Terima kasih ya atas dukungan dan VOTE untuk novel ini. Enjoy reading :)
Mei tersenyum menerima begitu banyak perhatian untuk Juna, berupa buket bunga dan ucapan dukungan yang dikirimkan ke ruang perawatan Juna dari kalangan sesama pengusaha, teman-teman SMA, dan juga teman-teman sosialita Mei dan Juna. Meskipun Mei membatasi akses tamu yang ingin membesuk Juna, tetapi tak menghentikan aliran dukungan mereka kepada Juna. Teman-teman bergantian menelepon Mei. Salah satunya Anna yang turut menyampaikan simpati dan dukungannya untuk Juna dan juga Mei. “Yang kuat ya, Mei. You’re not alone, elu punya kita semua. Jangan diambil hati omongan para netizen, mereka nggak tahu kejadian yang sebenarnya. Tapi kita semua tahu kok elu dan Juna kayak gimana. Elu fokus aja dengan pemulihan Juna. Elu juga jaga kesehatan ya, Mei?” “Thank you, An.” “My pleasure, beib.” Setelah menerima telepon dari Anna, Mei menyeduh kopi paginya. Mei sedang meletakkan kopi yang baru saja diseduhnya ke atas meja kala Maryam mendatanginya. “Mbak Mei,” panggil Maryam dengan wajah lelahnya
Utomo menelepon dan mengucapkan belasungkawa kepada Mei begitu Maryam mengabarkan kematian Danu. “Mei, dampingi dulu saja tantemu. Bagaimanapun, dia tetap keluargamu. Tantemu membutuhkan dukunganmu saat ini.” “Opa. Tapi. Bagaimana dengan Juna? Ada perkembangan apa hari ini? Jujur, saya berat meninggalkannya.” And I miss him so much. I miss my hubby. Lanjut Mei dalam hati. “Ada aku, Mei. Aku tak akan membiarkan siapapun menyakiti cucuku. Percayalah padaku.” Utomo meyakinkan Mei. Mei menghela napas berat. “Baik, Opa.” Mei menutup sambungan teleponnya dengan Utomo. Dan mengurusi tantenya yang berduka. Selesai pemakaman, Mei istirahat dalam ruangan yang dulu pernah menjadi kamarnya semasa belum menikah dengan Juna. Di kamar ini, dia kerap merasa kesepian dan ketakutan. Digempur kesedihan yang seperti tak berkesudahan. Sampai akhirnya Juna datang bagai pangeran berkuda putih yang menjemput Mei, membawanya angkat kaki jauh-jauh dari sini. “Mei,” panggil Tante Dilla di ambang pintu. M
“Mar, ayo balik ke rumah sakit sekarang.” Maryam yang masih mengobrol dengan Ivan segera mengangguk-angguk dan menelepon sopir mereka agar menjemput. “Pak Sur masih beli bensin, Mbak. Karena macet dan mengantre lama di pom bensin, katanya paling cepat sampai sini kira-kira 30 menit lagi.” Mei menggeleng. “Ah. Kelamaan. Kita naik taksi saja,” katanya dengan nada tak sabar. “Baik, Mbak.” Maryam bersiap memesan taksi online. “Kak Mei, biar saya antar saja, kebetulan saya bawa mobil. Kalau pesan taksi bisa saja lama datangnya, kalau Kakak memang buru-buru, hayuk saya antar saja?” Aden yang sedang hadir melayat tiba-tiba mengajukan diri. “Kamu nggak repot?” “Nggak, makanya saya menawari Kakak.” Akhirnya Mei menerima tawaran Aden. “Bagaimana kabar Mas Juna, Kak? Saya doakan lekas membaik ya, Kak. Saya ikut prihatin. Saya yakin Mas Juna orang baik, nggak seperti yang diberitakan,” ujar Aden sambil menyetir. Mei tersenyum tipis. Dia tidak fokus pada pembicaraan ini karena pikirannya
