Juna mendorong pintu kamar hotel dan menutupnya kembali dengan cepat. Dan dengan sekali dorong, tubuh Mei sudah terpepet di dinding, dan Juna menciuminya dengan sepenuh dahaganya akan Mei seraya terengah-engah tak sabar, sambil melucuti pakaian Mei. “Ada yang menyabotase proyek pembangunan mall yang lagi gue garap, elu jangan kaget kalau dengar beritanya di TV, ya. Cerita yang sebenarnya nggak separah itu, kok. Gue bisa handle. Aah, gue butuh elu dulu, Mei. Make love sama elu emang obat paling ampuh buat gue sekarang. Help, Mei, elu paling tahu gimana caranya,” ceracau Juna disela-sela ciumannya. Mei mendongak menatap Juna, terpaku oleh kejujuran ekspresi pria itu. Juna tak pernah menutupi apapun dari Mei, tentang keresahan dan gundahnya, kerap dia tuangkan pada Mei, seperti seorang anak yang mengadu pada ibunya bahwa ada teman nakal yang tadi mengganggunya di sekolah. “Jangan cuma ngeliatin gue doang dong, Mei. Please ... do something to my body, ... I’m yours.” Juna menarik Mei me
Ketiadaan Juna membuat Mei enggan melakukan aktivitas paginya. Menu sarapan terasa hambar, kopi pun terasa lebih pahit dari biasanya. Padahal semuanya ini harus dibayar dengan harga yang sangat mahal. Namun Mei terpaksa melanggar pantangannya khusus hari ini, dia tak menghabiskan sarapan, menyia-nyiakan makanan sehingga harus dibuang. Mengabaikan fakta jika di belahan bumi lain masih banyak orang-orang yang kelaparan dan butuh makan. Tetapi mau bagaimana lagi, gairahnya meredup, hanya karena ketiadaan Juna di sisinya sepagi ini. Diam-diam kini Mei menyadari, Juna sudah menjadi bagian hidupnya yang paling penting, sulit dipisahkan dari dirinya lagi.“Elu di mana sih, Jun? Tumben nggak ngabarin gue?” Mei melempar ponselnya ke bantal karena tak menemukan sedikitpun pesan maupun telepon Juna untuknya. Dia ingin menelepon Jonathan, tetapi diurungkannya niat itu.“Juna pasti punya alasan, dia juga pernah lupa pulang gara-gara lembur di kantor sampai lupa waktu,” ucap Mei pada dirinya sendir
Ivan termangu memandangi amplop coklat yang disodorkan Aden. “Apa ini, Den?” tanyanya bingung. “Buka aja. Buat elu.” Aden mengedikkan kepala. Ivan menurut, membuka amplop cokelat itu dan mengecek isinya, lalu mendelik kaget. Ivan memandangi Aden dengan bola matanya yang masih membesar, bingung, heran, sekaligus takjub melihat segepok uang ratusan ribu sebanyak itu di tangannya, buat dirinya! “Apa maksudnya ini, Den?” Aden tersenyum dengan sorot rahasia yang membuat Ivan penasaran, sebab ‘tak ada makan siang yang gratis.’ Ivan menutup amplop itu dan menyorongkannya kembali kepada Aden. “Sorry, Den, jangan minta gue melakukan hal aneh-aneh semacam jadi kurir narkoba misalnya.” Aden terpingkal-pingkal. “Segitunya elu buruk sangka ke gue, Van! Ya nggaklah, anjir ... kurir narkoba, kepikiran aja lu sampai ke situ, Van? Kebanyakan nonton acara patroli lu, ah! Kayak emak-emak aja.” “Terus, apa ini?” “Hasil penjualan foto Kakak elu.” Aden tersenyum seraya menatap Ivan lurus-lurus. “Fo
“Mbak, ayolah ..., Mbak Mei harus makan. Sejak kemarin Mbak Mei belum makan,” bujuk Maryam seraya memandang sedih bosnya yang sedang dirundung duka. “Gimana gue bisa makan, Mar. Juna juga belum makan, dia nggak bisa makan, dia ... dia__” Mei menangis lagi untuk ke sekian kalinya. Matanya sembab dan lingkar matanya terlihat bengkak karena kebanyakan menangis. Maryam nyaris putus asa membujuk Mei. Padahal Maryam juga ingin menangis. Menjerit. Memekik. Tak tega melihat Jonathan juga terbaring lemah di dalam kamar ICU. Bahkan kondisi Jonathan jauh lebih parah daripada Juna. Namun lebih malang lagi sopir mereka, Pak Karman, yang meninggal di tempat akibat kecelakaan itu. Meninggalkan istrinya yang kini menjadi janda dan tiga anak yang masih berusia sekolah. Tetapi Maryam yakin bos mereka pasti akan menjamin hidup ketiga anak Pak Karman dengan beasiswa dan menyantuni keluarga Pak Karman setiap bulan. Maryam merahasiakan hasil investigasi kecelakaan kemarin dari Mei, bahwa ada yang telah
