue mau lihat hasil foto-fotonya.” Juna berkata kepada Anna sambil mengedikkan dagunya ke arah Aden. “Aden, sini ... tunjukin foto-fotonya, kita mau lihat,” pinta Anna kepada Aden yang tiba-tiba saja berubah gugup. “Eh, i-iya, Kak.” “Jangan ada yang dihapus, biar aja apa adanya,” kata Juna yang sejak tadi memerhatikan tangan Aden yang gemetar, membuat Juna menyipit curiga. Karena Aden masih saja sibuk berkutat dengan kameranya, Juna jadi tak sabar dan mendekat kepada Aden lalu merebut kameranya, dan memeriksa sendiri semua isinya. Tak ada yang mencurigakan dari semua foto-foto Aden ini, dia pikir bakal banyak menemukan foto-foto Demi. Tetapi entah kenapa firasat Juna tidak enak dengan pemuda ini. Juna yakin pemuda ini seorang penguntit karena jelas-jelas dia tadi melihat Aden menyorotkan kamera ponselnya ke arah Demi yang sedang asyik mengobrol dengan Mei. Juna pikir Aden sedang menguntit Demi karena Demi seorang artis, Juna tak tahu saja kalau ternyata Ad
Mei meletakkan Cinta di box tidurnya secara perlahan setelah selesai mengganti diapers untuk bayi cantiknya yang menggemaskan itu, kini anak keduanya itu sudah berusia 3 bulan. Juna menepuk-nepuk lembut pipi puterinya. “Selamat bobok, cintanya mami dan papi,” bisiknya dengan hati berbunga-bunga. Setelah memastikan Cinta tidur nyaman, Juna menoleh kepada Mei yang sedang memerah ASI. Air susu Mei melimpah ruah, sampai-sampai Mei membeli kulkas baru khusus untuk menyimpan stok ASI bagi sang buah hati. Mei bertekad akan memberi Cinta ASI eksklusif selama 6 bulan, sama seperti Vi dulu. “Masih lama, Mi?” Juna manyun memerhatikan Mei sibuk dengan alat perahnya. “Bantuin sini, malah bengong! Biar cepat beres ini,” omel Mei. Juna pun nyengir dan membantu Mei menuliskan tanggal hari ini di setiap label botol ASI itu, kemudian memasukkannya ke dalam kulkas yang ada di dalam kamar mereka. Sementara Mei membereskan alat-alat pemerah ASI, mencuci, mengelap, dan menyimpan kembali dengan rapi. “S
“Mami, bangun! Ini sudah jam berapa?” Juna menarik selimut Mei, menepuk-nepuk istrinya yang malah lebih erat lagi memeluk guling. Juna geleng-geleng kepala. Sepertinya Mei bangun kesiangan lagi, padahal biasanya Mei itu morning person. Istrinya itu sigap melayani apa saja kebutuhannya dan juga Vi. Rajin mempersiapkan keberangkatan Juna ke kantor, dan juga mempersiapkan sendiri box makanan untuk Vi. Tapi sudah seminggu ini, makanan untuk Vi diurus pegawainya. Demikian pula persiapan sarapan untuk mereka. Juna rindu sarapannya dipersiapkan sendiri oleh sang istri tercinta. “Banguun, ... Maemunah.” Juna menarik guling Mei, tapi kemudian Mei mengalungkan lengannya di leher Juna. Membuat Juna terkekeh dan menciumi wajah istrinya. “Jun, ngantuk banget gue loh. Masih kepingin bobok.” Juna pun mengecupi pipi istrinya yang masih memejamkan mata. Mei kelihatan sangat mengantuk memang. Juna jadi tak tega menyuruhnya bangun dan menyelimutinya lagi. Juna mandi pagi dan berganti pakaian, memasa
