Mei berkedip-kedip takjub memandangi cincin bermata berlian dengan rangka platinum yang melingkari jari manisnya. Indah. Seindah perasaan yang melingkupi dirinya saat ini. Padahal Mei sadar jika pernikahan yang akan dijalaninya dengan Juna nanti didasari kepalsuan. Tapi setidaknya Juna tak memberikan cincin yang palsu padanya.
Secara mengejutkan, esoknya Juna membawanya ke gerai Tiffany & Co setelah Mei mengangguk, menerima lamarannya dalam mobil. Dan Juna membelikan cincin indah ini untuknya. Padahal Mei tak keberatan dengan cincin sederhana yang sudah diberikan Juna sebelumnya.
“Jangan, sebenarnya itu cincin pengasuh gue yang sudah lama meninggal. Gue menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Cincin itu biasanya gue pakai di kelingking setiap kali gue lagi cemas. Ide lamaran kemarin itu dadakan, gue nggak ada persiapan cincin buat elu. Jadi gue pakai cincin itu buat sementara.”
“Jadi, kemarin itu elu lagi cemas? Makanya datang ke resepsi Raya memakai cincin itu?”
“Begitulah,” aku Juna seraya tertawa lirih.
“Tapi Jun, apa cincin ini nggak too much?” Mei memutar-mutar cincin Tiffany & Co yang ikonik di tangannya.
“Ck, jangan kayak orang susah ‘napa, Mei? Duit segitu doang mah nggak ada apa-apanya dibanding harga diri kita. Duit bisa dicari, harga diri nggak bisa dibeli.”
“Duit segitu doang lu kata? Serius ‘napa, Jun?”
Yang benar saja. Harga cincin ini bahkan jauh lebih mahal daripada gaji bulanan Mei!
“Ya seriuslah gila. Duit gue banyak. Apalah artinya beli cincin doang?”
Mei jadi keki. Juna santai sekali. Seakan dia cuma membicarakan uang sejuta-dua juta saja. Mei terdiam dan menoleh lebih lama kepada Juna yang begitu kasual saat menyetir.
“Napa liat-liat? Baru sadar ya kalau gue ternyata lebih ganteng dari si Kevin, gebetan lu itu?”
“Cih! Dasar narsis ...,” Mei membuang tatapannya sambil tertawa lirih. “Tetap aja lu kalah dari Kevin karena Raya lebih pilih dia. Berarti di mata Raya, Kevinlah yang lebih ganteng.”
Juna mendengkus. “Ck. Sialan!” lalu tertawa dan melirik Meilani. “No no no. Jangan dilepas! Never,” cegahnya begitu melihat Mei sedang memutar-mutar cincin mahal itu dan akan mengeluarkan dari jari manisnya.
“Tapi, Jun. Gue jadi takut pakainya,” kata Mei sambil menggigit bibirnya.
Juna membuang tatapannya menyingkir dari bibir Mei yang tiba-tiba saja mengubah irama jantungnya jadi tak biasa. ‘Jangan gigitin bibir kayak gitu bisa nggak sih, Mei ...,’ desahnya dalam hati, sambil tertawa lirih, menertawakan pikirannya yang mulai absurd tentang bibir itu.
Juna terkekeh. “Ngapain takut sih, memangnya cincinnya bakal gigit elu?” selorohnya.
“Soalnya__.” Mei urung menyelesaikan ucapannya dan menelan ludah. Lalu menggeleng pelan sambil tersenyum pahit. Lalu gadis itu tersentak kala menyadari sesuatu. “Eh, Jun ..., kan tadi gue bilang mau nebeng sampai perempatan Slipi aja? Kok malah bablas? Udah, stop ..., gue turun sini aja.” Mei menyesal keasyikan mengobrol.
“Apaan sih kok turun sini, gue anterin ajalah. Nanggung. Rumah lu di Puri, ‘kan?”
“Tahu dari mana?”
