“Sudahlah. Terima saja lamaran Hans!” cecar Dilla setelah Hans pulang.
“Tapi, Tan. Dia itu duda dan lebih pantas jadi ayah Mei. Lagipula Mei bukan jomlo. Ada pria yang sudah melamar Mei.”
“Halah! Putusin aja. Pria itu nggak bakal sebanding dengan Hans yang jelas-jelas tajir melintir. Lagipula, apa gunanya menikahi pria itu kalau hanya akan menyeretnya jadi miskin?”
“Maksud Tante?”
“Ingat, Mei. Kau masih punya cicilan utang 1 milliar padaku. Kalau kau mau menikahinya, lunasi dulu semua sisa utangmu secara kontan! Baru kau boleh keluar dari rumah ini dengan calon suamimu itu!"
“Tan. Tolong jangan seperti itu. Cukup Mei yang menanggung utang ini, jangan bawa-bawa calon suami Mei.”
“Makanya! Justru Tante sedang memberimu solusi sekarang. Uang 1 miliar itu kecil saja bagi Hans. Jika kau menikah dengannya, dia pasti bakal memberimu lebih dari itu.”
“Nggak mau, Tan!”
Plak!
Dilla membalas penolakan Mei itu dengan sebuah tamparan keras.
Mei mengusapi pipinya yang terasa panas sambil menangis. Wajahnya yang putih cerah membuat jejak tamparan itu terlihat jelas. Meninggalkan semburat kemerahan.
“Berani-beraninya membentakku? Kau seperti anak durhaka saja. Kalau Tante tak menampungmu saat keluargamu bangkrut, kau pasti sudah jadi gembel sekarang. Coba ingat-ingat, Mei. Saat mamimu yang penyakitan itu bolak-balik dirawat di rumah sakit, siapa yang repot ngurusin kalau bukan Tante? Sedangkan kau? Bisanya cuma nangis, manja tak berguna! Dan siapa yang menolong papimu saat dikejar-kejar debt collector? Om Danu! Om Danulah yang selalu pasang badan untuk papimu itu. Dan juga, kau kuliah pakai uang Tante!”
Kuping Mei terasa panas saat segala masa lalu pahitnya kembali diungkit. Dia juga tak ingin berada di posisi itu. Dan kebangkrutan itu bukan pula salahnya. Mei tak tahu apa-apa. Tapi kenapa harus Mei yang menanggungnya?
“Jadilah orang yang tahu balas budi, Mei. Menikahlah dengan Hans, agar utang budimu bisa Tante anggap lunas,” ketus Dilla.
“Mei janji akan balas budi dengan cara lain, Tan. Selain menikahi Om Hans,” sahut Mei yang tetap nekat melawan. Tantenya boleh mengeruk uangnya, mengeruk tenaganya. Tapi tidak boleh masa depannya!
Tapi si tante malah berkacak pinggang. “Mei, pakai otakmu! Mikirrrr. Kalau kau menikah dengan Hans, bukan cuma utang budimu saja yang lunas, tapi juga cicilan utang 1 milliarmu itu. Iya kan? Memangnya ada pria yang sanggup menikahimu sekaligus membebaskanmu dari utang sebesar itu selain Hans? Nah, sudahlah. Jangan membantah lagi. Aku muak melihat wajah memelas dan air matamu yang tak berguna itu.”
Mei memegangi dadanya. Hatinya diperas sakit mendengar ucapan si tante yang terang-terangan bilang muak kepadanya.
“Dilla, cukup!” bentak Danu yang baru saja memasuki ruangan dan mengetahui pertengkaran itu.
“Jangan ikut campur, Mas!”
“Jangan ikut campur bagaimana? Tega sekali kau menjodohkan keponakanmu sendiri dengan bandot tua itu. Kau tahu sendiri Hans itu lelaki seperti apa. Lagipula ..., apa-apaan tentang utang yang kau tagih ke Mei sebanyak 1 milliar itu? Bersikaplah selayaknya seorang tante, bukan renternir!”
“Kenapa Mas selalu membela Mei?!”
Dilla ganti mengamuk kepada Danu. Keduanyapun mulai cekcok.
Mei berlari ke kamar dan menguncinya rapat-rapat. Menumpahkan tangis sebanyak-banyaknya.
Kriiing! Kriiing! Kriiing!
Ponselnya memanggil-manggil. Mei menatap layar yang berkedip-kedip. Tangisnya kian deras begitu membaca nama Kevin yang terpampang di layar ponselnya.
Ah. Entah kebetulan atau bagaimana, sejak dulu Kevin selalu saja hadir tiap kali Mei sedang dalam kondisi menyedihkan. Seakan Kevin tahu kapan dirinya harus ada untuk Mei, meski hanya lewat telepon.
