Yuk, dukung penulis. Klik VOTE, ya :)
“Hei. What do you mean?” Juna mencondongkan tubuhnya lebih dekat kepada Mei. Ingin tahu lebih banyak lagi pikiran gila seorang Meilani. “Forget it.” Mei menggeleng sambil menyambar buku menu. Lalu benar-benar memesan yang mahal dan juga banyak. Juna memerhatikan sikap absurd Mei sambil geleng-geleng kepala. Mengamati gadis itu makan dalam diam. Senyum kecil menghiasi wajah tampan itu hanya karena melihat Mei makan seperti orang kesurupan jin dari Ethiopia. Tiba-tiba saja, Juna tersenyum usil. “Mei,” tegurnya setelah mereka selesai makan. “Sorry ...,” katanya sambil menatap lekat-lekat Mei yang sudah kenyang. “Gue baru nyadar kalau ..., dompet gue ... hilang. Bayarin pakai duit lu dulu ya?” “Hah? LU GILA?!” Mei menggebrak meja. “Arjuna. Seriously!” bentaknya sambil berdiri dengan tatapan berapi-api. Juna nyaris terpental saking kagetnya, seorang Meilani ternyata mengerikan kalau sedang marah. “Ebuset! Calm down. Santai, bos ...,” bisik Juna sambil menutupi wajahnya dengan buku men
Hari Jumat, waktu kerja terasa lebih singkat dan berlalu cepat. Sepanjang makan siang, teman-teman kantor saling membicarakan rencana akhir pekan. Sedangkan Mei terdiam seribu bahasa. Akhir pekan sama sekali tak menyenangkan baginya. Tante Dilla bakal mengerjainya dengan banyak hal. Minta disopiri ke sana-sini, atau membebaninya dengan pekerjaan rumah tangga yang melelahkan. Ditambah sekarang, tantenya selalu membahas tentang Hans, Hans, dan Hans yang berujung perjodohan. Sudah dua kali Mei kena prank si tante, minta diantar ke restoran atau kafe, tapi ternyata Hans sudah menunggu di sana. Lalu Mei ditinggal berdua saja. Di tengah celotehan teman-temannya, ponsel Mei bergetar. Telepon dari Juna. Mei menyingkir dari kafetaria yang berisik, menuju pintu darurat dan menerima telepon sambil duduk di anak tangga. “Mei, ntar sore gue jemput ya?” “Mau ngapain?” “Nonton.” “Kemarin kan udah?” “Ah! Nggak aci, soalnya lu main kabur aja ninggalin gue. Terhina gue, sumpah.” Mei tertawa liri
Taksi sudah mencapai lobi sebuah apartemen premium di jantung kawasan Mega Kuningan, yang menjadi tujuan akhir Juna bersama Mei. Mei tak lagi kaget saat Juna membuka dompet dan mengulurkan sejumlah uang yang pasti bakal dilebihkan banyak. “Mas, ini kok sejuta? Kelebihan banyak, Mas.” Si sopir bingung setelah menghitungnya. “Ambil aja, Pak.” Si sopir berkedip-kedip tak percaya. “Ma-makasih, Mas!” Juna menggandeng Mei saat memasuki lobi dan menuju sebuah lift. "Wow!” Mei tak repot-repot menyembunyikan kekagumannya begitu memasuki unit apartemen Juna yang terletak di lantai 18. Atmosfernya sangat berbeda dari apartemen-apartemen sederhana punya teman yang pernah dikunjungi Mei. Apartemen mahal ini jelas menawarkan berbagai fasilitas demi mendukung gaya hidup modern para penghuninya. Tak kalah mewah dari fasilitas yang ditawarkan hotel bintang lima. Mei memindai ruangan berukuran lebih dari 100 meter persegi itu dengan sorot matanya yang dipenuhi kekaguman. Sentuhan kemewahan ke
“Seriosly?” Juna menatap Mei lekat-lekat. Mei membuang tatapannya ke swimming pool cantik di bawah sana. “It’s oke kalau nggak boleh,” desahnya terdengar seperti merajuk. “No no no. But ..., suddenly? Lu ada masalah apa barusan, hmm?” Mei tersenyum kecut. “Gue lagi cekcok dikit sama tante gue,” ujarnya lirih. “Come on. Bukan dikit kalau sampai bikin elu nggak mau pulang.” Mei membuang napas. “Right. But ..., I can’t describe to you right now.” Juna mengangguk dengan senyumnya yang bersahabat. “I know. Sharing aja pas lu udah siap.” “So? Gue boleh nginap?” Juna mengedikkan bahu. “Gue cuma punya satu ranjang.” “Gue bisa tidur di sofa.” “No. Tidur di ranjang gue.” “Terus? Lu yang di sofa?” “Nggaklah gila. Sharing aja berdua. Ranjang gue kan segede gaban.” Mei melotot. “Lu gila?” Lalu meninju lengan Juna yang terlihat santai saja mengatakannya seakan itu bukanlah hal besar. Juna malah terbahak. “Kita kan cuma mau tidur? What’s the problem?” sanggahnya. Kemudian mengerling
Sedang asyik-asyiknya bercengkerama dengan Meilani, bel pintu apartemen Juna berbunyi. “Siapa sih yang datang pagi-pagi gini, gangguin orang pacaran aja,” gerutu Juna sambil menyeret langkah malas dan mengecek siapa tamunya melalui kamera bel pintu. Mei tersenyum geli setiap kali mendengar Juna mengucap kata ‘pacaran’, seakan hubungan mereka betulan saja. Dan senyum Mei menyurut begitu melihat perubahan raut wajah Juna yang tampak terkejut. “Siapa, Jun?” Mei jadi penasaran. Juna memutar bola mata. Kelihatan enggan menerima tamunya. “Mantan gue,” jawabnya sebelum membuka pintu. Mei mengerutkan kening. ‘Mantan?’ pikirnya bingung. Di kepalanya mantan Juna itu cuma Raya, tak terpikir ada wanita lain lagi. “What brings you here?” sapa Juna di ambang pintu. “Morning, Jun? I bring some food for you. Udah makan belum? Woi. I dianggurin depan pintu aja, nih? Nggak sopan,” oceh seorang wanita di luar sana. Mei buru-buru menunduk saat Juna melebarkan pintu dan membiarkan tamunya masuk.
