Meilani. Cuma itu saja namanya. Singkat dan padat. Sesingkat dan sepadat jawabannya setiap kali Juna menanyakan sesuatu padanya semasa SMA dulu, “Mei ..., lihat Raya nggak?”
Gadis itu cuma menjawab, ‘ke kantin’ atau ‘nggak tahu’. Kadang malah menunjuk langsung arah keberadaan Raya tanpa menoleh sama sekali pada Juna, sedangkan tatapannya tetap terpaku pada buku yang dibacanya.
“Woi, gue ini lagi tanya ya, ... bukannya lagi mau minta sumbangan. Pelit amat sih lu kalau ngomong!” Juna mendengkus sambil berlalu pergi. Tapi Juna tak pernah kapok menanyai Mei tentang Raya, lagi dan lagi, sambil menyodorinya sebatang coklat, baru Mei menoleh dan tersenyum kepadanya. Setidaknya Mei bakal menjawab dengan jujur dan apa adanya meski irit kata, tak seperti teman-teman Raya lainnya, yang kerap menatapnya dengan sorot mata menghakimi dan mencemooh upaya pendekatannya. Padahal Raya yang Juna kejar-kejar, bukan mereka.
Brug!
“Makanya ..., lihat-lihat dong kalau jalan,” goda Juna suatu kali, sengaja mengerjai Mei yang sedang asyik membaca sambil berjalan menuju kantin. Juna sengaja menghadang jalannya secara tiba-tiba, dan Mei betulan menabraknya. Lalu gadis itu tergagap sambil buru-buru membungkuk, mengambil novelnya yang terjatuh.
“Eh. Sorry ...,” ucap gadis itu sambil melaluinya. Bikin Juna garuk-garuk kepala, heran menerima respons datar Meilani.
Ah. Mengusili Mei ternyata nggak seru!
Lalu Juna menemukan sepucuk kertas yang terlipat di lantai koridor. Dia yakin itu punya Mei, sepertinya tadi terjatuh dari bukunya. Juna pun iseng membaca puisi yang tertulis di sana,
‘Dear, K .... Kutulis namamu di atas pasir, tapi ombak menghapusnya. Lalu kutulis namamu di atas awan, namun angin meniupnya pergi. Maka ... kutulis namamu dalam hatiku saja, dan di sanalah namamu terpatri selamanya.’
"Ciee ..., dalem banget. Fall in love lu, Mei?" Juna nyengir sambil menoleh ke arah Mei yang sudah berjalan menjauh.
Juna berniat mengembalikan kertas itu, berlari-lari kecil di belakang Mei. Rupanya Mei menuju lapangan basket, bukan ke kantin. Mei bergabung dengan Raya and the geng yang asyik menonton Kevin lagi main. Tangan Juna mengepal cemburu mendapati Raya terus-terusan memberi sorakan dukungan buat Kevin, hingga kertas di tangannya ikut teremas.
“Kev!” panggilnya seraya berlari-lari ke tengah lapangan dan memungut bola yang sedang menggelinding ke arahnya. “Lawan gue!” katanya demi merebut perhatian Raya sang gebetan. Tentu saja Juna yang akhirnya memenangi pertandingan, sebab permainan basket sudah jadi makanannya sejak kecil. Beda dengan Kevin yang baru kenal bola basket kemarin sore. Cowok rumahan itu kan masih baru belajar gaul. Cuma ahli pegang stik PS, bukan ahlinya pegang bola basket.
Juna puas berhasil mengalahkan Kevin dengan telak, lalu nyengir pada Raya yang tersenyum cantik seraya bertepuk tangan untuknya. Saat itulah tanpa sengaja Juna menangkap ekspresi Mei yang sendu sambil menancapkan tatapannya dalam-dalam pada Kevin. Tapi saat Kevin balas menatapnya, gadis itu buru-buru membuang pandangannya ke arah lain. Dan hal itu terjadi berulang kali, membuat Juna tertawa geli. Aha! Dari sanalah Juna menebak, jika inisial K dalam puisi tadi itu tadi adalah nama Kevin. Rupanya, Mei naksir Kevin.