“I love you, Jun. I love you so much,” ucap Mei sambil membelai-belai sayang wajah suaminya yang masih pucat. Sesuai niat dan tekadnya, Mei benar-benar mengucapkan kalimat itu tanpa penundaan begitu Juna membuka matanya. "I love you," tegasnya sekali lagi. Sekarang Juna sudah dipindahkan ke dalam kamar perawatan biasa, bukan lagi di dalam ruang akuarium yang membuat Mei repot karena harus memakai pakaian steril dulu setiap kali ingin menjenguk suaminya. Juna tersenyum dan berkedip-kedip. Juna belum sanggup mengeluarkan suara untuk membalas ungkapan cinta sang istri karena kerongkongannya terasa sangat kering dan tenggorokannya juga sakit untuk bersuara, efek pemasangan sonde selama dia tak sadarkan diri. Mei menggenggam erat-erat tangan suaminya, lalu mengecupnya dengan sangat lama, air matanya yang deras membasahi kulit tangan Juna, air mata bahagia. “Thank you, Jun. Akhirnya elu bangun juga. Gue kangen banget sama elu, Jun. I miss you so much!” Meski lemah, tapi Mei bisa merasak
Dokter mengizinkan Juna pulang setelah hampir sebulan menjalani perawatan di rumah sakit. Namun dokter Joe mewanti-wanti agar Juna tetap rutin melakukan kontrol berkala dan terapi fisik untuk mengembalikan fungsi otot dan alat geraknya yang sementara ini masih lumpuh akibat dislokasi dan fraktur tulang kaki. “Welcome home, Jun.” Mei berkata sambil mendorong kursi roda Juna memasuki rumah mereka yang luas. Bersamaan dengan itu suara terompet yang ditiup beramai-ramai oleh para pekerja rumah saling bersahutan seperti suasana tahun baru, menyambut sang tuan yang telah kembali pulang. “Selamat datang, Mas Juna ...!” Teriak mereka semua sambil bertepuk tangan meriah. Senyum hangat mewarnai wajah mereka, menatap haru dan rindu kepada sang majikan. “Semoga lekas sembuh ya, Mas Juna, kami semua siap melayani Anda,” ucap seorang kepala pelayan sambil memberikan sebuah karangan bunga. Juna tersenyum menerimanya. “Siap melayani Anda, udah kayak polisi aja lu pada,” selorohnya, kemudian Juna m
Juna terbangun di tengah malam karena merasakan tekanan di kandung kemihnya alias kebelet pipis. Pria itu menggigit bibir sambil menggeser kakinya yang berat dan kaku dengan susah payah, menahan linu dan nyeri yang merambat. Juna menggunakan otot tangan untuk menumpu tubuhnya. Dia lelaki, tubuhnya gagah atletis, tangannya berotot, pantang takluk oleh kondisi. Pelan-pelan Juna bergerak, sehati-hati mungkin agar tak membangunkan Mei yang sedang terlelap. Juna menghela napas lega karena berhasil menapakkan kakinya ke lantai. Tangannya kemudian menggapai kursi roda. Ditariknya pelan-pelan. Inilah bagian yang tersulit, memindahkan bokongnya ke kursi roda. Sial! Juna melirik Mei, tangannya terulur ingin membangunkan dan minta bantuan. Namun, tiba-tiba saja egonya memprovokasi, ‘Come on, Jun, you are a man!’ ‘I can do it.’ Juna membatin, meniupkan rasa optimis. Juna menggapai lagi kursi rodanya, dan mengangkat tubuhnya sebisa mungkin, sehati-hati mungkin, dan Juna tersenyum saat dia berhas
Mei mengajak Anna menemui Utomo. Kedua orang itupun lekas terlibat perbincangan yang akrab dan juga hangat. Anna tampak luwes dan percaya diri menghadapi Utomo, dan Utomo pun tampak menyayangi Anna. “Maaf, saya tinggal sebentar, saya mau menemui dulu terapis Juna.” Mei berpamitan, memberi kesempatan Utomo dan Anna berbincang hangat. Lalu menuju tempat Juna menjalani terapi fisiknya bersama sang terapis. Mei bersedekap memandangi Juna yang sedang gigih menjalani terapi fisiknya. Dia bisa melihat tekad yang luar biasa dalam diri Juna untuk sembuh. Tekad yang dibungkus ego yang tak kalah tingginya, hingga Juna menganggap perhatian Mei kepadanya sebagai rasa kasihan, dan Juna jenis pria yang pantang dikasihani, terutama oleh Mei, padahal Mei istrinya sendiri. “Bagaimana kemajuannya, Pak?” tanya Mei kepada terapis saat sesi terapi Juna sudah selesai. “Sangat bagus, Bu. Saya lihat ini hasil rontgent tulangnya juga jadi semakin baik. Semangat, Pak Juna! Oya, apa masih ada keluhan linu di
