Juna rupanya sudah melakukan reservasi untuk makan siang mereka di sebuah restoran di sekitar Thamrin, tak begitu jauh dari gedung perkantoran tempat Mei bekerja. Mei jadi mengerutkan kening memikirkan ongkos makan siang yang mahal ini. Menu-menu di restoran ini tentu saja tak terjangkau kantongnya. Mei pernah sekali ke sini dulu, pada saat Raya merayakan ulang tahun dan mentraktirnya, sebelum teman dekatnya itu berangkat kuliah ke Amerika.
“Jun, split bill? Atau elu yang traktir?” bisik Mei sebelum benar-benar mencapai tempat duduk mereka.
“Pertanyaan lu nyinggung harga diri gue amat sih, Mei. Gue yang bayarlah gila. Masa bayar sendiri-sendiri, yang bener aja!”
Mendengar pernyataan Juna membuat Mei akhirnya bisa bernapas lega.
“Pesan gih yang paling mahal. Awas kalau pesan yang murah-murah, ntar dompet gue terhina.”
Mei terkekeh. “Anjay ... sultan,” selorohnya sambil membolak-balik buku menu.
“Dih. Beneran? Cuma segini doang yang lu pesen, Mei? Tambah lagi, gih!” Juna malah mengomel begitu pesanan Mei sudah terhidang di meja.
“Lu kata perut gue gentong apa ..., bisa muat makanan sebanyak perut elu?”
“Biar lu sehat, Mei. Makan yang banyak gih, udahlah … lupain soal diet kalau lagi sama gue. Jangan jaim.”
“Dih. Siapa yang diet? Lagian, lu tadi kan nyuruh gue pesan yang paling mahal, bukannya pesan yang banyak.”
“Ettdahh. Pesan yang paling mahal dan juga banyak dong, Mei. Biar ngurangin beban dompet gue yang suka bawa duit kebanyakan ini.”
Mei tertawa dan mengangguk-angguk saja saat lelaki itu membaca buku menu sambil menyebutkan beberapa makanan untuk tambahan pesanan mereka.
Keduanya menikmati makan siang mewah itu dalam keheningan. Lidah Mei menggelinjang nikmat karena kelezatannya memang semantap itu. Sudah lama Mei tak memanjakan lidahnya dengan makanan mahal yang juga lezat karena dia harus menghemat setiap rupiah uangnya. Demi melunasi tagihan cicilan bank setiap bulan, pinjaman untuk membayar utang ke tantenya yang serakah.
“Enak ya, Mei? Sampai lu speechless gitu?”
Juna tersenyum menatap Mei. Dia tahu, Mei memang pendiam sejak dulu. Namun matanya selalu dipenuhi kegembiraan. Sekarang Mei lebih banyak bicara, tetapi Juna mulai menyadari perbedaan sorot matanya yang jarang berbinar ceria seperti dulu. Entah kenapa, Juna ingin sekali mengembalikan kegembiraan Mei seperti dulu. Mei yang dikenalnya semasa SMA. Mei yang lugu, yang manja. Dan yang tulus meladeni kebawelan Juna.
Saat pesanan berikutnya datang, Juna buru-buru mengambil alih steak pesanannya dari tangan si pramusaji, kemudian mengirisnya menjadi potongan-potongan kecil. "Selamat menikmati, my princess ...,” ucapnya seraya menyodorkan ke hadapan Mei.
Mei tercekat mendengar Juna mengatakan kalimat yang sering diucapkan mendiang maminya dulu untuknya.
“Eh. Malah bengong, dimakanlah woi. Mau gue suapin sekalian?” tegur Juna. Kemudian pria itu terkekeh melihat Mei jadi salah tingkah.
Iseng, Juna pun menusuk sepotong daging dan benar-benar menyuapi Mei. “Haa, buka mulut yang lebar, haaa gitu.”
“Dih. Apaan sih lu?” omel Mei sambil menggelengkan kepala.
Tapi Juna tetap memaksa sampai Mei terpaksa membuka mulut. Dan Juna langsung memasukkan potongan daging itu ke dalam mulut Mei yang baru terbuka sedikit, membuat bibir Mei belepotan saus. Juna pun segera mengusapi saus di sekitar bibir Mei dengan ibu jarinya.
Dan pemandangan itupun tertangkap Kevin yang baru melangkahkan kakinya ke dalam restoran bersama Raya. Pengantin baru itupun tertegun melihat keberadaan Mei dan Juna di sana.