“Tahulah. Pas SMA gue kan sering main ke rumah Rio, tetangga elu. Dia teman basket gue. Tapi sejak dia pindah ke Jepang gue nggak pernah main ke sana lagi. Gue dulu sering lihat kok, lu suka jogging di sekitar komplek. Gue juga ngeliat lu kecebur parit gara-gara dikejar anjing ..., inget kan lu?” Juna terkikik teringat kejadian menggelikan itu, yang masih begitu membekas dalam memorinya.
Mei tersenyum kecut. Ya. Rumah Mei di sana, dalam sebuah komplek perumahan yang cukup elit. Tapi itu 10 tahun lalu. Sebelum dijual karena orangtuanya bangkrut dan meninggal. Meninggalkan utang begitu besar, yang membuat Mei harus membayarnya dengan kelelahan dan air mata sampai sekarang.
“Gue udah lama pindah, Jun.”
Juna terkejut dan merasa bodoh karena tak memastikan dulu lokasi rumah Mei, apa masih di sana atau tidak. “Eh, ... sorry ... sorry. Kalau gitu rumah lu sekarang di mana? Gue anterin.”
“Gue sekarang tinggal di Depok, Jun. Parah kalau ke sana pakai mobil jam-jam segini. Macetnya sinting, bisa bikin lu gila. Mending lu langsung balik aja. Biar bisa lekas istirahat.”
“Tapi, Mei__”
“Gue dah biasa naik kereta kok.”
***
Sebenarnya beban bagi Mei memiliki cincin semewah ini. Perhiasan yang Mei simpan di kamar sering hilang. Karena itulah Mei enggan membeli perhiasan atau barang berharga lainnya, kecuali sepasang anting yang selama ini melekat di telinganya. Mei tahu, pelakunya tak lain tante Dilla. Namun Mei memilih diam karena menghindari keributan dan pilih mengikhlaskannya saja. Tetapi dia harus menjaga cincin yang satu ini, bukan hanya karena harganya yang sangat mahal, tapi karena ini cincin pertunangannya. Mei bertekad tak akan pernah melepaskannya agar tak hilang.
Sejak orangtuanya bangkrut dan meninggal, Mei tinggal bersama tante Dilla, adik kandung ibunya. Tante Dilla sangat kasar, berbanding terbalik dengan ibu Mei yang lemah lembut dan penyayang. Membuat Mei banyak menangis saat awal-awal tinggal di rumah ini, karena sikap si tante yang tak ubahnya seperti ibu tiri. Bahkan si tante tak segan mengguyur wajahnya dengan segayung air kalau Mei telat bangun setiap pagi.
“Ma, jangan begitu kepada Mei. Kasihan. Dia kan keponakanmu sendiri. Dia bahkan yatim-piatu,” tegur Danu, suami Dilla.
Tapi Dilla berdalih, “Biar saja, Pa. Soalnya Mei itu biasa dimanja sama kak Dita mentang-mentang anak semata wayang. Aku hanya mendisiplinkannya, biar dia nggak manja tinggal di sini. Mulai sekarang dia harus terbiasa bangun pagi dan mengerjakan pekerjaan dapur dan rumah tangga. Biar dia sadar kalau bukan princess lagi sekarang.”
Dilla sebenarnya menyimpan iri, sebab dulu tak bisa memanjakan anak-anak mereka seperti Dita memanjakan Mei dengan kemewahan karena keterbatasan ekonomi. Meski Dita sangat baik dan kerap berbagi, namun Dilla telanjur iri terhadap kakaknya sendiri. Bahkan Dilla justru diam-diam senang saat Dita jatuh bangkrut, sedangkan perekonomian keluarganya gantian meroket.
‘Hmm ..., meskipun galak dan cerewet, ternyata jiwa sosialnya tinggi juga,’ pikir Danu saat Dilla bilang kepadanya ingin membiayai kuliah Mei sampai lulus, dan benar-benar membuktikannya.
Tanpa Danu ketahui ternyata Dilla mempunyai maksud tersembunyi. Begitu lulus kuliah dan mendapat pekerjaan, Dilla lekas memanggil Mei dan mengajaknya bicara empat mata. “Baguslah kau sudah bekerja sekarang. Nah, ini dia biaya yang harus kau ganti,” ujarnya seraya menyodorkan beberapa lembar catatan keuangan.