Seharian ini Mei disibukkan dengan kegiatan yayasan Pelita Bangsa. Sebagai ketua umum, Mei harus sanggup menjalankan visi dan misi yayasan sesuai anggaran dasar. Sudah menjadi tugasnya mengkoordinasikan program kerja yayasan baik perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, maupun pertanggungjawaban. Mei juga mendelegasikan pengurus harian untuk melakukan hubungan dengan pihak-pihak di luar yayasan, terkait pengganti program beasiswa atlet daerah yang sempat bermasalah beberapa waktu lalu. Kemudian mendengarkan laporan dari mereka dan mendiskusikan beberapa kendala dan masalah. Kesibukan membuat Mei melupakan jadwal makan siang, dia bahkan lupa menelepon Juna dan menanyai kabarnya. Mei buru-buru menelepon begitu teringat suaminya, tetapi sepertinya Juna sedang menerima telepon lain sehingga telepon dari Mei tak juga tersambung. “Kayaknya elu lagi euforia bisa balik ngantor lagi, Jun, makanya semua kerjaan mau elu embat. Dari tadi ditelepon sibuk melulu,” gumam Mei sambil beralih menelepon Mary
Mei meletakkan Cinta di box tidurnya secara perlahan setelah selesai mengganti diapers untuk bayi cantiknya yang menggemaskan itu, kini anak keduanya itu sudah berusia 3 bulan. Juna menepuk-nepuk lembut pipi puterinya. “Selamat bobok, cintanya mami dan papi,” bisiknya dengan hati berbunga-bunga. Setelah memastikan Cinta tidur nyaman, Juna menoleh kepada Mei yang sedang memerah ASI. Air susu Mei melimpah ruah, sampai-sampai Mei membeli kulkas baru khusus untuk menyimpan stok ASI bagi sang buah hati. Mei bertekad akan memberi Cinta ASI eksklusif selama 6 bulan, sama seperti Vi dulu. “Masih lama, Mi?” Juna manyun memerhatikan Mei sibuk dengan alat perahnya. “Bantuin sini, malah bengong! Biar cepat beres ini,” omel Mei. Juna pun nyengir dan membantu Mei menuliskan tanggal hari ini di setiap label botol ASI itu, kemudian memasukkannya ke dalam kulkas yang ada di dalam kamar mereka. Sementara Mei membereskan alat-alat pemerah ASI, mencuci, mengelap, dan menyimpan kembali dengan rapi. “S
“Mami, bangun! Ini sudah jam berapa?” Juna menarik selimut Mei, menepuk-nepuk istrinya yang malah lebih erat lagi memeluk guling. Juna geleng-geleng kepala. Sepertinya Mei bangun kesiangan lagi, padahal biasanya Mei itu morning person. Istrinya itu sigap melayani apa saja kebutuhannya dan juga Vi. Rajin mempersiapkan keberangkatan Juna ke kantor, dan juga mempersiapkan sendiri box makanan untuk Vi. Tapi sudah seminggu ini, makanan untuk Vi diurus pegawainya. Demikian pula persiapan sarapan untuk mereka. Juna rindu sarapannya dipersiapkan sendiri oleh sang istri tercinta. “Banguun, ... Maemunah.” Juna menarik guling Mei, tapi kemudian Mei mengalungkan lengannya di leher Juna. Membuat Juna terkekeh dan menciumi wajah istrinya. “Jun, ngantuk banget gue loh. Masih kepingin bobok.” Juna pun mengecupi pipi istrinya yang masih memejamkan mata. Mei kelihatan sangat mengantuk memang. Juna jadi tak tega menyuruhnya bangun dan menyelimutinya lagi. Juna mandi pagi dan berganti pakaian, memasa
