Happy reading. Terima kasih atas segala bentuk dukungan dan vote-nya :)
“Eh. Kok Pak Jaya malah belok sih? Kita mau ke mall Central Park, loh, Pak. Tinggal lurus aja,” tegur Mei kepada sopirnya. Dan sopirnya menjawab jika tadi Maryam menyuruhnya agar lekas menuju sebuah hotel bintang lima di kawasan Sudirman. Mei menoleh kepada si asisten pribadinya, yang tak lain adalah Maryam. “Memangnya launching bukunya Soraya di hotel, bukannya di mall?” Maryam malah cengengesan mencurigakan. Dan melihat cengirannya itu Mei sudah bisa menebak pengkhianatan Maryam padanya yang entah sudah untuk ke berapa kalinya. “Ck! Elu lagi, elu lagi ... bikin ulah.” Mei memandangi Maryam sambil bersedekap. “Ya habis mau gimana lagi, Mbak? Tahu sendiri kalau si bos sudah menitahkan, saya mah bisa apa? Nanti saya deh yang mewakili Mbak Mei menemui Soraya, Mbak Mei urusin aja Mas Juna biar kita semuanya aman nggak ada yang kena omelannya si bos yang pedasnya nggak kalah heboh dari keripik Maicih level 25. Please, Mbak ...,” rengek Maryam sambil berkedip-kedip kepada Mei seperti ku
Juna mendorong pintu kamar hotel dan menutupnya kembali dengan cepat. Dan dengan sekali dorong, tubuh Mei sudah terpepet di dinding, dan Juna menciuminya dengan sepenuh dahaganya akan Mei seraya terengah-engah tak sabar, sambil melucuti pakaian Mei. “Ada yang menyabotase proyek pembangunan mall yang lagi gue garap, elu jangan kaget kalau dengar beritanya di TV, ya. Cerita yang sebenarnya nggak separah itu, kok. Gue bisa handle. Aah, gue butuh elu dulu, Mei. Make love sama elu emang obat paling ampuh buat gue sekarang. Help, Mei, elu paling tahu gimana caranya,” ceracau Juna disela-sela ciumannya. Mei mendongak menatap Juna, terpaku oleh kejujuran ekspresi pria itu. Juna tak pernah menutupi apapun dari Mei, tentang keresahan dan gundahnya, kerap dia tuangkan pada Mei, seperti seorang anak yang mengadu pada ibunya bahwa ada teman nakal yang tadi mengganggunya di sekolah. “Jangan cuma ngeliatin gue doang dong, Mei. Please ... do something to my body, ... I’m yours.” Juna menarik Mei me
Ketiadaan Juna membuat Mei enggan melakukan aktivitas paginya. Menu sarapan terasa hambar, kopi pun terasa lebih pahit dari biasanya. Padahal semuanya ini harus dibayar dengan harga yang sangat mahal. Namun Mei terpaksa melanggar pantangannya khusus hari ini, dia tak menghabiskan sarapan, menyia-nyiakan makanan sehingga harus dibuang. Mengabaikan fakta jika di belahan bumi lain masih banyak orang-orang yang kelaparan dan butuh makan. Tetapi mau bagaimana lagi, gairahnya meredup, hanya karena ketiadaan Juna di sisinya sepagi ini. Diam-diam kini Mei menyadari, Juna sudah menjadi bagian hidupnya yang paling penting, sulit dipisahkan dari dirinya lagi.“Elu di mana sih, Jun? Tumben nggak ngabarin gue?” Mei melempar ponselnya ke bantal karena tak menemukan sedikitpun pesan maupun telepon Juna untuknya. Dia ingin menelepon Jonathan, tetapi diurungkannya niat itu.“Juna pasti punya alasan, dia juga pernah lupa pulang gara-gara lembur di kantor sampai lupa waktu,” ucap Mei pada dirinya sendir