“Tan, ini ... a-apa maksudnya?” Mei gemetar melihat tabel rincian angka dalam jumlah sangat besar.
Tante Dilla bersedekap sambil mengedikkan dagunya. “Jangan pura-pura lupa. Kau bahkan sampai bersujud di kakiku dan berjanji akan membayarnya sampai lunas setelah punya penghasilan sendiri.”
“Ta-tapi ..., 1 milliar?”
Mei berkedip-kedip menelusuri angka demi angka yang tertera di kertas itu. Tantenya ini memang seorang renternir, orang-orang banyak yang meminjam uang darinya dengan bunga yang sangat tinggi. Tapi Mei tak menyangka jika si tante bakal bersikap sebagai seorang renternir juga kepadanya, keponakannya sendiri. Terlebih tante Dilla tahu buat apa Mei menggunakan uang itu dulu, yaitu untuk biaya pengobatan sang ibu yang tak lain kakak kandungnya sendiri!
“Tapi, Mei tak punya uang sebesar itu, Tan.”
“Tante nggak memintamu untuk mengembalikannya secara kontan. Tapi saat Tante butuh uangmu, kau harus menyediakannya.”
Mei menghela napas panjang. Merasa keberatan, tapi kepalanya dengan bodoh malah mengangguk.
“Bagus. Sekarang Tante butuh 30 juta. Tante beri waktu paling lama 2 minggu,” ucap Dilla sambil memeriksa catatan keuangannya. Dia butuh tambahan modal untuk memberi pinjaman orang-orang yang sedang mengantre utang padanya.
Mei memucat. “Dari mana Mei dapat uang sebanyak itu, Tan?”
“Cari pinjaman dong! Sekarang mengajukan pinjaman ke bank itu gampang prosesnya. Kau kan punya gaji buat bayar cicilan.”
“Ta-tapi__”
“Nggak ada tapi-tapian!”
Karena itulah, Mei harus bekerja keras seperti orang gila. Mengumpulkan uang demi melunasi utang 1 miliar pada si tante.
.
***
Mei baru saja memasuki kamar saat ponselnya berdering.“Halo, Jun?”“Udah sampai rumah, Mei?”Ada rasa hangat yang merambati perasaan Mei demi mendengar pertanyaan Juna. Sudah sangat lama tiada orang yang menanyakan hal sarat perhatian semacam itu padanya.“Baru aja sampai nih.”“Hah? Gila, baru aja sampai? Yang bener aja, Mei?”Mei tertawa renyah mendengar suara Juna yang ramai.“Apa gue bilang? Lu bisa sinting kalau nganterin gue pulang tadi. Nih buktinya, cuma dengar gue baru nyampe rumah jam segini aja lu udah gila, kan?”“Masa? Tapi kok lu nggak gila, Mei? Padahal tiap hari lu bolak-balik Jakarta-Depok?”“Belum aja.”Juna terbahak-bahak hingga Mei harus menjauhkan ponselnya dari telinga karena suara tawa Juna yang keras.“Pindah sini aja ke apartemen gue sebelum lu beneran gila, Mei!”“Kumpul kebo dong?”“Gue kan ganteng, dan lu cakep. Masa visual kayak kita dibilang kumpulan kebo sih?”Mei terkikik. Terhibur celotehan Juna.“Mei, video call, yuk?”“Nggak, ah.”“Napa? Insecure l
