Pada mulanya Mei justru sangat tidak menyukai Kevin. Cowok itu benar-benar dingin padanya. Padahal Mei sering berbaik-baik menyapa dan bersikap ramah. “Kev, ini buku elu jatuh,” katanya saat melihat sebuah komik meluncur dari meja Kevin lalu tergeletak di kaki kursi cowok itu. Mei memungut dan mengulurkannya pada si pemilik. Dan Kevin menyambarnya dengan cepat tanpa berterima kasih. Bahkan menoleh padanya saja tidak.
“Lu punya utang yang belum dibayar ya ke dia?” seloroh Raya yang menjadi teman sebangkunya saat itu. Mei pun menggeleng lugu.
Raya terkekeh pelan. “Perasaan tuh cowok sengak mulu deh sama lu, ada masalah apa sih kalian?” celetuk Raya membuat Mei kebingungan.
Memangnya apa salah Mei?
Lalu Mei teringat pada momen pertemuan tak sengaja antara dirinya dengan Kevin di TPU Tanah Kusir. Saat itu Mei ikut maminya berziarah ke sana. Di tengah rapalan doanya untuk mendiang sang nenek, Mei mendengar isak tangis yang mengganggu kekhusyukannya berdoa. Diapun menoleh ke sumber suara. Tak jauh dari tempatnya, terlihat cowok sebaya dirinya tengah bersimpuh di depan pusara dengan bahu terkulai lemah, “Mama ...,” isaknya terdengar menyedihkan.
Tangis cowok itu meremas perasaan Mei, ratapan itu menggugah rasa simpatinya.
“Ayo, Sayang. Kita pulang,” ajak maminya sambil merangkul pundak Mei.
Mei menurut dan mengikuti maminya. Tapi ada sesuatu yang terasa memberati langkah gadis remaja itu. “Mami duluan aja, ntar Mei nyusul. Sebentar kok,” katanya sambil merogoh isi tas sembari berbalik badan, ingin menemui cowok tadi.
Cowok yang menutupi kepalanya dengan tudung hoodie itu masih tergugu di tempatnya. Mei membaca tulisan yang terpatri di batu nisan. Tanggal kematian sudah setahun berlalu, tapi tangisan cowok itu seperti orang yang baru saja ditinggal pergi.
“Aku turut berduka. Semoga mamamu baik-baik di sana. Kamu juga harus baik-baik di sini ya, supaya mamamu tenang,” ucap Mei seraya meletakkan sebungkus tisu untuknya.
Seketika bahu cowok tadi menegang, serta merta isak tangisnya terhenti. Lalu cowok itu mendongak cepat padanya dengan mata sembab karena kebanyakan menangis.
“Ke-Kevin?” Mei terkejut begitu mengenali cowok yang ternyata teman sekelasnya.
Dan sejak saat itu, sikap Kevin yang semula biasa-biasa saja mulai berubah dingin kepadanya. Namun Mei tak tega membalas ketidakramahan cowok itu dengan sikap yang sama, karena Mei pernah mendengar suara tangisnya yang menyedihkan. Mei justru merasa kasihan, tapi sepertinya Kevin jenis orang yang gengsi dikasihani.
Mei menerima saja sikap jutek Kevin padanya. Sampai suatu ketika di tengah masa datang bulannya, Mei tak mampu lagi mengontrol emosi karena pengaruh hormon.
“Kev, cuma elu yang belum ngumpulin tugas kelompok kita, padahal hari ini jadwal kita presentasi,” tegur Mei saat menjadi ketua kelompok. Dia harus menegur jika ada yang lalai melaksanakan tugas.
“Gue lupa,” sahut cowok itu seenaknya.