Ivan termangu memandangi amplop coklat yang disodorkan Aden. “Apa ini, Den?” tanyanya bingung. “Buka aja. Buat elu.” Aden mengedikkan kepala. Ivan menurut, membuka amplop cokelat itu dan mengecek isinya, lalu mendelik kaget. Ivan memandangi Aden dengan bola matanya yang masih membesar, bingung, heran, sekaligus takjub melihat segepok uang ratusan ribu sebanyak itu di tangannya, buat dirinya! “Apa maksudnya ini, Den?” Aden tersenyum dengan sorot rahasia yang membuat Ivan penasaran, sebab ‘tak ada makan siang yang gratis.’ Ivan menutup amplop itu dan menyorongkannya kembali kepada Aden. “Sorry, Den, jangan minta gue melakukan hal aneh-aneh semacam jadi kurir narkoba misalnya.” Aden terpingkal-pingkal. “Segitunya elu buruk sangka ke gue, Van! Ya nggaklah, anjir ... kurir narkoba, kepikiran aja lu sampai ke situ, Van? Kebanyakan nonton acara patroli lu, ah! Kayak emak-emak aja.” “Terus, apa ini?” “Hasil penjualan foto Kakak elu.” Aden tersenyum seraya menatap Ivan lurus-lurus. “Fo
“Mbak, ayolah ..., Mbak Mei harus makan. Sejak kemarin Mbak Mei belum makan,” bujuk Maryam seraya memandang sedih bosnya yang sedang dirundung duka. “Gimana gue bisa makan, Mar. Juna juga belum makan, dia nggak bisa makan, dia ... dia__” Mei menangis lagi untuk ke sekian kalinya. Matanya sembab dan lingkar matanya terlihat bengkak karena kebanyakan menangis. Maryam nyaris putus asa membujuk Mei. Padahal Maryam juga ingin menangis. Menjerit. Memekik. Tak tega melihat Jonathan juga terbaring lemah di dalam kamar ICU. Bahkan kondisi Jonathan jauh lebih parah daripada Juna. Namun lebih malang lagi sopir mereka, Pak Karman, yang meninggal di tempat akibat kecelakaan itu. Meninggalkan istrinya yang kini menjadi janda dan tiga anak yang masih berusia sekolah. Tetapi Maryam yakin bos mereka pasti akan menjamin hidup ketiga anak Pak Karman dengan beasiswa dan menyantuni keluarga Pak Karman setiap bulan. Maryam merahasiakan hasil investigasi kecelakaan kemarin dari Mei, bahwa ada yang telah
Di sebuah ruang kantor Direktur rumah sakit tempat Juna di rawat, Utomo tengah berbincang dengan dokter Joe. “Setelah sekian lama tak berjumpa, kita harus kembali bertemu lagi dalam kondisi seperti ini, Dok. Kondisi yang mengguncang traumatis saya sebenarnya,” keluh Utomo kepada dokter Joe, yang pernah merawat Sekar saat kecelakaan dulu, dan kini dokter Joe pula yang langsung menangani Juna, putera dari mantan pasiennya itu. Utomo tak ingin cucunya ditangani dokter bedah lain selama masih ada dokter Joe, dokter terbaik di bidangnya, yang sekarang telah menjabat sebagai Direktur rumah sakit ini . “Kondisi Juna tak seburuk Sekar, Pak Tomo. Beruntung dia tak mengalami cedera yang parah di bagian kepala maupun organ vital lainnya. Tetapi memang butuh waktu relatif lama untuk pemulihan tulangnya yang retak dan mengalami dislokasi.” “Tapi, ... cucu saya tidak akan mengalami cacat permanen kan, Dok? Lumpuh, misalnya?” Utomo memberanikan diri menanyakan hal yang sebenarnya sangat takut dia
Entahlah. Mei sendiri tak tahu kenapa bibit ketidaksukannya kepada Anjani mudah sekali bertumbuh di hatinya. Mungkin karena tahu jika wanita ini pernah tidur dengan Juna, sementara itu di depan Opa Tomo Anjani selalu menyebut Juna sebagai adik. Bah! Kakak perempuan macam apa yang meniduri adik lelakinya sendiri? Mei membiarkan Anjani di sini karena Opa Tomo, jika tidak Mei ingin sekali menendangnya keluar. Mei tidak suka melihat cara Anjani memandangi Juna yang tengah terbaring di dalam ruangan khusus yang dibatasi dengan kaca, Juna jadi seperti ikan yang berada di dalam akuarium yang hanya bisa dipandangi tanpa bisa disentuh. Perasaan Mei dikuasai cemburu. Kesal mendapat kunjungan dari mantan-mantan Juna, kemarin Raya dan sekarang Anjani. ‘Awas aja, Jun, pas elu udah sehat nanti gue bakal bikin perhitungan sama elu, bakal gue kelitikin sampai elu ampun-ampunan. Senang lu ya, masih sering ditengokin mantan?' Uh! Mei ingin sekali memukuli Juna dengan guling sekarang juga, lalu mende