Di sebuah ruang kantor Direktur rumah sakit tempat Juna di rawat, Utomo tengah berbincang dengan dokter Joe. “Setelah sekian lama tak berjumpa, kita harus kembali bertemu lagi dalam kondisi seperti ini, Dok. Kondisi yang mengguncang traumatis saya sebenarnya,” keluh Utomo kepada dokter Joe, yang pernah merawat Sekar saat kecelakaan dulu, dan kini dokter Joe pula yang langsung menangani Juna, putera dari mantan pasiennya itu. Utomo tak ingin cucunya ditangani dokter bedah lain selama masih ada dokter Joe, dokter terbaik di bidangnya, yang sekarang telah menjabat sebagai Direktur rumah sakit ini . “Kondisi Juna tak seburuk Sekar, Pak Tomo. Beruntung dia tak mengalami cedera yang parah di bagian kepala maupun organ vital lainnya. Tetapi memang butuh waktu relatif lama untuk pemulihan tulangnya yang retak dan mengalami dislokasi.” “Tapi, ... cucu saya tidak akan mengalami cacat permanen kan, Dok? Lumpuh, misalnya?” Utomo memberanikan diri menanyakan hal yang sebenarnya sangat takut dia
Entahlah. Mei sendiri tak tahu kenapa bibit ketidaksukannya kepada Anjani mudah sekali bertumbuh di hatinya. Mungkin karena tahu jika wanita ini pernah tidur dengan Juna, sementara itu di depan Opa Tomo Anjani selalu menyebut Juna sebagai adik. Bah! Kakak perempuan macam apa yang meniduri adik lelakinya sendiri? Mei membiarkan Anjani di sini karena Opa Tomo, jika tidak Mei ingin sekali menendangnya keluar. Mei tidak suka melihat cara Anjani memandangi Juna yang tengah terbaring di dalam ruangan khusus yang dibatasi dengan kaca, Juna jadi seperti ikan yang berada di dalam akuarium yang hanya bisa dipandangi tanpa bisa disentuh. Perasaan Mei dikuasai cemburu. Kesal mendapat kunjungan dari mantan-mantan Juna, kemarin Raya dan sekarang Anjani. ‘Awas aja, Jun, pas elu udah sehat nanti gue bakal bikin perhitungan sama elu, bakal gue kelitikin sampai elu ampun-ampunan. Senang lu ya, masih sering ditengokin mantan?' Uh! Mei ingin sekali memukuli Juna dengan guling sekarang juga, lalu mende
Mei tersenyum menerima begitu banyak perhatian untuk Juna, berupa buket bunga dan ucapan dukungan yang dikirimkan ke ruang perawatan Juna dari kalangan sesama pengusaha, teman-teman SMA, dan juga teman-teman sosialita Mei dan Juna. Meskipun Mei membatasi akses tamu yang ingin membesuk Juna, tetapi tak menghentikan aliran dukungan mereka kepada Juna. Teman-teman bergantian menelepon Mei. Salah satunya Anna yang turut menyampaikan simpati dan dukungannya untuk Juna dan juga Mei. “Yang kuat ya, Mei. You’re not alone, elu punya kita semua. Jangan diambil hati omongan para netizen, mereka nggak tahu kejadian yang sebenarnya. Tapi kita semua tahu kok elu dan Juna kayak gimana. Elu fokus aja dengan pemulihan Juna. Elu juga jaga kesehatan ya, Mei?” “Thank you, An.” “My pleasure, beib.” Setelah menerima telepon dari Anna, Mei menyeduh kopi paginya. Mei sedang meletakkan kopi yang baru saja diseduhnya ke atas meja kala Maryam mendatanginya. “Mbak Mei,” panggil Maryam dengan wajah lelahnya
Utomo menelepon dan mengucapkan belasungkawa kepada Mei begitu Maryam mengabarkan kematian Danu. “Mei, dampingi dulu saja tantemu. Bagaimanapun, dia tetap keluargamu. Tantemu membutuhkan dukunganmu saat ini.” “Opa. Tapi. Bagaimana dengan Juna? Ada perkembangan apa hari ini? Jujur, saya berat meninggalkannya.” And I miss him so much. I miss my hubby. Lanjut Mei dalam hati. “Ada aku, Mei. Aku tak akan membiarkan siapapun menyakiti cucuku. Percayalah padaku.” Utomo meyakinkan Mei. Mei menghela napas berat. “Baik, Opa.” Mei menutup sambungan teleponnya dengan Utomo. Dan mengurusi tantenya yang berduka. Selesai pemakaman, Mei istirahat dalam ruangan yang dulu pernah menjadi kamarnya semasa belum menikah dengan Juna. Di kamar ini, dia kerap merasa kesepian dan ketakutan. Digempur kesedihan yang seperti tak berkesudahan. Sampai akhirnya Juna datang bagai pangeran berkuda putih yang menjemput Mei, membawanya angkat kaki jauh-jauh dari sini. “Mei,” panggil Tante Dilla di ambang pintu. M