Mei tersenyum puas usai melakukan rapat final dengan manager pengelola gedung Utomo Group. Mei menyabet tempat di lantai dasar gedung Utomo Group yang sebelumnya disewa oleh sebuah restoran franchise asing. Mei ingin menancapkan taring bisnisnya di gedung utama milik kakek suaminya sendiri.Juna pikir istrinya kian menggilai bisnis dan ingin semakin banyak mereguk laba berlipat-lipat. Namun Juna dibuat terkejut saat Mei memaparkan sesuatu kepadanya, bahwa Mei akan memberikan diskon khusus bagi para pegawai Utomo Group yang makan di restoran itu dalam jangka waktu selama mereka berstatus pegawai Utomo Group, yaitu diskon 90% bagi kalangan pegawai kelas bawah semisal security, OB, cleaning service, dan diskon 60% bagi kalangan staf biasa.“Biar apa gitu, Mei?”“Biar mereka merasa dihargai, dan mereka bisa pakai diskonannya buat kepentingan mereka yang lain, atau buat ditabung. Soalnya, Jun, ... gue pernah jadi pegawai rendahan kayak mereka, budget makan siang itu mehong dan berasa bange
“Mei, serius ... elu nggak kepengen ngadain resepsi buat pernikahan kita ini?” Juna diam-diam ingin mewujudkan pesta pernikahan impian yang ingin digelarnya secara mewah. Sebagai wujud kegembiraannya memenangkan hati Mei kembali.“Ogah. Kan udah gue bilang ogah. Berisik amat sig elu masih nanyain melulu, Jun?”Juna manyun. “Emang kenapa sih, Mei?” rengeknya sambil memeluk Mei dari belakang, sementara Mei sedang sibuk meracik bumbu untuk makan malam mereka nanti.“Buat apa elu buang-buang duit cuma buat menjamu para sosialita yang fake itu, heh? Gue ingat banget ya, pas gue lagi melarat gimana sikap mereka ke gue. Gue tuh kayak sampah tahu nggak di mata mereka. Anna dan teman-temannya itu! Papasan sama gue di mall kagak ada yang mau noleh barang seorang, padahal gue udah sapa duluan baek-baek,” oceh Mei sambil menggeprek lengkuas sekuat-kuatnya sampai penyet, seakan lengkuas itu adalah perwujudan Anna dan teman-temannya.Jantung Juna nyaris mencelat kaget mendengarnya. ‘Dih, serem juga
Mei dan Juna menginap di sebuah presidential suite. Di sinilah mereka pernah melewati malam pertama pada pernikahan mereka yang terdahulu. Pada malam rujuknya mereka kali ini, Mei dan Juna kembali memilih ruangan yang sama, ruangan yang menyimpan sejuta kenangan tentang mereka. Ruangan ini menjadi saksi bisu, bahwa ada rasa membara yang mengikat Mei dan Juna, sejak dulu sampai sekarang, tak pernah padam. Jika keduanya dulu merasa canggung saat memasuki ruangan ini dalam balutan gaun pengantin, sekarang tidak lagi. Begitu Juna menutup pintu hotel, dia langsung mengangkat tubuh istrinya itu ke ranjang, melucuti pakaian Mei dengan tak sabar. Sudah halal, bukan? Tangan Juna bergerak cepat menyingkirkan segala macam penghalang, dan matanya berbinar-binar begitu tubuh polos Meilani kini terpampang nyata. Mei ternyata masih tetap luar biasa dan semengagumkan dulu. “Bisa-bisanya Mei, elu udah jadi emak-emak tapi body masih mulus langsing singset kayak gini?” pujinya sambil membelai perut Mei
“Buset, ribet amat sih mau rujuk kebanyakan syarat administrasi! Nggak bisa nikah di KUA hari ini dong gue? Mau tuntasin ibadah nikah yang mulia kok ada-ada aja ya ujiannya?” oceh Juna saat menelepon Jonathan. “Ya udah, Jon, elu buruan daftarin dan urusin semua persyaratan rujuk buat gue dan Mei di KUA. Gue sama Mei nikah siri aja dulu hari ini! Biar cepat sah dan halal,” pungkasnya. Mei tertawa mendenngar ocehan Juna yang teramat ramai. “Beneran mau nikah hari ini? Ntar ajalah ... tanggung, nikah di KUA yang resmi sekalian, tunggu Jojon kelar beresin syarat administrasinya dulu, Jun.” “Eits, nggak bisa! Ibadah loh ini, Maemunah ...! Ibadah itu jangan ditunda-tunda. Jangan dengerin bujuk rayu setan buat nunda-nunda ibadah kita.” Mei terpingkal-pingkal. “Cih. Bisa aja nih orang modusnya, ... bilang aja udah nggak tahan pengen grepe-grepe gue!” cibirnya. Juna nyengir. “Itu kan ibadah juga, Mami sayang, ... yang membedakan kita sama kucing! Kucing mau kawin tinggal kawin, kalau kita