Mei tersenyum menerima begitu banyak perhatian untuk Juna, berupa buket bunga dan ucapan dukungan yang dikirimkan ke ruang perawatan Juna dari kalangan sesama pengusaha, teman-teman SMA, dan juga teman-teman sosialita Mei dan Juna. Meskipun Mei membatasi akses tamu yang ingin membesuk Juna, tetapi tak menghentikan aliran dukungan mereka kepada Juna. Teman-teman bergantian menelepon Mei. Salah satunya Anna yang turut menyampaikan simpati dan dukungannya untuk Juna dan juga Mei. “Yang kuat ya, Mei. You’re not alone, elu punya kita semua. Jangan diambil hati omongan para netizen, mereka nggak tahu kejadian yang sebenarnya. Tapi kita semua tahu kok elu dan Juna kayak gimana. Elu fokus aja dengan pemulihan Juna. Elu juga jaga kesehatan ya, Mei?” “Thank you, An.” “My pleasure, beib.” Setelah menerima telepon dari Anna, Mei menyeduh kopi paginya. Mei sedang meletakkan kopi yang baru saja diseduhnya ke atas meja kala Maryam mendatanginya. “Mbak Mei,” panggil Maryam dengan wajah lelahnya
Mei meletakkan Cinta di box tidurnya secara perlahan setelah selesai mengganti diapers untuk bayi cantiknya yang menggemaskan itu, kini anak keduanya itu sudah berusia 3 bulan. Juna menepuk-nepuk lembut pipi puterinya. “Selamat bobok, cintanya mami dan papi,” bisiknya dengan hati berbunga-bunga. Setelah memastikan Cinta tidur nyaman, Juna menoleh kepada Mei yang sedang memerah ASI. Air susu Mei melimpah ruah, sampai-sampai Mei membeli kulkas baru khusus untuk menyimpan stok ASI bagi sang buah hati. Mei bertekad akan memberi Cinta ASI eksklusif selama 6 bulan, sama seperti Vi dulu. “Masih lama, Mi?” Juna manyun memerhatikan Mei sibuk dengan alat perahnya. “Bantuin sini, malah bengong! Biar cepat beres ini,” omel Mei. Juna pun nyengir dan membantu Mei menuliskan tanggal hari ini di setiap label botol ASI itu, kemudian memasukkannya ke dalam kulkas yang ada di dalam kamar mereka. Sementara Mei membereskan alat-alat pemerah ASI, mencuci, mengelap, dan menyimpan kembali dengan rapi. “S
“Mami, bangun! Ini sudah jam berapa?” Juna menarik selimut Mei, menepuk-nepuk istrinya yang malah lebih erat lagi memeluk guling. Juna geleng-geleng kepala. Sepertinya Mei bangun kesiangan lagi, padahal biasanya Mei itu morning person. Istrinya itu sigap melayani apa saja kebutuhannya dan juga Vi. Rajin mempersiapkan keberangkatan Juna ke kantor, dan juga mempersiapkan sendiri box makanan untuk Vi. Tapi sudah seminggu ini, makanan untuk Vi diurus pegawainya. Demikian pula persiapan sarapan untuk mereka. Juna rindu sarapannya dipersiapkan sendiri oleh sang istri tercinta. “Banguun, ... Maemunah.” Juna menarik guling Mei, tapi kemudian Mei mengalungkan lengannya di leher Juna. Membuat Juna terkekeh dan menciumi wajah istrinya. “Jun, ngantuk banget gue loh. Masih kepingin bobok.” Juna pun mengecupi pipi istrinya yang masih memejamkan mata. Mei kelihatan sangat mengantuk memang. Juna jadi tak tega menyuruhnya bangun dan menyelimutinya lagi. Juna mandi pagi dan berganti pakaian, memasa