“Sudahlah. Terima saja lamaran Hans!” cecar Dilla setelah Hans pulang. “Tapi, Tan. Dia itu duda dan lebih pantas jadi ayah Mei. Lagipula Mei bukan jomlo. Ada pria yang sudah melamar Mei.” “Halah! Putusin aja. Pria itu nggak bakal sebanding dengan Hans yang jelas-jelas tajir melintir. Lagipula, apa gunanya menikahi pria itu kalau hanya akan menyeretnya jadi miskin?” “Maksud Tante?” “Ingat, Mei. Kau masih punya cicilan utang 1 milliar padaku. Kalau kau mau menikahinya, lunasi dulu semua sisa utangmu secara kontan! Baru kau boleh keluar dari rumah ini dengan calon suamimu itu!" “Tan. Tolong jangan seperti itu. Cukup Mei yang menanggung utang ini, jangan bawa-bawa calon suami Mei.” “Makanya! Justru Tante sedang memberimu solusi sekarang. Uang 1 miliar itu kecil saja bagi Hans. Jika kau menikah dengannya, dia pasti bakal memberimu lebih dari itu.” “Nggak mau, Tan!” Plak! Dilla membalas penolakan Mei itu dengan sebuah tamparan keras. Mei mengusapi pipinya yang terasa panas sambil
Juna rupanya sudah melakukan reservasi untuk makan siang mereka di sebuah restoran di sekitar Thamrin, tak begitu jauh dari gedung perkantoran tempat Mei bekerja. Mei jadi mengerutkan kening memikirkan ongkos makan siang yang mahal ini. Menu-menu di restoran ini tentu saja tak terjangkau kantongnya. Mei pernah sekali ke sini dulu, pada saat Raya merayakan ulang tahun dan mentraktirnya, sebelum teman dekatnya itu berangkat kuliah ke Amerika.“Jun, split bill? Atau elu yang traktir?” bisik Mei sebelum benar-benar mencapai tempat duduk mereka.“Pertanyaan lu nyinggung harga diri gue amat sih, Mei. Gue yang bayarlah gila. Masa bayar sendiri-sendiri, yang bener aja!”Mendengar pernyataan Juna membuat Mei akhirnya bisa bernapas lega.“Pesan gih yang paling mahal. Awas kalau pesan yang murah-murah, ntar dompet gue terhina.”Mei terkekeh. “Anjay ... sultan,” selorohnya sambil membolak-balik buku menu.“Dih. Beneran? Cuma segini doang yang lu pesen, Mei? Tambah lagi, gih!” Juna malah mengomel
Pada mulanya Mei justru sangat tidak menyukai Kevin. Cowok itu benar-benar dingin padanya. Padahal Mei sering berbaik-baik menyapa dan bersikap ramah. “Kev, ini buku elu jatuh,” katanya saat melihat sebuah komik meluncur dari meja Kevin lalu tergeletak di kaki kursi cowok itu. Mei memungut dan mengulurkannya pada si pemilik. Dan Kevin menyambarnya dengan cepat tanpa berterima kasih. Bahkan menoleh padanya saja tidak.“Lu punya utang yang belum dibayar ya ke dia?” seloroh Raya yang menjadi teman sebangkunya saat itu. Mei pun menggeleng lugu.Raya terkekeh pelan. “Perasaan tuh cowok sengak mulu deh sama lu, ada masalah apa sih kalian?” celetuk Raya membuat Mei kebingungan. Memangnya apa salah Mei?Lalu Mei teringat pada momen pertemuan tak sengaja antara dirinya dengan Kevin di TPU Tanah Kusir. Saat itu Mei ikut maminya berziarah ke sana. Di tengah rapalan doanya untuk mendiang sang nenek, Mei mendengar isak tangis yang mengganggu kekhusyukannya berdoa. Diapun menoleh ke sumber suara.