Mei terbatuk-batuk kecil kala tatapannya tiba-tiba saja bertabrakan dengan sepasang mata elang Kevin, yang tengah berjalan ke arah mejanya sambil menggandeng Raya.
“Halo, Mei? Jun? Kalian juga lunch di sini?” Raya menyapa lebih dulu.
Mei berdiri, menyambut pelukan hangat si bestie. Sedangkan Juna dan Kevin berjabat tangan sambil berbasa-basi ramah, meski dalam hati mereka diam-diam saling menyimpan cemburu.
“Ciyee. Pengantin baru apa kabar?” bisik Mei memaksakan segaris senyum cerahnya, menyembunyikan desir cemburu dalam hatinya seraya cipika-cipiki dengan Raya.
Raya tertawa sambil mencubit kecil lengan Mei.
“Rasain, makanya jangan usil!” Raya terkekeh dan menjulurkan lidah saat Mei mengaduh kesakitan.
“What’s going on, Mei?” Juna yang tengah bercakap-cakap dengan Kevin lekas menoleh cepat mendengar Mei mengaduh tadi.
“Eh, nothing kok,” sahut Mei sambil tersenyum canggung. Cubitan si bestie memang sakit, tapi tak ada apa-apanya dibandingkan sakitnya melihat Raya yang bergelayut manja kepada Kevin, lelaki yang sangat berarti di hatinya. Kemesraan mereka jauh lebih mencubit perasaan Mei yang terasa diremas habis.
Sementara itu, Juna telanjur melihat Mei mengusapi lengannya yang tadi dicubit Raya. Kulitnya yang putih cerah membuat bekas cubitan Raya meninggalkan jejak kemerahan di lengannya.
Juna pernah pacaran dengan Raya, dia tahu wanita itu punya kebiasaan buruk kalau sedang gemas, apalagi kalau bukan mencubit orang seenak jidatnya. ‘Pasti sakit, gue aja kelojotan pas dicubit Raya,’ pikirnya merasa kasihan kepada Mei.
Juna jadi dongkol dan buru-buru mengusapi bekas cubitan Raya. “Is it hurt, Mei? Pasti sakit, kan?”
bisiknya begitu lembut seraya mengamati wajah Mei lekat-lekat. Membuat wanita itu salah tingkah dipandangi Juna sedemikian rupa.Saat Mei tak sengaja membuang tatapannya dari Juna, matanya justru bertabrakan dengan sepasang manik gelap Kevin yang juga tangah memandanginya. Dan jenis tatapan pria itu, masih persis sama seperti tatapannya yang dulu. Tatapan yang pernah memantik ciuman panas mereka yang tak terlupakan di masa lalu.
***
Pada mulanya Mei justru sangat tidak menyukai Kevin. Cowok itu benar-benar dingin padanya. Padahal Mei sering berbaik-baik menyapa dan bersikap ramah. “Kev, ini buku elu jatuh,” katanya saat melihat sebuah komik meluncur dari meja Kevin lalu tergeletak di kaki kursi cowok itu. Mei memungut dan mengulurkannya pada si pemilik. Dan Kevin menyambarnya dengan cepat tanpa berterima kasih. Bahkan menoleh padanya saja tidak.“Lu punya utang yang belum dibayar ya ke dia?” seloroh Raya yang menjadi teman sebangkunya saat itu. Mei pun menggeleng lugu.Raya terkekeh pelan. “Perasaan tuh cowok sengak mulu deh sama lu, ada masalah apa sih kalian?” celetuk Raya membuat Mei kebingungan. Memangnya apa salah Mei?Lalu Mei teringat pada momen pertemuan tak sengaja antara dirinya dengan Kevin di TPU Tanah Kusir. Saat itu Mei ikut maminya berziarah ke sana. Di tengah rapalan doanya untuk mendiang sang nenek, Mei mendengar isak tangis yang mengganggu kekhusyukannya berdoa. Diapun menoleh ke sumber suara.