Mei memandangi ponselnya dengan gamang. “It’s over, Kev. Kita sudah berakhir. Kau milik Raya sekarang,” gumamnya sambil menyentuh tombol merah di layar benda pipih itu.
Kemudian Kevin mengiriminya pesan setelah berkali-kali Mei menolak panggilannya.
‘Mei, are you oke?’
Mei tertawa kecut membacanya. Memangnya ada yang oke sejak papi dan mami meninggalkan dirinya sendirian di dunia ini? Apalagi yang sedang dialaminya belakangan ini. Belum selesai dengan luka patah hatinya usai ditinggal Kevin menikah, tante Dilla justru menjodohkan dirinya dengan om-om!
Sementara itu di tempat lain, Kevin memandangi ponselnya. Mei sudah membaca pesannya. Namun tiada respons. Pria itupun menyugar rambutnya dengan gelisah.
Entah kenapa, tiba-tiba saja Kevin memikirkan Mei. Mungkin karena sejak tadi Raya terus saja membahasnya. Tentang lamaran Juna kepada Mei yang menghebohkan.
‘Kau dengan Juna? Sejak kapan, Mei?’ pikir Kevin bertanya-tanya. Lalu dia menelepon Mei, ingin bertanya secara langsung. Tetapi Mei justru menolak panggilannya. Dan Kevin tercekat begitu sadar Mei telah memblokir nomornya.
Seketika perasaannya menggelegak oleh sesuatu bernama ketidakrelaan. Jantungnya berdenyut tidak enak, tidak nyaman. Kenapa Mei harus menghindarinya sampai seperti ini? Tak bisakah mereka tetap melanjutkan pertemanan yang telah terjalin manis seperti biasanya?
***
Suatu siang di lounge kantor, Mei terkejut melihat kemunculan Juna di sana tepat pada saat jam istirahat makan siang.
“Eh. Ngapain lu di sini, Jun?”
“Wah. Baru aja mau gue telepon. Panjang umur lu, Mei ...,” cengir lelaki itu sambil mengedipkan sebelah mata.
Mei baru menyadari ada danau kecil di sudut bibir Juna setiap kali lelaki itu tersenyum. Membuat senyumnya makin lama semakin menggemaskan, terkesan ramah dan menyenangkan.
“Lu sibuk banget ya, Mei? Sampai nggak pernah punya waktu buat ngedate sama gue.”
Tawa Mei pun pecah mendengar nada merajuk dalam ucapan Juna. Seakan mereka betulan sepasang kekasih saja.
“Chat gue jarang elu bales, telepon dari gue juga nggak elu angkat. Elu mau ghostingin gue, Mei? Enak aja lu, seminggu ngilang gitu aja.”
Lagi-lagi Mei tertawa mendengar ucapan Juna yang asal ceplos.
“Btw ngapain, Jun? Kebetulan pas ada urusan di sini, atau?”
“Ada urusan penting, makanya gue ke sini.”
Mei mengangguk-angguk. “Oh. Oke. Lu udah bikin janji? Mau ketemu siapa?”
“Nggak. Soalnya janjian sama nih orang susah bener. Mending langsung gue culik aja!” sahut Juna seraya menggandeng lengan Meilani dan membawanya keluar kantor.
“Eh. Maksudnya? Gue?”
“Yup. Gue ke sini buat ketemu elu. Habisan, kita kayak orang lagi LDR-an aja, Mei. Susah banget ketemu. Padahal jarak kantor kita cuma selemparan sandal,” oceh Juna sambil menggiring Mei memasuki lift.
“Dih. Sandalnya siapa yang bisa mencelat dari Mega Kuningan sampai Thamrin, Jun?” Mei terkekeh sambil geleng-geleng kepala. Lalu tercekat saat tubuhnya terdesak ke sudut oleh orang-orang yang juga memasuki lift. Membuatnya harus berhimpitan sedekat ini dengan Juna yang serta merta merangkulnya, melindungi Mei dari desakan yang lebih brutal lagi dari orang-orang yang tak sabar ingin turun mencari makan siang.