***
Raya tertawa lirih. “Ck. Norak banget sih mereka berdua. Please, deh,” gumamnya, kemudian meletakkan ponselnya ke atas nakas dan merebahkan tubuhnya yang lelah di ranjang hotel yang empuk.
Kevin ikut merebahkan diri di sebelah Raya. “Kenapa, sih?”
“Kamu buka aja group chat angkatan kita. Lagi pada heboh, bahas soal Juna sama Mei tadi. Ada yang share video pas mereka kissing tadi.”
Kevin menatap dan membelai-belai pipi Raya. “Memang sejak kapan mereka jadian? Selama ini Mei dan Juna nggak kelihatan kayak orang yang lagi punya hubungan?”
“Entahlah.” Raya mendesah. Ada gelenyar tak enak yang merambati perasaannya. Dia merasa dikhianati. Bukankah selama ini Juna cuma bucin padanya? Juna selalu mengemis cintanya. Bahkan pria itu masih gigih memintanya kembali saat Raya sudah bertunangan dengan Kevin.
"Ray, I love you so much ...,” ratap Juna malam itu, membuat bibir Raya terkatup rapat. Sebenarnya Juna pria yang baik. Kesalahan Juna hanyalah terlalu lengket padanya. Kelewat bucin. Sampai Raya risih. Tapi bucin pada Raya seperti sudah menjadi panggilan jiwanya. Sulit dicegah. Tak bisa diperbaiki karena itu bukan suatu kerusakan. Sayangnya, cowok bucin dan imut bukan tipe Raya. Dia suka cowok yang tampak dingin di luar, tapi sebenarnya hangat di dalam. Seperti Kevin.
Lalu. Sejak kapan tiba-tiba Mei memasuki hidup Juna? Dan kenapa harus Mei? Lagi-lagi Mei. Kenapa Mei selalu terlibat dengan lelaki yang menyukai Raya sih? Raya pikir cuma Kevin, tapi ternyata diam-diam temannya itu juga menyukai Juna? Wah, ... luar biasa!
“Loh. Gimana sih, tadi kan kamu ngasih buket bungamu itu ke Juna? Kupikir kamu memang sudah tahu tentang mereka.” Kevin terpancing penasaran.
Raya mendesah pelan. “Pas Juna foto bareng kita tadi, suddenly dia bilang mau melamar seseorang. And than, dia minta agar buket bungaku itu buat dia aja pada saat acara lempar bunga. Aku oke-oke ajalah. But, I didn’t know who that girl is. Ternyata ..., Mei.”
“Berarti selama ini mereka sengaja backstreet.” Kevin menyimpulkan.
Raya membuang napas. “But ..., why?” desahnya tak habis pikir Meilani sanggup menyembunyikan rahasia sepenting itu. ‘Tapi. Aku juga telah menyembunyikan hubunganku dengan Kevin darinya selama ini,’ pikir Raya sedikit merasa bersalah dan tak enak hati kepada teman dekatnya sendiri. Dia merasa seperti tukang tikung pacar orang saja.
“They have a reason,” sahut Kevin dengan seulas senyum, menutupi kecut dalam hatinya. Bukankah selama ini tatapan Meilani hanya untuknya? Perhatian yang diam-diam wanita itu sematkan, bisa Kevin rasakan dengan jelas. Rasanya tak mungkin jika semua perhatian Meilani padanya itu cuma halusinasi Kevin semata. Tidak. Kevin bisa melihat jelas sorot kagum dan pantulan cinta yang memenuhi tatapan Meilani setiap kali mata mereka bertemu. Tatapan seperti itu tak pernah Mei tunjukkan pada pria lain selain dirinya. Kevin yakin itu. Tapi sejak ciuman Mei dengan Juna tadi, serta merta membuat Kevin kehilangan keyakinannya selama ini.