“W-what? Say it again,” ucap Mei menahan dongkol. Lalu mendengkus sebal saat Kevin tak jua merespons. “Paling nggak, minta maaf kek!” ketusnya kesal. Mei pun membuang napas jengkel karena dicueki. “Oke, lu lihat aja ntar,”
ancamnya sambil berlalu pergi.Saat guru mulai memanggil Mei untuk mewakili kelompoknya presentasi, Mei mengabsen seluruh anggota kelompoknya kecuali Kevin. “Loh. Bukannya Kevin masuk kelompok kalian?” tegur gurunya.
“Maaf, Bu. Saya lupa. Saya cuma mencatat nama-nama orang yang mengumpulkan tugas. Dan dia tak pernah bekerja sama mengumpulkan tugas. Jadi saya pikir ..., Kevin memang bukan kelompok kami.”
Jawaban Mei sontak menggegerkan seisi kelas. “Waaah, savage juga lu, Mei!” celetuk seseorang. Tak mengira seorang Mei yang pendiam bisa juga bersikap seperti itu.
Mei menyeringai puas kala tatapannya berbenturan dengan sepasang manik gelap Kevin yang menyorotkan kekesalan teramat sangat padanya. ‘Rasain lu!’ dalam hati Mei bersorak penuh kemenangan.
“Heran. Ada masalah apa sih sebenarnya lu berdua?” bisik Raya saat Mei menduduki kembali bangkunya usai presentasi.
“Well, lu tadi kan dengar sendiri. Dia nggak kerjain bagian tugasnya. So, bukan salah gue dong kalau mencoret nama dia dari kelompok. Nggak adil buat yang lain kalau dia cuma numpang nama buat dapat nilai, padahal yang lainnya sudah kerja keras.” Mei menyahut dengan santai. Pura-pura tak menangkap maksud pertanyaan Raya.
Raya geleng-geleng. “Ckckck. Poor Kevin,” gumam gadis berambut panjang itu sambil menoleh ke meja di sebelah mereka, mengasihani Kevin yang terus-terusan menekuk wajah gantengnya sejak Mei mempermalukan dirinya secara telak di depan kelas.
Kevin pun semakin dingin terhadap Mei, tapi Mei tak ambil pusing. Keduanya saling tak mengacuhkan sampai kenaikan kelas. Mei bernapas lega karena di kelas 12 tak lagi menjadi teman sekelas Kevin. Hatinya betul-betul plong. Perasaannya senang bukan main. Kevin tak ubahnya bisul yang selama ini tumbuh dan membesar di pikirannya, mengganggu kenyamanan. Dan pada kenaikan kelas itu akhirnya si bisul pecah dan menyingkir juga darinya.
“Mei, lu kok kayaknya seneng banget pisah kelas sama gue?” Raya cemberut kehilangan teman sebangku seperti Mei, yang loyal berbagi contekan.
“Gue seneng bukan karena pisah kelas sama lu kok, tapi sama ... ah, you knowlah!”
Raya terkekeh pelan. “Awas loh, Mei. Antara benci dan cinta itu kadang suka beda tipis.”
Bahu Mei berkedik. “Amit-amit, deh!”
“Kenapa sih, Mei? Kok bisa-bisanya lu sebel sama good boy secakep Kevin?” tegur Sarah.
“Yup, dilihat dari segi manapun Kevin nggak kelihatan ada jelek-jeleknya. Sayangnya dia anak rumahan. Coba kalau anak basket atau anak futsal, udah gue samber!” Tania ikut menyahut.
Raya menyikut Mei yang cuek-cuek saja. “Daripada dimusuhin, pacarin aja kenapa sih, Mei? Mau gue bantuin? Jiwa mak comblang gue terpanggil nih,” ocehnya.
Mei mencebik. “Dih! Lu semua pada kenapa sih? Nyebelin, tahu nggak?” sahutnya sewot.