“Awas, Mei. Naksir Kevin tahu rasa lu!” Mei naksir Kevin? Hoho. Tak mungkin. Mei tak sudi naksir cowok sedingin kulkas itu. Pokoknya, no way! Hingga pada akhirnya, takdir mempertemukan keduanya dengan situasi dan kondisi yang tak pernah Mei bayangkan sebelumnya. Sore itu, Mei bolak-balik melirik Baby-G di pergelangan tangan, tapi jarum jam di sana tak bergerak jauh dari angka terakhir yang dilihatnya tadi. “Pak Pur lama amat sih,” keluhnya mulai lelah. Sudah hampir sejam dia menunggu, tapi mobil pribadi yang biasa mengantar-jemputnya tak kunjung tiba. Mei mendongak ke langit senja. Lalu duduk di teras ruko tempat lesnya. Semua teman-temannya sudah pulang. Dia gelisah sendirian. Kemudian menelepon maminya, “Mam? Kok Pak Pur tumben telat menjemput Mei?” “Duh. Memangnya papi belum bilangin Mei ya?” “Bilangin apa, Mam?” “Pak Pur sudah nggak bekerja lagi sama kita mulai hari ini, Sayang. Makanya, tadi papi yang anterin Mei sekolah dan ke tempat les.” “Loh. Kenapa, Mam?” Terdengar na
“Wah! Parah lu, Ray. Bikin kulit mulus cewek gue jadi merah kayak gini. Cubitan lu tuh sakit, tahu nggak?” tegur Juna sambil merengkuh pinggang Mei dan menarik wanita itu lebih rapat dengannya. Mei tercekat kaget, seketika lamunan tentang masa lalunya bersama Kevin buyar. “Kulitmu nggak sampai lecet kan, sweetheart?” Juna mengecek sekali lagi bekas cubitan Raya di lengan Mei. ‘Lebay!’ pikir Mei. Dia belum terbiasa menerima kemesraan seperti itu. Terlebih Juna melakukanya di depan orang lain dan orang itu adalah Kevin, mantan gebetannnya. Dan juga di depan Raya, mantan pacar Juna. Sedangkan Raya pun terperangah tak percaya. Seorang Juna yang pernah begitu bucin padanya, mendadak bisa sengak mengomelinya demi wanita lain? Meski wanita lain itu sekarang adalah pacar barunya, tapi tetap saja Raya merasa tersingkirkan setelah beberapa tahun dirinya sempat menjadi satu-satunya ratu yang bertahta di hati pria itu. “Eh. Elu ngomelin gue, Jun?” ketus Raya. “Ya iyalah, emang siapa lagi?
“Wait! Bukannya waktu itu lu masih nembak gue ngajakin balikan, Jun? Padahal lu tadi bilang udah jadian sama Mei saat itu?” cecar Raya seraya tertawa menang. “Ah. Lu kalau ngarang cerita yang make sense dong!” ketusnya sambil geleng-geleng kepala tak percaya. Juna baru menyadari plot hole dalam kebohongannya. Alangkah bodohnya dia karena dulu kerap mengemis cinta wanita itu. Membuat cerita tentang hubungan asmaranya dengan Mei kali ini menjadi janggal. “He’s right.” Mei tiba-tiba menyahut. “Kami memang udah jadian saat itu. Tapi belum terlalu serius seperti sekarang. Gue nggak keberatan kalau dia ninggalin gue buat cewek lain, selama cewek itu elu. Karena gue tahu, bagaimana Juna mencintai elu sejak dulu, Ray. Dia tulus dan betulan sayang sama elu,” lanjutnya. Pengakuan Mei membuat seisi meja terdiam. Juna lega karena Mei cepat tanggap memperbaiki alur kebohongannya tadi. Namun di sisi lain, Juna merasa tak enak karena Mei jusru merendahkan dirinya sendiri demi mengembalikan harga d