Kevin tertawa lirih, menertawakan masa lalu yang tertinggal di belakangnya. Sudahlah. Sekarang dia sudah punya Raya, wanita yang sah menjadi istrinya. Sedangkan Meilani bukan siapa-siapa lagi baginya. Meskipun dalam hati Kevin yang terdalam mengakui, masih ada jejak kisahnya bersama Meilani yang belum sanggup dia hapus sampai detik ini.
Raya memalingkan wajah saat Kevin mulai mencium dan menyurukkan hidung ke ceruk lehernya, sambil menelusupkan tangan ke dalam branya yang berenda. Ah. Raya bukannya tak ingin, hanya saja sangat letih dan mengantuk. Dia kurang tidur karena sibuk dan juga cemas menjelang pernikahannya.
“Aku ngantuk, Kev.”
“Are you sure?” Kevin ganti berbisik tanpa menghentikan belaiannya ke sekujur tubuh Raya. Ini adalah malam pertama pernikahan mereka. Kevin tak akan menyerah hanya karena Raya bilang tidak. Kevin yakin, Raya pasti akan memberikannya.
“Kev ...,” desahan Raya beberapa menit kemudian membuat Kevin tersenyum puas. Reaksi Raya tepat seperti yang dia pikirkan. Lalu Kevin merunduk, mencium, dan melumat bibir Raya. Dan tiba-tiba kilasan ciuman pertamanya melintas begitu saja. Ciumannya dengan ... Meilani.
***
Mei berkedip-kedip takjub memandangi cincin bermata berlian dengan rangka platinum yang melingkari jari manisnya. Indah. Seindah perasaan yang melingkupi dirinya saat ini. Padahal Mei sadar jika pernikahan yang akan dijalaninya dengan Juna nanti didasari kepalsuan. Tapi setidaknya Juna tak memberikan cincin yang palsu padanya.Secara mengejutkan, esoknya Juna membawanya ke gerai Tiffany & Co setelah Mei mengangguk, menerima lamarannya dalam mobil. Dan Juna membelikan cincin indah ini untuknya. Padahal Mei tak keberatan dengan cincin sederhana yang sudah diberikan Juna sebelumnya.“Jangan, sebenarnya itu cincin pengasuh gue yang sudah lama meninggal. Gue menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Cincin itu biasanya gue pakai di kelingking setiap kali gue lagi cemas. Ide lamaran kemarin itu dadakan, gue nggak ada persiapan cincin buat elu. Jadi gue pakai cincin itu buat sementara.”“Jadi, kemarin itu elu lagi cemas? Makanya datang ke resepsi Raya memakai cincin itu?”“Begitulah,” aku Juna s
Mei baru saja memasuki kamar saat ponselnya berdering.“Halo, Jun?”“Udah sampai rumah, Mei?”Ada rasa hangat yang merambati perasaan Mei demi mendengar pertanyaan Juna. Sudah sangat lama tiada orang yang menanyakan hal sarat perhatian semacam itu padanya.“Baru aja sampai nih.”“Hah? Gila, baru aja sampai? Yang bener aja, Mei?”Mei tertawa renyah mendengar suara Juna yang ramai.“Apa gue bilang? Lu bisa sinting kalau nganterin gue pulang tadi. Nih buktinya, cuma dengar gue baru nyampe rumah jam segini aja lu udah gila, kan?”“Masa? Tapi kok lu nggak gila, Mei? Padahal tiap hari lu bolak-balik Jakarta-Depok?”“Belum aja.”Juna terbahak-bahak hingga Mei harus menjauhkan ponselnya dari telinga karena suara tawa Juna yang keras.“Pindah sini aja ke apartemen gue sebelum lu beneran gila, Mei!”“Kumpul kebo dong?”“Gue kan ganteng, dan lu cakep. Masa visual kayak kita dibilang kumpulan kebo sih?”Mei terkikik. Terhibur celotehan Juna.“Mei, video call, yuk?”“Nggak, ah.”“Napa? Insecure l