***
Juna rupanya sudah melakukan reservasi untuk makan siang mereka di sebuah restoran di sekitar Thamrin, tak begitu jauh dari gedung perkantoran tempat Mei bekerja. Mei jadi mengerutkan kening memikirkan ongkos makan siang yang mahal ini. Menu-menu di restoran ini tentu saja tak terjangkau kantongnya. Mei pernah sekali ke sini dulu, pada saat Raya merayakan ulang tahun dan mentraktirnya, sebelum teman dekatnya itu berangkat kuliah ke Amerika.“Jun, split bill? Atau elu yang traktir?” bisik Mei sebelum benar-benar mencapai tempat duduk mereka.“Pertanyaan lu nyinggung harga diri gue amat sih, Mei. Gue yang bayarlah gila. Masa bayar sendiri-sendiri, yang bener aja!”Mendengar pernyataan Juna membuat Mei akhirnya bisa bernapas lega.“Pesan gih yang paling mahal. Awas kalau pesan yang murah-murah, ntar dompet gue terhina.”Mei terkekeh. “Anjay ... sultan,” selorohnya sambil membolak-balik buku menu.“Dih. Beneran? Cuma segini doang yang lu pesen, Mei? Tambah lagi, gih!” Juna malah mengomel
Pada mulanya Mei justru sangat tidak menyukai Kevin. Cowok itu benar-benar dingin padanya. Padahal Mei sering berbaik-baik menyapa dan bersikap ramah. “Kev, ini buku elu jatuh,” katanya saat melihat sebuah komik meluncur dari meja Kevin lalu tergeletak di kaki kursi cowok itu. Mei memungut dan mengulurkannya pada si pemilik. Dan Kevin menyambarnya dengan cepat tanpa berterima kasih. Bahkan menoleh padanya saja tidak.“Lu punya utang yang belum dibayar ya ke dia?” seloroh Raya yang menjadi teman sebangkunya saat itu. Mei pun menggeleng lugu.Raya terkekeh pelan. “Perasaan tuh cowok sengak mulu deh sama lu, ada masalah apa sih kalian?” celetuk Raya membuat Mei kebingungan. Memangnya apa salah Mei?Lalu Mei teringat pada momen pertemuan tak sengaja antara dirinya dengan Kevin di TPU Tanah Kusir. Saat itu Mei ikut maminya berziarah ke sana. Di tengah rapalan doanya untuk mendiang sang nenek, Mei mendengar isak tangis yang mengganggu kekhusyukannya berdoa. Diapun menoleh ke sumber suara.
“Awas, Mei. Naksir Kevin tahu rasa lu!” Mei naksir Kevin? Hoho. Tak mungkin. Mei tak sudi naksir cowok sedingin kulkas itu. Pokoknya, no way! Hingga pada akhirnya, takdir mempertemukan keduanya dengan situasi dan kondisi yang tak pernah Mei bayangkan sebelumnya. Sore itu, Mei bolak-balik melirik Baby-G di pergelangan tangan, tapi jarum jam di sana tak bergerak jauh dari angka terakhir yang dilihatnya tadi. “Pak Pur lama amat sih,” keluhnya mulai lelah. Sudah hampir sejam dia menunggu, tapi mobil pribadi yang biasa mengantar-jemputnya tak kunjung tiba. Mei mendongak ke langit senja. Lalu duduk di teras ruko tempat lesnya. Semua teman-temannya sudah pulang. Dia gelisah sendirian. Kemudian menelepon maminya, “Mam? Kok Pak Pur tumben telat menjemput Mei?” “Duh. Memangnya papi belum bilangin Mei ya?” “Bilangin apa, Mam?” “Pak Pur sudah nggak bekerja lagi sama kita mulai hari ini, Sayang. Makanya, tadi papi yang anterin Mei sekolah dan ke tempat les.” “Loh. Kenapa, Mam?” Terdengar na
“Wah! Parah lu, Ray. Bikin kulit mulus cewek gue jadi merah kayak gini. Cubitan lu tuh sakit, tahu nggak?” tegur Juna sambil merengkuh pinggang Mei dan menarik wanita itu lebih rapat dengannya. Mei tercekat kaget, seketika lamunan tentang masa lalunya bersama Kevin buyar. “Kulitmu nggak sampai lecet kan, sweetheart?” Juna mengecek sekali lagi bekas cubitan Raya di lengan Mei. ‘Lebay!’ pikir Mei. Dia belum terbiasa menerima kemesraan seperti itu. Terlebih Juna melakukanya di depan orang lain dan orang itu adalah Kevin, mantan gebetannnya. Dan juga di depan Raya, mantan pacar Juna. Sedangkan Raya pun terperangah tak percaya. Seorang Juna yang pernah begitu bucin padanya, mendadak bisa sengak mengomelinya demi wanita lain? Meski wanita lain itu sekarang adalah pacar barunya, tapi tetap saja Raya merasa tersingkirkan setelah beberapa tahun dirinya sempat menjadi satu-satunya ratu yang bertahta di hati pria itu. “Eh. Elu ngomelin gue, Jun?” ketus Raya. “Ya iyalah, emang siapa lagi?