Mei tersenyum puas usai melakukan rapat final dengan manager pengelola gedung Utomo Group. Mei menyabet tempat di lantai dasar gedung Utomo Group yang sebelumnya disewa oleh sebuah restoran franchise asing. Mei ingin menancapkan taring bisnisnya di gedung utama milik kakek suaminya sendiri.Juna pikir istrinya kian menggilai bisnis dan ingin semakin banyak mereguk laba berlipat-lipat. Namun Juna dibuat terkejut saat Mei memaparkan sesuatu kepadanya, bahwa Mei akan memberikan diskon khusus bagi para pegawai Utomo Group yang makan di restoran itu dalam jangka waktu selama mereka berstatus pegawai Utomo Group, yaitu diskon 90% bagi kalangan pegawai kelas bawah semisal security, OB, cleaning service, dan diskon 60% bagi kalangan staf biasa.“Biar apa gitu, Mei?”“Biar mereka merasa dihargai, dan mereka bisa pakai diskonannya buat kepentingan mereka yang lain, atau buat ditabung. Soalnya, Jun, ... gue pernah jadi pegawai rendahan kayak mereka, budget makan siang itu mehong dan berasa bange
“Mei, serius ... elu nggak kepengen ngadain resepsi buat pernikahan kita ini?” Juna diam-diam ingin mewujudkan pesta pernikahan impian yang ingin digelarnya secara mewah. Sebagai wujud kegembiraannya memenangkan hati Mei kembali.“Ogah. Kan udah gue bilang ogah. Berisik amat sig elu masih nanyain melulu, Jun?”Juna manyun. “Emang kenapa sih, Mei?” rengeknya sambil memeluk Mei dari belakang, sementara Mei sedang sibuk meracik bumbu untuk makan malam mereka nanti.“Buat apa elu buang-buang duit cuma buat menjamu para sosialita yang fake itu, heh? Gue ingat banget ya, pas gue lagi melarat gimana sikap mereka ke gue. Gue tuh kayak sampah tahu nggak di mata mereka. Anna dan teman-temannya itu! Papasan sama gue di mall kagak ada yang mau noleh barang seorang, padahal gue udah sapa duluan baek-baek,” oceh Mei sambil menggeprek lengkuas sekuat-kuatnya sampai penyet, seakan lengkuas itu adalah perwujudan Anna dan teman-temannya.Jantung Juna nyaris mencelat kaget mendengarnya. ‘Dih, serem juga
Mei dan Juna menginap di sebuah presidential suite. Di sinilah mereka pernah melewati malam pertama pada pernikahan mereka yang terdahulu. Pada malam rujuknya mereka kali ini, Mei dan Juna kembali memilih ruangan yang sama, ruangan yang menyimpan sejuta kenangan tentang mereka. Ruangan ini menjadi saksi bisu, bahwa ada rasa membara yang mengikat Mei dan Juna, sejak dulu sampai sekarang, tak pernah padam. Jika keduanya dulu merasa canggung saat memasuki ruangan ini dalam balutan gaun pengantin, sekarang tidak lagi. Begitu Juna menutup pintu hotel, dia langsung mengangkat tubuh istrinya itu ke ranjang, melucuti pakaian Mei dengan tak sabar. Sudah halal, bukan? Tangan Juna bergerak cepat menyingkirkan segala macam penghalang, dan matanya berbinar-binar begitu tubuh polos Meilani kini terpampang nyata. Mei ternyata masih tetap luar biasa dan semengagumkan dulu. “Bisa-bisanya Mei, elu udah jadi emak-emak tapi body masih mulus langsing singset kayak gini?” pujinya sambil membelai perut Mei
“Buset, ribet amat sih mau rujuk kebanyakan syarat administrasi! Nggak bisa nikah di KUA hari ini dong gue? Mau tuntasin ibadah nikah yang mulia kok ada-ada aja ya ujiannya?” oceh Juna saat menelepon Jonathan. “Ya udah, Jon, elu buruan daftarin dan urusin semua persyaratan rujuk buat gue dan Mei di KUA. Gue sama Mei nikah siri aja dulu hari ini! Biar cepat sah dan halal,” pungkasnya. Mei tertawa mendenngar ocehan Juna yang teramat ramai. “Beneran mau nikah hari ini? Ntar ajalah ... tanggung, nikah di KUA yang resmi sekalian, tunggu Jojon kelar beresin syarat administrasinya dulu, Jun.” “Eits, nggak bisa! Ibadah loh ini, Maemunah ...! Ibadah itu jangan ditunda-tunda. Jangan dengerin bujuk rayu setan buat nunda-nunda ibadah kita.” Mei terpingkal-pingkal. “Cih. Bisa aja nih orang modusnya, ... bilang aja udah nggak tahan pengen grepe-grepe gue!” cibirnya. Juna nyengir. “Itu kan ibadah juga, Mami sayang, ... yang membedakan kita sama kucing! Kucing mau kawin tinggal kawin, kalau kita
