Terima kasih atas dukungan dan VOTE untuk novel ini :) Enjoy reading ....
Juna terbangun di tengah malam karena merasakan tekanan di kandung kemihnya alias kebelet pipis. Pria itu menggigit bibir sambil menggeser kakinya yang berat dan kaku dengan susah payah, menahan linu dan nyeri yang merambat. Juna menggunakan otot tangan untuk menumpu tubuhnya. Dia lelaki, tubuhnya gagah atletis, tangannya berotot, pantang takluk oleh kondisi. Pelan-pelan Juna bergerak, sehati-hati mungkin agar tak membangunkan Mei yang sedang terlelap. Juna menghela napas lega karena berhasil menapakkan kakinya ke lantai. Tangannya kemudian menggapai kursi roda. Ditariknya pelan-pelan. Inilah bagian yang tersulit, memindahkan bokongnya ke kursi roda. Sial! Juna melirik Mei, tangannya terulur ingin membangunkan dan minta bantuan. Namun, tiba-tiba saja egonya memprovokasi, ‘Come on, Jun, you are a man!’ ‘I can do it.’ Juna membatin, meniupkan rasa optimis. Juna menggapai lagi kursi rodanya, dan mengangkat tubuhnya sebisa mungkin, sehati-hati mungkin, dan Juna tersenyum saat dia berhas
Mei mengajak Anna menemui Utomo. Kedua orang itupun lekas terlibat perbincangan yang akrab dan juga hangat. Anna tampak luwes dan percaya diri menghadapi Utomo, dan Utomo pun tampak menyayangi Anna. “Maaf, saya tinggal sebentar, saya mau menemui dulu terapis Juna.” Mei berpamitan, memberi kesempatan Utomo dan Anna berbincang hangat. Lalu menuju tempat Juna menjalani terapi fisiknya bersama sang terapis. Mei bersedekap memandangi Juna yang sedang gigih menjalani terapi fisiknya. Dia bisa melihat tekad yang luar biasa dalam diri Juna untuk sembuh. Tekad yang dibungkus ego yang tak kalah tingginya, hingga Juna menganggap perhatian Mei kepadanya sebagai rasa kasihan, dan Juna jenis pria yang pantang dikasihani, terutama oleh Mei, padahal Mei istrinya sendiri. “Bagaimana kemajuannya, Pak?” tanya Mei kepada terapis saat sesi terapi Juna sudah selesai. “Sangat bagus, Bu. Saya lihat ini hasil rontgent tulangnya juga jadi semakin baik. Semangat, Pak Juna! Oya, apa masih ada keluhan linu di
Seharian ini Mei disibukkan dengan kegiatan yayasan Pelita Bangsa. Sebagai ketua umum, Mei harus sanggup menjalankan visi dan misi yayasan sesuai anggaran dasar. Sudah menjadi tugasnya mengkoordinasikan program kerja yayasan baik perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, maupun pertanggungjawaban. Mei juga mendelegasikan pengurus harian untuk melakukan hubungan dengan pihak-pihak di luar yayasan, terkait pengganti program beasiswa atlet daerah yang sempat bermasalah beberapa waktu lalu. Kemudian mendengarkan laporan dari mereka dan mendiskusikan beberapa kendala dan masalah. Kesibukan membuat Mei melupakan jadwal makan siang, dia bahkan lupa menelepon Juna dan menanyai kabarnya. Mei buru-buru menelepon begitu teringat suaminya, tetapi sepertinya Juna sedang menerima telepon lain sehingga telepon dari Mei tak juga tersambung. “Kayaknya elu lagi euforia bisa balik ngantor lagi, Jun, makanya semua kerjaan mau elu embat. Dari tadi ditelepon sibuk melulu,” gumam Mei sambil beralih menelepon Mary
Mei menunggu sajian makanan di sebuah restoran padang yang biasa dia kunjungi dengan Maryam. Sambil menunggu, Mei pun menelepon Juna. Setelah menanti beberapa saat, akhirnya Juna mengangkat teleponnya. “Halo, Jun? Lagi ngapain?” sapa Mei dengan senyum terkembang.“Halo,” Juna tertawa lirih, “lagi meeting.”“Ups, sorry. Oke, gue tutup, ntar gue telepon lagi. Bye, Sayang. I love you,” bisik Mei sebelum menutup teleponnya, tak ingin mengganggu Juna yang sedang bekerja.“Kak Mei?”Mei terkejut melihat Aden.“Eh, halo, Den. Sudah makan atau belum?”“Saya baru aja masuk terus ngeliat Kakak di sini. Tumben sendirian?”“Yuk, makan bareng aja. Kamu sendirian?”Aden mengangguk dan duduk di depan Mei. Tentu saja dia tak menyia-nyiakan kesempatan ini.“Kebetulan saya habis ada pemotretan di satu event, terus lapar. Tadi nggak pengen makan, ternyata sekarang lapar juga, terus mampir ke sini. Restoran padang yang ini memang paling enak, Kak.”“Kamu biasa makan di sini?”“Lumayan, Kak.”Restoran pad