“Sudahlah. Terima saja lamaran Hans!” cecar Dilla setelah Hans pulang. “Tapi, Tan. Dia itu duda dan lebih pantas jadi ayah Mei. Lagipula Mei bukan jomlo. Ada pria yang sudah melamar Mei.” “Halah! Putusin aja. Pria itu nggak bakal sebanding dengan Hans yang jelas-jelas tajir melintir. Lagipula, apa gunanya menikahi pria itu kalau hanya akan menyeretnya jadi miskin?” “Maksud Tante?” “Ingat, Mei. Kau masih punya cicilan utang 1 milliar padaku. Kalau kau mau menikahinya, lunasi dulu semua sisa utangmu secara kontan! Baru kau boleh keluar dari rumah ini dengan calon suamimu itu!" “Tan. Tolong jangan seperti itu. Cukup Mei yang menanggung utang ini, jangan bawa-bawa calon suami Mei.” “Makanya! Justru Tante sedang memberimu solusi sekarang. Uang 1 miliar itu kecil saja bagi Hans. Jika kau menikah dengannya, dia pasti bakal memberimu lebih dari itu.” “Nggak mau, Tan!” Plak! Dilla membalas penolakan Mei itu dengan sebuah tamparan keras. Mei mengusapi pipinya yang terasa panas sambil
Juna rupanya sudah melakukan reservasi untuk makan siang mereka di sebuah restoran di sekitar Thamrin, tak begitu jauh dari gedung perkantoran tempat Mei bekerja. Mei jadi mengerutkan kening memikirkan ongkos makan siang yang mahal ini. Menu-menu di restoran ini tentu saja tak terjangkau kantongnya. Mei pernah sekali ke sini dulu, pada saat Raya merayakan ulang tahun dan mentraktirnya, sebelum teman dekatnya itu berangkat kuliah ke Amerika.“Jun, split bill? Atau elu yang traktir?” bisik Mei sebelum benar-benar mencapai tempat duduk mereka.“Pertanyaan lu nyinggung harga diri gue amat sih, Mei. Gue yang bayarlah gila. Masa bayar sendiri-sendiri, yang bener aja!”Mendengar pernyataan Juna membuat Mei akhirnya bisa bernapas lega.“Pesan gih yang paling mahal. Awas kalau pesan yang murah-murah, ntar dompet gue terhina.”Mei terkekeh. “Anjay ... sultan,” selorohnya sambil membolak-balik buku menu.“Dih. Beneran? Cuma segini doang yang lu pesen, Mei? Tambah lagi, gih!” Juna malah mengomel
Pada mulanya Mei justru sangat tidak menyukai Kevin. Cowok itu benar-benar dingin padanya. Padahal Mei sering berbaik-baik menyapa dan bersikap ramah. “Kev, ini buku elu jatuh,” katanya saat melihat sebuah komik meluncur dari meja Kevin lalu tergeletak di kaki kursi cowok itu. Mei memungut dan mengulurkannya pada si pemilik. Dan Kevin menyambarnya dengan cepat tanpa berterima kasih. Bahkan menoleh padanya saja tidak.“Lu punya utang yang belum dibayar ya ke dia?” seloroh Raya yang menjadi teman sebangkunya saat itu. Mei pun menggeleng lugu.Raya terkekeh pelan. “Perasaan tuh cowok sengak mulu deh sama lu, ada masalah apa sih kalian?” celetuk Raya membuat Mei kebingungan. Memangnya apa salah Mei?Lalu Mei teringat pada momen pertemuan tak sengaja antara dirinya dengan Kevin di TPU Tanah Kusir. Saat itu Mei ikut maminya berziarah ke sana. Di tengah rapalan doanya untuk mendiang sang nenek, Mei mendengar isak tangis yang mengganggu kekhusyukannya berdoa. Diapun menoleh ke sumber suara.
