Kevin berenang beberapa putaran, sambil membuang pikirannya yang masih saja gelisah memikirkan Mei. ‘Apa dia baik-baik saja? Semoga Juna tak menyakitinya,’ pikirnya kalut. Kevin menyesal, harusnya dia pandai-pandai menjaga dirinya saat di dekat Mei agar tak tertangkap mata oleh Juna seperti semalam. Sebab dia tahu Juna seperti apa. ‘Elu jatuh cinta ke Mei ‘kan, Jun?’ desah Kevin dengan hati yang dirambati rasa berat. ‘Gue tahu, cepat atau lambat elu bakal jatuh cinta juga sama Mei.’ Kevin tersenyum kecut saat menyuarakan penilaiannya di dalam hati. Ya. Akhirnya kecurigaannya sejak dulu terbukti juga. Entah kenapa, Kevin sempat merasa jika Juna diam-diam sudah mulai tertarik kepada Mei sejak SMA, hanya saja pria itu tak menyadari karena pikirannya terobsesi pada Raya. “Mei itu lucu tahu, Kev, asyik buat digodain. Jarang-jarang ada cewek cakep tapi nggak ngerasa kalau dirinya cakep kayak Mei gitu. Emang sih kadang ngeselin, diam-diam ngajak gelut, tapi malah imut banget ya nggak sih k
Mei dan Juna pulang lebih dulu ke Jakarta malam itu juga dengan dua mobil yang berbeda, tanpa menunggu berakhirnya dulu acara reuni di esok hari. “Jon. Gimana kondisi Mei sekarang?” tanya Juna dalam perjalanan pulang. “Iyem bilang, Mei sudah lebih tenang, Bos. Sudah nggak nangis lagi.” “Apa dia terluka?” “Secara mental, iya. Masih syok.” Jonathan mengangguk-angguk seraya membuang tatapannya ke luar jendela yang diselimuti gelap karena sekarang jam 2 dini hari. ‘Pake nanya apa Mbak Mei terluka apa nggak, ya iyalah, Bambang ...,’ batin Jonathan sewot. Bosnya ini kalau tanya memang suka ngadi-ngadi. Kalau Anjani, mungkin sudah nggak kaget lagi, sudah tahan banting menghadapi monster peliharaan Juna sejak kecil, beda dengan Mei yang baru mengetahuinya. “Jon. Mulai besok, kasih pengumuman ke bagian dapur, sering-sering penuhi meja makan dengan menu ikan. Mei ternyata suka ikan.” “S-siap, Bos.” Jonathan mengangguk dan langsung menyampaikan pesan Juna itu lewat chat ke bagian dapur seka
“Ngapain lu cengar-cengir gitu, Jon? Lagi senang, lu?” tegur Maryam saat berpapasan dengan rekan kerjanya di teras samping. Maryam baru saja memarkir mobil. Jonathan bersul-siul seraya memutar-mutar sesuatu di tangannya. “Porche, dari Bos,” sahutnya sambil memainkan alis matanya naik-turun. Lalu memencet kunci remote di tangannya dan sebuah sedan silver menyala dan berkedip-kedip di garasi sana. Maryam terbelalak. “Ah, gila! Jojooon!” panggilnya dengan kepala berdenyut-denyut frustrasi, jiwa iri-dengkinya meronta-ronta melihat keberuntungan Jonathan, rekannya sesama asisten pribadi. Jonathan melambaikan tangan kepada Maryam seraya memasuki sedan mewah itu, menghidupkan mesin, lalu meninggalkan garasi. Sukses membuat Maryam cemberut. “Hmm padahal kan si bos lagi ‘kambuh’, biasanya bakal bikin orang-orang sekitarnya ketiban apes, tapi kok Jojon malah ketiban Porche sih? Ada apaan, ya?” guman Maryam sambil berpikir keras. Bosnya memang aneh, absurd, dan sulit ditebak. Baru juga Maryam
Juna terbahak-bahak melihat wajah Mei merona merah dan sepasang bola mata indahnya menyorotkan panik. Juna memegangi pergelangan tangan Mei kala wanita itu beringsut ingin menjauh. “Ssst. Mau ke mana? Sini aja, Maemunah. Gue nggak pengen elu pergi. Elu bilang nggak akan pergi selama gue nggak menginginkan elu pergi ‘kan?” Juna terkekeh seraya mengalungkan tangan dan kakinya ke tubuh Mei, memeluk Mei seperti sebuah guling ternyaman dalam hidupnya. Lalu Juna menciumi pipi Mei dengan ujung hidungnya yang mancung. “Maafin gue, Mei,” bisik Juna kemudian. “Elu pasti syok ngeliat gue seperti itu. Gue nggak pengen semarah itu, Mei, tapi gue lepas kontrol karena ...,” Juna menelan ludah, “gue nggak suka liat elu sedekat itu lagi sama Kevin,” akunya seraya membelai wajah Mei yang membisu. “Elu mau makan ikan hasil bakaran dia, tapi elu menolak hasil bakaran gue. Elu nggak adil, Mei. Itu kan sama-sama ikan. Sama-sama gurame. Sama-sama dibakar. Sama-sama dibumbui, malah bumbu ikan yang gue bawa