Mei buru-buru ke dapur, meneguk segelas air untuk membasahi kerongkongannya yang kering karena menahan gondok kepada Juna yang malah mengusilinya soal penggrebegan tadi. Wajah Mei jadi merah padam, bukan hanya karena marah pada keadaan. Tapi dia juga bingung bagaimana caranya menjelaskan ke Vincent? Tadi dia mengecek i*******m dan benar saja, kejadian tadi sudah tayang di I* TV milik Anna dan meraih banyak penonton. “Tuh, kan. Netizen malah belain kita dan kasih selamat sekalian. Orang-orang sekarang sudah tahu soal anak kita, Mei. Juga tentang kita yang sudah rujuk. Dahlah ... yuk, jadiin real aja?” Juna meletakkan ponsel setelah ikut mengecek dan membaca komentar yang berseliweran di I* itu. Juna kemudian merangkul Mei yang duduk menunduk di sofa sambil memegangi kepalanya yang pening. Juna memijiti pundak Mei hingga wanita itu terlihat sedikit nyaman. Mei menangis sambil mengatakan kalau dia takut Vincent marah, takut Vincent kecewa kepadanya. Mei juga meminta saran dan pendapat
“Gue kangen banget sama Vi, Mei. Please? Gue sekarang tahu kenapa gue langsung jatuh cinta sama Vi sejak awal ketemu dulu. Dan semakin ke sini gue semakin sering kangen sama dia. Ternyata itu yang namanya ikatan batin. Iya ‘kan? Elu sendiri tadi bilang, bakal beri gue ruang buat mencurahkan kasih sayang gue ke Vi?” Mei memutar bola mata. “Iya, tapi nggak gini juga keleus ..., lu lihat ini jam berapa sekarang? Jam 12 malam. Gila lu mau masuk-masuk kamar janda tengah malam gini.” Juna tertegun. Setelah pembicaraan seriusnya tadi, sekarang Mei dengan cepat kembali ke mode cablak. Juna garuk-garuk kepala. “Dih, cepat juga waktu berlalu ya, Mei?” “Ya iyalah, dodol. Situ aja nangisnya berapa jam sendiri?” “Njirr ..., jangan cerita ke siapa-siapa ya, Mei. Tengsin gue.” “Wani piro?” Lalu Mei terkekeh jahat. “Cih. Lu kayak John Wick aja, Mei!” seloroh Juna. Karena John Wick suka menantang imbalan Juna dengan dua kata yang sama itu, ‘wani piro’. “John Wick? Keanu Reeves?” Mei kebingunga
Juna merengkuh kedua tangan Mei. Tangan Mei terasa hangat dalam genggaman Juna yang dingin. “Mei ...,” panggil Juna seraya mengecup lembut punggung tangan wanita itu, “gue udah tahu semuanya, ... siapa sebenarnya Vi,” ucapnya begitu lirih. “Sorry ..., I’m too late.” Juna mendesahkan sejuta penyesalan. Juna berlutut di depan Mei seraya mendongak, mempertemukan tatapan mereka. “Mei ...,” panggilnya lagi, karena wanita itu tak jua bersuara sejak tadi. Mei membeku dalam kediaman panjangnya. “Gue sungguh-sungguh minta maaf. Mungkin permintaan maaf gue ini nggak sepadan dengan penderitaan yang sudah elu lewati seorang diri selama ini.” Juna mengetatkan genggamannya seiring pecutan sesal yang kian melecut-lecut dalam hatinya. Juna baru tahu dari Anjani ..., jika ternyata Mei dalam kondisi mengandung darah dagingnya saat Juna menceraikannya dulu. Saat Juna mengusirnya siang itu, meninggalkan rumahnya di bawah terik cahaya mentari yang membakar kulit, dengan berjalan kaki. Ya ..., berjalan ka