“Awas, Mei. Naksir Kevin tahu rasa lu!” Mei naksir Kevin? Hoho. Tak mungkin. Mei tak sudi naksir cowok sedingin kulkas itu. Pokoknya, no way! Hingga pada akhirnya, takdir mempertemukan keduanya dengan situasi dan kondisi yang tak pernah Mei bayangkan sebelumnya. Sore itu, Mei bolak-balik melirik Baby-G di pergelangan tangan, tapi jarum jam di sana tak bergerak jauh dari angka terakhir yang dilihatnya tadi. “Pak Pur lama amat sih,” keluhnya mulai lelah. Sudah hampir sejam dia menunggu, tapi mobil pribadi yang biasa mengantar-jemputnya tak kunjung tiba. Mei mendongak ke langit senja. Lalu duduk di teras ruko tempat lesnya. Semua teman-temannya sudah pulang. Dia gelisah sendirian. Kemudian menelepon maminya, “Mam? Kok Pak Pur tumben telat menjemput Mei?” “Duh. Memangnya papi belum bilangin Mei ya?” “Bilangin apa, Mam?” “Pak Pur sudah nggak bekerja lagi sama kita mulai hari ini, Sayang. Makanya, tadi papi yang anterin Mei sekolah dan ke tempat les.” “Loh. Kenapa, Mam?” Terdengar na
“Wah! Parah lu, Ray. Bikin kulit mulus cewek gue jadi merah kayak gini. Cubitan lu tuh sakit, tahu nggak?” tegur Juna sambil merengkuh pinggang Mei dan menarik wanita itu lebih rapat dengannya. Mei tercekat kaget, seketika lamunan tentang masa lalunya bersama Kevin buyar. “Kulitmu nggak sampai lecet kan, sweetheart?” Juna mengecek sekali lagi bekas cubitan Raya di lengan Mei. ‘Lebay!’ pikir Mei. Dia belum terbiasa menerima kemesraan seperti itu. Terlebih Juna melakukanya di depan orang lain dan orang itu adalah Kevin, mantan gebetannnya. Dan juga di depan Raya, mantan pacar Juna. Sedangkan Raya pun terperangah tak percaya. Seorang Juna yang pernah begitu bucin padanya, mendadak bisa sengak mengomelinya demi wanita lain? Meski wanita lain itu sekarang adalah pacar barunya, tapi tetap saja Raya merasa tersingkirkan setelah beberapa tahun dirinya sempat menjadi satu-satunya ratu yang bertahta di hati pria itu. “Eh. Elu ngomelin gue, Jun?” ketus Raya. “Ya iyalah, emang siapa lagi?
“Wait! Bukannya waktu itu lu masih nembak gue ngajakin balikan, Jun? Padahal lu tadi bilang udah jadian sama Mei saat itu?” cecar Raya seraya tertawa menang. “Ah. Lu kalau ngarang cerita yang make sense dong!” ketusnya sambil geleng-geleng kepala tak percaya. Juna baru menyadari plot hole dalam kebohongannya. Alangkah bodohnya dia karena dulu kerap mengemis cinta wanita itu. Membuat cerita tentang hubungan asmaranya dengan Mei kali ini menjadi janggal. “He’s right.” Mei tiba-tiba menyahut. “Kami memang udah jadian saat itu. Tapi belum terlalu serius seperti sekarang. Gue nggak keberatan kalau dia ninggalin gue buat cewek lain, selama cewek itu elu. Karena gue tahu, bagaimana Juna mencintai elu sejak dulu, Ray. Dia tulus dan betulan sayang sama elu,” lanjutnya. Pengakuan Mei membuat seisi meja terdiam. Juna lega karena Mei cepat tanggap memperbaiki alur kebohongannya tadi. Namun di sisi lain, Juna merasa tak enak karena Mei jusru merendahkan dirinya sendiri demi mengembalikan harga d