Mei tersenyum puas usai melakukan rapat final dengan manager pengelola gedung Utomo Group. Mei menyabet tempat di lantai dasar gedung Utomo Group yang sebelumnya disewa oleh sebuah restoran franchise asing. Mei ingin menancapkan taring bisnisnya di gedung utama milik kakek suaminya sendiri.Juna pikir istrinya kian menggilai bisnis dan ingin semakin banyak mereguk laba berlipat-lipat. Namun Juna dibuat terkejut saat Mei memaparkan sesuatu kepadanya, bahwa Mei akan memberikan diskon khusus bagi para pegawai Utomo Group yang makan di restoran itu dalam jangka waktu selama mereka berstatus pegawai Utomo Group, yaitu diskon 90% bagi kalangan pegawai kelas bawah semisal security, OB, cleaning service, dan diskon 60% bagi kalangan staf biasa.“Biar apa gitu, Mei?”“Biar mereka merasa dihargai, dan mereka bisa pakai diskonannya buat kepentingan mereka yang lain, atau buat ditabung. Soalnya, Jun, ... gue pernah jadi pegawai rendahan kayak mereka, budget makan siang itu mehong dan berasa bange
“Mei, serius ... elu nggak kepengen ngadain resepsi buat pernikahan kita ini?” Juna diam-diam ingin mewujudkan pesta pernikahan impian yang ingin digelarnya secara mewah. Sebagai wujud kegembiraannya memenangkan hati Mei kembali.“Ogah. Kan udah gue bilang ogah. Berisik amat sig elu masih nanyain melulu, Jun?”Juna manyun. “Emang kenapa sih, Mei?” rengeknya sambil memeluk Mei dari belakang, sementara Mei sedang sibuk meracik bumbu untuk makan malam mereka nanti.“Buat apa elu buang-buang duit cuma buat menjamu para sosialita yang fake itu, heh? Gue ingat banget ya, pas gue lagi melarat gimana sikap mereka ke gue. Gue tuh kayak sampah tahu nggak di mata mereka. Anna dan teman-temannya itu! Papasan sama gue di mall kagak ada yang mau noleh barang seorang, padahal gue udah sapa duluan baek-baek,” oceh Mei sambil menggeprek lengkuas sekuat-kuatnya sampai penyet, seakan lengkuas itu adalah perwujudan Anna dan teman-temannya.Jantung Juna nyaris mencelat kaget mendengarnya. ‘Dih, serem juga
Mei dan Juna menginap di sebuah presidential suite. Di sinilah mereka pernah melewati malam pertama pada pernikahan mereka yang terdahulu. Pada malam rujuknya mereka kali ini, Mei dan Juna kembali memilih ruangan yang sama, ruangan yang menyimpan sejuta kenangan tentang mereka. Ruangan ini menjadi saksi bisu, bahwa ada rasa membara yang mengikat Mei dan Juna, sejak dulu sampai sekarang, tak pernah padam. Jika keduanya dulu merasa canggung saat memasuki ruangan ini dalam balutan gaun pengantin, sekarang tidak lagi. Begitu Juna menutup pintu hotel, dia langsung mengangkat tubuh istrinya itu ke ranjang, melucuti pakaian Mei dengan tak sabar. Sudah halal, bukan? Tangan Juna bergerak cepat menyingkirkan segala macam penghalang, dan matanya berbinar-binar begitu tubuh polos Meilani kini terpampang nyata. Mei ternyata masih tetap luar biasa dan semengagumkan dulu. “Bisa-bisanya Mei, elu udah jadi emak-emak tapi body masih mulus langsing singset kayak gini?” pujinya sambil membelai perut Mei
“Buset, ribet amat sih mau rujuk kebanyakan syarat administrasi! Nggak bisa nikah di KUA hari ini dong gue? Mau tuntasin ibadah nikah yang mulia kok ada-ada aja ya ujiannya?” oceh Juna saat menelepon Jonathan. “Ya udah, Jon, elu buruan daftarin dan urusin semua persyaratan rujuk buat gue dan Mei di KUA. Gue sama Mei nikah siri aja dulu hari ini! Biar cepat sah dan halal,” pungkasnya. Mei tertawa mendenngar ocehan Juna yang teramat ramai. “Beneran mau nikah hari ini? Ntar ajalah ... tanggung, nikah di KUA yang resmi sekalian, tunggu Jojon kelar beresin syarat administrasinya dulu, Jun.” “Eits, nggak bisa! Ibadah loh ini, Maemunah ...! Ibadah itu jangan ditunda-tunda. Jangan dengerin bujuk rayu setan buat nunda-nunda ibadah kita.” Mei terpingkal-pingkal. “Cih. Bisa aja nih orang modusnya, ... bilang aja udah nggak tahan pengen grepe-grepe gue!” cibirnya. Juna nyengir. “Itu kan ibadah juga, Mami sayang, ... yang membedakan kita sama kucing! Kucing mau kawin tinggal kawin, kalau kita