“Kurang ajar si Jojon, dia itu dendam sama elu apa gimana sih? Masa cuma latihan aja bikin elu sampai kayak gini? Nggak pakai hati tuh orang!” Mei mengomel panjang, menyalah-nyalahkan asisten pribadi suaminya, sebab Mei tak tahu kronologis sebenarnya. “Mei, nggak apa-apa, gue emang yang nyuruh dia buat pukul gue sekeras-kerasnya.” “Hah? Elu, gila?!” Juna mengerut disemprot Mei. Matanya berkedip-kedip takut membalas tatapan Mei yang mendelik galak kepadanya sambil terus mengoceh panjang, tetapi inti dari segala ocehan istrinya itu hanyalah bermuara pada kekhawatiran Mei terhadap dirinya, membuat Juna tersenyum, melayang-layang, tersanjung dan merasa disayang oleh orang yang dia sayang. Tapi Juna buru-buru menahan kala Mei mengambil ponsel Juna dan bilang ingin mengomeli Jonathan secara langsung. “Pinjam sini hape elu, soalnya hape gue kelar sehabis elu banting semalam,” ketus Mei. “Wait, Mei .., wait!” cegah Juna sedikit panik. Bisa-bisa nanti Jonathan keceplosan dan menceritakan s
Maryam menyodorkan benda pipih berwarna ungu metalik yang sangat cantik, pengganti ponsel Mei yang dibanting Juna malam kemarin. Maryam cerewet sekali menjelaskan betapa sulitnya dia mendapatkan smartpone limited edition dari sebuah brand ternama ini. “Mas Juna bilang pokoknya saya harus dapatkan seri yang ini, Mbak, lagi ngehits ini ... pokoknya yang terbaik menurut Mas Juna, buat Mbak Mei.” Mei tak menggubris. Mei tak peduli soal brand, tak peduli limited edition atau pasaran, yang dia pedulikan hanyalah alat komunikasinya dengan dunia luar ini akhirnya kembali. Mei memeriksanya. Senyumnya merekah melihat foto mesranya dengan Juna terpajang sebagai wallpaper. Tapi kemudian kening wanita itu mengerut karena tak menemukan nomor Om Danu. Apa Juna menghapusnya? Tetapi nomor Kevin masih ada. Lagi-lagi Mei mengerutkan kening. Dia tak akan heran jika Juna menghapus nomor Kevin, tetapi kenapa malah Om Danu? "Mar, Juna nggak pasang penyadap kan di hape gue? Jangan-jangan dia mau memata-m
Mei cuma bisa geleng-geleng kepala mendengar permohonan maaf asisten pribadinya. Tanpa diberi tahu Mei sudah tahu kalau Maryam tak sengaja. “Mbak, please ... jangan cerita-cerita ke bos ya? Bisa habis saya kena omel kalau si bos sampai tahu saya nyembur wajah kesayangan si bos. Bukan cuma kena omel, bisa-bisa saya juga kena SP! Bonus saya disunat, gaji tahun depan nggak dinaikin pula,” rengek Maryam harap-harap cemas. Diam-diam Mei tersipu dalam hati mendengar Maryam menyebut ‘wajah kesayangan si bos’. Wajah Mei? Wajahnya adalah kesayangan Juna? Kesayangan Juna. Ah, kenapa tiba-tiba jantungnya berdebar-debar hanya karena kalimat receh itu sih? “Kak Mei? Maaf, ini betulan Kak Mei, kan?” Mei dan Maryam menoleh dan mendongak berbarengan, menatap sosok pemuda yang menghampirinya. Lalu seorang pemuda lain berdiri mematung di belakangnya. “Ivan?” Mei berdiri dan memeluk Ivan, sepupunya. “Apa kabar, Van? Yuk sini, makan bareng sekalian, Kakak belum selesai kok makannya, sini-sini duduk.”
“Eh. Kok Pak Jaya malah belok sih? Kita mau ke mall Central Park, loh, Pak. Tinggal lurus aja,” tegur Mei kepada sopirnya. Dan sopirnya menjawab jika tadi Maryam menyuruhnya agar lekas menuju sebuah hotel bintang lima di kawasan Sudirman. Mei menoleh kepada si asisten pribadinya, yang tak lain adalah Maryam. “Memangnya launching bukunya Soraya di hotel, bukannya di mall?” Maryam malah cengengesan mencurigakan. Dan melihat cengirannya itu Mei sudah bisa menebak pengkhianatan Maryam padanya yang entah sudah untuk ke berapa kalinya. “Ck! Elu lagi, elu lagi ... bikin ulah.” Mei memandangi Maryam sambil bersedekap. “Ya habis mau gimana lagi, Mbak? Tahu sendiri kalau si bos sudah menitahkan, saya mah bisa apa? Nanti saya deh yang mewakili Mbak Mei menemui Soraya, Mbak Mei urusin aja Mas Juna biar kita semuanya aman nggak ada yang kena omelannya si bos yang pedasnya nggak kalah heboh dari keripik Maicih level 25. Please, Mbak ...,” rengek Maryam sambil berkedip-kedip kepada Mei seperti ku