Mei terbangun jam 4 pagi seperti biasa. Dengan cepat dia mempersiapkan keberangkatannya ke kantor. Tapi Tante Dilla menghadang tepat di pintu kamar saat Mei baru kembali dari kamar mandi. “Semalam Hans menelepon, menanyakan kesiapanmu jadi asisten pribadinya. Dia mau menggajimu 20 juta, Mei. Itu penawaran yang sangat besar,” katanya sambil bersedekap. Bahkan si tante belum mencuci wajahnya, tapi sudah menggonggong saja sepagi ini. “Tan, Mei nggak nyaman dekat-dekat dengan om Hans. Apalagi sampai menjadi asisten pribadinya.” “Kau tidak akan pernah kaya dengan gajimu sekarang yang cuma 6 juta!” ‘Tentu saja, apalagi selama ini gaji itu selalu habis buat bayar cicilan KTA gara-gara Tante,’ ketus Mei dalam hati. “Bukankah yang penting cicilan 1 milliar ke Tante itu lunas? Soal Mei bakal kaya atau tidak, biar itu jadi tanggung jawab Mei.” “Oh! Sudah berani membantah kamu ya?” Dilla hampir melayangkan tangannya ke pipi Mei, untung saja Om Danu tiba-tiba muncul dan menahan tangan istrinya
Kevin memandangi layar ponsel Raya dengan gelisah. Mei tak jua mengangkat panggilannya. Lalu pria itu mendesah seraya menghapus jejak teleponnya tadi sampai benar-benar bersih agar Raya tak menyadari kalau dia baru saja meminjam ponselnya. Dia terpaksa melakukan ini demi bisa berbicara lagi dengan Mei. Kevin menceburkan diri ke kolam renang pribadi di rumahnya, melawan dingin yang memeluk tubuh atletisnya. Lalu mengapung dalam diam usai berenang beberapa putaran. Meski tubuhnya terlihat tenang, tapi pikirannya bergerak lincah. Melompati waktu demi waktu hingga sampai di masa lalu. Kembali ke masa-masa kebersamaannya dengan Meilani.Hari itu hujan deras, Kevin melihat Mei berteduh di pinggiran sebuah toko saat mobilnya berjalan melambat di jalan itu. Dia buru-buru menyuruh Pak Bono menepi, mengambil payung dan menyusul Mei. Membujuknya naik mobil.“Lu nggak sabar nunggu jemputan lagi ya? Mungkin sopir lu lagi kena macet. Lu sih bukannya nungguin aja dulu di sekolah,” oceh Kevin sambil
Telepon Kevin sepagi itu benar-benar menggelisahkan perasaan Mei. “Berani-beraninya dia melakukan itu dibelakang Raya,” gumamnya ketar-ketir sambil berjalan gontai menuju halaman gedung kantor. Lalu terkejut melihat sebuah mobil yang tak asing terparkir di halaman gedung kantornya. Kebetulan Mei mengenali plat nomornya. “Jun? Kok mobil lu ada di depan kantor gue?” tanya Mei melalui telepon. “Hah?” Juna malah kedengaran bingung. “Mobil yang mana nih?” “Gaya amat pakai tanya yang mana?” ”Iyalah, mobil gue banyak! Makanya gue tanya, yang mana?” “Ck. Yang lu bawa kondangan waktu itu.” “Oh yang itu. Gue kasihin orang, Mei. Bosen gue.” Mei memutar bola mata. Seakan yang dibicarakannya itu mobil-mobilannya saja. Dasar, Juna! “Oh, kirain elu juga lagi di sini.” “Eh, Maemunah. Ngapain jam segini dah sampai kantor? Kayak cleaning service aja lu datang pagi-pagi?” Mei tersadar. Kenapa juga dia menelepon Juna jam enam pagi begini? “Nah, elu sendiri? Lagi ngapain jam segini?” Mei bal
“Ah. Gue bisa gila sendiri kelamaan ngomong sama lu!” “Jangan gila sendirian dong, Mei. Gue temani gilanya, biar kita tergila-gila satu sama lain,” sahut Juna sambil mengerlingkan sebelah mata. Lalu terkekeh saat Mei meninju lengannya. “Btw, lu mau nonton film apa, Mei?” tanya Juna sambil membuka ponselnya. “Apa aja yang penting seru, jangan yang cengeng-cengengan.” “Horor mau?” “Siapa takut?” “Yakin ...? Nggak bakal sembunyi di ketek gue ntar?” “Dih. Malah ngomongin ketek, bayangin aja udah eneg gue ..., jijik ah!” “Eh, ketek gue wangi tau,” sahut Juna sambil mengendus ketiaknya sendiri. Membuat Mei meringis geli. “Armani nih. Parfum mahal gila, original!” “Napa lu jadi pamer, sih! Dasar norak.” “Apanya yang pamer sih, for your info doang kok.” Juna menyahut santai sambil mengetik sesuatu di ponsel mahalnya. Mei geleng-geleng kepala. Bukan Juna kalau nggak pamer atau malah narsis. “Btw, kita makan dulu ya, Mei. Gue udah reservasi tempat kok. Gue juga udah dapet tiket nonto