“Justru elu yang nyebelin, Mei. Sikap lu ke Kevin itu bikin kita semua penasaran tahu nggak? Nggak ada asap kalau nggak ada api. Lu berdua nggak mungkin mendadak perang dingin kalau nggak ada sebabnya. Ye, kan? Ngaku? Kenapa? Apa jangan-jangan … lu berdua pernah pacaran diam-diam di belakang kita, terus putusnya nggak baik-baik ya?” desak Sarah terasa menginterogasi.
"Pernah pacaran apanya!" semprot Mei sambil geleng-geleng kepala.
“Terus, apa dong masalah yang jadi gara-gara perang dingin kalian?” desak Tania.
Ah. Mei memang jengkel dengan sikap Kevin, tapi Mei masih punya hati. Mei pikir Kevin kesal padanya karena kepergok sedang menangis dan Mei malah memberinya tisu segala. ‘Mungkin gengsinya sedang merasa terhina,’ pikir Mei mencoba maklum. Maka Mei tak pernah membocorkan pertemuan mereka di TPU Tanah Kusir itu pada siapapun, yang menjadi asal muasal kebencian Kevin padanya dan memicu perang dingin mereka. Demi gengsi dan harga diri Kevin, Mei berbaik hati tutup mulut.
“Awas loh, Mei. Naksir Kevin tahu rasa lu!”
Mei tak habis pikir, tega banget teman-temannya itu malah menyumpahinya. Dan secepat itu pula sumpah mereka jadi kenyataan.
***
“Awas, Mei. Naksir Kevin tahu rasa lu!” Mei naksir Kevin? Hoho. Tak mungkin. Mei tak sudi naksir cowok sedingin kulkas itu. Pokoknya, no way! Hingga pada akhirnya, takdir mempertemukan keduanya dengan situasi dan kondisi yang tak pernah Mei bayangkan sebelumnya. Sore itu, Mei bolak-balik melirik Baby-G di pergelangan tangan, tapi jarum jam di sana tak bergerak jauh dari angka terakhir yang dilihatnya tadi. “Pak Pur lama amat sih,” keluhnya mulai lelah. Sudah hampir sejam dia menunggu, tapi mobil pribadi yang biasa mengantar-jemputnya tak kunjung tiba. Mei mendongak ke langit senja. Lalu duduk di teras ruko tempat lesnya. Semua teman-temannya sudah pulang. Dia gelisah sendirian. Kemudian menelepon maminya, “Mam? Kok Pak Pur tumben telat menjemput Mei?” “Duh. Memangnya papi belum bilangin Mei ya?” “Bilangin apa, Mam?” “Pak Pur sudah nggak bekerja lagi sama kita mulai hari ini, Sayang. Makanya, tadi papi yang anterin Mei sekolah dan ke tempat les.” “Loh. Kenapa, Mam?” Terdengar na
“Wah! Parah lu, Ray. Bikin kulit mulus cewek gue jadi merah kayak gini. Cubitan lu tuh sakit, tahu nggak?” tegur Juna sambil merengkuh pinggang Mei dan menarik wanita itu lebih rapat dengannya. Mei tercekat kaget, seketika lamunan tentang masa lalunya bersama Kevin buyar. “Kulitmu nggak sampai lecet kan, sweetheart?” Juna mengecek sekali lagi bekas cubitan Raya di lengan Mei. ‘Lebay!’ pikir Mei. Dia belum terbiasa menerima kemesraan seperti itu. Terlebih Juna melakukanya di depan orang lain dan orang itu adalah Kevin, mantan gebetannnya. Dan juga di depan Raya, mantan pacar Juna. Sedangkan Raya pun terperangah tak percaya. Seorang Juna yang pernah begitu bucin padanya, mendadak bisa sengak mengomelinya demi wanita lain? Meski wanita lain itu sekarang adalah pacar barunya, tapi tetap saja Raya merasa tersingkirkan setelah beberapa tahun dirinya sempat menjadi satu-satunya ratu yang bertahta di hati pria itu. “Eh. Elu ngomelin gue, Jun?” ketus Raya. “Ya iyalah, emang siapa lagi?