“Wait! Bukannya waktu itu lu masih nembak gue ngajakin balikan, Jun? Padahal lu tadi bilang udah jadian sama Mei saat itu?” cecar Raya seraya tertawa menang. “Ah. Lu kalau ngarang cerita yang make sense dong!” ketusnya sambil geleng-geleng kepala tak percaya. Juna baru menyadari plot hole dalam kebohongannya. Alangkah bodohnya dia karena dulu kerap mengemis cinta wanita itu. Membuat cerita tentang hubungan asmaranya dengan Mei kali ini menjadi janggal. “He’s right.” Mei tiba-tiba menyahut. “Kami memang udah jadian saat itu. Tapi belum terlalu serius seperti sekarang. Gue nggak keberatan kalau dia ninggalin gue buat cewek lain, selama cewek itu elu. Karena gue tahu, bagaimana Juna mencintai elu sejak dulu, Ray. Dia tulus dan betulan sayang sama elu,” lanjutnya. Pengakuan Mei membuat seisi meja terdiam. Juna lega karena Mei cepat tanggap memperbaiki alur kebohongannya tadi. Namun di sisi lain, Juna merasa tak enak karena Mei jusru merendahkan dirinya sendiri demi mengembalikan harga d
Mei terbangun jam 4 pagi seperti biasa. Dengan cepat dia mempersiapkan keberangkatannya ke kantor. Tapi Tante Dilla menghadang tepat di pintu kamar saat Mei baru kembali dari kamar mandi. “Semalam Hans menelepon, menanyakan kesiapanmu jadi asisten pribadinya. Dia mau menggajimu 20 juta, Mei. Itu penawaran yang sangat besar,” katanya sambil bersedekap. Bahkan si tante belum mencuci wajahnya, tapi sudah menggonggong saja sepagi ini. “Tan, Mei nggak nyaman dekat-dekat dengan om Hans. Apalagi sampai menjadi asisten pribadinya.” “Kau tidak akan pernah kaya dengan gajimu sekarang yang cuma 6 juta!” ‘Tentu saja, apalagi selama ini gaji itu selalu habis buat bayar cicilan KTA gara-gara Tante,’ ketus Mei dalam hati. “Bukankah yang penting cicilan 1 milliar ke Tante itu lunas? Soal Mei bakal kaya atau tidak, biar itu jadi tanggung jawab Mei.” “Oh! Sudah berani membantah kamu ya?” Dilla hampir melayangkan tangannya ke pipi Mei, untung saja Om Danu tiba-tiba muncul dan menahan tangan istrinya
Kevin memandangi layar ponsel Raya dengan gelisah. Mei tak jua mengangkat panggilannya. Lalu pria itu mendesah seraya menghapus jejak teleponnya tadi sampai benar-benar bersih agar Raya tak menyadari kalau dia baru saja meminjam ponselnya. Dia terpaksa melakukan ini demi bisa berbicara lagi dengan Mei. Kevin menceburkan diri ke kolam renang pribadi di rumahnya, melawan dingin yang memeluk tubuh atletisnya. Lalu mengapung dalam diam usai berenang beberapa putaran. Meski tubuhnya terlihat tenang, tapi pikirannya bergerak lincah. Melompati waktu demi waktu hingga sampai di masa lalu. Kembali ke masa-masa kebersamaannya dengan Meilani.Hari itu hujan deras, Kevin melihat Mei berteduh di pinggiran sebuah toko saat mobilnya berjalan melambat di jalan itu. Dia buru-buru menyuruh Pak Bono menepi, mengambil payung dan menyusul Mei. Membujuknya naik mobil.“Lu nggak sabar nunggu jemputan lagi ya? Mungkin sopir lu lagi kena macet. Lu sih bukannya nungguin aja dulu di sekolah,” oceh Kevin sambil
Telepon Kevin sepagi itu benar-benar menggelisahkan perasaan Mei. “Berani-beraninya dia melakukan itu dibelakang Raya,” gumamnya ketar-ketir sambil berjalan gontai menuju halaman gedung kantor. Lalu terkejut melihat sebuah mobil yang tak asing terparkir di halaman gedung kantornya. Kebetulan Mei mengenali plat nomornya. “Jun? Kok mobil lu ada di depan kantor gue?” tanya Mei melalui telepon. “Hah?” Juna malah kedengaran bingung. “Mobil yang mana nih?” “Gaya amat pakai tanya yang mana?” ”Iyalah, mobil gue banyak! Makanya gue tanya, yang mana?” “Ck. Yang lu bawa kondangan waktu itu.” “Oh yang itu. Gue kasihin orang, Mei. Bosen gue.” Mei memutar bola mata. Seakan yang dibicarakannya itu mobil-mobilannya saja. Dasar, Juna! “Oh, kirain elu juga lagi di sini.” “Eh, Maemunah. Ngapain jam segini dah sampai kantor? Kayak cleaning service aja lu datang pagi-pagi?” Mei tersadar. Kenapa juga dia menelepon Juna jam enam pagi begini? “Nah, elu sendiri? Lagi ngapain jam segini?” Mei bal