Mei berharap apa yang dikatakan Juna pagi itu benar, bahwa Anjani orang yang profesional. Mei tak bakal berurusan dengannya selama Mei tak melakukan kesalahan selama bekerja. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, Anjani tampak sengaja mencari-cari kesalahannya. Biasanya Anjani jarang sekali keluar dari ruangannya. Tapi hari ini, orang nomor satu di kantornya itu mendadak mendatangi ruang demi ruang para karyawan. Membuat Bu Nida, seorang manager, gugup menyambutnya. “Se-selamat pagi, Bu Jani?” “Pagi,” sahut Anjani seraya bersedekap, tatapannya mengitari ruangan dan berhenti di meja Mei. “I mau lihat laporan kerugian kita waktu itu, sedetail-detailnya,” katanya dengan menatap lekat-lekat sosok Mei yang sedang diincarnya. Mei seketika menunduk saat tatapannya beradu dengan Anjani. ‘Buat apa singa betina itu mengorek lagi kesalahanku waktu itu?’ pikirnya cemas. Tapi Mei pura-pura tenang, melanjutkan kegiatannya mengetik laporan pekerjaan. “Oh, nanti saya antar ke kantor Ibu. Lagipula I
Mei melipat tangannya di perut sambil menunggu kedatangan Juna di sebuah kafe, tapi sudah 3 jam menunggu, pria itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Juna mengiriminya pesan dua kali, yang pertama dua jam lalu, menyuruhnya menunggu. Dan yang kedua sejam yang lalu, katanya masih di jalan. Mei melirik arloji di pergelangan tangannya, sudah jam 9 malam. Mau tak mau Mei beranjak dari kursi menuju kasir dan membayar pesanannya. Lalu melangkah gontai. Tak menyangka ketidakhadiran Juna bakal memberinya efek kecewa seperti ini. ‘Lagipula, buat apa aku betulan menunggunya hanya karena dia menyuruhku menunggu? Aku bisa saja memutuskan pulang sejak tadi, tapi kenapa aku menunggu?’ pikirnya sebal pada diri sendiri. ‘Kenapa aku mengulangi kesalahan yang sama? Aku sudah lelah, setia menunggu Kevin bertahun-tahun mengatakan cinta, tapi justru berakhir dengan menerima kartu undangan pernikahannya dengan Raya, teman dekatku sendiri. Dan sekarang mau-maunya aku dikerjai Juna, mau saja disuruh m
Mei turun dari taksi, memandangi lobi apartemen di depannya, kemudian ganti menatap jari manisnya yang kini telah kosong dari cincin pertunangannya dengan Juna. Ada rasa ringan sekaligus berat yang kini bermain-main dalam hatinya. Bodoh. Bisa-bisanya dia melepas pria tampan, menyenangkan, dan juga mapan. Bukankah setidaknya pria itu tak mempermainkan perasaannya seperti Kevin? Juna bahkan sudah terang-terangan menjelaskannya sejak awal, “Jangan overthinking tentang hubungan kita, Mei. Just have fun with me. Tak mengapalah awalnya kita pura-pura saling cinta, maybe oneday ... kita bisa fall in love betulan.” Kemudian terngiang lagi kata-kata Anjani, “Are you sure he loves you, Mei? I tell you, he loves Raya so much. You hanya akan berakhir seperti I dan cewek-cewek lain, yang cuma dijadiin objek pengalih perhatiannya dari Raya. Siap-siap aja, you bakal ditendang keluar kalau dia udah bosan. Better you run!” Ah. Kenapa tiba-tiba terselip rasa takut dalam hati Mei kala mendengarnya? Ap