“Wait! Bukannya waktu itu lu masih nembak gue ngajakin balikan, Jun? Padahal lu tadi bilang udah jadian sama Mei saat itu?” cecar Raya seraya tertawa menang. “Ah. Lu kalau ngarang cerita yang make sense dong!” ketusnya sambil geleng-geleng kepala tak percaya. Juna baru menyadari plot hole dalam kebohongannya. Alangkah bodohnya dia karena dulu kerap mengemis cinta wanita itu. Membuat cerita tentang hubungan asmaranya dengan Mei kali ini menjadi janggal. “He’s right.” Mei tiba-tiba menyahut. “Kami memang udah jadian saat itu. Tapi belum terlalu serius seperti sekarang. Gue nggak keberatan kalau dia ninggalin gue buat cewek lain, selama cewek itu elu. Karena gue tahu, bagaimana Juna mencintai elu sejak dulu, Ray. Dia tulus dan betulan sayang sama elu,” lanjutnya. Pengakuan Mei membuat seisi meja terdiam. Juna lega karena Mei cepat tanggap memperbaiki alur kebohongannya tadi. Namun di sisi lain, Juna merasa tak enak karena Mei jusru merendahkan dirinya sendiri demi mengembalikan harga d
Mei terbangun jam 4 pagi seperti biasa. Dengan cepat dia mempersiapkan keberangkatannya ke kantor. Tapi Tante Dilla menghadang tepat di pintu kamar saat Mei baru kembali dari kamar mandi. “Semalam Hans menelepon, menanyakan kesiapanmu jadi asisten pribadinya. Dia mau menggajimu 20 juta, Mei. Itu penawaran yang sangat besar,” katanya sambil bersedekap. Bahkan si tante belum mencuci wajahnya, tapi sudah menggonggong saja sepagi ini. “Tan, Mei nggak nyaman dekat-dekat dengan om Hans. Apalagi sampai menjadi asisten pribadinya.” “Kau tidak akan pernah kaya dengan gajimu sekarang yang cuma 6 juta!” ‘Tentu saja, apalagi selama ini gaji itu selalu habis buat bayar cicilan KTA gara-gara Tante,’ ketus Mei dalam hati. “Bukankah yang penting cicilan 1 milliar ke Tante itu lunas? Soal Mei bakal kaya atau tidak, biar itu jadi tanggung jawab Mei.” “Oh! Sudah berani membantah kamu ya?” Dilla hampir melayangkan tangannya ke pipi Mei, untung saja Om Danu tiba-tiba muncul dan menahan tangan istrinya
Kevin memandangi layar ponsel Raya dengan gelisah. Mei tak jua mengangkat panggilannya. Lalu pria itu mendesah seraya menghapus jejak teleponnya tadi sampai benar-benar bersih agar Raya tak menyadari kalau dia baru saja meminjam ponselnya. Dia terpaksa melakukan ini demi bisa berbicara lagi dengan Mei. Kevin menceburkan diri ke kolam renang pribadi di rumahnya, melawan dingin yang memeluk tubuh atletisnya. Lalu mengapung dalam diam usai berenang beberapa putaran. Meski tubuhnya terlihat tenang, tapi pikirannya bergerak lincah. Melompati waktu demi waktu hingga sampai di masa lalu. Kembali ke masa-masa kebersamaannya dengan Meilani.Hari itu hujan deras, Kevin melihat Mei berteduh di pinggiran sebuah toko saat mobilnya berjalan melambat di jalan itu. Dia buru-buru menyuruh Pak Bono menepi, mengambil payung dan menyusul Mei. Membujuknya naik mobil.“Lu nggak sabar nunggu jemputan lagi ya? Mungkin sopir lu lagi kena macet. Lu sih bukannya nungguin aja dulu di sekolah,” oceh Kevin sambil