“Awas, Mei. Naksir Kevin tahu rasa lu!” Mei naksir Kevin? Hoho. Tak mungkin. Mei tak sudi naksir cowok sedingin kulkas itu. Pokoknya, no way! Hingga pada akhirnya, takdir mempertemukan keduanya dengan situasi dan kondisi yang tak pernah Mei bayangkan sebelumnya. Sore itu, Mei bolak-balik melirik Baby-G di pergelangan tangan, tapi jarum jam di sana tak bergerak jauh dari angka terakhir yang dilihatnya tadi. “Pak Pur lama amat sih,” keluhnya mulai lelah. Sudah hampir sejam dia menunggu, tapi mobil pribadi yang biasa mengantar-jemputnya tak kunjung tiba. Mei mendongak ke langit senja. Lalu duduk di teras ruko tempat lesnya. Semua teman-temannya sudah pulang. Dia gelisah sendirian. Kemudian menelepon maminya, “Mam? Kok Pak Pur tumben telat menjemput Mei?” “Duh. Memangnya papi belum bilangin Mei ya?” “Bilangin apa, Mam?” “Pak Pur sudah nggak bekerja lagi sama kita mulai hari ini, Sayang. Makanya, tadi papi yang anterin Mei sekolah dan ke tempat les.” “Loh. Kenapa, Mam?” Terdengar na
“Wah! Parah lu, Ray. Bikin kulit mulus cewek gue jadi merah kayak gini. Cubitan lu tuh sakit, tahu nggak?” tegur Juna sambil merengkuh pinggang Mei dan menarik wanita itu lebih rapat dengannya. Mei tercekat kaget, seketika lamunan tentang masa lalunya bersama Kevin buyar. “Kulitmu nggak sampai lecet kan, sweetheart?” Juna mengecek sekali lagi bekas cubitan Raya di lengan Mei. ‘Lebay!’ pikir Mei. Dia belum terbiasa menerima kemesraan seperti itu. Terlebih Juna melakukanya di depan orang lain dan orang itu adalah Kevin, mantan gebetannnya. Dan juga di depan Raya, mantan pacar Juna. Sedangkan Raya pun terperangah tak percaya. Seorang Juna yang pernah begitu bucin padanya, mendadak bisa sengak mengomelinya demi wanita lain? Meski wanita lain itu sekarang adalah pacar barunya, tapi tetap saja Raya merasa tersingkirkan setelah beberapa tahun dirinya sempat menjadi satu-satunya ratu yang bertahta di hati pria itu. “Eh. Elu ngomelin gue, Jun?” ketus Raya. “Ya iyalah, emang siapa lagi?
“Wait! Bukannya waktu itu lu masih nembak gue ngajakin balikan, Jun? Padahal lu tadi bilang udah jadian sama Mei saat itu?” cecar Raya seraya tertawa menang. “Ah. Lu kalau ngarang cerita yang make sense dong!” ketusnya sambil geleng-geleng kepala tak percaya. Juna baru menyadari plot hole dalam kebohongannya. Alangkah bodohnya dia karena dulu kerap mengemis cinta wanita itu. Membuat cerita tentang hubungan asmaranya dengan Mei kali ini menjadi janggal. “He’s right.” Mei tiba-tiba menyahut. “Kami memang udah jadian saat itu. Tapi belum terlalu serius seperti sekarang. Gue nggak keberatan kalau dia ninggalin gue buat cewek lain, selama cewek itu elu. Karena gue tahu, bagaimana Juna mencintai elu sejak dulu, Ray. Dia tulus dan betulan sayang sama elu,” lanjutnya. Pengakuan Mei membuat seisi meja terdiam. Juna lega karena Mei cepat tanggap memperbaiki alur kebohongannya tadi. Namun di sisi lain, Juna merasa tak enak karena Mei jusru merendahkan dirinya sendiri demi mengembalikan harga d
Mei terbangun jam 4 pagi seperti biasa. Dengan cepat dia mempersiapkan keberangkatannya ke kantor. Tapi Tante Dilla menghadang tepat di pintu kamar saat Mei baru kembali dari kamar mandi. “Semalam Hans menelepon, menanyakan kesiapanmu jadi asisten pribadinya. Dia mau menggajimu 20 juta, Mei. Itu penawaran yang sangat besar,” katanya sambil bersedekap. Bahkan si tante belum mencuci wajahnya, tapi sudah menggonggong saja sepagi ini. “Tan, Mei nggak nyaman dekat-dekat dengan om Hans. Apalagi sampai menjadi asisten pribadinya.” “Kau tidak akan pernah kaya dengan gajimu sekarang yang cuma 6 juta!” ‘Tentu saja, apalagi selama ini gaji itu selalu habis buat bayar cicilan KTA gara-gara Tante,’ ketus Mei dalam hati. “Bukankah yang penting cicilan 1 milliar ke Tante itu lunas? Soal Mei bakal kaya atau tidak, biar itu jadi tanggung jawab Mei.” “Oh! Sudah berani membantah kamu ya?” Dilla hampir melayangkan tangannya ke pipi Mei, untung saja Om Danu tiba-tiba muncul dan menahan tangan istrinya