Mei buru-buru ke dapur, meneguk segelas air untuk membasahi kerongkongannya yang kering karena menahan gondok kepada Juna yang malah mengusilinya soal penggrebegan tadi. Wajah Mei jadi merah padam, bukan hanya karena marah pada keadaan. Tapi dia juga bingung bagaimana caranya menjelaskan ke Vincent? Tadi dia mengecek i*******m dan benar saja, kejadian tadi sudah tayang di I* TV milik Anna dan meraih banyak penonton. “Tuh, kan. Netizen malah belain kita dan kasih selamat sekalian. Orang-orang sekarang sudah tahu soal anak kita, Mei. Juga tentang kita yang sudah rujuk. Dahlah ... yuk, jadiin real aja?” Juna meletakkan ponsel setelah ikut mengecek dan membaca komentar yang berseliweran di I* itu. Juna kemudian merangkul Mei yang duduk menunduk di sofa sambil memegangi kepalanya yang pening. Juna memijiti pundak Mei hingga wanita itu terlihat sedikit nyaman. Mei menangis sambil mengatakan kalau dia takut Vincent marah, takut Vincent kecewa kepadanya. Mei juga meminta saran dan pendapat
“Gue kangen banget sama Vi, Mei. Please? Gue sekarang tahu kenapa gue langsung jatuh cinta sama Vi sejak awal ketemu dulu. Dan semakin ke sini gue semakin sering kangen sama dia. Ternyata itu yang namanya ikatan batin. Iya ‘kan? Elu sendiri tadi bilang, bakal beri gue ruang buat mencurahkan kasih sayang gue ke Vi?” Mei memutar bola mata. “Iya, tapi nggak gini juga keleus ..., lu lihat ini jam berapa sekarang? Jam 12 malam. Gila lu mau masuk-masuk kamar janda tengah malam gini.” Juna tertegun. Setelah pembicaraan seriusnya tadi, sekarang Mei dengan cepat kembali ke mode cablak. Juna garuk-garuk kepala. “Dih, cepat juga waktu berlalu ya, Mei?” “Ya iyalah, dodol. Situ aja nangisnya berapa jam sendiri?” “Njirr ..., jangan cerita ke siapa-siapa ya, Mei. Tengsin gue.” “Wani piro?” Lalu Mei terkekeh jahat. “Cih. Lu kayak John Wick aja, Mei!” seloroh Juna. Karena John Wick suka menantang imbalan Juna dengan dua kata yang sama itu, ‘wani piro’. “John Wick? Keanu Reeves?” Mei kebingunga
Juna merengkuh kedua tangan Mei. Tangan Mei terasa hangat dalam genggaman Juna yang dingin. “Mei ...,” panggil Juna seraya mengecup lembut punggung tangan wanita itu, “gue udah tahu semuanya, ... siapa sebenarnya Vi,” ucapnya begitu lirih. “Sorry ..., I’m too late.” Juna mendesahkan sejuta penyesalan. Juna berlutut di depan Mei seraya mendongak, mempertemukan tatapan mereka. “Mei ...,” panggilnya lagi, karena wanita itu tak jua bersuara sejak tadi. Mei membeku dalam kediaman panjangnya. “Gue sungguh-sungguh minta maaf. Mungkin permintaan maaf gue ini nggak sepadan dengan penderitaan yang sudah elu lewati seorang diri selama ini.” Juna mengetatkan genggamannya seiring pecutan sesal yang kian melecut-lecut dalam hatinya. Juna baru tahu dari Anjani ..., jika ternyata Mei dalam kondisi mengandung darah dagingnya saat Juna menceraikannya dulu. Saat Juna mengusirnya siang itu, meninggalkan rumahnya di bawah terik cahaya mentari yang membakar kulit, dengan berjalan kaki. Ya ..., berjalan ka