Telepon Kevin sepagi itu benar-benar menggelisahkan perasaan Mei. “Berani-beraninya dia melakukan itu dibelakang Raya,” gumamnya ketar-ketir sambil berjalan gontai menuju halaman gedung kantor. Lalu terkejut melihat sebuah mobil yang tak asing terparkir di halaman gedung kantornya. Kebetulan Mei mengenali plat nomornya. “Jun? Kok mobil lu ada di depan kantor gue?” tanya Mei melalui telepon. “Hah?” Juna malah kedengaran bingung. “Mobil yang mana nih?” “Gaya amat pakai tanya yang mana?” ”Iyalah, mobil gue banyak! Makanya gue tanya, yang mana?” “Ck. Yang lu bawa kondangan waktu itu.” “Oh yang itu. Gue kasihin orang, Mei. Bosen gue.” Mei memutar bola mata. Seakan yang dibicarakannya itu mobil-mobilannya saja. Dasar, Juna! “Oh, kirain elu juga lagi di sini.” “Eh, Maemunah. Ngapain jam segini dah sampai kantor? Kayak cleaning service aja lu datang pagi-pagi?” Mei tersadar. Kenapa juga dia menelepon Juna jam enam pagi begini? “Nah, elu sendiri? Lagi ngapain jam segini?” Mei bal
“Ah. Gue bisa gila sendiri kelamaan ngomong sama lu!” “Jangan gila sendirian dong, Mei. Gue temani gilanya, biar kita tergila-gila satu sama lain,” sahut Juna sambil mengerlingkan sebelah mata. Lalu terkekeh saat Mei meninju lengannya. “Btw, lu mau nonton film apa, Mei?” tanya Juna sambil membuka ponselnya. “Apa aja yang penting seru, jangan yang cengeng-cengengan.” “Horor mau?” “Siapa takut?” “Yakin ...? Nggak bakal sembunyi di ketek gue ntar?” “Dih. Malah ngomongin ketek, bayangin aja udah eneg gue ..., jijik ah!” “Eh, ketek gue wangi tau,” sahut Juna sambil mengendus ketiaknya sendiri. Membuat Mei meringis geli. “Armani nih. Parfum mahal gila, original!” “Napa lu jadi pamer, sih! Dasar norak.” “Apanya yang pamer sih, for your info doang kok.” Juna menyahut santai sambil mengetik sesuatu di ponsel mahalnya. Mei geleng-geleng kepala. Bukan Juna kalau nggak pamer atau malah narsis. “Btw, kita makan dulu ya, Mei. Gue udah reservasi tempat kok. Gue juga udah dapet tiket nonto
“Hei. What do you mean?” Juna mencondongkan tubuhnya lebih dekat kepada Mei. Ingin tahu lebih banyak lagi pikiran gila seorang Meilani. “Forget it.” Mei menggeleng sambil menyambar buku menu. Lalu benar-benar memesan yang mahal dan juga banyak. Juna memerhatikan sikap absurd Mei sambil geleng-geleng kepala. Mengamati gadis itu makan dalam diam. Senyum kecil menghiasi wajah tampan itu hanya karena melihat Mei makan seperti orang kesurupan jin dari Ethiopia. Tiba-tiba saja, Juna tersenyum usil. “Mei,” tegurnya setelah mereka selesai makan. “Sorry ...,” katanya sambil menatap lekat-lekat Mei yang sudah kenyang. “Gue baru nyadar kalau ..., dompet gue ... hilang. Bayarin pakai duit lu dulu ya?” “Hah? LU GILA?!” Mei menggebrak meja. “Arjuna. Seriously!” bentaknya sambil berdiri dengan tatapan berapi-api. Juna nyaris terpental saking kagetnya, seorang Meilani ternyata mengerikan kalau sedang marah. “Ebuset! Calm down. Santai, bos ...,” bisik Juna sambil menutupi wajahnya dengan buku men