Dilla tak henti-hentinya berterima kasih kepada Mei yang telah mendanai acara peringatan 100 hari kematian suaminya. Baik sekali keponakannya ini, padahal jelas-jelas Danu sudah mengaku kalau telah menjadi dalang kesengsaraan hidup orangtua Mei di masa lalu, bahkan Mei juga ikut-ikutan sengsara karenanya. Bahkan Mei kini rutin menyantuninya setiap bulan, sehingga Dilla tak mencemaskan lagi kebutuhan dapurnya. “Sudahlah. Semuanya terjadi atas kehendak Tuhan, Tan. Kebetulan terjadinya lewat Om Danu, kalaupun bukan karena Om Danu, mungkin papi bangkrutnya lewat orang lain, karena skenario kehidupan papi memang harus seperti itu.” Dilla membelai wajah Mei dengan kelembutan seorang ibu, dengan sebelah tangannya yang tidak lumpuh, matanya berkaca-kaca haru menatap kebesaran hati keponakannya ini. “Tante doakan kamu menjalani hidupmu yang sekarang ini dengan banyak kebahagiaan, Mei,” doanya mengalir tulus. Mei tersenyum, dia memang bahagia telah memiliki Juna dalam hidupnya. Pria itu tetap
Mei memejamkan mata dan pura-pura sudah tidur saat mendengar suara langkah Juna dan kruknya memasuki kamar. Biasanya dia akan melompat dari kasur dan menyambut suaminya itu dengan senyum terbaik yang dimilikinya. Tapi sekarang, hatinya masih diremas sakit. Bisa-bisanya Juna membohonginya sedang meeting tapi malah dinner dengan Raya, dan parahnya Mei justru mengetahui hal itu dari instastory Raya yang tampak bangga bisa mengulangi kencan mesranya dengan Juna, padahal mereka sama-sama sudah menikah! Juna tak sengaja menjatuhkan kruknya. Mei menahan kaget sambil mengintip Juna yang sedang susah payah mengambil kruknya yang tergeletak di lantai. Hatinya tak tega ingin menolong, tetapi di sisi lain dia juga marah. Mei mengepalkan tangan, perang batin antara ingin menolong atau membiarkannya saja sebagai pelajaran. “Ahh, sompret ..., elu tuh ye, baru jadi benda mati, baru jadi kruk aja udah sombong ngerjain gue malam-malam gini. Gue capek tau nggak sih ... wahai elu si tuan kruk yang aroga
Jika pada saat ini kamar Mei dan Juna tengah diselimuti atmosfer yang sarat romantika, berbanding terbalik dengan suasana di dalam kamar milik Raya dan Kevin yang terasa muram. Kevin sudah lebih dulu sampai di rumah. Bahkan sudah memakai piyama tidur dan merebahkan dirinya di kasur, tetapi Raya belum kunjung pulang. Kevin sudah berkali-kali menelepon, tetapi istrinya itu justru menolak panggilannya. “Apa-apaan sih?” Kevin menggumam dongkol. Raya semakin keterlaluan saja, makin tak menghargai dirinya sebagai suami. Pergi tanpa izin, kapan pulang juga sesuka hatinya sendiri. Bukan sekali-dua kali saja Raya menginap berhari-hari di rumah orangtuanya tanpa pamit, tapi dijemput pulang malah merajuk, mengatasnamakan kehamilannya. “Aku nggak bisa tidur kalau di kamar kita. Daripada aku insomnia dan nggak bagus buat perkembangan kandunganku, biarin aku menginap di sini beberapa hari lagi,” rengek Raya di depan orangtuanya, membuat Nila ikut-ikutan mencegah Kevin membawa anaknya pulang, bukan
Genap tujuh bulan pasca operasinya yang lalu, tulang yang patah di area kaki Juna telah menyatu dengan baik sehingga pelepasan pen bisa dilakukan. Setelah pelepasan pen itu Juna tetap melatih otot-otot kakinya yang masih kaku agar kembali normal, dibawah pengawasan terapis dari rumah sakit yang biasa melatihnya, ditambah asupan makanan bergizi yang sesuai dengan kebutuhan tubuhnya selama proses pemulihan membuat kondisi kaki Juna semakin lama semakin membaik. “Untuk sementara hindari dulu aktivitas berlebih atau angkat beban berlebihan pada area yang patah ini ya, Pak.” Terapis Juna tak pernah bosan mengingatkan pasien yang rajin dilatihnya ini. “Siap, Pak.” Juna mengangguk penuh janji, dia juga ingin cepat sembuh dan kembali gagah seperti dulu tanpa membawa-bawa tongkat besi yang membuatnya jadi seperti kakek-kakek saja, bahkan Opa Tomo saja masih gagah dan tak memakai tongkat di usianya yang sudah 79 tahun. Mei dan Juna mengantar terapis Juna sampai teras rumah. Keduanya melambaik