Mei buru-buru ke dapur, meneguk segelas air untuk membasahi kerongkongannya yang kering karena menahan gondok kepada Juna yang malah mengusilinya soal penggrebegan tadi. Wajah Mei jadi merah padam, bukan hanya karena marah pada keadaan. Tapi dia juga bingung bagaimana caranya menjelaskan ke Vincent? Tadi dia mengecek i*******m dan benar saja, kejadian tadi sudah tayang di I* TV milik Anna dan meraih banyak penonton. “Tuh, kan. Netizen malah belain kita dan kasih selamat sekalian. Orang-orang sekarang sudah tahu soal anak kita, Mei. Juga tentang kita yang sudah rujuk. Dahlah ... yuk, jadiin real aja?” Juna meletakkan ponsel setelah ikut mengecek dan membaca komentar yang berseliweran di I* itu. Juna kemudian merangkul Mei yang duduk menunduk di sofa sambil memegangi kepalanya yang pening. Juna memijiti pundak Mei hingga wanita itu terlihat sedikit nyaman. Mei menangis sambil mengatakan kalau dia takut Vincent marah, takut Vincent kecewa kepadanya. Mei juga meminta saran dan pendapat
“Gue kangen banget sama Vi, Mei. Please? Gue sekarang tahu kenapa gue langsung jatuh cinta sama Vi sejak awal ketemu dulu. Dan semakin ke sini gue semakin sering kangen sama dia. Ternyata itu yang namanya ikatan batin. Iya ‘kan? Elu sendiri tadi bilang, bakal beri gue ruang buat mencurahkan kasih sayang gue ke Vi?” Mei memutar bola mata. “Iya, tapi nggak gini juga keleus ..., lu lihat ini jam berapa sekarang? Jam 12 malam. Gila lu mau masuk-masuk kamar janda tengah malam gini.” Juna tertegun. Setelah pembicaraan seriusnya tadi, sekarang Mei dengan cepat kembali ke mode cablak. Juna garuk-garuk kepala. “Dih, cepat juga waktu berlalu ya, Mei?” “Ya iyalah, dodol. Situ aja nangisnya berapa jam sendiri?” “Njirr ..., jangan cerita ke siapa-siapa ya, Mei. Tengsin gue.” “Wani piro?” Lalu Mei terkekeh jahat. “Cih. Lu kayak John Wick aja, Mei!” seloroh Juna. Karena John Wick suka menantang imbalan Juna dengan dua kata yang sama itu, ‘wani piro’. “John Wick? Keanu Reeves?” Mei kebingunga
Juna merengkuh kedua tangan Mei. Tangan Mei terasa hangat dalam genggaman Juna yang dingin. “Mei ...,” panggil Juna seraya mengecup lembut punggung tangan wanita itu, “gue udah tahu semuanya, ... siapa sebenarnya Vi,” ucapnya begitu lirih. “Sorry ..., I’m too late.” Juna mendesahkan sejuta penyesalan. Juna berlutut di depan Mei seraya mendongak, mempertemukan tatapan mereka. “Mei ...,” panggilnya lagi, karena wanita itu tak jua bersuara sejak tadi. Mei membeku dalam kediaman panjangnya. “Gue sungguh-sungguh minta maaf. Mungkin permintaan maaf gue ini nggak sepadan dengan penderitaan yang sudah elu lewati seorang diri selama ini.” Juna mengetatkan genggamannya seiring pecutan sesal yang kian melecut-lecut dalam hatinya. Juna baru tahu dari Anjani ..., jika ternyata Mei dalam kondisi mengandung darah dagingnya saat Juna menceraikannya dulu. Saat Juna mengusirnya siang itu, meninggalkan rumahnya di bawah terik cahaya mentari yang membakar kulit, dengan berjalan kaki. Ya ..., berjalan ka